“ Menuju Pendidikan Gratis-Berkualitas, Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi Pada Rakyat, dan Menolak Kapitalisasi Pendidikan “

A. HAKEKAT PENDIDIKAN DAN JAMINAN AKSES PENDIDIKAN
1. Hakekat Pendidikan :
 Pendidikan baru ada artinya kalau mampu membebaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, dan ketertindasan( Ki Hadjar Dewantara )
 Apalah artinya bila setiap tahun diluluskan beribu-ribu sarjana, tapi segera sarjana-sarjana itu menjadi penindas-penindas baru bagi rakyat (Romo Mangun)
 Pendidikan dalam artian pendididkan sebagai alat pembebasan, pembebasan dari buta huruf dan kebodohan, mengutip perkataan Paulo Freire orang yang buta huruf adalah manusia kosong dan itu awal dari penindasan. Bagi Freire, penindasan, apa pun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi (dehumanisasi). Pendidikan sebagai proses dialektika yang akan memanusiakan manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak..
 Satu orang terdidik adalah awal perjuangan, 1000 orang tak terdidik adalah awal pemberontakan. (Chiko Mendez)
 Pendidikan harus memuat 3 komponen mutlak, yakni: tarafan kognitife (hubungan yang aplikatif , pengamatan antara ilmu dan praktek serta kebutuhan masyarakat), psikomotorik (kekritisan), dan tarafan afektif (humanisme dan emphatry terhadap realitas dan keadaan social masyarakat),
2. Jaminan Warga Negara dalam Mendapatkan Pendidikan :
 Pasal 13 kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya 1966, menyatakan: Negara-negara yang terlibat pada kovenan ini mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Negara-negara tersebut tak terkecuali Indonesia sepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas, memajukan pengetahuan, toleransi serta persahabatan antar semua bangsa dan semua kelompok, ras, etnis atau agama, dan meningkatkan solidaritas untuk memelihara perdamaian.
 Konvensi Internasional tentang pendidikan tahun 2000 di Dakkar telah menghasilkan kesepakatan tentang kewajiban setiap negara memberikan pendidikan dasar bermutu dan gratis kepada semua warga negaranya.
 Pembukaan UUD 1945 tepatnya pada tujuan nasional menyatakan bahwa “Negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsanya”.
 Pasal 31 Amandemen UUD 1945
 Ayat (1) menyatakan, "Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan",
 Ayat (2) "Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya".
 Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".
Dari beberapa pasal yang terkandung dalam konstitusi tersebut, bisa dipastikan bahwa pendidikan adalah menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Minimnya alokasi anggaran pendidikan menjadi sebuah kenyataan konkrit yang kemudian menyebabkan pendidikan kita semakin mahal dan tidak bermutu. Dalam konstitusi disebutkan, pemerintah memiliki kewajiban membiayai pendidikan minimal 20 % dari APBN/APBD.

B. ANGGARAN PENDIDIKAN DAN ALOKASI APBN :
Anggaran pendidikan :
 Dalam RAPBN-P 2006 hanya 9,6% dari APBN.,sekitar Rp 43,9 trilyun
 Dalam RAPBN 2007 misalnya, sektor pendidikan hanya mendapatkan alokasi 10.3%- 11,8 % atau Rp 51,3 dari total belanja pemerintah pusat sebesar Rp 746,5 triliun atau 21,1% dari PDB.
Pembayaran Hutang :
 Pengeluaran untuk pinjaman luar negeri (utang) berupa pinjaman program dan pinjaman proyek sebesar Rp 35,9 triliun, dan pembayaran cicilan pokok utang luar negeri sebesar Rp 54,1 triliun atau 36,9 % dari total APBN. Padahal utang ini yang membuat anggaran negara defisit.
Data Perta Didik :
 Tahun 2003, mayoritas jumlah mahasiswa baru terbanyak (sekitar 77 %) adalah mereka yang orangtuanya berpenghasilan sekitar Rp 1,5 juta perbulan. Dan 20%-nya adalah mahasiswa yang orangtuanya berpenghasilan Rp 2 juta ke atas.
 Di tahun 2004, masyarakat yang bisa mengakses bangku Perguruan Tinggi (PT), hanya 3% berasal dari keluarga miskin. Sementara sisanya berasal dari keluarga kelas menengah-keatas.

B. KEPENTINGAN KAPITALISME INTERNASIONAL DALAM DUNIA PENDIDIKAN INDONESIA
1. Pendidikan sebagai pemasok SDM/ tenaga kerja/buruh kasar dan berdasi, dalam hal menggerakkan Modal Internasional yang telah diinvestasikan di Indonesia (menopang proses produksi kapitalisme di Indonesia). Dengan melihat itu maka kapitalisme juga punya kepentingan besar disini dibalik kapitalisasi pendidikan yakni dalam hal kebutuhan untuk memperbaharui SDM (dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kapitalisme dan pemenuhan pasar akan kebutuhan tenaga kerja buruh murah (kasar atau buruh berdasi/market oriented) dalam poses produksinya di Indonesia (MNC dan TNC) mengerukan sumber daya energi di Indonesia dan sector perekonomian lainnya.
2. Pengalihan Pendidikan kepada sector Jasa (ruang Investasi Modal bagi Kapitalisme Internasional). Kapitalisme juga melihat bahwa sector pendidikan juga bisa digunakan sebagai alat pengeruk keuntungan, yakni kepada peserta didik. Yakni dengan mengalihkan fungsinya yang tadinya sebagai alat mencerdaskan maka dialihkan kepada sector Jasa, dengan menempatkan peserta didik sebagai penerima jasa dan Institusi pendidikan sebagai penjual jasa, maka institusi pendidikan sudah menjadi tak lebih seperti perusahaan yang hanya mengeruk keuntungan dari peserta didik, dan disana yang punya uang sajalah yang mendapatkan fasilitas pendidikan Pendidikan seperti pabrik yang mencetak produk, dan pendidikan mencetak lulusan-lulusan tanpa memperdulikan kualitas peserta didiik baik dalam skill, daya kritisnya, kepedulian pada realitas social, maupun implementasi ilmu kepada masyarakat. Terbukti dari banyaknya lulusan lembaga pendidikan pertahunnya (wisudaa sampai 3-4x per-tahun), dari situ bisa dilihat bagaimana orientasi pendidikan hanyalah untuk mencetak lulusan saja, daan sebagian besar menjadi pengangguran intelektual. Maka hilanglah essensi pendidikan itu sendiri yakni sebagai alat pembebasan dari kebodohan, ketertindasan, dan kemiskinan rakyat.
3. Pendidikan sebagai pangsa pasar produk-produk kapitalisme
Universitas sebagai sebuah institusi pengelola pendidikan dengan jumlah peserta didik juga dilihat oleh kapitalisme sebagai pangsa pasar dari produknya dan sebagai sebuah institusi yang dapat menggerakkan modalnya. Hal tersebut jugalah yang mendorong agar pendidikanpun harus di privatisasi. Bila dilihat, peserta didik jelas akan selalu berdomisili didekat Universitasnya masing-masing dan bisa dipastikan bahwa keberadaannya di Universitas kurang lebih selama 5 tahunan, disinilah kapitalisme juga mendorong agar, didalam institusi pendidikan juga perlu adanya tempat-tempat seperti : book store, dicostik, dan fasilitas hiburan lainnya. Kepentingannya disini adalah untuk ekspansi produk dan mengeruk keuntungan modal. Banyak sudah investasi daari luar negeri yang masuk kedalam institusi pendidikan Indonesia, hibah, atau kemudian juga sangat dimungkinkan berdirinta PTA (Perguruaan Tinggi Asing) di Indonesia.
4. Pendidikan sebagai alat hegemenoni kapitalisme
Setelah diurai diatas maka yang terakhir ini akan sangat berkaitan dengan lainnya, karena kapitalisme juga melihat bahwa pendidikan kalau juga tidak diset-up dengan faham-faham kapitalismenya maka, pendidikan itu juga dapat menjadi ancaman bagi berlangsungnya proses kapitalisasinya, karena essensi dari pendidikan adalah memanusiakan manusia, dan memebebaskannya dari belenggu kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan. Maka untuk melengkapi proses kapitalisme di Indonesia, maka pendidikan juga harus segera diprivatisasikan. Dengan itu maka kapitalisme dapat mendominasi fahamnya dengan jalan merombak juga kurikulum pendidikan yang hanya berorientasi pada pasar (modal).

