Penghapusan Hak Pemilikan Atas Tanah

Penghapusan Hak Pemilikan Atas Tanah
Memorandum untuk Robert Applegarth, 3 Desember 1869

Saudara yang tercinta,

Pemilikan atas tanah-sumber awal dari semua kekayaan-telah menjadi masalah besar
yang pemecahannya menentukan hari-depan klas pekerja.

Sekalipun tidak bermaksud mendiskusikan di sini semua argumen yang dikedepankan
oleh para pembela hak-pemilikan partikelir atas tanah-para ahli-hukum, -filsafat,
dan -ekonomi-politik-pertama-tama akan kita nyatakan bahwa mereka menyamarkan
kenyataan sebenarnya tentang penaklukan dengan jubah hak-alamiah. Jika
penaklukan (perebutan) merupakan suatu hak alamiah di pihak (orang-orang) yang
sedikit jumlahnya, maka yang banyak hanya perlu mengumpulkan kekuatan secukupnya
untuk memperoleh hak alamiah merebut kembali yang telah dirampas dari pihak
mereka. Dalam perjalanan sejarah, para penakluk itu berusaha memberikan semacam
sanksi sosial pada hak asli mereka yang mereka dapatkan melalui kekerasan kasat
mata, melalui alat-alat hukum yang mereka paksakan. Pada akhirnya datanglah
filsuf yang menyatakan hukum-hukum itu mengimplikasikan persetujuan universal
dari masyarakat. Seandainya memang benar hak-pemilikan tanah secara perseorangan
itu berdasarkan persetujuan universal seperti itu, maka kita menegaskan bahwa
perkembangan ekonomi masyarakat, peningkatan jumlah dan konsentrasi rakyat,
keharusan akan kerja kolektif dan terorganisasinya pertanian maupun mesin-mesin
dan penemuan-penemuan serupa, menjadikan nasionalisasi atas tanah suatu
keharusan sosial, yang terhadapnya tidak akan mempan segala macam omongan
tentang hak-hak pemilikan.

Perubahan-perubahan yang mengucapkan keharusan sosial pasti akan berjalan,
lambat atau cepat, karena tuntutan-tuntutan kebutuhan masyarakat harus dipenuhi,
dan perundang-undangan selalu akan dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan
keperluan itu.

Yang kita perlukan ialah produksi yang hari demi hari meningkat, yang urgensinya
tidak dapat dipenuhi dengan membiarkan sekelompok kecil individu mengaturnya
sesuka mereka dan kepentingan-kepentingan pribadi atau secara bodoh menghabis-habiskan
daya bumi (tanah). Semua cara modern seperti irigasi, drainasi, penggarapan
tanah dengan mesin, pemeliharaan secara kimiawi, dsb., pada akhirnya haruslah
dilakukan dalam pertanian. Namun, pengetahuan ilmiah yang kita miliki, dan alat-alat
tehnik pertanian yang kita kuasai, seperti permesinan, dsb., tidak akan pernah
dapat diterapkan secara berhasil kecuali dengan pembumidayaan tanah secara besar-besaran.
Penggarapan tanah secara besar-besaran-bahkan dalam bentuk sekarang yang
kapitalistik, yang memerosotkan produser itu sendiri menjadi sekedar hewan kerja-mesti
menunjukan hasil-hasil yang jauh lebih unggul ketimbang penggarapan tanah secara
sebagian-sebagian dan kecil-kecilan-tidakkah itu, jika diterapkan dalam dimensi-dimensi
nasional, jelas memberikan dorongan luar biasa pada produksi? Kebutuhan rakyat
yang terus-meningkat di satu pihak, terus meningkatnya harga produk-produk
agrikultur di lain pihak, menjadi bukti yang tidak dapat disangkal bahwa
nasionalisasi atas tanah telah menjadi suatu keharusan sosial. Pengerdilan
produksi pertanian yang bersumber pada penyalahgunaan individual menjadi tidak
dimungkinkan lagi dengan pelaksanaan kultivasi yang terkendali/diawasi, dengan
suatu biaya dan demi keuntungan bangsa.

Perancis seringkali dijadikan contoh, tetapi dengan hak-pemilikan pertaniannya
Perancis adalah lebih jauh dari nasionalisasi tanah jika dibandingkan dengan
Inggris dengan landlordisme-(sistem tuan-tanah)-nya. Memang benar, bahwa di
Perancis, tanah itu 'terbuka' bagi semua orang yang dapat membelinya, tetapi
justru kemudahan ini telah melahirkan pembagian tanah menjadi bidang-bidang
kecil yang digarap oleh orang yang berpenghasilan rendah dan terutama mesti
bersandar pada sumber-sumber kerja badaniah diri mereka sendiri dan keluarga-keluarga
mereka. Bentuk pemilikan tanah ini dan penggarapan yang berbidang kecil-kecil
yang diakibatkannya tidak saja memustahilkan semua penerapanan kemajuan-kemajuan
pertanian modern, melainkan sekaligus mengubah penggarap itu sendiri menjadi
musuh paling keras terhadap segala kemajuan sosial, dan terutama sekali, musuh
terhadap nasionalisasi tanah. Terikat pada tanah, yang penggarapannya menyedot
seluruh daya vitalnya agar dapat memperoleh hasil yang relatif sedikit, terikat
pula untuk melepaskan sebagian besar poroduksinya kepada negara dalam bentuk
pajak-pajak, pada hukum rumpun dalam bentuk biaya-biaya judiciary, dan pada
lintah-darat dalam bentuk bunga; sepenuhnya buta mengenai gerakan masyarakat di
luar bidang sempit kegiatannya; ia masih saja bergayut dengan kecintaan-buta
pada bidang tanahnya dan sekedar hak-pemilikannya yang cuma nominal atas bidang
tanah itu. Dengan cara ini, petani Perancis telah terlempar ke dalam antagonisme
yang paling fatal dengan klas pekerja industrial. Hak pemilikan tanah pertanian
dengan demikian menjadi halangan terbesar bagi nasionalisasi tanah.

Perancis, dalam keadaannya sekarang, jelas bukan tempat di mana kita mesti
mencari suatu pemecahan bagi masalah besar ini. Menasionalisasi tanah dan
membaginya dalam bidang-bidang tanah kecil pada orang perseorangan atau
perhimpunan-perhimpunan pekerja akan, dengan sebuah pemerintah klas-menengah,
cuma menimbulkan persaingan serampangan di antara mereka, dan menyebabkan suatu
peningkatan 'bunga' tertentu, dan dengan demikian memberikan fasilitas-fasilitas
baru pada para pemilik dalam menghisap kaum produsen.

Dalam Kongres Internasional di Brussel, pada tahun 1868, seorang teman berkata:

"Hak pemilikan tanah kecil secara perseorangan bernasib gagal oleh keputusan
ilmu pengetahuan; hak pemilikan tanah luas secara perseorangan oleh keadilan.
Maka hanya tersisa satu alternatif saja. Tanah mesti menjadi milik persekutuan-persekutuan
desa, atau milik seluruh bangsa. Masa depan akan menentukan hal ini."

Tetapi saya, sebaliknya, mengatakan:

"Masa depan akan menentukan bahwa tanah hanya dapat dimiliki secara nasional.
Menyerahkan tanah ke tangan pekerja-pekerja pedesaan yang bersatu akan berarti
menyerahkan seluruh masyarakat pada satu klas produser saja. Nasionalisasi atas
tanah akan menghasilkan suatu perubahan menyeluruh dalam hubungan antara kerja
dan modal dan akhirnya akan sepenuhnya menghapus produksi kapitalis, baik yang
industrial atau yang pedesaan. Hanya pada waktu itulah perbedaan-perbedaan klas
dan hak-hak istimewa klas akan lenyap bersama basis ekonomik yang menjadi asal-muasalnya
dan masyarakat akan ditransformasi menjadi suatu asosiasi kaum 'produser'. Hidup
atas kerja orang lain akan menjadi sesuatu dari masa lalu. Tidak akan ada lagi
suatu pemerintahan atau suatu negara yang beda dari masyarakat itu sendiri."

Pertanian, pertambangan, manufaktur, singkat kata, semua cabang produksi akan
secara bertahap terorganisasi dalam bentuk yang paling efektif. Sentralisasi
atas alat-alat produksi secara nasional akan menjadi basis alamiah sesuatu
masyarakat yang tersusun dari asosiasi-asosiasi para produser yang bebas dan
sederajat, yang secara sadar beraksi berdasarkan sebuah rencana umum dan
rasional.

Demikian itulah tujuan yang menjadi arah/kecenderungan gerakan besar ekonomi
abad ke XIX.


Versi Inggris : The Abolition of Landed Property; Memorandum for Robert
Applegarth, 1869
Sumber: : Http://www.geocities.com/edicahy
Versi Online : Indomarxist.Net, Http://come.to/indomarxist, Mei 2003
Kontributor : Edi Cahyono
ooo0ooo

No comments:

Post a Comment