WTO dan Globalisasi Pendidikan

SUATU ketika, saya diundang berdiskusi tentang keterkaitan antara Word Trade Organization (WTO) dan globalisasi pendidikan. Saya baru sadar, kalangan pemerhati pendidikan di luar negeri ternyata juga mendebatkan sekaligus mengaitkan globalisasi pendidikan dan WTO. Apa pasalnya? Mengapa demikian? Padahal, di dalam negeri, kita kurang memperhatikan masalah ini. Ternyata isunya sederhana dan pernah mengemuka di Indonesia yaitu apakah sektor pendidikan bisa digolongkan sebagai kegiatan jasa komersial (commercial services). Bukankah penyelenggara pendidikan juga "berbisnis" untuk menghidupi lembaga pendidikannya? Artinya mereka mengumpulkan uang untuk menyelenggarakan pendidikan yang baik, apakah dengan menarik SPP, menyelenggarakan penelitan, mengelola kegiatan yang menghasilkan uang, dan sebagainyanya. Meski dalam banyak hal, bila dilihat apakah mereka memperoleh "laba" atau tidak, itu relatif, karena kelebihan uang alias "laba" kembali ke lembaga dalam bentuk perbaikan fasilitas pendidikan, gaji penyelenggara (dosen/guru dan karyawan). Seminar yang saya ikuti itu, ternyata memberi kesan, untuk menjawab apakah sektor pendidikan (yang berskala internasional) merupakan kegiatan jasa komersial (karena itu perlu dikaitkan dengan peraturan WTO) atau tidak, mengundang debat berkepanjangan.
Tidak jelas, Dalam undang-undang pendidikan kita, tidak jelas apakah aktivitas sektor pendidikan diklasifikasikan sebagai kegiatan jasa komersial, meski semuanya mengetahui lembaga pendidikan mengumpulkan dana untuk menghidupi atau menyelenggarakan aktivitas pendidikan. Lembaga pendidikan di Indonesia sepertinya dianggap lembaga yang menyelenggarakan kegiatan jasa publik (public service) di bidang pendidikan. Itu sebabnya lembaga pendidikan umumnya lepas dari kewajiban membayar pajak. Namun, kalau sektor pendidikan dikategorikan sebagai aktivitas jasa komersial, apalagi melibatkan lembaga pendidikan asing (luar negeri), maka ia akan terkena peraturan WTO. Argumen yang mendukungnya dapat dilihat dari berbagai kenyataan, antara lain :
(a) Banyaknya mahasiswa yang pergi ke luar negeri (dengan biaya mahal)untuk mendapatkan perguruan tinggi yang baik,
(b) Perguruan tinggi atau lembaga pendidikan asing yang beroperasi di Indonesia, dengan berbagai modus operansi
(c) Kegiatan yang berkaitan dengan twinning arrangements atau kegiatan pendidikan yang mengadopsi cara franchising,
(d) Lembaga pendidikan asing yang menawarkan program melalui pendidikan jarak jauh, dan masih banyak contoh lain. Karena itu, wajar bagi mereka yang setuju bila pendidikan dimasukkan commercial services dan kalau melibatkan lembaga di luar negeri, maka pendidikan semacam itu bisa dikategorikan trade service. sebuah makalah dituliskan, tahun 1999, "industri pendidikan" menyumbang 9,4 milyar dollar AS dan diramalkan naik menjadi 53 milyar dollar AS tahun 2003. Dokumen itu bahkan menyebutkan, di negara-negara maju tertentu-Australia, Selandia Baru, Inggris, dan AS-menganggap trade in educational services sudah menjadi ajang bisnis yang menjanjikan. Sebaliknya bagi mereka yang tidak setuju bila pendidikan dimasukkan jasa komersial, didasarkan kesepakatan yang dihasilkan konferensi Pendidikan Tinggi di Paris tahun 1988. Pada konferensi yang disponsori UNESCO itu dinyatakan, pendidikan tinggi dimaksudkan untuk menyediakan jasa publik, bukan 'komoditas' yang bias diperdagangkan. Karena itu, tidak dimasukkan dalam kategori jasa komersial. Kesimpulan ini didukung 92 perguruan tinggi yang tergabung dalam AUCC (The Association of Universities and Colleges of Canada), ACE (The American Council on Education) yang anggotanya sekitar 1.800 lembaga pendidikan, EUA (European University Association) diwakili 30 universitas, dan CHEA (Council for Higher Education Accreditations). Sayang, tidak ada dukungan dari kalangan perguruan tinggi di Asia.
Mengapa WTO? Bila sektor pendidikan menjanjikan atau dijadikan trade services, maka ia harus tunduk pada peraturan WTO, sebab education services adalah salah satu dari 12 sektor yang dikenakan peraturan WTO, yaitu bisnis, komunikasi, konstruksi, distribusi, pendidikan, lingkungan, keuangan, kesehatan, turisme, rekreasi, transportasi,dan jasa lainnya. Ini berawal dari kesepakatan GATS (Global Agreement on Trade and Tariff) yang dicanangkan tahun 1994 oleh 140 negara, yang kemudian berubah namanya menjadi WTO tahun 1995. WTO yang dicanangkan tahun 1995 ini pada dasarnya untuk meningkatkan liberalisasi perdagangan internasional. Karena itu, agar sektor pendidikan terlepas dari aturan WTO, maka sebaiknya penyelenggaraan pendidikan diusahakan agar kegiatan sektor pendidikan bukan kegiatan yang dikategorikan sebagai comercial services dan melarang serta membatasi lembaga pendidikan asing yang beroperasi di dalam negeri agar tidak terjadi trade services bidang pendidikan. Dengan demikian, kalau ada lembaga pendidikan asing yang beroperasi di dalam negeri, mereka harus diatur menurut peraturan yang jelas soal legalitas, sertifikasi, akreditasi dan sejenisnya agar ada batasan tegas apakah pendidikan yang dikelola lembaga asing itu masuk kategori educational trade services atau tidak. Bila masuk, mereka akan terkena aturan WTO tersebut. Globalisasi pendidikan Kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat, ternyata mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari, termasuk penyelenggaraan pendidikan. Aktivitas pendidikan kini, tidak bisa lagi bersifat lokal, meski sering disarankan agar penyelenggaraan pendidikan bersifat lokal, namun berwawasan global atau internasional. Artinya, kualitas pendidikan ditingkatkan agar mampu bersaing dengan kualitas lulusan dari lembaga pendidikan di luar negeri. Begitu pula halnya dengan dana yang digunakan untuk penyelenggaraan pendidikan, karena pengaruh globalisasi, maka hal pendanaan tidak bisa dilepaskan aliran dana yang bersifat multinasional, apalagi kalau peserta atau mahasiswanya berada di berbagai negara. Selain aspek kompetisi, globalisasi juga dicirikan semakin pesatnya mobilitas manusia. Untuk kegiatan pendidikan, mobilitas ini bukan saja terjadi pada pencari pendidikan (siswa, mahasiswa atau peserta training di luar negeri), tetapi juga dosen, instruktur, juga mempunyai mobilitas tinggi. Itu sebabnya networking menjadi bagian yang penting bagi pengembangan atau kemajuan pendidikan nasional atau internasional. Di negara-negara Asia Tenggara, masalah keterlibatan lembaga pendidikan asing telah diatur dengan baik sehingga pengembangannya amat pesat. Namun, di negara-negara Asia Tenggara tertentu, karena peraturannya belum jelas, maka hadirnya lembaga pendidikan asing, masih malu-malu. Undang-undang tentang Sistem pendidikan Nasional kini sedang digodok. Hadirnya undang-undang yang baru diharapkan mampu mengakomodasi masalah globalisasi pendidikan yang dikaitkan dengan ketetapan WTO (soal
educational services). Dengan demikian, lembaga pendidikan asing yang beroperasi di Indonesia akan kian jelas kedudukan dan perannya, sehingga pengguna jasa (?) pendidikan tidak ragu-ragu memanfaatkannya.

Soekartawi Director, SEAMEO Regional Open Learning
Center (SEAMOLEC) di Jakarta.
Search :

No comments:

Post a Comment