C. ALUR DEPOLITISASI KAMPUS DAN KAPITALISASI PENDIDIKAN
 Karakter feodalisme , militerisme (ex : warisan fasisme Jepang), dan kapitalisme (Belanda, Orba) yang masih melekat sampai hari ini dalam system pendidikan kita.
 NKK/BKK th 1974, antara lain dibentuknya berbagai macam lembaga yang lebih bersifat hobby (intra kampus) yang beroientasi memandulkan kekritisan mahasiswa.
 Kesepakatan GAT’s (General Agreement on Trade in Services), dan WTO (World Trade Organization), yang intinya Mengarahkan Pendidikan menjadi Sektor Jasa) , yakni “Pendidikan Berorientasi Dagang”
yaitu keharusan negara-negara untuk menghapuskan halangan-halangan investasi disektor pendidikan, Tidak ada lagi pembatasan bagi pengajar asing, Subsidi dari negara harus dikurangi, banyak dibuka sekolah-sekolah Internasional yang mekanismenya diserahkan pada pasar. Secara lengkap tentang konsensi GATS (persetujuan umum mengenai perdagangan jasa) adalah : 1) cross border supply dimana PT asing menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree programme, 2) consumption abroard dimana mahasiswa Indonesia belajar di PT luar negeri , 3) commercial presence di mana PT asing membentuk partner, subsidary atau twinning arrangement dengan PT local, 4) Presence of natural persons di mana dosen dari PT asing mengajar di PT lokal. Nah Indonesia sebagai negara yang terlibat dalam pembahasan tersebut tentunya ikut menjalankan kespakatan-kesepakatan yang dihasilkan dengan dimanifestasikan dalam bentuk regulasi-regulasi di bidang pendidikan seperti;
UU No 7 Tahun 1994, mengatur tentang PTA (Perguruan Tinggi Asing) di Indonesia dan memposisikan pendidikan sebagai jasa yang dapat saling diperdagangkan-dan yang di dalamnya termasuk pendidikan tinggi, Dan kehadiran PTA di negara kita akan sulit dibendung. model, satu di antaranya Model Commercial Presence, yaitu penjualan jasa pendidikan (tinggi) oleh lembaga di suatu negara bagi konsumen yang ada di negara lain dengan mewajibkan kehadiran secara fisik lembaga penjual jasa dari negara itu. Hadirnya PTA dari mancanegara untuk menjual jasa pendidikan tinggi kepada konsumen di Indonesia adalah model-model penjajahan imperialisme untuk proses akumulasi modal. Dan terbukti belum lama ini dalam work shop “Implikasi kesepakatan WTO”, Indonesia telah membuka ruang kepada 6 negara yaitu AS, Australia, Inggris, Jepang, China dan Korea untuk kerjasama di bidang pendidikan (orientasi jasa), Indonesia sudah membuka 5 kota besar yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan dan Yogyakarta dalam menindaklanjuti hal tersebut.
 Januari 1998, penandatanganan MEFP (Memorandum of Economic and Financial Policies) atau lebih dikenal dengan LOI (Letter of Intent), antara Soeharto dan Michael Camdesus (Meneger Direktur IMF), untuk mengtatasi krisis moneter, Indonesia berhutang US$ 41 Milyar untuk memperkuat cadangan devisa BI, dan Indoneisa harus menjalankan program Neoliberalisme, yakni pencabutan subsidi bagi rakyat dalam (pendidikan, kesehatan, dll), deregulasi ekonomi, dan privatisasi BUMN).
 PP.60 Tahun ’99 tentang Perguruan Tinggi,
 PP. 61 Tahun ’99 tentang Perguruan Tinggi Negeri Sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara)
 PP No 151 tahun 2000, PP No 152 Tahun 2000, PP No 153 Tahun 2000, PP 154 tahun 2000, PP No 06 tahun 2004 yang semuanya menjadi legalitas dari pem-BHMN-an UI, ITB, UGM, IPB, UNAIR, UPI.
 SK Dirjen Dikti no 26 Tahun 2002 tentang pelarangan Ormass dan partai politik di kampus, sehingga bisa kita maknai bahwa kebijakan pemerintah maupun pihak kampus selalu membelenggu tatanan demokratisasi kampus
 UU Sisdiknas / Sistem Pendidikan Nasional (UU no 20 Tahun 2003) tentang pelepasan tanggungjawab negara dalam jaminan pendidikan bagi warga negara.
Sangat jelas Undang-Undang Sisdiknas justru hendak menggerakkan pendidikan nasional kita pada arah liberalisasi, Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa ""masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan", dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada. Gambaran di atas terasa aneh, sebab dalam UUD 1945 yang diamandemen, menyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), ""setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya". Hal itu dipertegas di Ayat (4), "Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional".
 RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang menggerakkan dunia pendidikan di Indonesia kearah yang sangat liberal dan kapitalistik, sebagai perangkat juklak juknis UU Sisdiknas. Yang isunya akan ditetapkan Juni-Juli 2007.
Pasal 1 Ayat (1) RUU BHP yang berbunyi, "Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom". Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri. RUU BHP sebenarnya ingin menjadikan perguruan Tinggi (PT) layaknya seperti Perseroan Terbatas (PT) yang didalamnya juga membuka peluang investasi pihak swasta melalui mekanisme Majelis Wali Amanah (MWA) yang terdiri dari perwakilan pemerintah, perwakilan satuan pendidikan atau rektorat, dan dari masyarakat atau pihak swasta, yang dimaksud dengan perwakilan masyarakat disini adalah investor.
Dalam RUU ini juga disebutkan bahwa BHP dapat melakukan investasi. Untuk investasi yang menghasilkan pendapatan tetap seperti deposito, Sertifikat Bank Indonesia, obligasi, reksadana, dan produk keuangan lain yang resikonya terukur dan rendah, cukup dikelola melalui suatu unit manajemen aset di bawah MWA, dan tidak diperlukan badan hukum tersendiri di dalam BHP. Investasi pada kegiatan usaha yang resikonya dapat membahayakan keberlanjutan BHP, harus dijalankan dengan mendirikan badan hukum dengan tanggung renteng sebatas penyertaan modal BHP ke dalam badan hukum tersebut, artinya sangat jelas bahwa yang banyak diatur didalamnya adalah melulu mengenai pendapatan dan keuntungan semata yang indikasinya sangat terang bahwa BHP akan menegasikan fungsi satuan pendidikan sebagai fungsi social dan digeser menjadi alat untuk mengeruk keuntungan sehingga untuk melanggengkan pengelolaannya maka biaya pendidikan akan semakin mahal dan sangat memberatkan mahasiswa.
MWA juga diposisikan sebagai pengambil kebijakan tertinggi dan mempunyai fungsi untuk mengelola hal-hal yang bersifat non akademis karena memang secara prinsip hanya memikirkan keuntungan dan tidak memikirkan bagaimana peningkatan kualitas pendidikan, makanya kemudian juga diatur bahwa representasi di MWA 2/3 nya bukan berasal dari perwakilan satuan pendidikan, melainkan dari perwakilan masyarakat atau swasta yang notabene mempunyai kepentingan yang sangat besar dalam hal investasi. BHP juga mensyaratkan bahwa hal-hal yang menyangkut kekhasan perguruan tinggi dapat diatur dalam Anggaran Dasar BHP yang bersangkutan, inilah yang diartikan sebagai manifestasi dari otonomi kampus yang selalu bergerak sesuai dengan kemauan dan kepentingannya sendiri. Selain itu dalam pasal 28 ayat (1) juga dijelaskan bahwa BHP bisa melakukan penggabungan atau marger atas badan hukum satuan pendidikan yang lain, jadi gambaran kedepan bahwa kampus atau satuan pendidikan yang tidak mempunyai modal cukup kuat dalam pengelolaannya akan segera gulung tikar dan dibubarkan untuk kemudian digabungkan dengan kampus BHP yang modalnya lebih kuat. BHP juga dapat membentuk unit lain di luar MWA, Dewan Audit atau yang lainnya untuk menunjang kegiatan lain yang relevan dengan pendidikan, misalnya BHP dapat membentuk unit usaha yang bertujuan menunjang pendanaan penyelenggaraan pendidikan dan menghasilkan keuntungan tambahan.
 Posisi Pemerintah (Rezim SBY-JK) hari ini sangat berperan sebagai regulator bagi pelayanan masuknya modal asing, karena pemerintahan SBY-Kalla sangat tunduk pada kepentingan Imperialisme.Penerapan undang-undang di bawah UUD 1945 yang mengamanatkan pelaksanaan pendidikan dasar gratis, ternyata sudah diakui pemerintah sendiri akan ketidakmampuannya!!. Hal itu tertuang dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang menyatakan dengan tegas bahwa pemerintah belum mampu menyediakan pelayanan pendidikan dasar secara gratis (RPJM, halaman IV). Hal itu diungkap pada Peraturan Pemerintah Pasal 13 Ayat (3), ""Masyarakat dapat ikut serta menjamin pendanaan penyelenggaraan program wajib belajar pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, maupun masyarakat".

D. IMBAS KAPITALISASI PENDIDIKAN DALAM PENERAPAN RUU BHP :
Institusi Pendidikan (didalamnya ada Modal Asing), akan mempertahankan modalnya guna akumulasi, ekspansi, eksploitasinya), maka akan timbul :
1. Kekerasan fisik dalam Dunia Pendidikan, dan yang sudah terjadi :
 Kasus IKIP Mataram : dimana mahasiswaa berdemonstrasi menuntut demokratisasi kampus (mengembalikan akitivitas proses belajar mengajar yang terbengkalai akibat konflik internal Yayasan), malah dijawab oleh kampus dengan menyewa preman menyerbu demonstran mahasiswa yang berujung dengan terbunuhnya 1 orang mahasiswa (Ridwan)
 Kasus UISU (Univ. Islam Sumatera Utara-Medan) : mirip dengan kampus IKIP Mataram , karena adanya konflik Yayasan maka kembali preman didatangkan pihak kampus untuk menghalau mahasiswa yang menduduki kampus guna menuntut fasilitas, aktivitas belajar mengajar, dll . Mahasisaa berjumlah 200 orang diserbu preman sejumlah 400 orang akibatnya 5 orang mahasiawa mati terbunuh.
 Kasus Ternate ; terbununya 3 mahasiswa.
 Kasus Univ. Tri Sakti, Jakarta :
 Ferry Juniansyah( Kusut ) Fakultas Hukum yang juga anggota SMI Komisariat Trisakti, mendapatkan surat panggilan dan diintimidasi oleh Komisi Disiplin Fakultas hukum dengan tuduhan provokasi dalam aksi tanda tangan yang dilakukan SMI KOMISARIAT TRISAKTI dalam menuntut peningkatan fasilitas (penambahan kabel USB pada computer, perbaikan WC, penambahan lift dan menuntut diterapkannya Transparansi Nilai di Fakultas Hukum) 5 April 200
 Penyekapan yang dilakukan oleh pihak Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Otorita Universitas yang bekerja dengan polsek Tanjung Duren, Jakarta terhadap 2 orang anggota Serikat Mahasiswa Indonesia (Benny Yoseptho dan Damar Panca) yang memberikan solidaritas moril terhadap mahasiswa yang memperjuangkan haknya
2. Kekerasan Non-fisik dalam Dunia Pendidikan :
 Kebijakan kampus secara sepihak, pada mahasiswa, ex :
 UAD (Univ. Ahmad Dahlan)Yogyakarta melalui Surat Edaran Rektor, bertanggal: 27 September 2006, bernomor : R/465/A.10/IX/2006, tentang Pembinan Organisasi Kemahasiswaan UAD, yang isinya :
 UAD jelas tidak mungkin membiarkan organisasi ekstra kampus berdiri di UAD.
 Melarang organisasi ekstra kampus selain IMM, menggunakan nama Universitas Ahmad Dahlan dan fasilitas-fasilitas milik UAD, termasuk pemasangan pamflet-pamflet, baik didalam maupun diluar UAD.
 Kebijakan DO (Dop out/scorching) :
 UAD (Univ. Ahmad Dahlan)Yogyakarta : 3 mahasiswa discorshing tidak dapat mengikuti perkuliahan selama 2 semester akibat mengkritisi kebijakan kampus yang sepihak tanpa melibatkan mahasiswa.
 ITS (Institut Tekhnologi Sepuluh November 2007-Surabaya) : 3 mahasiswa discorshing tidak dapat mengikuti perkuliahan selama 2 semester akibat ikut ddlaam pendaampingan korban lumpur Lapindo. Brantas.
