Wawancara Syekh Ibrahim dan Nawal El Saadawi
Kairo, 10 Juni 2004 18:34
Sekjen Majma' al-Buhûts al-Islâmiyah, Syekh Ibrahim Atha menilai, penyitaan novel karya Nawal el Saadawi dilakukan karena pemikiran-pemikirannya menyerang ajaran Islam. Selain itu, menurutnya, penulis juga mengutip beberapa ayat Al-Quran dengan tujuan untuk mencela ajaran-ajaran Islam, baik secara akidah ataupun syariah.
"Maka dari itu, Majma' Buhûts al-Islâmiyah mengeluarkan keputusan untuk melarang peredaran novel itu di kalangan pembaca dengan tujuan menjaga akidah ruh agama dari penghinaan," kata Syekh Ibrahim kepada koresponden Gatra di Kairo, Mohamad Guntur Romli, pekan lalu.
Menurut Ibrahim, pihaknya tidak menentang ide dan pemikiran, sebab pena tidak pernah berdosa. "Tapi jangan menghina agama, atau simbol-simbol keagamaan," tegasnya. Ia menunjuk tokoh yang disebut Nawal sebagai al-Imâm, yang merupakan istilah keislaman. Ia menilai, Nawal menginginkan umat Islam selalu mencurigai sosok al-Imâm itu.
Reaksi keras
Keputusan penyitaan novel Nawal el Saadawi dan empat buku lainnya menjadi polemik yang semakin memanas. Al-Azhar dinilai tak sekadar mengeluarkan rekomendasi, tapi juga boleh melakukan kontrol hukum, penyitaan langsung dan inspeksi mendadak ke toko-toko buku.
Reaksi penolakan ini muncul dari para penulis dan sastrawan Mesir. Nawal el Saadawi sendiri kepada Gatra mengatakan, keputusan Al-Azhar tersebut "lucu dan tidak masuk akal" [baca Topik Kita Gatra.com (6/6)].
Sedangkan menurut Ibrahim Ashlan, pemberian hak esekusi hukum kepada ulama Al-Azhar merupakan tindakan membahayakan dan mengotori fungsi tokoh agama sebagai penasihat. Bahkan Anwar Ukasha menilai, pemberian hak tersebut melanggar hukum dan melanggar prinsip kebebasan berpikir dan berkarya. Dengan keputusan tersebut, demokrasi di Mesir semakin mundur karena hukum akan dikendalikan ulama-ulama agama.
Lebih jauh lagi, Ukasha menuntut agar pihak-pihak yang mengeluarkan keputusan itu diadili. "Kita kembali ke lagi abad pertengahan ketika ada pengadilan yang akan mengoreksi setiap karya yang lahir, kematian Galileo, Copernicus dan lain-lain akan kembali muncul. Dan, itu disahkan oleh hukum negara!" serunya. [Tma]
Wawancara Syekh Ibrahim Atha' El Fayoumi
Kami Tak Menentang Ide dan Pemikiran
KEPUTUSAN penyitaan terhadap novel Nawal el Saadawi dan empat buku lainnya menjadi polemik yang semakin memanas. Al-Azhar sendiri tidak sekadar mengeluarkan rekomendasi, tapi juga boleh melakukan kontrol hukum, penyitaan langsung dan inspeksi mendadak ke toko-toko buku. Menurut Sekretaris Jenderal Majma' Buhûts al-Islâmiyah, Syekh Ibrahim Atha' El Fayoumi, hak tersebut tertuang dalam keputusan Menteri Kehakiman Mesir Nomor 4392 tahun 2003. Tetapi hak istimewa Al-Azhar ini baru terungkap sejak ribut-ribut penyitaan buku Nawal kemarin.
Perlawanan terhadap keputusan Al-Azhar itu semakin meluas. Reaksi penolakan juga digelar oleh para penulis dan sastrawan Mesir. Nawal el Saadawi sendiri menilai, keputusan Al-Azhar tersebut "lucu dan tidak masuk akal" [baca Topik Kita Gatra.com (6/6)]. Sedangkan menurut Ibrahim Ashlan, pemberian hak esekusi hukum kepada ulama Al-Azhar merupakan tindakan membahayakan dan mengotori fungsi tokoh agama sebagai penasihat.
Sementara Anwar Ukasha berpendapat, pemberian hak tersebut melanggar hukum dan melanggar prinsip kebebasan berpikir dan berkarya. Dengan keputusan tersebut, demokrasi di Mesir semakin mundur karena hukum akan dikendalikan ulama-ulama agama. Lebih jauh lagi, Ukasha menuntut agar pihak-pihak yang mengeluarkan keputusan itu diadili. "Kita kembali ke lagi abad pertengahan ketika ada pengadilan yang akan mengoreksi setiap karya yang lahir, kematian Galileo, Copernicus dan lain-lain akan kembali muncul. Dan, itu disahkan oleh hukum negara!" katanya.
Pemberian hak tersebut secara sepihak terhadap Al-Azhar mengundang sejuta tandatanya. Apalagi pihak persatuan penulis (Ittihâd al-Kuttâb) tidak pernah dilibatkan. Hal tersebut diungkapkan Dr Midhat Abd Jabbar Ketua Devisi Penghargaan di Pesatuan Penulis Mesir. Menurutnya, sangat berbahaya kalau hak kontrol hukum diberikan kepada pihak yang memiliki idelogi tertentu. Letak bahaya menurut beliau "Sekarang, ulama Al-Azhar berfungsi juga sebagai polisi. Ini bertentangan dengan demokrasi."
Latar belakang pengetahuan anggota Majma' al-Buhuts juga dipertanyakan. Menurut seorang penulis Fathi Salamah, "Pembedahan buku oleh ulama Al-Azhar seperti pembedahan terhadap pasien tapi salah dokter." Menurutnya rata-rata anggota Majma' berlatar-belakang pendidikan agama saja. Namun pendapat ini ditolak anggota Majma', Dr Syauqi Fanjari seorang ahli ekonomi terkenal di Mesir. "Majma' beranggotakan empat puluh orang lebih dari bidang spesialisasi yang berbeda," tegasnya.
Sedangkan menurut Bahyudin Hasan Direktur Eksekutif Pusat Hak Azasi Manusia Cairo dan anggota Komisi Nasional HAM Mesir, hak yang diberikan terhadap Al-Azhar melanggar HAM karena akan membatasi hak kebebasan asasi individu. Dengan keputusan tersebut, agenda reformasi politik yang menggema di jalan-jalan Mesir saat ini akan semakin hilang. Dia berjanji akan memasukkan masalah ini ke dalam agenda pembahasan Komisi Nasional HAM Mesir.
Dalam suhu perdebatan yang semakin memanas, koresponden Gatra di Kairo, Mohamad Guntur Romli mewawancarai Sekretaris Jenderal Majma' al-Buhûts al-Islâmiyah, Syekh Ibrahim Atha' El Fayoumi di kantornya, Nasr City, Kairo, pekan lalu. Syekh Ibrahim tampak sangat berhati-hati. Untuk beberapa poin jawaban, ia hanya membacakan petunjuk dan pelaksanaan Majma', hasil-hasil rapat, dan surat-surat keputusan. "Polemik semakin memanas, saya harus hati-hati mengeluarkan pendapat," tegasnya, ketika ditanya sikapnya yang sangat hati-hati. Berikut ini petikan wawancaranya:
Apa fungsi Majma' al-Buhûts al-Islâmiyah?
(Syekh Ibrahim membuka lembaran juklak dan membacanya)
Bismillâhirrahmânnnirrahîm. Lembaga ini merupakan benteng pertahanan Islam dan melayani segala persoalan umat tidak hanya di umat Islam Mesir, namun juga umat Islam di dunia. Seperti yang telah ditegaskan oleh Undang-udang No. 103 tahun 1961 pasal 15 lembaga ini merupakan lembaga Islam tertinggi-di Mesir-yang bertugas melakukan penelitian dan pengkajian terhadap persoalan-persoalan keislaman. Tugas lembaga ini juga melakukan penyegaran terhadap budaya Islam dan memurnikannya dari aspek-aspek yang menyimpang baik disebabkan fanatisme aliran (madzhab) ataupun fanatisme politik.
Di samping itu, lembaga ini juga diharapkan memberi rekomendasi hukum syar'i yang berhubungan dengan persoalan sosial, perbedaan madzhab, dan penilaian terhadap karya-karya yang diterbitkan dalam masalah keagamaan. Di samping penilaian, lembaga ini juga melakukan koreksi dan bantahan terhadap karya-karya yang menyimpang dari hal-hal yang diketahui pasti dalam agama (al-ma'lûm min al-dîn bi al-dlarûrah). Kedudukan lembaga ini juga diperkuat oleh undang-undang resmi negara dalam menyikapi karya-karya tersebut dan memberi penilaian sesuai dengan syariah-fikih. Rekomendasi Majma' ini bersifat mengikat dan meliputi individu-individu dan lembaga-lembaga yang berhubungan dengan tradisi Islam.
Apa fungsi khusus Majma' al-Buhûts terutama dalam masalah penilaian terhadap buku-buku?
Kami hanya mengkaji buku-buku keagamaan saja. Biasanya kami mendapat laporan dari pihak keamanan, individu atau lembaga-lembaga. Kemudian kami akan melakukan pengkajian terhadap buku-buku itu, membedah dan mengeluarkan isinya. Kalau buku itu tidak mengingkari hal-hal permanen (al-tsawâbit) dalam agama, melanggar akidah, dan menjelek-jelekkan agama, baik utusannya, sunnahnya, khulafa' al-rasyidin, dan para sahabat, maka buku itu boleh beredar dan dicetak berulang-ulang.
Namun jika sebaliknya, mengingkari akidah, dan menjelek-jelekkan simbol keagamaan dan lain-lain maka kami akan memutuskan untuk menyita dan dilarang beredar. Sedangkan pihak eksekutif dalam penyitaan ini adalah pihak keamanan negara (state security). Kami hanya mengeluarkan penilaian, dan rekomendasi bahwa buku itu tidak layak untuk beredar dan dikonsumsi. Jika nanti ada persengketaan maka akan diajukan ke pengadilan.
Sebelum melakukan penyitaan, apakah Majma' al-Buhûts melakukan dialog atau konfirmasi ke penerbit atau penulis?
Tidak. Karena Majma' al-Buhûts adalah lembaga tertinggi yang pendapatnya harus didengar. Tugas kami juga mengeluarkan rekomendasi buku itu layak atau tidak beredar bukan menggelar diskusi. Jika diperlukan tindakan lebih lanjut dan serius maka pihak-pihak yang berwenang melakukannya, seperti pihak-pihak negara.
Apakah ada buku yang disita atas rekomendasi Al-Azhar tapi buku itu bukan buku agama, tapi karya-karya sastra?
Pernyataan anda perlu didiskusikan lebih lanjut. Menurut hemat kami karya-karya sastra tetap mengandung ide dan pemikiran. Maka syaratnya ide dan pemikiran dari buku itu tidak boleh menyinggung masalah-masalah agama, dan menghina rasul. Jika hal-hal di atas dilanggar, apa pun jenis buku itu, kami akan tetap menyitanya.
Apakah tugas Majma' al-Buhûts hanya terbatas meberikan rekomendasi?
Tidak. Sesuai dengan surat keputusan Kementrian Kehakiman kami mendapat hak untuk melakukan penyitaan dan sidak secara langsung. (Syekh Ibrahim mengeluarkan surat keputusan dan membacanya). Sesuai dengan keputusan Menteri Kehakiman Mesir Faruk Saif Al-Nashr Nomor 4392 tahun 2003 memberi wewenang kepada sepuluh pegawai di Majma' Buhûts al-Islâmiyah untuk melakukan kontrol hukum (dlabth qadlâ'î).
Sesuai dengan undang-udang nomor 103 tahun 1985 dan keputusan kementrian kehakiman nomor 60 tahun 1986, ulama-ulam tersebut adalah, Syekh Sayyid Ahmad Ali Misbah Direktur Umum Penelitian Penerbitan dan Penerjemahan, Syekh Mamduh Mahir Abd Khalik ketua devisi khusus drama, dan kaset, Syekh Abd Dlahir Muhammad Abd Raziq Direktur Umum Kepegawaian di Al-Azhar, Syekh Muhammad Syahatah Sulaiman, pegawai di Majma', Syekh Muhammad Abd Rahman Al-'Adwi, ketua devisi drama keagamaan, Syekh Ahmad Mushlih Abd Aziz pegawai devisi tashhih Al-Quran, Syekh Muhammad Zaki Sya'ban, anggota tim seni di Majma', Syekh Ala al-Din Abd Dhahir, pegawai Al-Azhar, Syekh Kamil Al-Sayyid pegawai di Maj'ma', dan Syekh Nabil Hamzah Wahbah pegawai di Al-Azhar.
Apakah mereka memiliki latar belakang bidang sastra dan seni?
Tidak. Karena tugas mereka hanya memberi penilain secara syariat Islam dan tradisi Islam. Mereka semua alumni Al-Azhar terutama latar belakang pendidikan syariah.
Apakah mereka memiliki hak melakukan penyitaan sendiri ke toko-toko buku?
Boleh jadi. Jika masih ada penerbit bersikeras mengedarkan buku-buku yang masuk daftar cekal, atau mereka melaporkan kepada pihak-pihak keamanan.
Apakah penyitaan akan meliputi karya-karya Hassan Hanafi, Nashr Hamid Abu-Zayd dan pemikir-pemikir lain yang pernah dikafirkan?
Penyitaan itu tidak berhubungan dengan individu-individu tertentu, tapi semua buku yang menentangkan akidah dan menghina agama. Kami tidak menentang ide dan pemikiran, pena tidak pernah berdosa. Tapi jangan menghina agama, atau simbol-simbol keagamaan.
