Nawal El-Saadawi
Keteguhan Nawal El-Saadawi mempertahankan perkawinan terasa berbeda
dengan karya-karyanya yang kerap menggugat lembaga perkawinan itu. Nawal
melihat banyak perkawinan yang justru menyengsarakan perempuan.
Bagi Nawal El-Saadawi, feminis dan novelis Mesir, menggugat perkawinan
di dunia Arab dengan nada kritis dan tegas adalah hal biasa. Dalam
berbagai wawancara, artikel dan novelnya, ia kerap mengungkapkan
kegeramannya terhadap ketidakadilan dalam lembaga perkawinan.
Namun kini keadaan tengah berbalik. Pertengahan bulan depan sebuah
sidang akan digelar untuk memutuskan nasib perkawinan Nawal. Ya, kini
giliran perkawinan Nawal yang sedang digugat. Ada "orang ketiga" yang
ingin memisahkan Nawal dengan suaminya, Dr. Sherif Hatata.
Tapi jangan berburuk sangka dulu. Walau ada orang ketiga, namun tidak
ada masalah perselingkuhan dalam kasus ini. Orang ketiga yang dimaksud
adalah seorang pengacara Mesir bernama Nabil al-Wash yang mungkin belum
pernah secara fisik bertemu dengan Nawal atau suaminya. April lalu
al-Wash mengajukan permohonan kepada pengadilan Kairo untuk membatalkan
ikatan pernikahan Nawal.
Alasan yang dipakai Al-Wash untuk membatalkan perkawinan tersebut karena
ia menilai Nawal telah murtad. Dan karena dalam Islam seorang murtad
tidak diperkenankan mengikat perkawinan dengan seorang muslim, maka
Nawal harus dipisahkan dari suaminya yang muslim itu.
Hal yang sama pernah terjadi pada seorang akademisi Mesir lainnya, Dr.
Nasr Abu Zeid, Dosen di Jurusan Filsafat Fakultas Sastra Universitas
Kairo ini pada 1996 juga mengalami hal yang sama. Bahkan pengadilan
sudah memutuskan bahwa penulis sekuler ini harus berpisah dari isterinya
karena dianggap telah murtad. Abu Zeid dan isterinya akhirnya terbang ke
Belanda untuk mempertahankan perkawinan mereka.
Tapi nampaknya Nawal tidak akan mengulangi kepasrahan Abu Zeid. Wanita
berusia 70 tahun ini berjanji akan terus berjuang dan melawan. "Mereka
ingin saya diam, atau ingin saya hidup di pengasingan. Tidak ada yang
dapat membuat kami meninggalkan Mesir. Saya tak takut dibunuh," kata
penulis 35 karya sastra ini.
Walau semua rambut Nawal telah memutih dan punggung Hatatah telah
bongkok, namun Nawal tetap bertekad untuk mempertahankan kebersamaan
mereka. "Tidak ada satu kekuatan pun yang dapat memisahkan kami,"
katanya mantap.
Semua jalan ditempuh untuk menyelamatkan perkawinannya. Pada 18 Mei
Nawal mengajukan permohonan kpada pengadilan agar gugatan al-Wash yang
menurutnya "sakit jiwa' itu dibatalkan saja. Jaksa Agung Mesir pun
setuju dan mengatakan bahwa tidak ada satupun tulisan Nawal yang
membuatnya patut dianggap murtad. Tapi pengadilan berkata lain dan Nawal
tetap harus berjuang pada 18 Juni mendatang.
Bagi pencinta karya-karya Nawal, keteguhannya mempertahankan perkawinan
terasa berbeda dengan karya-karyanya yang kerap menggugat lembaga
perkawinan itu, "Istri adalah pelacur yang dibayar paling murah," kata
salah seorang tokoh dalam Novelnya, al-Mar'ah inda Noktah al-Shifr
(Perempuan di Titik Nol). Nawal melihat banyak perkawinan yang justru
menyengsarakan perempuan. Bahkan pada 1972 ia menulis buku berjudul
al-Mar'ah wa al-Jins (Wanita dan Seks) tentang kesengsaraan wanita Mesir
dalam perkawinan.
Tapi sejatinya Nawal tidak demikian. Sebenarnya ia tidak menolak lembaga
perkawinan, tapi yang ia tolak adalah pemaksaan dan dominasi pria dalam
kebersamaan itu. Wanita yang lahir di Kafr Tahla, pinggiran kota Kairo,
pada 1931, ini justru menjunjung tinggi perkawinan dan kesetiaan yang
didasari oleh cinta.
Bahkan ia menganggap dirinya seperti Isis, tokoh dalam mitologi Mesir
kuno yang amat setia kepada suaminya. Otobiografinya pun ia beri judul
The Daughter of Isis. Isis adalah isteri seorang Firaun bernama Osiris.
Konon, saudara Osiris bernama Set iri dengan keberhasilan Osiris. Ia pun
membunuh Osiris, mencincang mayatnya dan menebarnya ke seluruh pelosok
Mesir. Duka dan tangisan Isis yang tiada henti membuat iba Ra, dewa
agung Mesir kuno. Dewa Ra pun mengirim Anubis, dewa serigala yang
mempunyai kekuatan luar biasa, untuk membantuk Isis mengumpulkan
serpihan tubuh suaminya dan membalas dendam kepada Set.
Sidang pengadilan bulan depan bagi Nawal adalah kerikil kecil. Ia pernah
mengalami hari-hari yang jauh lebih buruk. Halangan awal perjuangannya
adalah pelarangan buku al-Mar'ah wa al-Jins pada 1970-an. Hal itu tak
membuatnya jera. Nawal di kemudian hari justru nekat menjadi oposisi
independen yang membuatnya meringkuk dalam penjara Anwar Sadat pada
1981.
Setelah keluar dari penjara ia mendirikan Arab Women's Solidarity
Association (ASWA). Namun, itu pun tak kekal. Saat Perang Teluk
berkecamuk, Nawal justru menentang Amerika dan memilih terbang ke Irak.
Ini tentu saja membuat berang Presiden Mubarak. Akhirnya ASWA ditutup
dan majalah Nuun miliknya dibredel.
Jera? Tentu saja tidak. Ia justru kian giat menulis untuk membela
hak-hak kaum wanita. Saat ini 22 dari 35 karyanya telah diterbitkan.
Kerajinan Nawal membuat gerah kelompok militan. Kelompok fundamentalis,
baik dari Islam maupun Kristen, mengancam akan membunuhnya. Ia pun untuk
sementara "mengungsi" ke luar negeri. "Saya menerima tawaran dari
Universitas Duke untuk mengajar di sana, di samping untuk menyelamatkan
diri dari pembunuhan yang direncanakan oleh kelompok Islam dan Kristen
garis keras," kata puteri dari seorang Sufi lulusan Universitas Al-Azhar
ini kepada Majalah Tempo.
Masa-masa tersulit telah dilaluinya. Kini tak ada yang mampu membuatnya
takut. "Di usia 70 tahun, Sadaawi yang beruban masih tetap seorang
petarung," kata sebuah koran. Ia kini bukan lagi bertarung untuk harga
dirinya dan hak-hak wanita, ia bertarung untuk sesuatu yang kadang
dikritiknya keras-keras.
Qaris Tajudin, Koran Tempo, Rabu, 30 Mei 2001.
http://groups.yahoo.com/group/wanita-muslimah/message/2445
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment