Militer dan proses Demokratisasi di Indonesia

PENDAHULUAN
Gerakan reformasi total yang menuntut perubahan menyeluruh atas segala wacana dan praksis politik, telah berhasil merontokkan kekuasaan orde baru pada paruh awal 1998 dan membawa Indonesia berada di bawah pemerintahan transisional yang bertugas mengemban agenda-agenda reformasi. Beberapa agenda mengenai demokrasi dan desentralisasi kekuasaan menjadi pembicaraan hangat publik, angin perubahan yang begitu kencang telah menghembuskan euforia politik stadium tinggi. Terbukanya kran-kran demokrasi lewat beberapa kebijakan liberalisasi pemerintah dan imajinasi politik yang tinggi dari masyarakat membuat transisi demokrasi menjadi optimisme untuk membawa bangsa ini keluar dari kemelut krisis yang membelitnya.
Namun optimisme yang dibangun mengalami kemandulan disaat pilihan harus ditentukan, sebab kalau mau merujuk kebelakang pada masa awal-awal tumbangnya soeharto dan sampai sekarang masih kelihatan, ada 3 kelompok pada masyarakat bangsa kita yang berbeda sikap dan pandangan dalam memandang tuntutan reformasi. PERTAMA, yang menghendaki reformasi total artinya sangat mendasar dan mendekati revolusi. KEDUA, kelompok masyarakat yang menganggap reformasi itu teristilah sebagai perubahan yang besar. KETIGA, anti reformasi atau yang dikenal dengan status quo .
Belajar dari beberapa negara dunia ketiga lainnya, proses transisi memang menjadi sebuah momok yang menakutkan. Karena beberapa pertimbangan internal dan eksternal yang sama-sama tidak bebas dari kepentingan, maka transisi yang mulus harus menyelesaikan syarat-syarat mutlak agar kecendrungan sesudahnya bisa berjalan sesuai dengan yang diinginkan. Syarat-syarat itu berupa pemotongan terhadap sisa rezim lama yang masih bermain di struktur pemerintahan dan dominan, menghapus kekuatan militer dalam pemerintahan agar konsolidasi sipil bisa berjalan ( dalam konteks Indonesia Dwi Fungsi TNI ), dan meminta pertangungjawaban rezim lama di depan publik sebagai sinyal bahwa demokrasi akan ditegakkan.
Tapi terkadang prasyarat itu menjadi komoditas politik pemerintahan baru, karena konsesi di tingkat elit dan munculnya reformis-reformis gadungan di akhir pertandingan membuat arah reformasi menjadi kabur dalam pertikaian-pertikaian dan lagi-lagi demokrasi menjadi alat delegitimasi.

Transisi Indonesia : Antara Demokrasi dan Neo otoriterianisme

Konsekwensi yang akan terjadi dalam transisi demokrasi berdasarkan pengalaman negara-negara dunia ketiga hanyalah mempunyai dua kecendrungan Demokratis atau neo otoriter.
Indonesia memasuki periode transisional yang dibarengi dengan semakin meluasnya krisis, akibat masih kuatnya kekuatan politik utama rezim otoriter orde baru dalam struktur pemerintahan, juga ditandai dengan makin menguatnya tuntutan agar reformasi sesegera mungkin terwujud secara signifikasi dan memadai bagi demokrasi. Lalu seiring dengan hal itu, mengemuka pula beberapa gagasan berkenaan dengan cara pencapaiannya termasuk di dalamnya adalah persoalan menegasi segala aspek kehidupan yang dikembangkan oleh rezim otoriter orde baru.
Berangkat dari hal diatas, maka untuk mewujudkan dan mengkonsolidasikan demokrasi (dalam makna pemutusan terhadap segala warisan orde baru ) harus ada proses pembentukan pemerintahan sementara (transisi) sipil demokratik , karena penegasian secara total terhadap struktur dan sistem otoriterianisme rezim orde baru adalah landasan bagi terbentuknya permanen sipil demokratik serta sistem yang demokratis.
Demokrasi memang sebuah hal yang menarik untuk terus di kaji keberadaannya baik di kalangan akademisi maupun politisi ataupun rakyat biasa, demokrasi selalu menimbulkan pertanyaan, akan tetapi demokrasi bukan hanya sebuah wacana yang hanya dibicarakan namun bagaimana caranya diimplementasikan dalam kehidupan bernegara. Di Indonesia sendiri diskursus mengenai demokrasi telah digali dan sudah berlangsung selama 50 tahun , seperti yang diungkapkan seorang ilmuwan politik G Bingham Powell tentang demokrasi :
1. The legitimacy of the government rest on a claim to represent the of its citizens. That is the claim of government to obedience to its laws is based on the government’s assertion to be doing what they want it to do.
2. The organized arrangement that regulates this bargain og legitimacy is the competitive political election. Leaders are elected at regular intervals, and voters can choose among alternative candidates, in practice at least two political parties that have a change af winning are needed to make such choices meaningful.
3. Most adults can participate in the electoral process, boyh as voters and as candidates for important political office.
4. Citizens votes are secreet and not coeced
5. Citizens and leaders enjoy basic freedom af speech, press, asembly and organization, both established parties and new ones work to gain members and voters
Ungkapan ini senada dengan hasil Kongres Amerika tahun 1989 dalam menentukan kriteria dari negara-negara eropa timur ( kita tahu bahwa negara-negara ini adalah eks negara komunis ) yang pantas di beri bantuan, dan untuk melihat apakah negara itu menerapkan sebuah sistem demokratis, maka antara lain dikemukakan ciri-ciri sebagai berikut ; (a) didirikannya sistem politik yang sepenuhnya demokratis dan representatif, berdasarkan pemilihan umum yang bebas dan adil, (b) diakuinya secara efektif kebebasan-kebebasan fundamental dan kemerdekaan-kemerdekaan pribadi, termasuk kemerdekaan berbicara, beragama dan berkumpul, (c) dihilangkannya semua perundang-undangan dan peraturan yang menghalangi berfungsinya pers yang bebas dan terbentuknya partai-partai politik, (d) diciptakannya suatu badan kehakiman yang bebas, dan (e) didirikannya kekuatan-kekuatan militer, keamanan dan kepolisian yang mandiri serta tidak memihak .
Indikator dari beberapa ciri demokrasi ini merupakan elemen yang umum dalam ilmu pengetahuan terutama ilmu politik, serta dengan indikator-indikator tadi dapat memudahkan kita untuk melihat dan membandingkan secara sistematis tentang negara yang disebut demokratis dan dapat kita lihat perkembangan serta implementasi demokrasi suatu negara atau antar rezim.
***
Otoriterianisme adalah istilah ilmu politik yang mencuat dan paling mengejutkan dalam sejarah umat manusia, gejala ini muncul pada paruh pertama abad 20. Negara otoriter mengontrol kehidupan masyarakat dengan ketat dan mempertahankan kekuasaan dengan tegas sebuah elit polit kecil yang despotik, ia juga sebuah rezim yang haus kuasa, tepat seperti yang dilukiskan oleh George Orwell dalam romannya “Animal Farm” (1943). Dua rezim totaliter paling kondang abad ini seperti yang di deskripsikan Hannah Arendt dalam bukunya, adalah pemerintahan Nasional-sosialisme (NAZI) di bawah tongkat komando Adolf Hitler (1933-1945) di jerman dan kekuasaan Bolshevisme Soviet dibawah Jossef W Stalin (1922-1953).
Dalam praktek yang dikedepankan, totaliterianisme selalu mengembangkan lembaga-lembaga politik baru dan menghancurkan semua tradisi sosial dan, legal dan politik yang ada di negara itu. Totaliterianisme mengubah kelas-kelas sosial menjadi massa, mengantikan sistem multi partai bukan dengan sistem partai tunggal melainkan suatu gerakan massa, mengalihkan kekuasaan dari tentara ke polisi rahasia dan mengarahkan politik luar negeri secara terbuka kepada kekuasaan dunia .
Pendapat ini mungkin masih jauh dari kenyataan Indonesia kontemporer, namun antisipasi ke arah sana harus segera dilakukan karena rezim seperti ini sangat tidak mengindahkan lagi hak asasi manusia serta tidak mempertimbangkan akal sehat, prinsip manfaat dan lebih mengutamakan kepentingan kelompoknya.

Transisi Indonesia

Berakhirnya pemerintahan Soeharto dengan ditandai pengunduran dirinya yang dipublikasikan secara fantastis oleh semua media dan digantikan Habibie, menjadikan Indonesia masuk pada babak baru yaitu Era Reformasi.
Agenda-agenda reformasi telah menjadi top list issue di pemerintahan baru yang berlabel pemerintahan transisional. Habibie yang dikenal khalayak ramai sebagai anak emas Soeharto, sulit melepaskan diri dari bayang-bayang kekuasaan sebelumnya sehingga banyak kontroversi yang berkembang seputar penggantian ini konstitusional atau inkonstitusional. Issue bahwa Habibie adalah kepanjangan tangan Orde baru, dapat dibuktikan lewat kebijakan-kebijakan yang dinilai tidak populis dan masih memiliki warna kental orde baru. Dominannya peran sosial-politik militer dinilai menjadi penyebab utama represi militer di politisasi massa dan norma-norma anti demokrasi di masa orde baru, sama sekali tidak tersentuh oleh Habibie, terbukti dengan tidak dicabutnya Dwi Fungsi TNI ketika sidang istimewa 1998, juga diangkatnya Andi M Ghalib sebagai Jaksa Agung yang nota bene militer .
