Revolusi Oktober menjadi inspirasi untuk jaum buruh seluruh dunia, dan jutaan manusia menaruh harapan pada rezim Soviet. Namun Uni Sovyet amat mengecewakan para pendukungnya karena munculnya fenomena stalinisme. Stalin mejebloskan lawan-lawannya di kamp-kamp konsentrasi, bahkan membunuh mereka. Dia beraliansi dengan Hitler selama beberapa waktu. Pada zaman paska Perang Dunia II, Uni Soviet menindas bangsa-bangsa Eropa Timur. Akhirnya rezim itu ambruk sama sekali.
Fakta-fakta ini sangat mendemoralisasi rakyat pekerja di mana-mana. Jika kita ingin memperbarui teori Marxis, kita harus menjelaskan mengapa hal-hal semacam itu dapat terjadi, dan siapa yang bertanggung-jawab.
Dua segi revolusi 1917
Perkembangan revolusi Rusia menggabungkan dua proses historis yang berbeda. Proses yang pertama terjadi di perkotaan, di mana kesadaran revolusioner kaum buruh berkembang secara pesat, sampai massa buruh mengerti dengan baik masing-masing posisi dan kepetingan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Konflik kelas di perkotaan terjadi antara para pemilik modal dengan kaum buruh yang tidak punya harapan untuk mendapatkan harta pribadi. Proses yang kedua berlangsung di pedesaan, di mana konflik terjadi antara dua kelas pemilik: di satu pihak para tuan tanah, di pihak lain para petani. Kaum tani tidak memiliki kesadaran atau aspirasi sosialis, sebaliknya mereka ingin pembagian tanah. Dalam upaya itu kaum petani kaya (para "kulak") bisa saja ikut partisipasi.
Revolusi Oktober hanya dapat terjadi berdasarkan kedua proses tersebut. Namun kedua proses itu hanya bisa bergabung karena disebabkan faktor-faktor khusus. Di Rusia, kelas borjuis tidak mampu untuk putus dengan tuan-tuan tanah. Sehingga kaum tani terpaksa bersekutu dengan kelas buruh. Revolusi 1917 mengkombinasikan "perang para petani" dengan insureksi kaum proletarian.
Insureksi di kota-kota tidak mungkin berhasil tanpa dukungan dari para prajurit kecil, yang kebanyakan berasal dari desa. Di saat yang sama, kaum tani tidak mungkin mengalahkan para tuan tanah jika tidak dipimpin oleh kekuatan urban. Di Rusia saat itu, satu-satunya kekuatan urban yang bersedia memimpin kaum tani adalah kelas buruh.
Kelas borjuis dan kaum tuan tanah ditumbangkan, namun kelas-kelas yang menumbangkan mereka tidak mempunyai tujuan bersama dalam jangka panjang. Kelas buruh hidup dari kegiatan kolektif di tempat kerja, sedangkan kaum tani hanya bisa bersatu secara sementara untuk merebut tanah, kemudian mereka akan menjalankan produksi individual kalau tidak didominasi oleh kekuatan luar.
Akibatnya, revolusi merupakan kekuasaan kaum buruh di atas kelas-kelas lain di perkotaan, sekaligus merupakan kekuasaan kota atas pedesaan. Dalam tahap-tahap pertama, pemerintahan Bolsyevik bisa mengandalkan dukungan kaum tani dan memang dibela oleh bayonet-bayonet para prajurit berlatarbelakang rural. Namun apa jadinya kelak? - Pertanyaan ini sudah lama direnungkan oleh kaum Marxis di Rusia. Sebuah revolusi sosialis di Rusia bisa saja tengelam dalam lautan petani, dan hal itu menjelaskan kenapa sebelum tahun 1917 kaum Marxis (kecuali Trotsky) melihat revolusi Rusai sebagai revolusi demokratik saja. Ketika Trotsky mengajukan skenario revolusi sosialis, Lenin menulis:
"Ini mungkin, karena kekuasaan sosialis hanya bisa stabil berlandaskan dukungan mayoritas besar. Sedangkan proletariat Rusia merupakan minoritas rakyat Rusia saat ini."
Lenin mempertahankan pendapat ini sampai awal tahun 1917. Pada tahun itu dia berubah sikap, tapi hanya karena dia melihat revolusi di Rusia sebagai tahap pertama revolusi global, di mana kelas pekerja di barat bisa menolong kaum pekerja untuk mengambil hati para petani Rusia. Delapan bulan sebelum insureksi Oktober dia menulis: "proletariat Rusia tidak bisa menuntaskan revolusi sosialis dengan kekuataan sendiri saja". Empat bulan setelah insureksi tersebut, dia menggarisbawahi "kebenaran yang mutlak bahwa tanpa terjadinya sebuah revolusi di Jerman, kita akan dihabis."
Perang sipil dan kediktatoran Bolsyevik
Rezim Bolsyevik harus menghadapi perlawanan intern yang disokong oleh intervensi luar. Mereka bisa bertahan dan pihak kontra-revolusioner berhasil dikalahkan, tetapi harga kemenangan itu amat besar. Produksi agrikultural dan industrial menurun secara drastis: misalnya tingkat produksi besi kasar menurun sampai 3% persen dibandingkan dengan angka produksi sebelum perang dunia. Ambruknya perekonomian pada gilirannya berdampak besar pada kelas pekerja, yang jumlahnya anjlok menjadi 43% dari angka sebelumnya karena banyak sekali buruh kembali ke desa atau gugur dalam perang sipil. Secara kualitatif, keadaanya lebih parah lagi. Kaum pekerja yang paling militan dan sadar sering gugur di garis depan; atau mereka menjadi penjabat negara. Yang sedang bekerja di pabrik banyak yang baru datang dari udik, sehingga tidak memiliki tradisi sosialis maupun kesadaran revolusioner.
Artinya, kelas sosial yang telah menjalankan revolusi hampir menghilang. Seperti ditulis Lenin pada tahun 1921: "Proletariat industrial … di negeri kita, telah kehilangan wataknya sebagai kelas buruh karena perang dan kemiskinan yang mengerikan; artinya, telah disimpangkan dari jalurnya dan berhenti menjadi proletariat sama sekali." Dalam situasi semacam itu, bagaimana revolusi Rusia bisa bertahan? Masalah ini tidak pernah dipikirkan oleh para pemimpin Bolsyevik. Asumsi mereka, jika revolusi tetap terisolasi di Rusia, rezim mereka akan ditumbangkan oleh pihak borjuis dan imperialis. Yang dihadapi mereka dalam kenyataan adalah, bahwa pihak kontra-revolusi berhasil menghancurkan kaum pekerja sebagai kelas sosial tetapi di saat yang sama, aparatus negara yang dihasilkan revolusi itu masih bertahan. Kekuasaan Bolsyevik masih kuat, tetapi komposisi kekuasaan itu berubah secara fundamental.
Lembaga-lembaga revolusioner yang muncul pada tahun 1917 berkaitan secara organik dengan kelas pekerja. Antara aspirasi kaum buruh dan wakil-wakil mereka tidak ada jurang pemisah sama sekali. Sampai bulan Juni 1918 pemerintahan Bolsyevik sangat demokratik; misalnya partai Mensyevik masih aktif dan legal walau revolusi harus menhadapi serangan dari semua penjuru. Tetapi menyurutnya kelas pekerja merongrongi demokrasi ini secara esensial. Mau tidak mau, lembaga-lembaga pemerintahan semakin melepaskan diri dari pegangan rakyat. Untuk menyelamatkan diri, kaum Bolsyevik semakin mensentralisasi pemerintahan mereka; partai-partai lain, yang bersikap mendua antara revolusi dan kontra-revolusi, tidak dilarang tetapi kegiatan mereka dibatasi. Dalam praktek, demokrasi multipartai dihapuskan pada tahun 1920.
Pembertontakan di Kronstadt dan Kebijakan Ekonomi Baru
Penyelesaian perang sipil sayangnya tidak menyelesaikan situasi sosial yang rumit ini. Situasi tersebut malah diperparah, karena dengan hilangnya ancaman dari pihak kontra-revolusi, kaum pekerja sosialis di perkotaan dan kaum tani di pedesaan tidak lagi memiliki kepentingan bersama. Begitu kepemilikan mereka atas tanah terjamin, kaum tani tidak lagi antusias untuk mendukung revolusi sosialis. Mereka termotivasi oleh aspirasi individual berdasarkan status ekonomi mereka yang borjuis kecil. Yang menyatukan kelas petani secara kolektif hanyalah oposisi terhadap pajak dan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintahan Bolsyevik untuk memasok para penduduk perkotaan.
Puncak oposisi tersebut diraih satu minggu sebelum Kongres Partai Komunis (Bolsyevik) pada bulan Maret 1921. Para kelasi angkatan laut memberontak di Benteng Konstradt, yang menjaga pelabuhan ibukota. Benteng yang amat strategis ini telah memainkan peranan heroik dalam revolusi tahun 1917, namun komposisi pasukan di situ sangat berubah antara tahun 1917 dengan 1921. Unsur-unsur sosial terbaik sudah lama sebelumnya berangkat ke garis depan. Mereka diganti oleh petani yang (seperti tercatat diatas) tidak menonjolkan kesadaran sosialis. Saat memberontak, mereka ajukan tuntutan seperti "soviet tanpa Bolsyevik" dan pasar bebas untuk produk pertanian, yang secara praktis berarti melikuidasikan revolusi sosialis. Sehingga mau tidak mau, pemberontakan itu harus dihancurkan.
Kejadian-kejadian Kronstadt memperlihatkan secara terang-terangan perselisihan kepentingan antara kedua kelas yang melakukan revolusi tahun 1917. Sehingga peristiwa itu merupakan peringatan yang amat serius. Revolusi sedang dibela, bukan oleh massa buruh, melainkan oleh angkatan bersenjata. Pemerintahan revolusioner semakin terisolasi, karena massa rakyat kebanyakan petani. Semua faksi dalam Partai Bolsyevik sepakat, bahwa krisis itu hanya bisa diatasi dengan memberikan konsesi kepada kaum tani yang menuntut pasar bebas, sekaligus mempertahankan rezim pemerintahan yang sentralistik. Solusi ini dicap sebagai Kebijakan Ekonomi Baru (akronim Bahasa Rusia: NEP). Tujuannya adalah mencari rekonsiliasi antara kaum tani dan rezim Bolsyevik serta merangsang pembangunan ekonomi dengan memberikan ruang tertentu untuk produksi swasta. Negara dan perusahaan milik negara beroperasi hanya sebagai satu unsur saja dalam perekonomian yang sebagian besar ditentukan oleh kebutuhan kaum tani dan perkembangan pasar bebas.
Partai, negara dan kelas pekerja antara tahun 1921 sampai dengan 1928
Selama periode NEP negara Rusia tidak lagi bisa mengklaim diri sebagai negara "sosialis" dalam artian yang minimal pun; dari satu sisi hubungan antara kelas pekerja dengan negara tidak lagi mencerminkan aspirasi kaum buruh; dari sisi lain perekonomian tidak lagi menonjolkan sifat-sifat paska-kapitalis. Kaum pekerja tidak berkuasa dan ekonomi tidak direncanakan oleh negara. Namun aparatus negara tetap di tangan Partai Bolsyevik yang masih berpegang pada program sosialisnya, sehingga kebijakan pemerintah diharapkan tetap sosialis.
Tetapi dinamika sosial-politik waktu itu agak kompleks. Yang pertama, lembaga-lembaga yang bercokol di Rusia tahun 1921 sudah jauh berbeda dari soviet-soviet dan Partai Bolsyevik di tahun 1917. Para aktivis Bolsyevik yang ikut partisipasi dalam Revolusi Februari adalah orang revolusioner berkomitmen yang menanggung resiko berat selama berjuang bertahun-tahun melawan Tsar. Mereka tidak melepaskan prinsip-prinsip sosialisme bahkan ketika harus menghadapi empat tahun perang sipil dan ketersekatan dari rakyat pekerja. Namun pada tahun 1919 unsur-unsur ini hanya merupakan 10% dari anggota partai; pada tahun 1922 hanya 2-3%. Karena Partai Bolsyevik telah bertumbuh secara dasyat. Banyak sekali orang yang masuk partai itu yang bukan revolusioner melainkan merupakan unsur-unsur oportunis yang ingin naik daun dalam birokrasi negara.
Bukan hanya partai yang degenerasi tetapi juga aparatus negara. Untuk menjalankan pemerintahan negara dalam kondisi perang dan krisis ekonomi, rezim Bolsyevik terpaksa mempekerjakan ribuan pegawai dari zaman Tsar, dan pegawai-pegawai ini sulit diatur oleh kaum Marxis. Seperti Lenin katakan di kongres partai 1922:
"Cukup jelas apa yang kurang. Lapisan atas kaum komunis kekurangan budaya. Mari kita simak keadaan di Moskow. Massa birokrat ini – siapa yang memimpin siapa? Apakah 4.700 komunis yang bertanggung-jawab sedang memimpin massa birokrat itu atau sebaliknya? Rasanya kita tidak bisa mengatakan dengan jujur bahwa kaum komunis sedang memimpin massa birokrat itu."
Menjelang akhir tauh 1922 dia melukiskan aparatus negara sebagai sesuatu yang "dipinjam dari rezim Tsaris dan nyaris tidak tersentuh oleh dunia soviet … sebuah mekanisme borjuis-Tsaris".
Di bawah kebijakan NEP para aktivis partai harus menghadapi para pedagang kecil, para kapitalis picisan, para petani kaya ("kulak") – serta bekerjasama dengan mereka sampai titik tertentu. Banyak di antara para aktivis yang terpengaruhi oleh pergaulan itu. Di saat yang sama, konsesi yang harus diberikan kepada kaum tani menurunkan (secara relatif) posisi ekonomi kam buruh. Posisi itu juga menurun dibandingkan dengan para pimpinan dan manajer industri. Pada tahun 1922, 65% dari kaum manajer masih buruh; tetapi setahun kemudian angka itu sudah jatuh menjadi 36%. Para "industriawan merah" semakin menikmati gaji tinggi dan privilese yang tak terjangkau oleh massa pekerja, sedangkan pengelolaan oleh satu orang yang punya kewenangan untu memecat orang lain (one man management) menjadi fenomena umum. Di saat yang sama, angka tunakarya naik terus menjadi 1,4 juta pada tahun 1923-24.
Perselisihan dalam Partai
Manusia membuat sejarah, tetapi dalam kondisi yang tidak mereka pilih; dalam membuat sejarah mereka juga merubah baik kondisi itu maupun diri sendiri. Partai Bolsyevik tidak kebal akan hukum materialis ini. Dalam upaya menegakkan rezim sosialis di hadapan perang sipil dan krisis sosial, kehendak sosialis mereka menjadi faktor historis, tetapi kekuatan-kekuatan sosial yang harus mereka kerahkan demi tujuan itu tak urung merubah wajah Partai Bolsyevik itu sendiri.
Mereka harus menjadi perantara antara berbagai kelas sosial guna menghindari konflik destruktif, dan revolusi Bolseyvik hanya bisa bertahan dengan memuaskan kebutuhan kelas-kelas yang beraneka-ragam itu. Partai Bolsyevik, yang posisinya semakin di atas kelas-kelas sosial tersebut, mulai mencerminkan pengaruh kekuatan-kekuatan yang bevariasi itu. Satu-satunya kelas yang memiliki potensi sosialis – kelas pekerja – sangat lemah dan kurang terorganisir waktu ini sehingg pengaruhnya merosot di dalam partai Bolsyevik tersebut, meskipun tentu saja kaum Bolsyvik terus mengatasnamakan kelas pekerja.
Oposisi Kiri
Tidak bisa disangkal bahwa dalam hal gagasan politik, Oposisi Kiri merupakan faksi intern dalam partai yang paling dekat dengan tradisi Marxis yang sejati. Kelompok ini menolak mendefiniskan kembali "sosialisme" menjadi perekonomian petani ataupun akumulasi industrial. Mereka berpegang pada demokrasi buruh sebagai sifat utama sosialisme, dan juga menolak mensubordinasikan revolusi global di bawah slogan "sosialisme satu negara".
Meski demikian, Oposisi Kiri tidak merupakan faksi "proletarian", karena di Rusia pada tahun 1920-an, kelas pekerja terlalu lemah untuk berdampak besar pada partai. Seusai perang sipil, kelas itu memang bangkit kembali, tetapi dalam kondisi yang membuatnya sangat lemah dalam memperjuangkan kebutuhannya. Angka pengangguran cukup tinggi; para aktivis buruh yang paling militan banyak yang gugur dalam perang sedang banyak juga yang naik daun menjadi pejabat negara; sebagian besar dari kelas pekerja terdiri dari petani yang baru datang dari udik. Pada umumnya mereka tidak mendukung Oposisi Kiri melainkan bersikap apatis terhadap dunia politik, sehingga agak mudah dimanipulasi dari atas. Oposisi Kiri mendapati diri dalam sebuah situasi yang cukup lazim bagi kaum kiri: memiliki sebuah program untuk aksi revolusioner kelas pekerja pada saat kaum pekerja sendiri terlalu lelah dan demoralisasi untuk berjuang.
Selain itu, Oposisi Kiri terhambat oleh pengakuannya akan kenyataan ekonomi. Argumentasi mereka menekankan bahwa kurangnya sumber daya akan membuat kehidupan massa rakyat amat payah walaupun rezim menerapkan kebijakan yang mana pun. Mereka juga menekankan perlunya baik mengembangkan industri dalam negeri maupun meluaskan revolusi ke negeri lain sebagai cara untuk menyelamatkan ekonomi intern. Namun dalam jangka pendek mereka tidak bisa menawarkan banyak bantuan bagi kaum pekerja.
Dalam garis besar, Oposisi Kiri mengajukan tiga tuntutan pokok yang saling berkaitan:
1. Revolusi hanya dapat maju ke arah sosialisme jika perkotaan dan industri diperkuat agar tidak didominasi oleh pedesaan dan pertanian. Untuk itu kaum tani kaya harus kena pajak yang tinggi.
2.
3. Perkembangan industrial ini harus disertai dengan demokrasi buruh yang lebih mendasar, demi menghindari kecenderungan birokratis dalam partai dan negara.
4.
5. Kedua kebijakan tersebut bisa mempertahankan Rusia sebagai benteng revolusi, tetapi tidak mampu mencapai tingkatan material dan kultural yang diperlukan untuk menerapkan sosialisme. Itu hanya mungkin jika revolusi meluas ke Eropa Barat.
6.
Dari segi ekonomi, tidak ada yang mustahil dalam program ini. Padahal beberapa tahun kemudian Stalin sendiri menjalankan percencanaan industrial dan serangan pada kaum tani, namun dengan tujuan yang jauh berbeda dari tujuan Oposisi Kiri. Namun mereka yang menguasai partai pada tahun 1923-28 tidak sepakat dengan usulan-usulan tersebut saat itu; mereka menghantam dan mengucilkan Oposisi Kiri. Partai Bolsyevik tidak bisa terima program ini karena partai itu semakin didominasi dua kekuataan yang antagonistis terhadap grup Kiri.
Grup "Kanan" dan Grup "Tengah"
Kekuatan yang pertama terdiri atas unsur-unsur yang tidak menganggap konsesi kepada kaum tani sebagai sesuatu yang bertentangan dengan sosialisme. Mereka malah ingin menyesuaikan kebijakan-kebijakan partai dengan kepentingan petani. Ini bukan hanya merupakan platform teoretis, melainkan juga mencerminkan kepentingan semua unsur dalam partai dan lembaga-lembaga pemerintahan yang suka berkolaborasi dengan golongan petani kaya dan para pedangang parasit yang bangkit di bawah naungan kebijakan NEP. Unsur-unsur ini merupakan semacam faksi "Kanan". Pemimpin utama mereka adalah Nikolai Bukharin yang mengajak kaum tani "memperkaya diri".
Kekuataan kedua mendapat dukungan dari berbagai unsur baik di dalam maupun di luar partai. Kalau disimak secara dangkal, yang menjadi kekhawatiran mereka adalah ketegangan sosial yang harus diatasi, sehingga mereka melawan usulan untuk menyerang kaum tani tetapi tidak memihak kubu petani secara langsung. Dalam partai mereka didukung terutama oleh unsur-unsur yang ingin mengkonsolidasikan aparatus partai secara birokratis. Pemimpan utama mereka adalah Stalin yang mengepalai aparatus partai.
Di mata Oposisi Kiri, faksi Stalin tampaknya seperti faksi "tengah" yang terambong-ambing antara tradisi Marxis dan sikap pro-petani kaum "Kanan". Namun pada tahun 1928, Stalin tiba-tiba menerapkan butir pertama dalam program Oposisi Kiri – dengan menyerang faksi "Kanan", menjalankan program industrialisasi dan kolektivisasi yang intensif. Orang-orang Oposisi Kiri itu terperangah. Nyatanya Stalin mempunyai dasar sosial sendiri. Dia bisa bertahan tanpa dukungan dari kelas proletariat ataupun kelas petani. Faksi ini berlandaskan birokrasi partai. Dengan runtuhnya gerakan buruh sosialis, birokrasi ini semakin kokoh berdiri di tengah masyarakat. Juga banyak mantan pejabat Tsaris yang masuk birokrasi tersebut dan naik daun. Partai (bukan lagi kaum buruh sendiri) yang menguasai masyarakat, tetapi birokrasilah yang menguasi partai.
Mula-mula sikap birokrasi itu agak pasif; mereka hanya melawan dan memblokir prakarsa-prakarsa yang dapat mengancam posisi mereka, seperti usulan-usulan Oposisi Kiri umpamanya. Selama birokrasi masih mengambil sikap reaktif ini, mereka cenderung bersekutu dengan faksi "Kanan", sehingga kuatnya birokrasi sebagai kekuatan sosial belum kentara. Represi yang dijalankan birokrasi tersebut tampaknya merupakan upaya untuk memaksakan kebijakan-kebijakan pro-petani.
Namun dalam periode ini birokrasi sedang berkembang menjadi sebuah kelas sosial independen.
Kontra-revolusi Stalinis
Trotsky pernah mengatakan, bangkitnya rezim stalinis tidak bisa disebut sebagai "kontra-revolusi" karena terjadi melalui sebuah proses gradual. Namun tidaklah benar bahwa semua peralihan dari satu bentuk masyarakat ke bentuk lain merupakan perubahan cepat dan terkonsentrasi. Peralihan dari kapitalisme ke sebuah negara buruh memang demikian, karena kelas pekerja tidak bisa memapankan kekuasaannya sedikit demi sedikit. Namun dalam transisi dari masyarakat feodal ke sistem kapitalis tak jarang ada perubahan yang melewati bermacam-macam konflik kecil selama bertahun-tahun. Begitu pula kontra-revolusi stalinis.
Birokrasi tidak perlu merebut kekuasaan dari kelas pekerja secara sekali pukul. Runtuhnya kelas pekerja sebagai akibat perang sipil menyebabkan birokrasi semakin memegang kekuasaan. Para pejabat negara dan partai sudah mendominasi industri, kepolisian dan militer. Mereka hanya tinggal membentuk lembaga-lembaga itu kembali sesuai dengan kepentingan mereka sebagai kelas penguasa. Proses ini bukanlah "gradual", melainkan melewati sejumlah konfrontasi.
