UUPM dan Krisis Kapitalisme Global

RUU Penanaman Modal ditetapkan oleh DPR sebagai undang-undang pada tgl. 29 Maret 2007. Penetapan undang-undang tersebut tidak melalui proses perdebatan dan pergulatan sengit, baik di dalam parlemen sendiri maupun di kalangan pemerintah (birokrasi). Tampaknya pemerintah dan parlemen umumnya, melalui cara teknokrasi cenderung mengabaikan aspirasi rakyat, di tengah suasana krisis struktural yang dihadapi saat ini. Hanya Fraksi PDIPyang melakukan penolakan dengan melakukan walk out pada waktu itu.

Undang-undang ini mengajak bangsa Indonesia kembali pada tanggal 9 April 1870 ketika Akker Wet atau yang lebih dikenal dengan Agrarische Wet diundangkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Wet inilah yang memberikan dorongan bagi datangnya berbagai investasi di berbagai perkebunan Hindia Belanda. Pada masa itu ijin penyewaan ditetapkan selama 75 tahun dan dapat diperpanjang menurut keperluan perkebunan. Hampir sama dengan UU PM yang barusan ditetapkan, hanya saja, sewa tanah yang diberikan bagi negara-pengusaha asing selama 30 tahun dan dapat diperpanjang dimuka sekaligus selama 90 tahun.

Menyangkut hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) yang di dalam UU PMA ditetapkan dengan jangka waktu sedemikian lama kiranya telah banyak dibahas. Bagi kalangan gerakan prodemokrasi (rakyat) kandungan dasar UU PM tidak lain sebagai perampokan legal, atau penindasan struktural. Dengan menggunakan tangan negara (regulasi) kapitalisme global dilangsungkan secara sistematik. Skema ini merupakan ekspresi hegemoni rezim neo liberal dalam menguasai alat-alat produksi negara-negara dunia ketiga.

“Krisis rezim neo liberal” yang berkenaan kelangkaan sumberdaya untuk berproduksi senantiasa mendorong negara-negara industri maju untuk melakukan ekspasi ke negara dunia ketiga agar akumulasi terus berlangsung. Jurus yang dianggap mujarab, sesungguhnya telah gagal, apa yang diistilahkan paradigma palsu (Todaro, 2000), namun senantiasa dipaksakan agar cerita sukses kaum kapitalis ditiru negara dunia ketiga. Banyak bukti kebobrokan skema yang diterapkan di negara-negara dunia ketiga dengan program penyesuaian struktural atau structural adjusment programme (SAP), cenderung hancur. Terlihat di berbagai krisis finansial yang secara berantai mengenai negara-negara Afrika, Meksiko, Brazilia, Rusia dan Asia. Di Indonesia bentuk krisis ini adalah kebangkrutan ekonomi pada tahun 1998. Krisis ini juga dapat dilihat dengan skandal keuangan yang menimpa perusahaan multinasional (MNC). Kasus Enron perusahaan pemasok enerji yang merupakan perusahaan nomor tujuh terbesar di Amerika Serikat ini selama tiga tahun berturut-turut terpaksa memalsukan pembukuan mereka agar para pemegang saham tidak tahu bahwa sebetulnya perusahaan mengalami kerugian. Melalui persekongkolannya dengan perusahaan akuntannya, yang kebetulan juga sebuah perusahaan akuntansi multinasional yakni Arthur Andersen LLP. Sampai pertengahan tahun 2002 setidaknya ada lima perusahaan multinasional yang berbasis di Amerika Serikat yang terlibat dalam skandal besar, yaitu ImClone (perusahaan obat dan rekayasa genetika), Tyco (perusahaan konsultan benda seni), Albriond Capital Management (perusahaan konsultan keuangan), Merrill Lynch (perusahaan konsultan investasi), dan Kmart (perusahaan retail). Ternyata ideologi kapitalisme yang mengandalkan persaingan bebas dengan transparansi mengalami kegagalan dalam membangun mesin ekonominya.

Bentuk krisis neo liberal yang lain dan lebih nyata adalah kelebihan produksi. Pasca tahun 1997 terjadi kemandekan laba di sektor industri AS. Keadaan ini disebabkan oleh kelebihan kapasitas besar-besaran yang telah terjadi di seluruh sistim ekonomi internasional selama boom AS di tahun 1990-an. Kedalaman persoalan ini tercermin pada fakta bahwa infrastruktur telekomunikasi global baru hanya termanfaatkan 2,5 persen. Kelebihan kapasitas telah menyebabkan pergeseran modal dari ekonomi riil ke ekonomi spekulatif, ke sektor finansial, suatu perkembangan yang menjadi salah satu faktor pemicu gelembung pasar saham, terutama di sektor teknologi. Jadi fenomena munculnya beragam pola penipuan dengan investasi adalah artikulasi atas tidak ada aktifitas produksi riil sementara kebutuhan finasial tetap terus tumbuh. Bukti lain adalah menumpuknya barang produksi di gudang seperti DRTV yang tiap hari melakukan potongan harga besar-besaran atau berbagai diversifikasi produk seperti yang terlihat dengan munculnya macam-macam produk dengan pasar spesifik tapi fungsi sama misalnya Pepsodent untuk gigi berlubang, untuk pemutih, untuk anak-anak, dan sebagainya. Pasar sedang jenuh dengan barang yang menumpuk sementara daya dan volume beli masyarakat semakin turun.

Apa kaitan krisis skala internasional tersebut dengan kemunculan UU Penanaman Modal?

Ideologi pasar (neo liberal) sangat yakin bahwa investasi adalah jalan pintas bagi proses pertumbuhan ekonomi. Karena dengan investasi berarti akan ada aktifitas ekonomi kembali. Bekerjanya kembali mesin-mesin industri juga berarti membuat masyarakat yang bekerja semakin banyak, mempunyai penghasilan untuk berbelanja, ada harapan akan munculnya investasi dari masyarakat dalam berbagai bentuk seperti tabungan, asuransi, properti, dan sebagainya. Asumsinya, perekonomian masyarakat akan kembali bergerak, sehingga kapitalisme dapat menyelamatkan diri dari lingkar krisis yang diciptakannya sendiri. Dalam asumsi ideologi pasar ini terlihat dua fakta yang tidak bisa dipungkiri bahwa neo liberalisme untuk menyelamatkan diri membutuhkan: 1) pasar baru, 2) tempat produksi baru dengan keringanan-keringanannya, 3) tenaga kerja murah (lihat kebijakan UU Perburuhan yang mengatur tentang Labor Market Flexibility-LMF); 4) sumber daya melimpah dan mudah dieksploitasi; 5) regulasi yang mendukung dan mengamankan investasi rezim neo liberal.

Tidak mengherankan jika UU PM menjadi jalan strategis asuknya investasi asing selain berbagai hak guna usaha (HGU) dan hak guna bangunan (HGB) yang berkisar antara 90-150 tahun, serta ijin eksploitasi sumber daya alam di Indonesia. Hampir berbagai sektor yang melibatkan hajat hidup orang banyak diperbolehkan dikelola investor asing. Seperti sektor energi dengan keberadaan Exxon Mobil, Shell, Petronas, dsb; sektor air dengan diijinkannya PT Danone mengeksploitasi sumber mata air Sigedang (Jawa Barat) dan Umbul Wadon (Klaten) yang memproduksi air minum dalam kemasan Aqua juga Nestle dengan Ades-nya.

Sebagai bentuk konsekuensi berbagai kesepakatan WTO yang salah satunya adalah Trade-Related Investment Measures (TRIMs), investasi asing bakal mendapatkan perlakuan istimewa. Setidaknya jika sebelum UU PM masuknya investor asing ke Indonesia mensyaratkan partner di tingkat lokal untuk aktifitasnya dan untuk sektor-sektor tertentu harus mempekerjakan tenaga kerja domestik, tetapi sekarang tampaknya semua dibebaskan begitu saja. Konsekuensinya, most favoured nations (MFN) dan national treatment (NT), keduanya merupakan salah satu point dalam kesepakatan WTO. Point MFN, tidak ada satu negara pun lebih favorit (diistimewakan), artinya jika satu perusahaan atau investor asing dari satu negara masuk maka konsekwensinya adalah hal yang sama juga harus diberikan pada perusahaan atau investor negara lainnya. Jika Indonesia mengijinkan Microsoft masuk ke Indonesia, konsekwensinya Linux juga harus boleh masuk. Atau jika Bayer boleh menanam modal di Indonesia maka Mosanto harusnya juga boleh. Memang akan muncul banyak industri dan investasi tetapi ini sama sekali tidak menguntungkan bagi Indonesia karena industri-industri nasional yang sedang berkembang dan memperluas kemampuan harus bersaing dengan industri skala internasional ini. Apalagi dengan point NT yang mengharuskan perlakuan yang sama antara industri atau perusahaan nasional dengan asing. Lebih jelasnya negara tidak boleh lagi memberikan proteksi, subsidi, dumping, dsb pada industri atau perusahaan nasional. Argumennya, karena hal itu hanya akan merusak ekonomi pasar saja.