Tetapi ada beberapa terobosan inovatif yang dilakukan Habibie di jamannya, dan salah satu track recordnya yang menarik adalah dilakukannya Pemilu Pertama yang Jujur dan Adil ( walaupun lebih sedikit dibandingkan Soeharto ), sistem multi partai sebagai terapan baru cukuplah diacungi jempol, artinya satu syarat demokrasi telah dilakukan yaitu menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul. Pemilu ini menghasilkan 48 peserta sebagai kontestan tetap, dan dalam catatan KIPP ( Komite Independen Pemantau Pemilu ), Pemilu 1999 memiliki catatan-catatan penting baik menyangkut kekurangan dan kelebihan, seperti ; kurangnya keterlibatan penyelenggara ( Committee ) dan birokrasi serta kebebasan lembaga pemantau dan pers dalam mengontrol jalannya pemilu, serta mengenai kurangnya profesionalitas dan kesiapan penyelenggaraan di semua tingkatan, mobilisasi massa dan penggunaan issue-issue SARA dalam setiap kampanye partai serta masih ditentukan praktek-praktek kotor seperti : Intimidasi Flying voters, politik uang ( money politics ) dan lain-lain adalah catatan-catatan yang memerlukan perbaikan untuk masa mendatang dan tetap melakukan proses hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Disamping itu muncul pula organisasi-organisasi kemasyarakatan baru yang mengusung kebebasan hak-hak dasar, indikasi yang menguatkan adalah dengan dicabutnya pancasila sebagai azaz tunggal, dan pers bebas yang muncul seolah-olah mereka menikmati bulan madunya, munculnya majalah-majalah baru, tabloid-tabloid baru baik yang bertemakan perkembangan politik, ekonomi sampai berita seks sekalipun. Pers muncul tanpa takut di sensor dan di breidel atau SIUPP yang selama ini dipakai pemerintah untuk memasung mereka.
Selain beberapa catatan-catatan penting yang ditorehkan oleh Habibie di panggung transisi, ada beberapa hal juga yang mengandung kontroversi kebijakan dan ini sempat membawa situasi panas di dalam negeri, salah satunya adalah dengan diberikannya opsi kepada timor leste untuk melakukan referendum antara merdeka atau otonomi, padahal di saat yang bersamaan Menlu Ali Alatas bersama dengan Menlu Portugal sedang melakukan Lobby Internasional untuk membicarakan kelangsungan Timor leste di jenewa, tapi Habibie berkata lain dan hasilnya Timor Leste betul-betul menjadi Propinsi termuda di Indonesia karena Umurnya yang sangat pendek bergabung dengan Indonesia dibandingkan dengan propinsi-propinsi lain.
Pemerintahan Habibie juga melakukan kebijakan ekonomi yang sampai sekarang terasa imbasnya, yakni penerbitan obligasi untuk mendanai rekapitalisasi bank-bank yang di tangani oleh BPPN. Hasilnya utang domestik semakin meningkat tajam dan membawa perekonomian berada pada kemerosotan dua sisi yanitu hutang dalam negeri dan hutang luar negeri.
Pemilu 1999 yang menjadi track record bagus dari Habibie sebagai sebuah pembelajaran demokrasi jugalah yang akhirnya menjatuhkan Habibie dari kursi RI I, dari hasil Pemilu dan sidang umum yang penuh konspirasi dan lobby di hotel-hotel jakarta akhirnya memutuskan Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur menggantikan Habibie sebagai Presiden RI.
Pemerintahan Gus Dur yang dikatakan perwujudan dari arus bawah, ternyata mulai menampakkan eksistensinya, dalam 50 hari masa kepemimpinannya beberapa catatan demokrasi mulai ditorehkkan. Langkah pertama yang dilakukan adalah Reshuffle kabinet dengan membagi komposisi rata berdasarkan partai-partai yang ada, terasa memang ini adalah langkah moderat yang dilakukan Gus Dur untuk memanejemen konflik yang ada di dalam kabinetnya, juga dihapuskannya Departemen Penerangan dari strukltur kabinet membuat Gus Dur mendapat nilai lebih dimata praktisi demokrasi dan berbagai kelompok kepentingan lainnya perlahan-lahan pun posisi gus Dur mulai menguat. Setelah dirasa kabinet cukup comfortable untuk menjalankan pemerintahan, Gus Dur mulai melakukan pendekatan Internasional sebagai sebuah strategi politik luar negeri dan melakukan diplomasi-diplomasi terhadap negara-negara tersebut.
Negara-negara yang dikunjungi Gus Dur juga agak berbau silang pendapat dari dalam negeri, karena beberapa negara tersebut adalah negara-negara komunis seperti Kuba dan Cina, bahkan Fidel Castro diterima Gus Dur di sebuah Hotel di Havana Cuba hanya memajai kaos oblong dan sendal jepit menampakkan sebuah keakraban yang lebih di antara dua pemimpin tersebut, dan hal inilah yang membuat elit-elit politik dalam negeri merasa was-was Indonesia di bawa ke jalur yang salah. Ketika di luar negeri Gus Dur juga melakukan lontaran-lontaran kontroversi terhadap kinerja kabinet salah satunya adalah issue mencopot Soerojo Bimantoro sebagai Kapolri saat itu. Banyak memang hal-hal yang sangat kontroversial yang dilakukan Gus Dur semasa pemerintahannya, dengan joke-joke sebagai ciri khas seorang kyai, Gus mampu merebut simpati masyarakat.
Dalam kebijakan ekonomi salah satu langkah yang lagi-lagi kontroversi di tengah pembangunan negara demokrasi adalah melakukan pemngampunan-pengampunan terhadap obligator-obligator BLBI yang jelas-jelas telah merugikan negara hingga trilyunan rupiah, beberapa orang diantaranya Sofjan Wanandi dan Marimutu Sinivashan. Di dalam langkah hukum beberapa peristiwa penting yang patut di catat adalah Peradilan kasus HAM di Timor Leste, DOM di Aceh dan peradilan kasus Bank Bali, menampakkan adanya suatu perubahan orientasi yang dilakukan yaitu tentang HAM dan hukum yang mulai di tinjau ulang, sebuah hal juga yang sempat menjadi pembicaraan hangat waktu itu dan sempat menjadi perdebatan publik adalah dengan dikeluarkannya keputusan untuk mencabut Tap MPR yang berisi pelarangan ajaran Marxisme/ Leninisme di Indonesia, dan kelompok yang paling keras menentangnya adalah kelompok Fundamentalis Islam.
Dengan melihat replika pemerintahan Gus Dur tadi nampak ada beberapa perkembangan yang cukup signifikan, pemerintahan Soeharto yang otoriter mulai sedikit bergeser ke arah yang lebih demokratis, namun Gus Dur ternyata tidak bisa menjaga ritme ini, elit-elit politik yang merasa dirugikan mulai menyusun kekuatan dan mencari cara untuk menjatuhkan Gus Dur, akhirnya Kasus Buloggate dan Bruneigate menjadi kuburan bagi Gus Dur untuk meletakkan jabatan sebagai RI I, walaupun sampai saat ini Gus Dur masih bersikeras tidak pernah melakukan hal itu, namun sejarah menjadi saksi bahwa pergulatan elit memang tiada hentinya. Jatuhnya Gus Dur otomatis mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden, selain Partai yang dipimpinnya adalah pemenang mayoritas di Pemilu 1999, Megawati juga di harapkan dapat menjadi pemimpin yang mampu menenggarai konflik elit saat itu.
Pemerintahan Megawati yang sampai saat ini masih berjalan, belum juga menampakkan kontribusi yang maksimal terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia, sikap yang tidak jelas oleh seorang Megawati dan hanya menggantungkan keputusan lewat orang-orang dekatnya membuat rezim ini menjadi rezim yang tidak tegas. Seperti yang dilukiskan oleh sebuah harian Ibukota beroplah nasional, Megawati laksana Monalisa yang menyimpan misteri di balik senyumnya.
Beberapa langkah kebijakan pemerintahan ini diantaranya adalah dengan mendirikan Kodam Iskandar Muda di Aceh yang jelas-jelas sekarang terlibat konfrontasi terbuka dengan Indonesia sempat menjadi pergunjungan di kalangan akademisi dan praktisi demokrasi, belum lagi saluran dana hingga milyaran rupiah terhadap pembangunan asrama militer di jakarta dan statement yang menyatakan akan mencabut Dwi Fungsi TNI hingga 2009, membuat desas-desus sekitar istana, Megawati sedang melakukan usaha dengan menggandeng militer untuk mempertahankan kekuasaannya.
Pengadilan terhadap Soeharto yang sempat menjadi musuhnya lewat peristiwa 27 Juli jug tak kunjung tiba dengan berbagai alasan politis di dalamnya, walaupun ada beberapa persidangan yang melibatkan tokoh-tokoh nasional seperti Akbar Tanjung dan Rahardi Ramelan lewat kasus Buloggate, namun kasus ini tak pernah selesai dan masyarakat tidak bisa berharap banyak. Kebijakan ekonomi yang dibuat, salah satunya adalah dengan melakukan perpanjangan kewajiban pemilik saham atau PKPS yang jatuh 30 juni 2002.
Kecendrungan yang dibuat pemerintah Megawati memang bernada kompromistis dan mengaibaikan pembangunan demokrasi. Pertemuan yang dilakukan oleh Tokoh-tokoh Islam di rumah Amien Rais dengan mengusung tema silaturrahmi adalah indikasi kuat ( seperti yang diberitakan oleh beberapa media massa ) bentuk kekecewaan terhadap kinerja Megawati saat ini. Sidang Tahunan yang akan dilakukan di 2004 adalah sebuah bentuk kesempatan berbagai kelompok kepentingan untuk menanam investasi politik saat ini, bebarapa move politik telah dilakukan oleh sebagian kelompok ini dengan issue-issue yang sedikit memojokkan Pemerintahan Megawati, seperti kontroversi seputar Amandemen UUD ’45 yang bukan hanya datang dari kelompok luar namun internal PDI-P yang dipimpinnya juga melakukan Internal Struggle.
Hal inilah yang membuat Megawati sedikit berhati-hati dalam pengambilan keputusan, belum lagi ditambah dengan desakan dari beberapa daerah kaya yang memaklumkan dirinya dalam sebuah ikatan daerah seperti ; Aliansi Kabupaten-kabupaten Penghasil Minyak yang selama ini tidak puas terhadap kinerja pusat dalam pambagian hasil kepada daerah. Langkah-langkah mempertahankan kekuasaan sedang dilakukan, dan seperti yang digambarkan diatas militer sangat berperan besar dalam pertikaian ini, karena hanya militer yang mempunyai lembaga paling disiplin dan paling siap untuk mengambil kekuasaan sewaktu-waktu, artinya kecendrungan transisi demokrasi bisa bergeser menjadi Totalitarianisme dan bukan demokrasi.


Indonesia sekarang
Rezim Otoriter Korporatis, sebutan yang tepat untuk menggambarkan bentuk
pemerintahan yang berkuasa saat ini. Oligarkis dalam system poliitk (power container), “liberal” dalam system ekonomi. Oligarkisme negara diwakili oleh partai politik baik dari kekuatan status quo (orde baru) maupun dari golongan moderat. Selain itu juga masih dominannya kekuatan militer dalam politik maupun ekonomi
Taransisi demokrasi yang diharapkan mampu membawa Indonesia kedalam sebuah tatanan yang lebih demokratis. Ternyata belum memeperlihatakan hasil yang begitu berarti. Depolitisasi politik yang berlasung sepanjang pemerintahan orde baru, membuat kita agak gagap berdemokrasi. Baik dalam beradaptasi, mensikapi keadaan maupun berpraktek. Disisi lain friksi ditingkatan elit politik yang tidak kunjung selesai membuat masa transisi semakin susah untuk dilalui. Penjatuhan pemerintahan Gus Dur merupakan salah bukti yang paling nyata
Transisi demokrasi hanya memeiliki dua kemungkinan yaitu, berhasil atau gagal sama sekali. Lalu bagaimana dengan Indonesia ?. Harus diakui transisi di Indonesia berjalan lambat, kalau tidak mau dikatakan gagal. Di banding negara berkembang lainnya, proses demokratisasi di Indonesia agak telat. Semenjak gelombang demokrasi ke II bergema, nyaris semua negara berkembang mengalami proses demokratisasi (1970-1980) sedangakan Indonesia mengalami fase demokrasi paska kejatuhan Soeharto 1998.
Dalam beberapa kasus transisi, mungkin yang relative agak berhasil adalah Nikaragua. Setelah kekuatan klan Somoza tumbang, kekuatan Revolusioner nya melakukan dua hal yang sangat berarti untuk mengawal keberlansungan demokrasi. Pertama, “membersihkan” kekuatan lama. Kedua, melakukan de-militerisasi. Kedua pokok hal tersebut, adalah dua syarat minimal dalam sebuah proses transisi.
Sedangkan di Indonesia dua syarat minimal diatas tidak terjadi. Bahkan ada kecenderungan kedua kekuatan tersebut menguat kembali. Dua pemerintahan yang terbentuk dalam masa transisi tampaknya belum menghasilkan sesuatu yang berarti, tapi justru saling bertikai. Kejatuhan pemerintahan Gus Dur menjadi sebuah indikasi kuat bahwa politisi dari sipil ternta belum sesolid yang dikira dalam kerangka mengawal demokrasi. Bahkan pemerintahan yang terbentuk kemudian, tidak lain merupakan sebuah pemerintahan tipe populis. Sebuah pemerintahan yang bisda berkecendrungan otoriter. Adalah betul bahwa pemerintahan tipikal populis mendasarkan diri pada nasib wong cilik. Tetapi untuk mewakili kepentingan wong cilik (dalam bentuki kebijakan) belum tentu. Pmerintahan Megawati adalah bukti yang cukup merisaukan. Terkadang rezim seperti ini agak arogan. Karena selalu mengandalkan kekuatan pendukungnya untuk melakukan tekanan terhadap lawan politiknya.
Di banding mobilisasi seharusnya pendidikan politik lebih di utamakan dalam kerangka membangun partisipasi dan kesadaran politik masyarakat sangat. Tetapi, elit massa tampaknya lebih senang dengan mobilisasi daripada pendidikan. Patut untuk dicurigai, hal ini sengaja tidak dilakukan guna memepertahankan legitimasi kekuasaan mereka. Karena akan sangat berbahaya, jika masa pendukung semakin tinggi tingkat kesadaran politik yang dimiliki, maka akan dengan mudah melakukan kritik kecewaan terhadap partai. Resiko paling terburuk adalah partai akan kehilangan basis konstituennya. Walhasil depolitisasi yang dilakukan orde baru terhadap rakyat akan susah diatasi selama elit–elit yang ada masih berprilaku demikian.
Adalah satu hal lagi tampaknya yang cukup menggelisahakan dalam proses transisi adalah muncul dan menguatnya kekuatan lama. Hal ini tdak bisa dipandang enteng mengingat kekuatan lama ini memiliki benyak kelibahan diberbagai macam hal. Jika anasir lama ini tidak mampu diminimalisir maka nasib transisi sangat susah untuk diramalkan. Lagipula ditengah masyarakat yang sangat pragmatis kekuatan lama menumukan momentum. Berbgai surpey dan polling memperingatkan bahwa kebanyakan masyarakat sudah tidak terlalu memperdulikan baju politik tertentu mau lama atau baru, yang penting kebutuhan pokok mereka terpenuhi, harga tidak naik, eadaan aman tidak banyak kerusahan sosial. Terlebih lagi jika masyarakat sudah terbawa pada syndrom romantisme, dimana masyarakat kembali merinduykan orde baru. Sekali lagi hal ini sangat merisaukan proses demokaratisasi.
Akibat ketidakadialan sosial (kesenjangan pembanguan) dan nation building yang belum selesai persoalan nasionalisme menjadi sebuar pekerjaan rumah yang rumit. Pembayangan tentang Indonesia belumlah tuntas. Adalah tidak mengherankan jika persoalan separatisme menjadi momok bagi pemerintah. Tetapi menarik untuk dilihat setiap kerusahan sosial, dan issue separatisme, pemerintah lebih suka menggunakan pendekatan keamanan untuk menyeleasikannya, tanpa mau melihat akar persoalan yang sesungguhnya. Tidak pelak lagi, pemerintah sedangkan menghidupkan dan mempraktekkan tipikal nasionalisme ala Majapahit.
Pada titik inilah momentumnya, yaitu semakin menguatnya peran politik militer pemerintahan. Aceh, Irian Jaya merupakan contoh yang paling nyata. Harapan akan hilang militer dalam kancah politik akan semakin menipis. Karena bagaimanapun juga kekuatan militer secara poitik harus diminimalisir secara perlahan.
Supremasi sipil adalah hal mutlak dalam sebuah pemerintah, guna semakin mendemokratis sebuah negara. Tetapi akan menjadi sebuah persoalan jika sipil tidak mampu melakuakn kontrol terhadap militer, atau memiliterkan militer. Mengingat kemampuan militer untuk berpolitik, bahkan reserfoar yang dimiliki militer dalam beberapa tahun kedepan masih kuat. Hal ini tentu merupakan buah pendidikan militer lewat mekanisme dwi fungsi.
Lebih jauh ada bebarapa hal penting yang membuat militer suash untuk dimiliterkan. Ppertama, keengganan pihak sipil untuk mengembalikan militer ketangsi, karena mereka masih mengharapkan militer mendukung suara mereka dalam tingkatan parlemen. Kedua, mandiri nya keuangan tentar, tiga perempat anggaran belanja tentara bukan berasal dari APBN. Yaitu dari yayasan dan badan ekonomi yang dikelola oleh militer. Pembukuan keungan ini sangat dirahasiakan bahkan pemerintah sendiri agak kesusahan mengaksesnya. Ketiga, kemampuan tentara memainkan peran teritorial nya . Persoalan yang lain adalah bagaimana memformat hubungan sipil militer secra tepat, supaya militer tidak melakukan kontestasi. Karena kecenderungan militer dunia ketiga adalah militer yang suka berkontestasi, jika beberapa hak mereka di belejeti secara radiakal.
Ke lima, adalah arogansi yang melekat pada diri tentara, dan kemampuan menjaga otonominya. Klim historis yang dimiliki tentara tentang kemerdekaan Indonesia sangat kuat. Ketika para pendiri RI lebih suka berjuang secra diplomasi, tentara (dulu laskar) memprakarsai dirinya untuk melakukan perjuangan bersenjata bahakan ketika pemerintah tidak berniat mengorganisasikan tentara, tentara melakukakan peng-organisasan secara internal. Selama keempat hal ini tidak mampu dijawab oleh politisi sipil, adalah sangat mustahil megharapkan tentara berhenti berpolitik.
Pengalaman dari negara lain
Salah satu kesimpulan penting kajian-kajian mengenai demokratisasi mengatakan peran para pemimpin atau elit nasional sangat besar dalam proses-proses transisi dari rejim otoriter. Kesimpulan ini cukup tegas diungkapkan para peneliti transisi ke demokrasi sejak tahun 1970-an. Guillermo O’Donnel dan Philippe Schmitter, misalnya, dalam Transitions from Authoritarian Rule. Tentative Conclusions about Uncertain Democracies (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986: 19, 48) menegaskan bahwa "elite dispositions, calculations and pacts … largely determine whether or not an opening will occur at all." Ini tampak dari istilah-istilah yang digunakan, seperti "pakta elit" atau kesepakatan yang dicapai elit yang bersaing satu sama lain, "transaksi" atau kesepakatan antara pemimpin yang berasal dari rejim lama yang membelot dan memihak demokratisasi.
Kesimpulan lainnya dari kajian-kajian demokratisasi ialah yang menyangkut peran "masyarakat sipil". Masyarakat sipil dipandang sebagai inti kekuatan yang mendorong timbulnya liberalisasi atau keterbukaan dalam berbagai segi kehidupan politik rejim yang otoriter. Seperti disebutkan Schmitter,
agar sebuah tantangan yang efektif dan terus menerus terhadap pemerintah otoritarian dapat memuncak, dan agar demokrasi politik dapat tampil sebagai mode alternatif dominasi politik, suatu negara harus memiliki suatu masyarakat sipil dalam mana identitas-identitas komunitas dan kelompok tertentu harus eksis bebas dari negara dan dalam mana tipe-tipe unit-unit swa-diri tertentu mampu bertindak otonom dalam mempertahankan kepentingan-kepentingan dan cita-cita mereka. Lebih lagi, identitas-identitas dan kepentingan-kepentingan ini bukan saja harus merata di seluruh negara, tetapi harus juga bisa dipusatkan bilamana diperlukan, yaitu harus bisa diorganisir guna tindakan kolektif yang terarah (G. O’Donnel, P.C. Schmitter, L. Whitehead, eds., Transisi Menuju Demokrasi. Kasus Eropa Selatan. Jakarta: LP3ES, 1992:5).
Penekanan pada peran elit dan masyarakat sipil dalam demokratisasi disertai dengan kurangnya perhatian pada peran yang mungkin dimainkan aktor atau kekuatan eksternal. Yang ditakankan adalah peran yang dimainkan kekuatan-kekuatan nasional-domestik. Transisi dari pemerintahan otoriter dan prospek bagi demokrasi politik dianggap terutama ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dan pertimbangan –pertimbangan nasional. Aktor-aktor eksternal, kata Schmitter, hanya memainkan peran pinggiran dan tidaklangsung, kecuali jika aktor eksternal tersebut hadir secara fisik sebagai suatu kekuatan pendudukan asing. Ini dimainkan oleh pendudukan militer Sekutu di Itali selepas Perang Dunia II, ketika Italia keluar dari cengkeraman fasisme.
Dalam masa yang belakangan, mulai bermunculan penelitian yang lebih serius mengenai peran aktor dan proses eksternal dalam demokratisasi. Peran sistem dunia dan sistem regional mulai mendapat perhatian, seperti tampak dari berbagai gagasan mengenai "efek demonstrasi" atau "bola salju" atau "internasionalisasi demokratisasi." Begitu pula, peran yang dimainkan aktor-aktor luar seperti organisasi internasional bukan-pemerintah (seperti organisasi hak asasi manusia), lembaga finansial internasional (IMF), atau organisasi politik internasional (PBB) mulai mendapat sorotan.
Salah satu persoalan pakta dan transaksi adalah penerapan kesepakatan. Ini mencakup persoalan-persoalan seperti bagaimana mempertahankan kesepakatan sehingga kesepakatan tersebut memiliki daya tahan, yang pada gilirannya akan melanggengkan lembaga-lembaga demokratis yang ditetapkan dalam kesepakatan tersebut. Juga terkait di sini soal ketersediaan sanksi terhadap unsur-unsur yang secara sepihak melanggar kesepakatan. Pengalaman El Salvador di Amerika Latin dan Kamboja di Asia Tenggara adalah sebagian ilustrasi yang dapat dikemukakan mengenai persoalan pelik di balik implementasi pakta.
Salah satu persoalan menyangkut sumbangan masyarakat sipil terhadap demokratisasi ialah adanya kecenderungan yang menunjukkan organisasi-organisasi masyarakat sipil tidak selalu menganut keyakinan, norma dan prosedur demokratis. Kelompok-kelompok prodemokrasi dalam masyarakat sipil memainkan peran penting membuka kesempatan warganegara berperanserta dalam proses reformasi politik dan demokratisasi. Kendati demikian, secara internal organisasi-organisasi masyarakat sipil tersebut tidak demokratis. Penelitian Kevin F.F. Quigley di Thailand ("Towards Consolidating Democracy: The Paradoxical Role of Democracy Groups in Thailand," Democratization 3(3)1996: 264-286) selaras dengan kesimpulan ini.
Sehubungan dengan peran aktor eksternal, salah satu badan dunia yang sering dikecam adalah IMF (International Monetary Fund). Lembaga ini dikritik tidak demokratis, mencampuri kedaulatan negara, dan merupakan alat negara-negara kuat memeras negara-negara miskin. Program-program bantuan IMF dipandang berbahaya secara politik, sosial, dan ekonomi mengingat beratnya syarat-syarat yang didesakkan terhadap negara yang akan menerima bantuan. Akibatnya, timbul protes dan kerusuhan ("IMF riots") yang pada gilirannya menimbulkan ketidakstabilan politik dan pemerintahan. Penelitian Juha Y. Auvinen, "IMF intervention and political protest in the Third World: a conventional wisdom refined" (Third World Quarterly 17(3)1996:377-400) menyimpulkan intervensi IMF yang bersyarat berat tidak terkait dengan protes politik. Malahan, dana IMF dapat menyelesaikan masalah ekonomi dan mendorong terciptanya stabilitas politik. Temuan semacam ini, seperti tampak pada kasus-kasus di Asia Tenggara dan Timur yang dilanda krisis moneter dan ekonomi, belum dapat memupus kesan negatif mengenai peran IMF.
Uraian-uraian mengenai "pakta," "transaksi," mengisyaratkan adanya fungsi penting dalam masa transisi, yaitu mencari dan menciptakan titik-titik koordinasi pada masa transisi. Koordinasi ini diperlukan dalam rangka mengatasi masalah ketidakpastian dalam situasi transisi. Apabila tatanan politik dan ekonomi yang lama mengalami kerusakan sementara yang baru belum terbentuk, ketidakpastian politik akan sangat tinggi sehingga usaha-usaha mencari titik temu menjadi keharusan. Selain itu, usaha mencari dan menciptakan koordinasi juga penting mengingat ketidaksepakatan dan perbedaan pendapat yang tajam di bidang reformasi politik dan ekonomi.
Akhirnya, salah satu tema penting dalam literatur demokratisasi adalah argumen yang mengatakan "like produces like." Maksudnya, rejim otoriter akan melanggengkan budaya politik otoriter; dan dan lembaga-lembaga yang otoriter akan menghasilkan sikap-sikap yang otoriter. Di lain pihak, lembaga-lembaga demokratis akan menghasilkan sikap-sikap yang demokratis. Gagasan ini menganggap ada hubungan antara struktur politik dan sikap maupun keyakinan politik (Nancy Bermeo, Democracy and theLessons of Dictatorship, Comparative Politics 24(3)1992: 273-291). Jika argumen ini mengandung kebenaran, maka pendidikan demokrasi di masyarakat transisi pasca-otoritarianisme dihadapkan kepada tantangan bagaimana menangani warisan-warisan otoritarianisme di bidang sikap, keyakinan, dan kelembagaan. Tantangan lainnya, yang lebih menarik, ialah meneliti kesempatan-kesempatan belajar politik demokratis pada masa otoritarianisme. Gerakan reformasi mahasiswa menunjukkan dalam struktur politik yang otoriter tetap berlangsung proses belajar politik demokrasi – mudah-mudahan demikian.
***
Berangkat dari kenyataan objektif diatas, ada beberapa permasalahan sebenarnya yang menjadi kendala dalam memuluskan transisi demokrasi di Indonesia. Kendala-kendala tersebut diantaranya adalah masih dominannya kekuatan lama dalam struktur pemerintahan dan pengambilan kebijakan negara, belum diadilinya pelanggar-pelanggar HAM dan penjahat-penjahat politik di jaman Orde baru sebagai wujud penegakan hukum, Amandemen UUD 1945 sebagai langkah perbaikan konstitusi kita yang selama ini rancu baik dalam hal konsep yang tidak kekinian dan dan implementasi yang lemah diantara para pejabat pemerintah, serta tidak dicabutnya Dwi fungsi TNI yang jelas secara kasat mata menghalangi proses demokrasi
Dari kendala-kendala di atas jelas ini harus menjadi prioritas utama bagi pemerintahan yang ada untuk menyelesaikannya, selain itu juga syarat yang lebih penting adalah pendidikan politik bagi masyarakat, agar masyarakat dapat mengerti hak-hak politik dan hak-hak ekonominya, karena mustahil masyarakat dapat mengerti kebijakan pemerintah dan penerjemahannya di lapangan tanpa mengerti akan hak-haknya. Di samping itu juga perlu dibentuknya kelas menengah yang mandiri dan tidak bergantung kepada pemerintah, sebab kepemimpinan nasional perlu diadakan bukan berdasarkan dari konsensus politik, tapi penguatan massa rakyat untuk membentuk karakter pemerintahan yang ada, sebab rakyat jelas sudah bosan dengan adegan-adegan pertikaian elit politik yang sampai hari ini masih berlangsung dan telah mengorbankan hak-hak rakyat, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi atas sebuah negara sebagai perwujuda cita-cita luhur demokrasi yang di dengungkan dari jaman yunani kuno
Harapan dan kesimpulan
Adalah benar bahwa proses transisi ini telah gagal dalam mengartikulasi kepentingan rakyat dalam bidang ekonomi dan hukum. Tetapi harus dingat ada beberap kemajuan penting dalam proses ini walaupun belum menunjukkan substansi sebenarnya, hanya masih pada tataran permukaan semata. Dibandingkan dengan rezim otoriter otoriter Orba, paling tidak ada beberapa kemajuan kecil yang bias kita lihat. misalnya pemilu yang lebih adil, adanya se ruang yang lebih bagi gerakan prodem dan opsisi, kebebasan berpendapat,pers yang “bebas”. Paling tidak keadaan ini membuat kita agak berlega hati.
Perjuangan untuk menuju demokrasi subtantif adalah hal yang mutlak. Karena demokrasi secara prosedural hanya mampu menjawab aspek politis semata. Berangkat dari inilah semua elemen prodem yang harus mampu mendorong proses transisi yang mandek.
Setidakanya ada beberapa hal yang harus menjadi bahan pemikitran kita semua tentang proses taransisi dan militer. Pertama transisi demokrasi tidak boleh berujung dengan otoriterianisme. Kedua, supremasi sipil atas militer adalah mutlak (dalam tata aturan main / Undang-undang). Ketiga hendaknya proses pencabutan dwi fungsi TNI harus dipikirkan lebih jauh lagi. Bahwa, langkah apa yang harus di pakai dalam memeiliterkan militer atau mengembalikan militer ke barak. Apakah model kontrol sipil subyektif atau kontrol sipil obyektif. Tetapi menurut hemat penulis sendiri kontrol sipil obyektif lah yang harus dipakai melihat model dan karakter militer dunia ketiga.

Adalah satu hal yang harus di lihat, bahwa karakter militer dunia ketiga adalah militer yang suka berpolitik. Jika hak-hak istimewanya merasa dibelejeti oleh sipil maka militer akan melakukan kontestasi. Maka yang harus dipikirkan adalah bagaimana pola hubungan sipil militer yang paling tepat yang harus lakukan, saya kira inilah yang kan menjadi tantangan bagi pemeimpin negeri ini selanjutnya mengingat pemilu telah dekat.


Daftar pustaka
 Arendt Hannah, Asal-Usul Totaliterianisme, Jilid III Totaliterianisme,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995
 Cipto, Bambang, Militer Pemilu, dan partai Politik, Pustaka Pelajar, yogyakarta,1998
 Magnis-Suseno, Frans, Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis, PT Gramedia Pustaka Utama, jakarta 1997
 G, Bingham Powell Jr, Contemporary democracies Participation, stability, violence, Harvard University Press, 1992.
 Said, salim, Militer dulu dan sekarang, LP3ES, Jakarta 1999
 Yulianto, Arif, Hubungan Sipil Militer Di Indonesia Pasca Orde Baru di tengan Pusaran demokrasi, Pt Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002

No comments:

Post a Comment