Konfrontasi yang pertama dan terpenting terjadi antara unsur-unsur stalinis dengan Oposisi Kiri. Walau golongan kiri itu tidak selalu melawan langkah-langkah yang diambil oleh Stalin, tetapi faksi stalinis menyambut pernyataan pertama Oposisi kiri dengan luar biasa sengit. Para tokoh kiri difitnah dan aparatus partai digunakan untuk mencopot para pendukung Oposisis Kiri tersebut. Untuk membenarkan taktik semacam ini yang jauh dari tradisi Bolsyevik, golongan stalinis menemukan dua konsep ideologis baru yang dipertentangkan. Di satu pihak mereka mengkultuskan dan mengidolakan Lenin, bahkan mayat Lenin dimumiakan. Di pihak lain mereka menciptakan "Trotskisme" sebagai kambing hitam. Kutipan-kutipan lama dari Lenin digunakan untuk menimbulkan ilusi bahwa Lenin dan Trotsky sama sekali bermusuhan; di saat yang sama kaum Stalinis tidak menghiraukan surat wasiat Lenin yang terakhir, yang menyebut Trotsky sebagai "anggota Komite Pusat yang paling mampu" serta mengusulkan agar Stalin dicopot dari posisinya.
Konfrontasi kedua mulainya agak berbeda. Mula-mula bukan merupakan konflik antara birokrasi dan para aktivis partai yang masih berpegang pada aspirasi sosialis, melainkan antara Zinoviev (yang secara formal menjabat posisi tertinggi dalam partai) dan aparatus nasional partai yang sebenarnya jauh lebih kuat. Di kota Leningrad, Zinoviev menguasai aparatus setempat. Cara aparatus itu bertindak kurang lebih sama dengan aparatus di tempat lain, namun fakta bahwa aparatus di Leningrad independen dari aparatus nasional menjadi sebuah hambatan bagi birokrasi. Leningrad bisa menjadi sumber kebijakan alternatif yang dapat mengacam posisi birokrasi secara keseluruhan. Maka aparatus di Leningrad harus diintegrasi dalam aparatus nasional. Zinoviev tumbang. Setelah itu, Zinoviev perpaling ke tradisi Bolsyevik dan mengambil sikap dekat dengan Oposisi Kiri; selama tahun-tahun kelak dia terombang-ambing antara Stalin dan Trotsky.
Sesudah tumbangnya Zinoviev, Stalin dan para pedukungnya semakin memegang kekuasaan. Mereka menghantam Oposisi Kiri. Pada tahun 1928 Stalin mulai meniru Tsar dengan membuang para aktivis kiri ke Siberia. Namun langkah-langkah sedrastis ini belum juga cukup. Akhirnya dia membunuh para tokoh terkemuka Partai Bolsyevik, termasuk para tokoh "Kanan" seperti Bukharin.
Faksi Stalinis sudah menguasai negara, tetapi belum menguasai seluruh Rusia. Birokrasi telah mengambil alih kekuasaan dari kelas pekerja di perkotaan, tapi pedesaan belum disentuh. Hal ini tiba-tiba menjadi perhatian Stalin pada tahun 1928, ketika kaum tani menolak memasok kota-kota. Stalin membalas dengan menjalankan kolektivisasi paksa. Dominasi perkotaan, yang pernah diajukan oleh Oposisi Kiri sebagai program kiri, dipaksakan oleh Stalin dengan implikasi lain. Sumber-sumber daya diperas dari pedesaan demi program akumulasi modal secara intensif. Dorongan untuk mengakumulasi modal merupakan dinamika kapitalis. Rusia telah menjadi sebuah masyarakat kapitalis tipe baru: kapitalisme negara.
(Tulisan Julian bedasarkan "Russia: How the Revolution was Lost" karya Chris Harman.)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment