Peran Kaum Muda dalam Setiap Era Pergerakan

Pergerakan nasional modern Indonesia diawali dengan kemunculan serikat buruh, awalnya SS Bond tahun 1905; kemudian Boedi Oetomo (1905) dan Syarikat Dagang Islam/Syarikat Islam (SDI/SI) (1911/1912), yang belum mampu memanifestasikan kehendak merdeka dalam programnya; kemudian ISDV (1914) dan Perserikatan Komunist Hindia, yang secara signifikan sudah sanggup mengemban keinginan merdeka dalam programnya dan mencoba mewujudkannya bersama rakyat.
Perjuangan pembebasan dalam menentang penjajahan mencapai puncaknya pada pemberontakan nasional 1926/1927, yang berakhir dengan kegagalan. Sekitar 13.000 pejuang kemerdekaan dipenjara, dibuang ke Boven Digul, dan dibunuh oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Salah satu sebab utama kegagalan tersebut adalah ketidakmampuan kaum demokrat-radikal dalam mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan potensial rakyat, sehingga kaum demokrat-radikal tak memiliki kekuatan dalam menghadapi aparat militer Pemerintah Kolonial Belanda. Kegagalan perlawanan 1926/1927 tak menyurutkan langkah untuk merdeka, perjuangan ternyata bergerak maju. Pada tahun 1927/1929 berdiri Partai Nasional Indonesia (PNI) di bawah pimpinan Ir. Sukarno. PNI berwatak kerakyatan dan garis massa. Sisa-sisa kaum progresif yang masih hidup lalu bergabung dengan PNI, yang dianggap sebagai alat politik untuk melawan kaum penjajah. Dukungan yang luas terhadap PNI memaksa penguasa Kolonial Belanda membuang para aktivis PNI ke penjara, termasuk Sukarno. Aktivitas revolusioner yang dilakukan oleh kaum demokrat-radikal tetap dilanjutkan dengan gerakan bawah tanah. Di bawah kondisi yang represif, terbitan dan pertemuan gelap lainnya terus dijalankan.
Ketika fasisme mulai merambah Eropa dan Asia, kesetiaan perjuangan terhadap kemerdekaan tetap terjaga. Kaum demokrat-radikal kembali mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan potensial rakyat dengan membentuk Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) di bawah pimpinan Amir Sjarifudin. Pada tahun 1939, Gerindo bersama-sama Parindra dan PSII membangun suatu front bersama untuk menghadapi fasisme. Front tersebut bernama Gabungan Politik Indonesia (GAPI) kaum demokrat-radikal menggunakan GAPI sebagai alat politik untuk menentang fasisme sekaligus untuk melawan kolonialisme. Perang Dunia ke-II adalah perang kaum penjajah. Pada tahun 1939, Perang Dunia ke-II meletus saat Jerman, di bawah Hitler, menyerbu Polandia. Jepang kemudian menyerbu Hindia Belanda dan mengusir kekuasaan Belanda, menggantikannya dengan pemerintahan administrasi militer. Kerja paksa (romusha) diberlakukan untuk membangun infrastruktur perang, seperti pelabuhan, jalan raya, dan lapangan udara, tanpa diupah. Serikat buruh dan partai politik dilarang. Yang diperbolehkan berdiri hanya lah organisasi boneka buatan pemerintahan militer Jepang seperti PETA, Keibodan dan lain sebagainya.
Walaupun kaum demokrat-radikal mengalami jatuh-bangundalam perjuangannya, namun garis perjuangan melawan fasisme tetap dipertahankan. Kaum demokrat-radikal, melalui organisasi-organisasi pergerakan bawah tanah, mulai membentuk Gerakan Anti-Fasis (Geraf), Gerakan Indonesia Merdeka (Gerindom), dan sebagainya. Amir Sjarifudin, sebagai orang yang paling setia melawan fasisme ditangkap dan dipenjarakan pada tahun 1943. Di lain pihak, sebagian besar kaum priyayi justru mengambil praktek politik kompromi, konsesi, dan kolaborasi terhadap fasis Jepang; sementara kaum demokrat-liberal terpaksa harus menjalankan taktik politik kooperasi dengan pemerintahan militer Jepang. Revolusi Agustus 1945 Pada tanggal 17 Agustus 1945, Sukarno-Hatta, yang masih ragu-ragu pada kehendak merdeka rakyat Indonesia, berhasil dipaksa oleh kaum muda untuk memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia. Kemerdekaan dimungkinkan karena adanya kekosongan kekuasaan, yang disebabkan oleh kekalahan Jepang dalam PD II, sementara pasukan sekutu belum datang. Momentum kekosongan kekuasaan politik negara ini yang membuat proklamasi bisa dibacakan, berkat inisiatif dan keberanian dari kaum muda. Proklamasi pada tahun 1945, juga didasari pada patriotisme bahwa kemerdekaan tidak lah boleh sebagai pemberian dari Jepang atau hadiah dari Sekutu, tapi berkat kepemimpinan dari para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Namun, Revolusi pembebasan nasional tahun 1945-1949 ternyata gagal menghasilkan demokrasi yang sejati bagi rakyat. Hal ini disebabkan karena kekuatan rakyat yang diorganisir oleh kaum demokrat-radikal gagal mengambil kepemimpinan dalam perjuangan pembebasan nasional. Revolusi Agustus 1945-1949 memang berhasil mengusir kekuatan fasis Jepang dan menghalau si penjajah Belanda, yang berusaha untuk menjajah kembali dengan bantuan sekutu (melalui tangan Inggris). Dan, sebenarnya, pada masa-masa ini lah, dengan diawali perang rakyat 10 November 1945, terbukti bahwa kehendak rakyat untuk merdeka bisa diwujudkan dalam bentuk perlawanan rakyat semesta yang radikal dan militan. Namun, lagi-lagi elit politik mengkhinati rakyat, sekutu perjuangan paling terpercaya: melicinkan jalan menuju persetujuan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November, 1949. Dengan adanya persetujuan KMB, penjajah Belanda memperoleh konsesi di lapangan ekonomi, politik, militer, dan kebudayaan.
Penumpulan Kekuatan Rakyat
Gerakan rakyat bangkit kembali. Dalam periode 1950-1960-an, kekuatan rakyat mengalami perkembangan yang signifikan. Adu argumentasi dan mobilisasi, aksi-aksi massa dan rapat-rapat akbar, semakin mempolarisasikan kekuatan-kekuatan politik ke dalam dua kubu; pro dan anti penjajah (dalam bentuk baru, imperialisme). Dalam adu argumentasi dan mobilisasi, kekuatan pro-penjajah tak mampu menandingi kekuatan anti-penjajah, merasa pasti kalah, sehingga mereka mengandalkan kekuatan tentara, yang, dalam menyelesaikan adu kekuatan tersebut hanya memiliki rumus: represi dan penindasan. Apalagi, fungsi parlemen berhenti saat dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli, 1959. Namun, pada hakekatnya, peristiwa tersebut merupakan pertanda ketidakmampuan elit politik dalam memanfaatkan Trias-Poltika dan kegagalan menciptakan mesin-mesin politik rakyat yang sejati, yang mampu menjadi wadah, alat untuk meningkatkan kesadaran dan mobilisasi rakyat; saat itu, mesin-mesin politik elit takluk di hadapan aparat dan birokrasi warisan kolonial yang bernama tentara. Ia merupakan puncak dari akumulasi kekuatan tentara. Celakanya, tentara Indonesia, yang lahir dari kandungan rakyat, berhasil dikooptasi oleh pimpinan-pimpinan
tentara regular yang berlatarbelakang KNIL (bentukan Belanda) dan PETA
(bentukan Jepang).

Penjajahan Bentuk Baru, Imperialisme!
Sehubungan dengan campur tangan kaum imperialis, sejarah Indonesia memiliki aspek yang unik. Perang Dunia II menghancurkan signifikansi posisi Belanda sebagai negeri imperialis. Jepang tak hanya sekadar menduduki Indonesia, tapi juga menghancurkan basis modal ekonomi dan hegemoni politik Belanda, terlebih-lebih negeri Belanda sendiri diduduki Jerman dan dijadikan ajang peperangan. Belanda tak bisa memulihkan martabat politiknya di Indonesia, walalupun ia turut serta dalam peperangan melawan Jepang. Walhasil, setelah kemerdekaan, kehadiran kepentingan ekonomi Belanda belum bisa dipulihkan sepenuhnya, tak terdapat dominasi mutlak ekonomi Belanda terhadap Indonesia. Apalagi, pada tahun 1957-58, kehadiran ekonomi Belanda mutlak amblas digulung gelombang nasionalisasi, yang oleh Sukarno celakanya hasil-hasil nasionalisasi tersebut diserahkan pada tentara. Dan, saat itu, apa pun penyebabnya, kehancuran ekonomi Belanda di Indonesia tak digantikan oleh dominasi ekonomi neo-kolonial Inggris atau pun Amerika.
Sementara itu, karena ketidakmampuannya untuk bersaing, Indonesia sendiri tak bisa memanfaatkan ruang yang tersedia baginya. Sebagai negeri yang baru merdeka, Indonesia hanya
memiliki pengusaha (atau tuan tanah) yang secara ekonomi dan politik lemah. Disamping itu, tak ada pengusaha asing yang secara ekonomi dan politik dominan. Walaupun Indonesia merupakan bagian Dunia Ketiga yang dikuasai dan diperas oleh sistim imperialis, sebagaimana juga negeri-negeri Dunia Ketiga lainnya; akan tetapi kaum imperialis tak memiliki agen, apakah itu boneka atau pun sekutu, yang ampuh di negeri ini.
Di dunia sudah lama terdapat pertentangan histories antara kaum kapitalis yang BERSENJATA dengan yang TAK BERSENJATA. Di dalam tentara pun terjadi pemilahan di kalangan jendral-jendral yang berpolitik, yang satu mewakili kepentingan kaum kapitalis bersenjata; dan yang lainnya mewakili kepentingan Angkatan Bersenjata sebagai suatu institusi. (Sampai sekarang, kedua faktor tersebut masih ada. Inilah persoalan yang harus dihadapi oleh generasi kaum kapitalis paska tahun 1965, yakni menghadapi kaum kapitalis dari kalangan oligarki kerabat dekat Istana, dalam hal ini pemerintahan Suharto.) Pertentangan historis tersebut akhirnya dapat diselesaikan, dan dimenangkan oleh mereka yang paling dominan dalam penggulingan kekuasan Sukarno (dan para pendukungnya) di tahun 1965-66.
Penghancuran fisik gerakan rakyat yang sadar politik merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh kemenangan politik. Oleh karena itu muncul kebutuhan untuk selalu mengintip setiap kebangkitan gerakan yang berbau kerakyatan.
Hal yang pertama-tama harus ditekankan adalah bahwa kaum kapitalis bersenjata, sebagai suatu faksi politik, sesungguhnya belum banyak makan asam-garam. Pada akhir tahun '50-an, berlangsung dua proses: Pertama, tumbuhnya kelompok kaum kapitalis bersenjata yang, secara sosiologis, barisan depannya adalah Suharto. Menyebut Suharto, karena kelompoknya lah, sepanjang yang bisa ditemukan, yang pertama-tama memiliki bank dan perusahaan ekspor-impor sendiri, serta yang menjalin kontak-kontak luar negerinya sendiri, seperti dengan Malaysia. Kedua, semakin tersingkirnya kepemimpinan tentara yang cenderung ingin membebaskan diri dari kepemimpinan politik para pengusaha (dan para pendukungnya) yang lemah dan terpecah-belah. Nasution dan lain-lainnya mulai mengklaim KEPEMIMPINAN POLITIK atas negeri ini. Perwira tentara seperti Nasution tidak lah bermaksud membuat negara mandiri, akan tetapi ingin diterima sebagai pemimpin politik oleh kekuatan-kekuatan sosial sejenis yang didukung oleh partai-partai konservatif unggulan. Oleh karena itu, di masa Orde Baru, ia lebih dekat hubungannya dengan partai-partai lama pro-kapitalis tak bersenjata, ketimbang dengan para kaum kapitalis yang berasal dari kerabat dekat pelaku-pelaku utama yang telah mengambil alih kekuasaan konstitusional Sukarno sebagai Presiden pada tahun 1965-1966.
Pada masa itu, hal tersebut menciptakan tekanan kepada Angkatan Bersenjata agar mewakili kepentingan kekuatan-kekuatan tradisional konservatif. Tapi, Angkatan Bersenjata berada dalam posisi yang tidak mampu berjuang sendiri dalam menghadapi oposisi kaum demokrat-radikal. Mereka malah bersaing dengan kepemimpinan tradisional konservatif, yakni partai-partai yang terpecah-belah dan tak berkemampuan. Yang jelas, mereka juga tak bisa bersekutu dengan gerakan buruh-tani. Situasi tersebut membawa mereka masuk ke dalam aliansi dengan Sukarno. Faksi Soeharto, dengan kekuatan KOSTRAD-nya, berhasil mengambil-alih kepemimpinan dalam operasi kontra gerakan. Momentum yang berhasil diambil ini kemudian bisa dipertahankan oleh Soeharto, yakni dengan cara memainkan sekutu-sekutu sipilnya (termasuk demonstrasi-demonstrasi mahasiswa pada tahun 1966) dalam mensukseskan pembantaian jutaan rakyat Indonesia.

Penggulingan Soeharto dan Reformasi (Total) yang Dikhianati Gerakan rakyat bangkit kembali. Hanya setelah kurang dari 10 tahun, tepatnya tahun 1974, kekuatan Orde Baru sudah kehilangan keabsyahannya di mata rakyat, sejuta lebih rakyat turun ke jalan menolak dan melawannya; atau, mereka yang sadar, bahwa betapa mudahnya upaya pengembangan demokrasi dan modernisasi digagalkan tentara, bergerak lagi menolak dan melawan Orde Baru. Dan mengalami KEGAGALAN. Namun, 4 tahun kemudian, gerakan tahun 1978 bergerak lagi melawan dan menohok langsung kekuasaan Orde Baru. Dan, gerakan tahun 1978, sekali lagi, selesai dengan kegagalan.1 Seperti habis gelap terbit lah terang; saat kaum muda tahun 1980-an dan 1990-an bergerak lagi.2 (Namun, kebekuan ini patut dimaklumi, karena: keberhasilan menghancurkan gerakan MALARI '74 dan gerakan mahasiswa '78, dianggap oleh rejim Orde Baru sebagai moment konsolidasi bagi mereka untuk lebih konsisten dalam menindas oposisi, baik dalam bentuk ideology penindasnya, pembangunan; P4; demokrasi Pancasila; demokrasi Timur; demokrasi terbatas; demokrasi bertanggungjawab; demokrasi bukan liberal bukan komunis; musyawarah mufakat bukan voting; kekeluargaan; gradualisme; kesederhanaan; tepo seliro, dan lain sebagainya, maupun dalam bentuk struktur politik penindasnya, perluasan struktur intelejen; perluasan dualisme struktur dwifungsi ABRI; korporatisme/integralisme terhadap seluruh sektor masyarakat; cengkraman lebih dalam terhadap birokrasi pegawai negeri dan dunia pendidikan/akedemis; syarat-syarat hidup yang lebih ketat terhadap media massa. Selain itu juga kebekuan tersebut juga diakibatkan karena sogokan beberapa tahun saja hasil boom minyak.) Kebekuan ini membuat gelisah kaum muda. Kaum muda tahun 1980-an dan tahun 1990-an, mereka yang menerima keyakinan demokrat-radikal ini-lah yang setahap demi setahap mampu membuka ruang demokrasi dengan AKSI MASSA. Sehingga AKSI MASSA mulai diterima secara meluas ke segala sektor masyarakat sebagai ALAT perjuangannya. Gerakan kaum muda ini lah yang sanggup membuka peluang dijatuhkannya Soeharto, elit-elit politik. Dan partai politik "terkemuka" hanya lah menjadi benalu tak tahu malu, jangan kan menyerukan bergabungnya kaum muda dalam pemerintahannya, berterima kasih pun tidak, bahkan secangkir teh manis pun tak mereka suguhkan saat mereka, kaum muda pemberani, berada dalam penjara Orde Baru.
Setelah kejatuhan Soeharto, terbukalah ruang yang lebih luas bagi peserta-peserta politik "terkemuka" untuk memanipulasi kesadaran palsu massa, namun keterbukaan itu sendiri mulai memecah dukungan massa pada manipulator-manipulator lainnya (misalnya, dukungan bukan saja didekasikan rakyat pada PDI-P tapi juga pada PKB, PAN, bahkan GOLKAR "Baru".) Namun, bersamaan dengan itu juga, agitasi-propaganda untuk menyadarkan rakyat atas kebobrokan elit politik pimpinannya, sehingga rakyat memperoleh kesadaran sejatinya, memiliki potensi, memperoleh momentumnya. Kesulitan pelaksanaan untuk beragitasi-propaganda, karena harus menghadapi penindasan pemerintahan Megawati dan sekutu-sekutunya, adalah persoalan teknis-taktis, yang tak boleh menjatuhkan prinsip untuk meningkatkan kesadaran rakyat akan kekuatannya sendiri. Kapan lagi saatnya; tak mungkin dan tak masuk akal mengharap kehadiran "tangan asing" untuk menghancurkan rejim yang anti rakyat. Jangan pernah sekali-kali kita terbangun oleh mimpi buruk, seperti yang dialami oleh rakyat Irak.
Silih berganti kekuasaan ditapaki oleh elit politik dinegeri ini, dan silih berganti pula kegagalan dan kepahitan harus ditelan. Kegagalan dalam mengenyahkan sisa-sisa kekuatan lama (Orde Baru); kegagalan dalam mengkukuhkan sistem masyarakat dan ketatanegaraan baru; dan kegagalan menghasilkan kebijakan yang bisa mensejahterakan rakyat, bebas dari penghisapan /penindasan kaum modal serta militerisme.
Perubahan politik pada tahun 1998, pada dasarnya, atau seharusnya, merupakan perubahan untuk menghancurkan sistim kediktatoran, untuk mendirikan sistem yang demokratis. Kelompok sosial
manapun yang, pada masa Orde Baru, tak memiliki kejahatan, atau tidak turutserta dalam struktur kekuasaan, baik secara ekonomi maupun secara politik, punya kepentingan terhadap perubahan tersebut, yang dengan ideologi dan program-programnya, dalam derajat tertentu, mendapat persetujuan dari rakyat. Kenyataannya sekarang adalah: sisa kediktatoran tetap
berdiri semakin kokohdan kesejahteraan rakyat justru makin merosot. Penyebabnya: pertama, factor historis kelemahan elit politik Indonesia yang pengecut, oportunis, dan plin plan, sehingga reformasi (total) tak sampai ke tujuannya. Apa yang mereka sisakan sekadar ketidapuasan dan keresahan rakyat. Kedua, kelemahan subyektif gerakan demokrasi yang, walaupun dalam kadar tertentu, telah memiliki kesadaran yang lebih maju dalam menyikapi Orde Baru, namun tak sanggup merebut dan membangun alat-alat politiknya, terutama organisasi persatuan (front), untuk menyebarkan kesadaran maju secara massal kepada rakyat, sehingga mampu membongkar propagadanda palsu dari elit politik "terkemuka".



SITUASI POLITIK NASIONAL
(Rakyat dan Kaum Muda Progresif Yang Harus Mengambil Inisiatif, Bukan Elit Politik Konservatif!)
Krisis dan Perang Melawan Terorisme
Saat ini, kaum imperialis terus menekan Indonesia. Intervensi kebijakan ekonomi neoliberal (yaitu, liberalisasi pasar; pemotongan subsidi rakyat; privatisasi asset Negara/BUMN; liberalisasi impor) yang belakangan semakin intensif melalui berbagai alat-alatnya [IMF, WB, CGI, Paris Club, dsb] ternyata belum dianggap cukup ampuh sebagai solusi bagi krisis umum kapitalisme dewasa ini. Imperialis pun memerlukan intervensi politik-ideologis; Indonesia harus mendukung serta terlibat aktif dalam barisan perang melawan terorisme yang belakangan ini gencar dikampanyekan oleh kaum imperialis, terutama Amerika dan sekutu terdekatnya [Inggris dan Australia]. Kedua tindakan tersebut pada hakekatnya adalah solusi muktakhir krisis umum kapitalisme dunia.
Tindakan pertama, merupakan solusi ekonomi mendesak yang semakin tidak bisa ditawar-tawar lagi, dengan latar belakang dan tujuannya yaitu:
• Perekonomian negeri-negeri imperialis utama yang terus memburuk.
• Pembukaan pasar yang lebih luas lagi dan liberalisasi investasi --terutama privatisasi BUMN dan aset-aset negara sitaan dari konglomerat lama yang masih mempunyai potensi pasar, yang saat ini dikelola oleh BPPN.
Tindakan kedua, bermakna politis-ideologis sekaligus ekonomis, dengan latar belakang dan tujuannya yaitu:
• Untuk mengalihkan kesadaran rakyat, baik rakyat di negeri-negeri imperialis sendiri maupun masyarakat internasional, dari krisis ekonomi global dan ekses-eksesnya.
• Kenyataan bahwa dalam setiap tindakan imperialis tidak bisa lepas dari motif-motif akumulasi kapital.
• Untuk menggalang dukungan politis "perang melawan terorisme" yang mendatangkan keuntungan bagi industri senjata imperlialis (khususnya Amerika Serikat).
• Menjadi legitimasi untuk memaksakan dominasi (pencaplokan) imperialis kepada negara-negara yang tidak mau tunduk pada kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik [terutama imperialis terkuat] AS seperti yang dialami oleh Rakyat Afhganistan, Venezuela, Irak dll.

Kelemahan sistemik yang dialami oleh borjuasi nasional (partai-partai besar pemenang pemilu, intelektual pembimbang, tentara, dsb), faksionalisasi yang tajam dan instabilitas kekuasaannya, mempermudah masuknya seluruh kepentingan negeri-negeri imperialis. Pada kenyataannya, seluruh faksi modal (borjuasi nasional) selalu bersiap-siap untuk menanti kesempatan berkuasa, malahan dianggap berkah, karena ceceran modal yang diperoleh dari tuan modal barunya [imperialis] lebih menjanjikan dibanding dengan ceceran dari borjuasi nasional yang justru berada dalam kondisi sebaliknya, sedang sekarat.

Kolaborasi Imperialisme dan Militerisme
Histeria anti terorisme telah dibangun sedemikian rupa hingga seluruh perhatian rakyat serta konsentrasi sejumlah elite politik untuk sementara terarah pada persoalan ini. Terorisme, setelah tragedy bom di Bali, bukan lagi menjadi isu yang hanya dikonsumsi masyarakat internasional, melainkan juga dibuat menjadi satu ancaman ekonomi politik yang utama di tengah situasi krisis ini. Ada benarnya juga anggapan bahwa membanjirnya berbagai analisa dan berita tentang terorisme di sebagian media massa adalah bagian dari upaya rezim Mega Hamzah untuk mengalihkan perhatian rakyat dari kegagalan program-program ekonominya. Meskipun peledakan bom di Bali juga dilihat sebagai bagian dari keseluruhan kegagalan pemerintah Mega Hamzah dalam memberi makan dan rasa aman bagi rakyat, namun terorisme adalah unsur yang "spesifik" dalam daftar kegagalan dan impotensi rezim ini.
Dampak yang dihasilkan dari keluarnya Perpu 1/2002 adalah restorasi dan relegitimasi kekuatan ekonomi politik militer di Indonesia. Legitimasi internasional telah digenggam, yang pada gilirannya akan mengucurkan akses TNI pada informasi, bantuan peralatan dan pelatihan
militer serta keuangan. Melihat ekses kasus bom di Bali, seluruh kekuatan politik mainstream di dalam negeri pun menyetujui sepenuhnya Perpu Anti Terorisme tersebut, hal ini tentu saja menjadi kredit point lainnya dari kebangkitan militerisme. Hari-hari ini memang kekuatan Islam radikal yang menjadi korban dari Perpu, namun pada akhirnya seluruh gerakan demokratik berpotensi besar menjadi korban berikutnya.
Bahaya ini bukannya mengada-ada. Gelombang represi terhadap aksi-aksi massa dan penangkapan aktifis gerakan rakyat terus meluas. Militer tidaklah pasif dalam hal ini, mereka selalu aktif mengkondisikan, mengendap-endap, dan mengintip setiap ruang kegagalan [dan memang mustahil berhasil dalam makna konsolidasi yang stabil] kekuasaan borjuasi sipil sebagai kegagalan reformasi, mengkambing-hitamkan reformasi dan gerakan demokratik. Itulah kenapa dengan bersemangat KSAD dan Hendropriyono langsung menuduh gerakan separatis dibalik kasus bom Bali, walau pada akhirnya sebagai langkah awal ditujukan kepada gerakan radikal Islam.
Anehnya, meski sudah bisa ditebak sebelumnya, hampir tidak ada perlawanan dari kelompok-kelompok Islam terhadap segala tuduhan internasional, kecurigaan rezim Mega, penangkapan Abu Bakar Ba'asyir dan keluarnya perpu. Kelompok Islam yang sesungguhnya bisa memanfaatkan isu ini sebagai momentum politik penggalangan solidaritas, upaya mencari muka
pada rakyat dan unjuk kekuatan [seperti dalam kasus Palestina dan perang], justru tidak berkutik.
Bagi kita Perpu anti Terorisme ini menjadi stempel yang secara total membenarkan prediksi kita tentang menyempitnya ruang demokrasi di bawah penguasa Mega Hamzah. Namun, dengan berbekal propaganda rasa aman serta tetek bengek stabilitas dan pemulihan ekonomi, rakyat yang sedang menanggung dampak krisis dan belum menemukan alternatif dan ditambah situasi panik paska teror yang terus dikondisikan oleh media massa borjuis menjadi gampang tergiring untuk memberikan reaksi pasif bagi keluarnya perpu atau setidaknya pasif pula dalam melakukan penentangan. Begitu pula dengan munculnya RUU atau undang-undang yang semakin refresif, RUU TNI, UUK, dll.
Tantangan selanjutnya adalah memaksimalkan intervensi kekuatan rakyat untuk meng-counter dan menyerang balik rezim, menentang kebangkitan militerisme. Hingga saat ini belum muncul suatu gerakan massa dalam jumlah besar dan reguler, seperti yang telah ditunjukkan kaum buruh dan borjuis kecil Eropa dalam isu anti perang dua bulan belakangan ini. Akumulasi Krisis serangan imperialisme telah menggerogoti produktifitas nasional dalam berbagai sektor (yang sudah disinggung cukup banyak adalah pada sektor petani). Penurunan kapasitas produksi, yang ditandai dengan penutupan pabrik-pabrik dan pengurangan jam kerja wajib sudah mulai terjadi di beberapa kawasan industri. Namun sejauh ini PHK missal yang mendepak sampai dengan jumlah ratusan ribu dalam waktu yang singkat belum terjadi (misalnya kasus di AS, PHK terhadap puluhan ribu buruh World.com, industri baja, dll).
Dari beberapa gejala yang muncul, dapat disimpulkan bahwa serangan ini akan semakin masif pada tahun 2003. Beberapa tanda sudah muncul sejak sekarang, seperti pengumuman pemerintah tentang kenaikan harga gas elpiji, listrik, dan telepon. Dalam RAPBN tahun 2003 pemerintah telah menargetkan untuk memotong subsidi sebesar 38,5%, dan bagian terbesar dari pemotongan subsidi tersebut terjadi pada sektor BBM. Kebijakan pemerintah mengenai prosentasi kenaikan upah buruh pun jauh lebih rendah dibandingkan dengan kenaikan pada dua tahun sebelumnya. Tercatat kenaikan untuk tiap region berkisar antara 7 sampai 15%. Prosentase tertinggi adalah untuk daerah Jawa Barat—Bandung ±13%, dan salah satu daerah di Kalimantan sebesar 15%.
Sementara untuk daerah yang lain hanya prosentasenya hanya satu digit. Jadi rata-rata kenaikan upah tahun 2003 hanya ± 10%. Kinerja ekspor ditahun 2002 ini memburuk, menurut Biro Pusat Statistik, secara kumulatif ekspor untuk Januari-September 2002 mengalami penurunan 2,78 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya, yakni dari 43,69 milyar dollar AS menjadi 42,48 milyar dollar AS. Gambaran dari krisis umum kapitalisme juga berpengaruh besar terhadap Indonesia. Misalnya saja dalam hal investasi, Econit menyatakan bahwa angka persetujuan PMA semester I tahun 2002 anjlok sebesar 41% dibandingkan periode
yang sama tahun 2001, sementara realisasi investasi PMA juga menurun drastic dari US$ 4,3 miliar menjadi US$ 2,5 miliar untuk semester I tahun 2002. Untuk periode yang sama nilai investasi modal dalam negeri [PMDN] anjlok 71%, dari Rp. 37,7 triliun menjadi 10,9 triliun. Penggunaan kapasitas produksi nasional juga terus menurun, jika di tahun 2001 hanya mencapai angka 70%, saat ini bahkan merosot ke angka dibawah 60%. Industi Kulit dan produk kulit misalnya, penggunaan kapasitas ini bahkan dibawah angka 22%, padahal sebelum ledakan krisis sektor industri ini penyumbang devisa terbesar kelima untuk komoditi non migas. Industri perkayuan mendekati ajalnya, menimbulkan PHK besar-besaran terutama, di Kalimantan pada awal tahun 2002. Dari seluruh industri perkayuan dan kehutanan saat ini yang masih beroperasi tidak lebih dari 50% dibandingkan sebelum krisis, selebihnya mengalami kebangkrutan.
Bagi kelas buruh perkembangan ini hanyalah vonis bahwa PHK-PHK missal akan terus berlanjut, dan juga merepresentasikan bahwa perkembangan tenaga produktif yang dihambat oleh hubungan produksi menuntut rasionalisasinya yang dalam batasan-batasan sistem kapitalisme adalah neoliberalisme, krisis dan ekses-eksesnya.

Kasus Pemutusan Hubungan Kerja Tahun 2002
Bulan Kasus PHK Tenaga Kerja Ter-PHK
Januari 149 4.544
Februari 140 4.997
Maret 179 12.407
April 197 8.310
JUMLAH 665 30.258
Data Januari s/d April 2002
Sumber : Ditjen Binawas - Depnakertrans



Imperialis Neoliberal Menggulung Borjuasi Nasional
Borjuasi nasional semakin tidak bisa bertahan menahan gempuran imperialisme. Dimana-mana mereka berteriak-teriak, mengemis, mengetuk-ngetuk pintu nasionalisme dari rejim Mega Hamzah. Sungguh malang mereka, nasionalisme telah menjadi usang ditengah hantaman krisis ekonomi dan ekses-eksesnya yang menyebabkan jeratan imperialis menjadi semakin dikokohkan, dilekatkan seerat-eratnya. Yang tersisa dari nasionalisme hanyalah kekejiannya, terutama untuk kepentingan imperialis dan fraksi modal Jakarta guna meredam tuntutan Rakyat Aceh dan Papua untuk mengamankan kepentingan modal imperialis yang sudah mapan di kedua daerah tersebut, dan [sebenarnya] juga gerakan demokratik secara keseluruhan. Hanya sedikit artifisial kekuasaan politik negara dari mantra nasionalisme yang terisa, yang tidak signifikan, bendera, lagu kebangsaan, dan jargon persatuan dan kesatuan dan sejenisnya. Mereka ini terutama, bourjuasi-komprador yang dahulu tumbuh di sekitar kekuasaan, yang dengan sisa-sisa kemampuannya memberi ceceran uang jarahannya kepada fraksi borjuis manapun yang berkuasa di berbagai instansi [parlemen, birokrasi, BPPN, dsb] berusaha menghambat transformasi eks aset-asetnya ke tangan imperialis. Tapi mengalami kegagalan, paling banter mereka hanya diberi konsesi keringanan hutang [dengan berbagai subsidi], penalangan hutang, sedikit bagi hasil jarahan uang rakyat dari proses penjualan eks aset-asetnya ke tangan pemodal baru [yang didominasi asing], membawa lari hasil jarahannya ke luar negeri.
Sementara eks aset-asetnya hanya menunggu waktu, karena harus dipoles dulu, lagi-lagi dengan tanggungan rakyat melalui berbagai subsidi. Faksi ini kadang-kadang juga menggunakan isu-isu nasionalisme, terutama untuk merebut kembali eks asetnya yang sedang dijajakan untuk dijual agar tidak jatuh ke tangan imperialis namun tak memperoleh sukses besar. Bukannya menumbuhkan klas borjuasi yang tangguh, tapi justru menambah ketergantungan yang semakin besar terhadap negeri-negeri imperialis, karena industri yang berkembang itu tidak integratif, tidak dikembangkan diatas basis perkembangan-perkembangan tenaga produktif domestik, dan tidak dalam kerangka melawan hambatan-hambatan yang dijeratkan oleh imperialisme.
Ketergantungan teknologi, bahan baku, modal [terutama hutang luar negeri]. Walau kemudian dirubah menjadi industri berorientasi ekspor, ketergantungan menjadi semakin bertambah, yaitu pasar. Sementara ketergantungan yang lama tetap tidak mengalami perubahan yang berarti. Dari tingkat skala operasional perusahaan dan jumlah pekerja upahannya, seluruh sektor perusahaan yang dikategorikan perusahaan besar dan sedang mayoritas berada dalam dominasi fraksi modal tersebut, sebagian juga asing [terutama pertambangan penting, industri kayu –yang saat ini tidak tersisa lagi--, jasa, dan belakangan juga perbankan, retail, eks perusahaan BUMN dsb]. Dari keseluruhan jumlah perusahaan di Indonesia yang dikategorikan perusahaan besar dan sedang ini menurut Bappenas prosentasenya sangat kecil hanya sekitar 0,88%, tapi menyerap tenaga kerja sekitar 40,1% dari sekitar 90,8 juta pekerja upahan di Indonesia. Sementara selebihnya, sekitar 99% adalah perusahaan kecil dan perusahaan rumahan/keluarga yang menyerap sekitar 59,8% tenaga kerja.
Sementara yang paling malang adalah para borjuasi menengah/sedang dari enclave-enclave industri yang basis teknologinya rendah, yang ketergantungan [teknologinya, bahan bakunya, modalnya, pasarnya] terhadap imperialis sangat tinggi seperti tekstil, kulit, sepatu, perkebunan [kopi, sawit, karet, coklat, cengkeh dsb], baja. Ketergantungan ini tidak hanya menimpa industri-industri yang berorientasi ekspor, tapi juga yang orientasi pasarnya untuk memenuhi kebutuhan domestik. Dengan runtuhnya sektor ekonomi modern Indonesia akibat hantaman krisis, Indonesia lebih menyerupai daerah koloni baru, daerah tempat imperialis asing dengan kecongkakan akumulasi modalnya bisa memilih perusahaan ini yang akan diambil alih, yang itu dibangkrutkan saja, memasok pasar Indonesia dengan barang-barang yang lebih murah.
Sebanding itu pula tenaga produktif Indonesia yang rendah teknologi [di seluruh sektor industri], hasil penggadaian sumber daya alam di Indonesia telah dan sedang mengalami kehancuran, serta terhenti potensi kemajuannya.
Rengekan mereka (borjuasi lokal) tak membuat penguasa bergeming, karena upeti yang diperoleh penguasa dari tuan modal barunya, tuan-tuan imperialis lebih besar. Untuk menutupi ketidakmampuannya/kepengecutannya mereka pun mencari kambing hitam yang paling mudah: ketidakamanan akibat pemogokan buruh, perlawanan petani penyebab dari kesulitan ekonomi dewasa ini. Tidak masuk dalam kesadaran mereka bahwa untuk meredam keresahan rakyat akibat beban krisis ini dengan misalnya mengurangi tingkat eksploitasi nilai lebih terhadap klas buruh dengan menghancurkan biaya siluman [manifestasi politiknya tidak lain adalah menuntut pencabutan dwi fungsi TNI], dengan menentang dominasi imperialis misalnya. Bayang-bayang ketakutannya menghadapi pemogokan-pemogokan buruh, perlawanan petani mengkandaskan sandarannya terhadap demokrasi borjuis.

Hancurnya Basis Produksi Pangan
Kemiskinan kaum tani akibat liberalisasi impor pangan ini sudah merata ke seluruh sektor produksi pangan, dimana hampir seluruh populasi kaum tani terkena dampaknya. Hal ini tidak semata-mata karena rendahnya produktifitas karena rendahnya teknologi dan manajemen produksi [walaupun hal ini adalah yang utama], tapi juga penghisapan oleh imperialisme melalui politik dumping. Dimana proteksi pertanian di negeri-negeri imperialis utama, yang secara keseluruhan ditaksir menghabiskan anggaran untuk subsidi industri pangannya sebesar US$ 300 milyar per tahunnya. Mereka [terpaksa] untuk meredam perlawanan massa membeli lebih mahal produk pangan domestic yang berlebihan produksinya dan kemudian menjual dengan lebih murah melemparnya ke pasar negeri-negeri terbelakang, selagi masih mempunyai nilai ekonomis seberapapun itu daripada dibuang ke laut. Dan dalam jangka panjang politik dumping, anarkisme pertukaran kapitalisme ini akan menimbulkan dampak yang lebih mengerikan, menghancurkan industri pangan yang menjadi pesaingnya.
Liberalisasi perdagangan ini tidak akan memberi basis kemajuan produktif kaum tani, imperialis hanya membutuhkannya sebagai pasar saja. Produktivitas yang tinggi dari industri pangan di negeri-negeri maju membuat investasi langsung dibidang pangan di negeri-negeri berkembang dan terbelakang tidak menarik secara ekonomis, yang lebih pokok arus investasi memang hanya sedikit saja yang mengalir keluar dari triad imperialis [Eropa-AS-Jepang], yang sedikit itulah yang diperebutkan oleh puluhan negara di Asia-Afrika-Amerika Latin-Eropa Timur. Oleh karena itu tindakan Mega Hamzah membuka kran impor pangan seluas-luasnya adalah pengkhianatan terhadap kaum tani yang tidak bisa diampuni lagi, tindakan yang bahkan tidak berani ditempuh oleh negeri-negeri imperialis.
Gejala kehancuran tersebut, saat ini menimpa petani tebu, industri tebu, petani kedelai, tembakau, dan sebenarnya hampir seluruh produksi perkebunan [kopi, cengkeh, karet, sawit dsb]. Ekses-eksesnya, misalnya:
Produksi Kedelai Nasional [ton]
Tahun Produksi
1992 1.869.713
1993 1.708.528
1994 1.564.847
1995 1.680.007
1996 1.517.181
1997 1.356.891
1998 1.304.950
1999 1.382.848
2000 1.017.534
2001 826.932
2002 743.953
Sumber: BPS, dikutip dari Kompas [4/11].
Liberalisasi impor gula telah mengakibatkan jumlah pabrik gula menyusut karena bangkrut, jika di tahun 2000 berjumlah 70 pabrik gula, ditahun 2001 sebanyak 11 pabrik telah ditutup. Ketidakberpihakan pemerintah juga terlihat jelas dari kebijakannya yang mengabaikan kepentingan kaum tani. Produktifitas petani terus mengalami kemerosotan, seperti laporan Departemen Kehutanan dan Perkebunan, tingkat produktifitas gula misalnya hanya mencapai 5,14 ton/hektare, bandingkan dengan tahun 1941 yang pernah mencapai tingkat produktifitas 20 ton/hektare. Padahal jumlah rakyat yang menggantungkan hidupnya pada tanaman tebu ini sekitar 12,5 juta jiwa.

Konsumsi dan Impor Gula Nasional [ribu ton]
Tahun Konsumsi Impor
1990 2.344 304
1991 2.489 330
1992 2.617 355
1993 2.692 239
1994 2.805 120
1995 2.630 574
1996 2.750 850
1997 3.363 1.364
1998 3.300 1.811
1999 2.800 1.702
2000 3.200 1.949
2001 3.500 1.600
Sumber: Dewan Gula Nasional 2002
Tingkat konsumsi gula dalam negeri per tahun adalah sebesar 3,2 juta ton, kemampuan produksi dalam negeri sebesar 1,8 juta ton. Jadi ada kekurangan stok 1,4 juta, jika tidak ada penambahan stok gula yang akan terjadi adalah kenaikan harga ditingkat konsumen. Liberalisasi impor rokok dan kebijakan Mega Hamzah yang lebih mengutamakan pendapatan dari pemerasan rakyat melalui pajak [cukai] telah menyebabkan kehancuran bagi petani tembakau. Hal telah menyebabkan harga tembakau anjlok ratusan persen, dari Rp. 30-40 ribu per kg menjadi hanya Rp.3000-4000 per kg belakangan ini. Inilah basis dari radikalisme petani tembakau pada bulan Oktober yang lalu yang menuntut diturunkannya cukai rokok. Juga pembatalan PP No. 81 tahun 1999, yang direvisi menjadi PP No.38 tahun 2001 tentang batasan kandungan nikotin dan tar tembakau, yang pemberlakuannya ditunda beberapa tahun ke depan.
Pembusukan Kekuasaan Politik Mega Hamzah dan Sisa Orde Baru Konservatisme paling mutakhir sekaligus paling brutal dari penguasa Mega Hamzah dan para politisi Orde Baru ditunjukkan dengan keluarnya perpu.No.1/2002. Tahun 2002 kemarin ditutup dengan serangkaian pengkhianatan besar-besaran dari para musuh rakyat, dengan perpu tersebut sebagai kulminasinya disamping berbagai kebijakan neoliberalnya yang akan memangkas habis hak-hak kesejahteraan rakyat yang tersisa. Meskipun penguasa bisa memberi dalih keamanan nasional untuk memanipulasi niat jahat di balik keluarnya perpu tersebut, namun beberapa kasus lain sesungguhnya telah dengan sangat jelas menampakkan konservatisme ini.
Rekomendasi Mega bagi DPP PDI untuk memilih Sutiyoso, kriminal 27 Juli sebagai gubernur DKI, telah menyumbang percepatan pembusukkannya sendiri; jauh lebih cepat dari berbulan-bulan kerja keras agitasi dan propaganda organisasi-organisasi demokratik. Pembusukkan reputasi politik Mega secara pelan tapi pasti ternyata diikuti juga oleh pembusukkan partainya sendiri. Misalnya, Ade Indira Damayanti dan Meilono Soewondo, keduanya adalah anggota Dewan Pimpinan Pusat PDI-P, telah mengumumkan keterlibatan sejumlah kader PDI-P dalam kasus suap dan money politics di parlemen. Yang menarik adalah respon dari Mega dan PDI-P sendiri akan hal ini. Tidak ada upaya untuk melakukan investigasi internal, PDI-P justru mengeluarkan ancaman dan gertakan terhadap kedua kader partai ini.
Posisi Golkar saat ini rentan karena friksi internal akibat kasus korupsi dana Bulog Akbar Tandjung. Kasus itu juga menimbulkan kesulitan bagi Golkar untuk melakukan manuver-manuver politik kotornya dipanggung nasional. Golkar mencoba terus memenangkan posisi-posisi kekuasaan/birokrasi di daerah. Di Sulawesi Selatan, salah satu tokoh Gokar yang tenar paling korup, yaitu Nurdin Halid, justru didukung oleh PDI setempat. Demikian juga di Sulawesi Tengah. Panggung konflik kekuasaan politik meluas dan belum pulihnya citra politik Golkar di panggung nasional membuat golkar intensif menguatkan posisinya dengan merebut dan mengkonsolidasikan kekuatannya di daerah-daerah [terutama di Luar Jawa]. Meski demikian, jangan dikira membuat konservatisme di tubuh partai-partai lain mengering.
Konservatisme telah meluas sedemikian rupa, sehingga Golkar tampaknya tidak terlalu berguna lagi sebagai patron politik para reformis gadungan dan kekuatan Orba. Selain tak bergigi karena tengah dicekik konflik internal, partai-partai lain semacam PDI-P, PPP, PAN dan PBB sungguh-sungguh telah, sedang, dan akan menjadi sarang pengkhianat demokrasi.
Konflik ekonomi dan politik dari fraksi-fraksi kekuatan modal saat ini medannya telah meluas, tidak hanya ditingkat nasional, sejalan dengan menguatnya posisi politik/otonomi daerah terhadap Jakarta terjadi pula perluasan distribusi modal, konflik itu juga meluas didaerah-daerah. Akar atau muara dari konflik ini hampir serupa: ketertindasan rakyat akibat krisis, pembusukan birokrasi di daerah-daerah [KKN dsb], perebutan kekuasaan di lokal-lokal --menguatkan pemicu yang ketiga yang seringkali faksi-faksi kapital lokal menggunakan sentimen SARA untuk mencapai kepentingan-kepentingannya sehingga sering menimbulkan ekses konflik horizontal seperti di Poso, Ambon dsb -yang terakhir ini sebenarnya telah berlangsung sejak jaman kolonial.
Di akhir tahun 2002, kita kembali menyaksikan bagaimana sejatinya pemerintahan Mega-Haz. Para konglomerat yang mengkorup uang rakyat dan BLBI yang mekanisme pengembalian utangnya penuh manipulasi justru diberi jaminan bebas dari tuntutan hukum oleh Pemerintah (R & D). Ini adalah persekutuan keji antara borjuis kecil kemaruk yang dengan menggenggam kekuasaan mengeruk sebanyak mungkin keuntungan ekonomi berkolusi dengan borjuasi lama.

KEBUTUHAN MENDESAK: KEPEMIMPINAN POLITIK PROGRESIF
Basis Utama bagi Gerakan Buruh
Perlawanan kaum buruh secara umum mengalami peningkatan. Kualitas dan kuantitasnya bisa dibaca mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Meski demikian, kekuatan, daya pukul dan kualitas perlawanan itu sama sekali tidak merata, baik dari segi teritorial maupun sektor industri tertentu. Meskipun jumlah pemogokan meningkat, namun yang perlu dicatat adalah aksi-aksi buruh itu mayoritas dilancarkan setelah perusahaan mengeluarkan daftar PHK atau deklarasi atas kebangkrutan dan penutupan pabrik. Sehingga, spontanitas memang masih menjadi ciri yang melekat pada perlawanan buruh, karena sikapnya yang baru pada tahap menanggapi tindakan para pemilik modal, serta terbatas pada persoalan ekonomi, ketimbang merupakan hasil inisiatif dari kelasnya sendiri untuk melawan dan memberontak. Apalagi perlawanan ini belum menemukan satu bentuk dan tujuannya sama sekali, dalam periode transisional apalagi strategis. Sehingga selain spontan, ia juga masih sporadik dan sendiri-sendiri. Perlahan-lahan ciri ini mulai mencair. Meskipun secara umum memang wataknya masih spontanitas yang pasif, namun dari beberapa momentum telah menunjukkan perubahan yang cukup maju dan menimbulkan optimisme.
Momentum Satu Mei dan penolakan terhadap UUK dan RUU PPHI menjadi bukti kebangkitan embrionik bentuk perlawanan yang lebih terorganisir, lebih berwatak multi sektoral, serta berkarakter aktif dan politis dalam tuntutan dan sikapnya. Secara keseluruhan perkembangan maju gerakan kelas buruh relatif belum cukup terintegrasi dengan arus perkembangan perjuangan demokratik. Dari ratusan kali aksi pemogokan yang berlangsung sepanjang satu tahun ini, belum cukup berkembang luas yang berada dalam orbit program-program perjuangan demokratik. Mayoritas masih dalam arus perlawanan spontan yang berkembang dari proses alamiah perlawanan kelas buruh, maupun opurtunisme program-program yang yang dipasokkan elemen-elemen diluar kelas buruh [kaum ekonomisme dan aliran opurtunisme lainnya]. Kemudahan-kemudahan dari atmosfir radikal perlawanan spontan belum mampu diakumulasikan menjadi energi revolusioner, baik dalam makna program maupun wadah-wadah politik massa.


IMPERIALISME dan KOMPRADORNYA; MUSUH KAUM TANI
Perlawanan kaum tani yang selama ini terikat tangannya pada tuntutan tanah, saat ini sudah mampu meluaskan cakrawala perjuangannya. Sebenarnya, sebagai gejala kesadaran kaum tani dari kungkungan tuntutan akan tanah yang menjadi ciri pokok dari partisipasi kaum tani dalam penuntasan reformasi total, dan menjadi tipe yang berbeda di Indonesia, sudah menunjukan bahwa kaum tani mampu bergerak lebih jauh dari ciri revolusi demokratik dalam makna Eropa. Kaum tani juga bergerak atas landasan hak-hak demokratiknya, menjatuhkan ratusan kepala desa dan bahkan beberapa juga bupati karena gugatan terhadap KKN, serta penentangannya terahadap ekspansi neoliberalisme, dll. Saat ini, walaupun perlawanan menuntut tanah terus berlangsung, perlawanan kaum tani mendapat basis perluasannya yang melibatkan populasi yang lebih luas. Kepemilikan tanah yang sempit, rendahnya basis teknologi dan manajemen produksinya menyebabkan kaum tani menjadi korban senyata-nyatanya dari serangan nafsu serakah imperialisme. Akumlasinya telah berlangsung sejak krisis ekonomi di pertengahan tahun 1997.
Dari hari ke hari kenistaan imperialisme terus menggiring petani pada batas kemampuannya untuk bertahan hidup, meniadakan alternatif lain kecuali melawan. Penghapusan subsidi pupuk, liberalisasi impor pangan ditahun 1998-1999 telah menghasilkan letusan-letusan perlawanan. Dan kini sisa-sisa letusannya terus mendapatkan bahan bakarnya. Belakangan aksi menentang liberalisasi perdagangan membesar, seperti yang ditunjukkan oleh para petani tebu, cengkeh, peternak unggas, dsb. Juga halnya kaum nelayan mendapat pasokan radikalismenya yang juga dari ekses-ekses yang muncul dari kebijakan neoliberalisme; penghapusan subsidi BBM, konflik kelas antara kelas pemilik modal/pemilik kapal penangkap ikan besar/pukat harimau/bagang, nelayan asing, tengkulak ikan, dengan nelayan miskin, dsb. Meletus diberbagai tempat.
Seperti halnya kelas buruh, arus perlawanan kaum tani dan nelayan mayoritas masih bersifat spontan. Bukan berarti tidak ada kemajuan. Beberapa perkembangan bisa menunjukkan arah perlawanan yang makin maju: mulai menyatunya petani dari lokal-lokal yang berbeda bergerak dalam aksi massa dengan isu yang sama dan relatif terorganisir, sehingga terlihat militansi dan daya tahannya cukup lama -misalnya petani tebu dari berbagai lokal [terutama sepanjang Pantura] sudah berkali-kali melakukan aksi serentak dengan sasaran aki pusat-pusat kekuasaan di perkotaan. Kurangnya intervensi dari elemen-elemen yang lebih maju di kalangan kaum tani menyebabkan proses integrasi dengan gerakan demokratik berjalan sangat lambat.
Tingkat represi terhadap aksi atau gerakan rakyat yang meningkat akhir-akhir ini, belum dibarengi dengan propaganda politik yang memadai untuk menunjukan kepada rakyat watak sejati dari pemerintahan sekarang. Beberapa kawan yang ditahan, (seperti dalam kasus Bandung, dan Jakarta), tidak ter-blow-up sebagai salah satu amunisi untuk menyerang Megawati. Cukup kelihatan bahwa aspek advokasi secara hukum disini sedikit lebih unggul dibandingkan dengan advokasi politik. Penahanan terhadap Abu Bakar Ba'asyir yang juga seharusnya menjadi isu politik, tidak terangkat oleh kita, sehingga lagi-lagi, pada persoalan hukum legal formalnya yang lebih menonjol. Advokasi terhadap gerakan Islam yang mengalami represi adalah penting bagi pengamanan ruang demokrasi (baca: toleransi demokrasi).
Sejak permulaan krisis dan kejatuhan Soeharto, kekuatan ekonomi maupun politik yang dominan pada tingkat nasional secara drastis melemah. Kekuasaan state telah didesentralisasi sedemikian rupa lewat otonomi daerah. Sementara itu borjuasi nasional sudah tumbang satu per satu dihantam krisis dan arus neoliberal. Hal ini lah yang dimanfaatkan oleh bekas pejabat dan borjuasi yang sebelumnya berkiprah di level nasional untuk membangun imperiumnya di lokal masing-masing. Seringkali mereka dalam mencapai kepentingan-kepentingannya menggunakan
isu-isu SARA (lihat kasus Poso dan Ambon dsb).
Disisi lain penguatan pandangan-pandangan lokalisme, oposisi yang kadang-kadang reaksioner terhadap segala yang berbau nasional, kemudahan borjuasi lokal membangun persekutuan langsung dengan imperialis telahmelemahkan integrasi perekonomian secara nasional--lihat kasus perseteruan daerah dan pusat dari kejadian gula impor di Sulawesi Utara; atau kecenderungan larinya pemodal-pemodal ke daerah asalnya karena hancurnya perekonomian ditingkat nasional dsb, berdialektika dengan tidak adanya alternatif, kemiskinan adalah cermin dari krisis kebangsaan. Hasil-hasil dari revolusi nasional 1945 yang menyepakati secara sukarela pembangunan suatu nation Indonesia semakin melemah. Selama ini kita sangat kurang mengintervensi isu-isu dalam perspektif lokal (KKN lokal, perebutan kekuasaan ditingkat lokal, dsb). Padahal hal ini adalah materi bagi penguatan partai secara riil di basis-basis massa dan juga kemampuan kita mengolah dan memajukan isu-isu tersebut menjadi basis tak kalah pentingnya bagi penguatan gerakan ditingkat nasional. Memberi watak nasional dari setiap intervensi kita dalam isu-isu lokal sangat penting. Bagaimanapun keberhasilan revolusi demokratik kita salah satunya akan ditentukan oleh karakter nasional dari gerakan rakyat, terlebih-lebih lagi dalam situasi menghadapi ofensif imperilisme. Persatuan dari seluruh rakyat di kepulauan nusantara adalah penting, yang membedakannya dengan persatuannya borjuis domestik bahwa landasan persatuan kita basisnya adalah demokratik bukan pemaksaan.
Banyak catatan tentang ketidakmampuan pemerintahan Megawati, yang berujung pada kerapuhan dan pembusukan sistem masyarakat (termasuk ketatanegaraannya) Indonesia. Beberapa ketidakmampuan yang penting untuk digaris-bawahi adalah:
Pertama, sejak Pemilu 1999, Megawati dan PDI-P, memang tak memiliki program untuk membersihkan sisa-sisa kekuatan lama (Orde Baru); itulah mengapa Legislatif, Yudikatif, dan pemerintahannya masih beraroma Orde Baru; dan tak sanggup menghadapi kejahatan-kejahatan lama Orde Baru dalam bidang ekonomi, politik dan kemanusiaan. Kejahatan Orde Baru terhadap bapaknya dan partainya pun tak pernah disinggung-singgung. Kedua, bahwa pemerintahan Megawati tak sanggup memenuhi kebutuhan kesejahteraan yang mendesak dari rakyat, karena kebijakan ekonominya membudak pada kepentingan kaum penjajah baru melalui IMF, WB dan sebagainya. Itu lah mengapa, sesuai dengan kehendak penjajah (dalam wujud Letter of Intent) pemerintahan Megawati tak segan-segan memotong subsidi barang-barang kebutuhan pokok rakyat, seperti subsidi bahan bakar minyak; tarif dasar telpon, listrik; subsidi pupuk; dan sebagainya; belum lagi, masalah-masalah lain seperti pengangguran, kenaikan harga-harga, produktivitas sektor riil nasional dan lain sebagainya; selain itu, pemerintahan Megawati tak berkemampuan menolak kehendak tuntutan lembaga-lembaga internasional (kaki tangan modal besar) untuk menjuali aset-aset negara (baca: harta-harta rakyat) yang sangat pokok (menguasai hazat hidup orang banyak) semurah-murahnya dan secepat-cepatnya (melalui kebijaksanaan swastanisasi dan divestasi). Sehingga kita tak akan sanggup lagi memobilisasi tenaga-tenaga produktif untuk membangun perekonomian nasional yang modern dan mandiri; juga, pemerintahan Megawati bertanggungjawab atas hancurnya kemampuan ekonomi rakyat/nasional karena pemerintahannya membuka selebar-lebarnya pintu bangsa ini bagi cengkeraman keunggulan modal dan pasar asing (melalui kebijaksanaan deregulasi modal dan liberalisasi pasar).
Ketiga dalam situasi pemerintahannya digugat sampai ke tingkatan suksesi secepat mungkin, pemerintahan Megawati bukannya memperbaiki diri dan bekerjasama dengan unsur-unsur yang tulus dan memiliki program yang baik tapi, malahan, mencoba menyogok dan bekerjasama dengan unsur-unsur oportunis dan keji, dalam hal ini tentara, karena tentara menawarkan penindasan terhadap terhadap issue suksesi tersebut. Bahkan, sebagai Ketua Umum PDI-P, ia tak sanggup mencegah kader-kadernya agar tak melakukan kekerasan terhadap oposisi. Karena itu, kami mengajak seluruh rakyat dan kelompok demokrat untuk menyiapkan pemerintahan alternatif, yang, tentu saja, untuk tujuan yang berbeda dengan kelompok-kelompok yang kemaruk kekuasaan. Perbedaan tersebut terletak pada program-programnya, tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Pihak yang pertama memunculkan isu-isu suksesi untuk ambisi kekayaan dan kekuasaan; sedang kelompok demokrat-radikal membawa program-program penuntasan reformasi total yang akan direncanakan, dikerjakan oleh dan demi kepentingan rakyat sendiri.
Dalam sejarahnya, kemampuan rakyat Indonesia untuk melawan penghisapan/ penindasan telah terbukti ampuh, namun saat rakyat berkehendak mengambil jalan keluarnya sendiri, elit politiknya selalu menggagalkan dan melakukan sabotase. Hal itu seperti takdir yang tak berujung bagi elit politik yang tak pernah berakar pada rakyatnya. Karena itu, cukup sudah, mulai sekarang rakyat harus memiliki kekuatannya sendiri, dalam arti sistim masyarakatnya (termasuk ketatanegaraannya), yang dapat mengawasi pimpinan-pimpinan yang dipilihnya sendiri. Dalam situasi sekarang, rakyat harus segera melahirkan sebuah kebudayaan yang maju, dan meninggalkan budaya apatis atau pasrah pada kehendak kaum penindas. Ketergantungan terhadap elit politik tradisional yang mencelakakan, seperti yang telah dilakukan pada pemilihan umum 1999 lalu, sudah saatnya ditinggalkan. Proses politik yang berlangsung selama ratusan tahun telah membentuk watak elit politik Indonesia menjadi kelompok manusia pengecut, tidak setia, oportunis, dan bermental budak, sehingga tak bisa lagi dipercaya untuk membawa rakyat keluar dari krisis dan kesulitan-kesulitannya.
Hilangnya kepercayaan terhadap elit politik tak seharusnya menyebabkan rakyat hilang harapan dan menjadi apatis. Rakyat akan sanggup keluar dari situasi tersebut, apabila rakyat mulai percaya pada kemampuannya sendiri, mulai mengorganisasikan diri, dan menentukan program-program untuk kepentingan bersamanya (rakyat). Disamping itu, konsolidasi dan mobilisasi kekuatan-kekuatan potensial rakyat adalah syarat mutlak untuk membangun sebuah tatanan masyarakat yang baru. Perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa keterlibatan aktif dari mayoritas rakyat, buruh, petani, kaum miskin kota, mahasiswa, dan intelektual berpikiran maju.

KANCAH POLITIK MENJELANG PEMILU 2004
Saat ini hampir semua elit-elit politik, terutama yang berada dalam partai-partai politik konservatif dan kroni Orde Baru (PDI-P, Golkar, PPP, PBB, PAN, dll) sudah mulai mengambil ancang-ancang politik untuk saling merebut kepemimpinan politik dalam momentum pemilu 2004 yang akan datang. Berbagai cara mereka lakukan untuk melicinkan jalan menuju kekuasaan. Salah satunya adalah mereka berjuang semaksimal mungkin untuk semakin mengeliminir partisipasi rakyat luas untuk ikut berperan dan bertarung secara sehat dan fair dalam momentum pemilu 2004. Rumusan Undang Undang Pemilu yang mereka hasilkan secara konspiratif semakin mempersulit keterlibatan partai-partai politik baru lainnya untuk ikut serta dalam arena pemilu 2004. Selain itu, untuk meredam munculnya figur-figur politikyang baru dan bersih dalam pencalonan presiden yang akan datang, secara semena-mena mereka menetapkan Undang-Undang Pemilihan Presiden, yang hanya memungkinkan bagi mereka saja yang bisa mencalonkan calon presidennya. Seakan telah melihat kekuasan berada di depan mata, mereka meninggalkan rakyat untuk berpartisipasi secara meluas dalam pemilu 2004. Mereka lupa, bahwa keberhasilan gerakan rakyat dan mahasiswa menumbangkan rejim Orde Baru-lah yang telah memberikan peluang bagi mereka, elit-elit politik konservatif dan kroni Orde Baru, untuk berkuasa seperti sekarang ini.
Sementara itu, militer, yang telah menemukan kembali performa politiknya dalam beberapa waktu belakangan ini, justru semakin menemukan momentumnya untuk kembali memainkan peran politiknya dalam pemilu 2004 yang akan datang. Hal ini dikarenakan, hampir semua partai-partai politik konservatif dan kroni Orde Baru sangat bergantung kepada "kolaborasinya" dengan tentara. Situasi ini memberikan kesimpulan bahwa mereka sangat menggantungkan eksistensi kekuasaan mereka kepada pundak tentara untuk menyelesaikan setiap konflik yang muncul di dalam masyarakat dan untuk meredam bangkitnya perlawanan rakyat terhadap kekuasaan mereka. Padahal kita mengetahui, bahwa perlawanan rakyat tersebut justru muncul akibat kebijakan-kebijakan ekonomi-politik mereka yang membudak kepada kepentingan kaum imperalis-neolib, dan justru jauh dari kebutuhan dan kepentingan rakyat, yang dahulu menjadi pendukungnya. Kasus Aceh, adalah hal yang paling nyata. Rencana Operasi Militer yang akan dilakukan oleh tentara menjadi point bertemu dari kepentingan elit-elit politik konservatif yang ingin merebut kekuasaan dalam pemilu 2004 dengan tentara yang bernafsu untuk mempertahankan legitimasi politiknya sebagai penjaga stabilitas politik dalam negeri. Oleh karena itu, kita bisa simpulkan bahwa tentara tentu saja akan mengamankan momentum pemilu 2004 dan akan berkolaborasi dengan kekuatan-kekuatan politik yang bisa memberikan konsesi politik kepada mereka, untuk tetap bisa memainkan peran politiknya. Meskipun telah muncul ketidakpuasan dan ketidakpercayaan di kalangan rakyat diberbagai daerah terhadap kepemimpinan politik elit-elit politik konservatif dan kroni Orde Baru, namun hal itu masih sangat berserakan dan sporadis. Ketidakpuasan dan ketidakpercayaan di kalangan rakyat tersebut belum mampu dimanifestasikan ke dalam sebuah gelombang perlawanan yang terorganisir dan terpimpin secara konsisten terhadap kepemimpinan politik elit-elit politik konservatif dan kroni Orde Baru. Padahal kita meyakini bahwa situasi tersebut adalah modal dan momentum yang paling tepat untuk menggalang dan mengolah energi potensial rakyat menjadi sebuah gelombang perlawanan yang besar.
Namun sejauh ini, belum muncul hasil yang optimal dari proses ketidakpuasan dan keresahan di kalangan rakyat menuju sebuah gelombang perlawanan yang terorganisir dan terpimpin. Hal ini karena, kekosongan (kevakuman) kepemimpinan politik di kalangan rakyat belum mampu diisi dan diambil alih oleh unsur-unsur progresif dan alternatif di dalam gerakan demokrasi. Selain itu, kesadaran politikrakyat saat ini masih merupakan kesadaran yang semu, yang sewaktu-waktu bisa berubah jika muncul proses politik yang besar, seperti pemilu. Pada titik inilah, rakyat akan kembali kepada kesadaran palsunya, yang menggantungkan masa depan hidupnya kepada elit-elit politik konservatif, yang tidak pernah menganggap rakyat sebagai sekutu setianya. Jika kondisi seperti ini terus dibiarkan tanpa adanya intervensi politik dari unsur-unsur progresif dan alternatif di dalam gerakan demokrasi, maka kita bisa yakini bahwa potensi ketipuasan dan ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan politik elit-elit politik konservatif dan kroni Orde Baru tersebut tidak akan memberikan kontribusi posistif bagi perkembangan gerakan demokratik dalam momentum pemilu 2004 Dan kembali, partai-partai politik konservatif dan kroni Orde Baru akan memanfaatkan kesadaran palsu rakyat untuk kembali mempertahankan kekuasaannya, dan lagi-lagi rakyat harus hidup dibawah tekanan ekonomi yang semakin buruk sepanjang kekuasan politik elit-elit politik tersebut. Celakanya, partai-partai politik yang "relatif" memiliki platform demokratik yang sama: tentang kepemimpinan politik alternatif dan pemerintahan alternatif, masih berkeras kepala untuk maju dan berjuang sendiri-sendiri. Dari segi jaringan, logistik, dan kemampuan mobilisasi, tentunya hal ini akan menjadi kelemahan utama mereka.
Oleh karena itu, untuk menjawab tantangan yang muncul dalam momentum pemilu 2004, persatuan oposisi adalah jalan keluar mutlak yang harus diberikan Telah muncul peluang-peluang bagi terciptanya persatuan oposisi yang solid dan terorganisir:
1. Saat ini telah muncul unsur-unsur baru yang berpikiran dan bertindak maju dalam orientasi maupun tindakan perjuangannya. Jika satu tahun yang lalu hanya beberapa organisasi yang mempelopori program penjatuhan Mega Hamzah dan kebutuhan perspektif pemerintahan baru. Maka saat ini perspektif tersebut telah meluas ke banyak organisasi lain, misalnya organisasi-organisasi mahasiswa, terutama organisasi-organisasi mahasiswa radikal yang lahir dalam kancah perjuangan menjatuhkan Suharto 1998-1999, serikat-serikat buruh (potensinya besar namun belum mengalami perluasan yang cukup signifikan), partai-partai politik: PRD, PNBK, Partai Pelopor, PPBI, PPR, LSM-LSM dan sebagainya. Sehingga persatuan multi sektor sebagai wadah persatuan bagi oposisi telah menjadi kebutuhan. Berbagai persatuan multi sektor telah muncul, misalnya Front Perjuangan Rakyat Miskin (FPRM), Koalisi Nasional, Front Ampera dan sebagainya. Situasi sekarang ini juga mendorong maju berbagai konsolidasi front sektoral lainnya seperti BOKMM (Barisan Oposisi Kaum Muda-Mahasiswa), Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Indonesia, KAPB (Komite Anti Penindasan Buruh) dan tentu saja yang masih baru akan lahir dan sedang mencari bentuknya: Pergerakan Indonesia.
2. Hubungan saling mempengaruhi faktor-faktor di atas dengan akumulasi krisis telah meluaskan perlawanan spontan massa rakyat. Seluruh lapisan sosial bisa dikatakan sudah bergerak. Perkembangan ini menandai munculnya satu common platform (yang relatif solid paska kejatuhan Suharto) dalam gerakan: menguatnya sentimen anti penjajahan oleh modal besar (Barat dan agen-agen lokalnya); sentimen anti kenaikan harga; dan sentimen penjatuhan Mega Hamzah (yang telah dianggap rakyat sebagai agen modal besar Barat). Berbagai kebijakan anti rakyat pemerintahan Mega-Hamzah telah melahirkan satu tarikan politik bagi unsur-unsur baru yang lebih moderat untuk menaikan kualitas tuntutannya hingga menyuarakan tuntutan mundur bagi Mega-Hamzah. Tidak sampai satu bulan, BEM se-Indonesia telah menaikan tuntutan dari reformasi kebijakan kenaikan harga, korupsi, divestasi dan privatisasi menjadi tuntutan mundur Mega-Hamzah. BEM se-Indonesia hingga saat ini menjadi kekuatan yang memiliki jaringan dan
mobilisasi paling luas di sektor mahasiswa. Hambatan bagi BEM se-Indonesia adalah tuntutan mundur tanpa perspektif pemerintahan baru yang progresif, sehingga menyediakan basis bagi penyelewengan oleh kaum reformis gadungan (di parlemen maupun ekstra parlemen).

3. Pada saat ini, strategi-taktik parlementarian membutuhkan tekanan dari kekuatan oposisi (yang bersatu) dan massa yang lebih solid dan kuat. Namun, tampaknya, sebagian elemen oposisi masih meyakini strategi kolaborasi-taktik parlementarian semata. Kekalahan Partai Keadilan dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), mungkin juga sebagian elemen BEM dalam memanfaatkan strategi parlementarian untuk menjatuhkan Mega Hamzah, juga kekalahan Partai Keadilan (PK) dalam revisi UU Pemilu, yang sengaja diformat untuk menguntungkan partai-partai konservatif di parlemen dan mematikan partai-partai kecil, pada derajat tertentu, akan mendorong mereka untuk habis-habisan menggerakan mobilisasi massa ekstra parlemen. Namun potensi mobilisasi massa lebih diabdikan pada memecah kesatuan kepentingan mayoritas elit parlemen dan tentara. Bukan untuk memasok kesadaran politik sejati kepada rakyat dan memimpinnya dalam perjuangan membentuk pemerintahan alternatif. Tidak meletakkan solusi politik dengan pembentukan pemerintahan alternative melalui metode-metode parlementarian (yang ditekan oleh kekuatan oposisi-bersatu dan massa yang lebih kuat) dan ekstra parlemen. Sepanjang kualitas programatisnya masih mengangkat tuntutan-tuntutan demokratik dan penghancuran sisa-sisa kekuatan lama, kecenderungan oposisi yang semacam itu masih memberi dampak positif bagi pengkondisian perkembangan gerakan. Perkembangan gerakan progesif lah yang akan terus mengikis segala kecenderungan yang semacam itu. Bila perkembangan gerakan progresif semakin menentukan, maka batas-batas moderasi akan semakin terdesak ke belakang.

4. Pengolahan lebih lanjut potensi-potensi yang muncul dari unsur-unsur baru dalam pergerakan demokrasi adalah landasan, pijakan bagi Pergerakan IndonesiaI untuk semakin meneguhkan keyakinan bahwa Pergerakan Indonesia harus memiliki kemampuan untuk menjadi alat perjuangan politik sejati bagi rakyat. Unsur-unsur baru, baik itu komite-komite mahasiswa yang bermunculan, serikat-serikat buruh, ormas-ormas rakyat lainnya, intelektual, LSM-LSM, dan tokoh politik ekstra parlemen yang pro-kerakyatan menyediakan potensi-potensi bagi perkembangan Pergerakan Indonesia ke depan, dan merupakan potensi bagi penggabungan-penggabungan oposisi yang lebih luas lagi sehingga setahap demi setahap akan bergerak lebih maju lagi. Misalnya, Pergerakan Indonesia dituntut untuk menunjukkan keberpihakan yang tegas terhadap penindasan yang dialami oleh kaum buruh, kaum tani, demikian juga keberpihakan terhadap kaum tani dan nelayan yang sudah resah dimana-mana, dan berpotensi besar untuk terlibat dalam kancah pergerakan. Disinilah ujian tahap awal bagi Pergerakan Indonesia untuk menujukkan kepada rakyat bahwa Pergerakan Indonesia memiliki kemampuan dan dedikasi yang besar untuk bersama-sama dengan rakyat membawa perubahan yang fundamental bagi kehidupan ekonomi, politik, sosial, dan budaya rakyat Indonesia. Oleh karena itu, meneguhkan semangat persatuan oposisi, yang nyata-nyata menjadi kebutuhan mutlak bagi pergerakan, haruslah terus diuji, menuntut militansi, dan terus harus diprofesionalkan.

No comments:

Post a Comment