Desain UU PM terlihat memang tidak jauh dari skema neo liberal, sebagai sebuah formula untuk menjawab krisis di dalam diri mereka. Persoalannya menjadi lebih kompleks ketika dalam tataran negara (pemerintah) begitu yakin bahwa investasi merupakan jalan pintas untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pertanyaannya benarkah investasi asing atau liberalisasi ekonomi akan memacu sebuah negara menjadi maju? Atau benarkah investasi asing akan meratakan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia?

Pertama, kita harus belajar dari sejarah negara-negara maju untuk menjawab pertanyaan tersebut. Negara maju baik itu Amerika Serikat, negara-negara Eropa, China dan Jepang misalnya mereka tidak sepenuhnya meliberalisasikan pasar mereka. Untuk kasus China keberadaan Lenovo (dahulu Legend) yang berhasil mengakuisisi Divisi PC IBM tidak sepenuhnya dibiayai dengan investasi asing. Jauh sebelumnya mulai dari tahun 1949 perusahaan ini hanya membuka investasi dari Uni Sovyet baru kemudian tahun 2001 mereka membuka diri pada semua investasi asing. Tentu saja setelah mereka secara internal kuat dan mampu bersaing dengan perusahaan asing lainnya. Atau Amerika Setikat (AS) yang mengkampanyekan pasar bebas tetapi melakukan proteksi terhadap pengusaha domestiknya, misalnya dengan Small Business Administration yang memberi fasilitas khusus bagi usaha kecil dan menengah (UKM).

Kedua, kenyataannya liberalisasi (perdagangan bebas) berlaku dengan persaingan pasar sempurna ternyata ini tidak terjadi. Investasi asing sebenarnya berputar di kalangan mereka sendiri. Yang terjadi adalah perdagangan antar mereka sendiri. Antar-TNC-TNC itu sendiri atau bahkan di dalam TNC itu sendiri. Mekanisme pasar yang ada bukanlah free trade melainkan ”sindikat”. Menurut data PBB, pada tahun 1980-an setidaknya 50% dari keseluruhan ekspor Amerika Serikat adalah perdagangan antara perusahaan-perusahaan transnasional dan 30% ekspor Inggris juga merupakan perdagangan antara perusahaan transnasional.

Ketiga, investasi asing terbukti tidak mempunyai kesetiaan pada negara tempat mereka berusaha atau berproduksi. Krisis tahun 1990 terbukti investasi asing begitu saja melarikan modalnya. Sehingga kemampuan bertahan sebuah negara terhadap krisis lebih karena pelaku ekonomi dalam negerinya mempunyai kemampuan bertahan yang sangat besar. Jika tidak maka keruntuhan dan krisis berlangsung terus-menerus. Untuk negara dengan pelaku ekonomi yang mempunyai kemauan dan kemampuan bertahan seperti itu kita bisa merujuk pada Korea Selatan. Untuk Indonesia tampaknya tidak ada dalam kategori tersebut baik kemauan maupun kemampuan.

Disinilah substansi UU PM itu dapat kita pahami bukan jawaban bagi persoalan kemiskinan masyarakat Indonesia, namun sebaliknya menjadi bagian pencaplokan alat-alat produksi rakyat. Namun, lebih dari itu, UU itu bagian dari desain global yang sudah dipersiapkan untuk secara legal dan berkesinambungan merampok negara dan rakyat Indonesia. Dengan kalimat lain, semua ini bukan sekadar persoalan regulasi semata, tetapi soal kedaulatan yang tidak berada di tangan negara dan rakyat Indonesia. Pemahaman semacam ini membuat kita mampu merumuskan formula strategis untuk melakukan perjuangan perlawanan terhadap UU PM, sebagai perlawanan terhadap imperialisme.***

Arie Sujito

No comments:

Post a Comment