 Drop Out terhadap mahasiswa di Universitas TAMA JAGAKARASA
3. Arahan De-politisasi Kampus (NKK-BKK Jilid2), pemberangusan elemen-elemen pro-demokrasi dan kekritisaan mahasiswa.
4. Mahalnya ongkos pendidikan dari Tingkat Dasar sampai Perguruan Tinggi
5. Berdirinya Lembaga-Lembaga Pendidikan baik dalam Negeri (punya Modal besar), dan menjamurnya PTA (Perguruan Tinggi Asing) dengan ongkos pendidikan yang mahal
6. Tutupnya Lembaga Pendidikan yang tidak punya Modal
7. Semakin banyaknya angka tidak sekolah dan putus sekolah di Indonesia.

E. PERJUANGAN DEMOKRATISASI KAMPUS MENUJU PENDIDIKAN GRATIS DAN BERKUALITAS
Apa yang mendesak kita (mahasiswa) atau elemen mahasiswa lakukan :
1. Menghilangkan sekat antar organisasi intra kampus atau ekstra kampus, bersatu dalam satu pandangan tentang system pendidikan nasional yang berada dalam arus Kapitalisasi Pendidikan
2. Menyatukan frame bersama, bahwasannya ada musuh bersama, yakni persoalan Kapitalisasi pendidikan (Tentang dampak UU no. 20 thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, RUU BHP/ Badan Hukum Pendidikan).
3. Mendorong arahan demokratisasi kampus, dengan serius, daan kontinu menyikapi persoalan-persoalan dimasing-masing kampus (dari persoalan fasilitas kampus, atau beranjak dari persoalan kecil didalam kampus yang sangat berkaitan dengan hak normative seluruh mahasiswa kampus)
4. Menyerukan issu daaan melakukan perjuangan pendidikan bersaama dengan kekuatan rakyat :
 Cabut UU no. 20 thn 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
 Cabut SK Dirjen Dikti no 26 Tahun 2002
 Tolak RUU BHP (Badan Hukum Pendidikan)
 Kebebasan berserikat dan berorganisasi
 Stop repsifitas di dunia pendidikan
 Tolak liberalisasi dan komersialisasi pendidikan
 Libatkan mahasiswa dalam setiap penganbilan kebijakan di kampus.
 Kurikulum pendidikan yang berpihak pada rakyat.
 Transparansi biaya pendidikan.
 Wujudkan Pendidikan Gratis-Berkualitas, Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi Pada Rakyat.
Perjuangan dalam pendidikan kemudian juga akan menimbulkan dampak bagi sector lain seperti petani, buruh, nelayan, KMK (Kaum Miskin Kota), bila cita-cita itu bisa kita wujudkan maka anak-anak buruh, petani nelayan , KMK, dll akan mampu mengenyam bangku pendidikan.
5. Meleburkan diri dengan kekuatan rakyat (buruh, petani, dan kmk) dalam menyikapi setiap issu yang berkaitan dengan kesemua sector tersebut (ex : UU Penanaman Modal, tentang Reforma Agraria Sejati), kareena sadar kita adalah bagian dari rakyat itu sendiri, dan jelass perubahan sebenarnya (Revolusi) akan digerakkan oleh mereka, kelas yang langsung berbenturan dengan Rezim hari ini dan Kapitalisme Internasional (musuh rakyat tertindas Indonesia).

F. PROGRAM-PROGRAM YANG HARUS DILAKUKAN PEMERINTAH
Negara sebenarnya mampu untuk merealisasikan pendidikan gratis ketika mau melaksanakan beberapa program-program strategis yang sangat besar manfaatnya bagi kesejahteraan rakyat, beberapa program strategis yaitu :
1. Laksanakan Reforma Agraria Sejati
2. Bangun industrialisasi nasional yang kerakyatan
3. Tolak campur tangan IMF, WTO, WB dan putuskan hubungan diplomatik dengan negara-negara Imperialis
Serta beberapa program sumber pembiayaan negara, yaitu :
1. Menyita semua asset koruptor
2. Melakukan Nasionalisasi aset-aset Penting (Pertambangan dll)
3. Bersedia melakukan penghapusan utang luar negeri yang selama ini selalu menguras APBN.


Oleh : A.Ginandjar Wiludjeng
Yogyakarta - Suryowijayan , 19 Juli 2007

No comments:

Post a Comment