Khusus karya Nawal el Saadawi, Suqûth al-Imam, mengapa baru disita setelah 20 tahun terbit?
(Sebelum menjawab, Syekh Ibrahim mengambil surat keputusan Majma' mengenai penyitaan karya Nawal dan membaca). Novel ini telah dibedah dan dikaji. Buku ini termasuk jenis novel yang menceritakan beberapa peristiwa khayali dan tokoh utamanya disebut al-Imâm. Penulis novel ini telah mengeluarkan pemikiran-pemikiran yang menyerang Islam, ajaran dan hal-hal yang permanen (al-tsawâbit). Penulis juga mencela dan meragukan terhadap tokoh yang dia sebut sebagai al-Imâm. Kalimat al-Imâm adalah istilah keislaman, dan Nawal menginginkan umat Islam selalu mencurigai sosok al-Imâm itu. Penulis juga mengutip beberapa ayat Al-Quran dengan tujuan untuk mencela ajaran-ajaran Islam, baik secara akidah ataupun syariah. Maka dari itu, Majma' Buhûts al-Islâmiyah mengeluarkan keputusan untuk melarang peredaran novel itu di kalangan pembaca dengan tujuan menjaga akidah ruh agama dari penghinaan.
Menurut Nawal el Saadawi karya itu novel politik bukan novel agama, dan makna al-Imâm bukan tokoh agama, tapi mendiang Presiden Anwar Sadat?
Tidak. Kalimat al-Imâm bagi kami bukan bermakna presiden. Presiden bukan Imam, tapi presiden hanya pemimpin dalam masalah politik.
Jadi apa makna al-Imâm?
Seperti yang masyhur adalah pemimpin agama. Di kalangan syiah memiliki istilah sendiri. Di kalangan kami, sunni juga memiliki istilah sendiri. Imam biasanya dipakai seperti Imâm al-Mu'minîn (pemimpin orang-orang mukmin), bukan maknanya pemimpin politik seperti kata ra'îs jumhûriyah (presiden).
Jadi itu istilah agama?
Iya! Imam itu istilah agama, bukan istilah politik. Jadi novel itu adalah novel agama, bukan novel politik.
Menurut pihak yang menolak keputusan Al-Azhar tersebut, bahwa keputusan itu bukan karena takut kepada masalah-masalah permanen dalam agama tetapi karena takut kepada tradisi dan budaya lain?
Ini tuduhan tidak berlandaskan argumentasi yang kuat. Selama ini kami telah menegaskan berkali-kali, bahwa kami tidak menyekal dan menyita buku pemikiran, tapi buku-buku yang menghina Islam, dan mengingkati akidah. Buku yang menghina simbol-simbol keagamaan seperti sosok nabi, dan sahabat.
Kalau begitu, mengapa kita takut dengan tradisi lain?
Kita tidak takut dengan tradisi lain. Seperti yang dimaklumi ketika Islam datang telah ada adat istiadat dan tradisi, dan Islam sendiri tidak mengingkari semuanya. Tapi mengakui tradisi yang baik dan mengingkari tradisi yang buruk. Jadi ketika kita berhadapan dengan tradisi lain, maka kita ambil yang sesuai dengan tradisi kita, agama kita, dan adat-istiadat kita. Selain itu, yang bertentangan dengan tradisi, dan agama kita, kita buang jauh-jauh.
Apakah anda melihat karya-karya itu sebagai bentuk cacat pemikiran? Kira-kira apa sebabnya?
Iya. Penyebabnya karena mereka bertaklid buta terhadap Barat. Dan dari mereka banyak yang hidup lama di Barat dan terpengaruh dengan gaya hidup Barat. Sehingga tradisi mereka bertentagan dengan tradisi kita, seperti seks tanpa nikah, mabuk-mabukan, judi, tarian-tarian dan lain-lain. Dan sayang sekali pers banyak membantu agenda mereka. Padahal hal itu bertentangan jelas dengan agama.
Menurut beberapa pihak, keputusan penyitaan itu akan memberi angin segar bagi munculnya kelompok-kelompok Islam radikal?
Tidak. Al-Azhar sendiri terkenal dengan pemikirannya yang moderat dan toleran. Ketakutan itu tidak akan pernah terjadi. Al-Azhar sendiri selama ini berhadap-hadapan dengan kelompok radikal dan teroris. Selama ini Al-Azhar telah mengupayakan dialog dengan pemimpin-pemimpin kelompok Islam. Kami menggelar diskusi dan debat dengan mereka sampai di penjara-penjara. Kami ingin mengubah pola pikir mereka.
http://swaramuslim.net/islam/more.php?id=A864_0_4_0_M
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment