Tuhan Tidak Keluar dari Percetakan

Majma’ al-Buhûts al-Islâmiyah memutuskan menyita novel Nawal El Saadawi, Suqûth al-Imâm (Jatuhnya Sang Imam: versi terjemahan Inggris, The Fall of The Imam). Lembaga penelitian Islam milik Al-Azhar itu memiliki otoritas untuk memberangus buku-buku yang dianggap melanggar ajaran Islam sesuai dengan Undang-Undang Mesir Nomor 103 Tahun 1961 Pasal 15.

Novel Nawal tersebut dilarang bersama buku-buku lain, Al-Mâsûniyah: Diyânah am Bid’ah karya Alexander Shahin, Madînah Ma’âjiz al-A’immah al-Itsnâ ‘Asyar dan Dalâ’il al-Hajj ‘Ala al-Basyr, dua-duanya karya Sayyid Hasyim Al-Bahrani, serta Nidâ’ Ilâ Dlamîr al-Ummah karya Ali Yusuf Ali. Dari karya-karya yang “dilabel merah” oleh ulama Al-Azhar, karya Nawal mendapat liputan khusus dari pers Mesir dan dunia.
Nama Nawal memang sudah mendunia. Karyanya telah diterjemahkan ke belasan bahasa. Di Indonesia, beberapa karyanya diterbitkan Yayasan Obor Indonesia, antara lain Perempuan di Titik Nol, Matinya Sang Penguasa, Memoir Seorang Dokter Perempuan, Tak Ada Kebahagiaan Baginya. Yang terakhir adalah Jatuhnya Sang Imam, buku kontroversial tersebut, salah satu karya terpenting Nawal El Saadawi.
“Ulama Al-Azhar lebih senang memburu karya-karya saya daripada buku, novel, dan majalah seks murahan yang bertebaran di trotoar jalanan kota Mesir,” kata Nawal. Meski sudah uzur dan badan sudah mulai bongkok, gaya bicaranya tetap bersemangat dan berapi-api.
Nawal, 72 tahun, dikenal sebagai novelis, psikiater, dokter, aktivis perempuan, dan penulis. Pikiran-pikiran Nawal tidak hanya membuat ulama Al-Azhar kebakaran jenggot, melainkan juga memekakkan telinga Pemerintah Mesir dan Arab. Pada 1972, dia dipecat dari jabatan direktur jenderal di Kementerian Kesehatan Mesir. Majalahnya, Al-Shihhah (Health), dibredel Pemerintah Mesir setelah terbit selama tiga tahun.
Dia dijebloskan ke penjara oleh Anwar Sadat pada September 1981. Di dalam penjara, dia menulis Suqûth al-Imâm dan Mudzakkirât al-Nisâ fi al-Sijn (Catatan Perempuan-perempuan dalam Penjara). Nawal mengaku, tokoh utama novel itu memang terilhami oleh Anwar Sadat, mantan Presiden Mesir yang tewas dalam suatu parade militer, 6 Oktober 1981. Sadat dihujani peluru oleh kelompok Islam garis keras yang dipimpin Letnan Khaled Islambouli.
Pada 15 Juni 1991, Pemerintah Mesir menutup The Arab Women’s Solidarity Association, LSM perempuan yang dipimpin Nawal, setelah beberapa bulan sebelumnya membredel Noon, majalah LSM itu. Nawal juga terkenal sebagai sosok yang sangat anti-Amerika dan Israel. Bahkan, dia menyuruh memboikot produk-produk Amerika dan Israel. Tapi, katanya, “Ulama Al-Azhar lebih berani memboikot novel-novel saya, bukan produk-produk Amerika.”
Selama ini, antara Al-Azhar dan Nawal El Saadawi memang terlibat permusuhan yang kronis. Pernah suatu ketika, Nawal menantang Syekh Al-Azhar untuk berdebat. Namun Syekh Al-Azhar tidak melayani.
Berikut petikan wawancara eksklusif, Mohamad Guntur Romli, dengan Nawal El Saadawi, Senin lalu, di kediamannya di kawasan Hadaik Shubra, Kairo.
Apa tanggapan Anda terhadap keputusan penyitaan Suqûth al-Imâm?
Itu keputusan lucu dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin menyita novel yang sudah beredar 20 tahun, dan telah diterjemahkan ke dalam 15 bahasa negara di dunia? Konon, alasannya karena melanggar prinsip-prinsip agama. Meskipun saya seorang dokter, saya paham Islam dan lebih dari pemahaman Syekh Al-Azhar sekarang. Ulama Al-Azhar lebih senang memburu karya-karya saya daripada buku, novel, dan majalah seks murahan yang bertebaran di trotoar jalanan kota Mesir.
Bukan tugas Al-Azhar memberi fatwa dalam urusan itu. Hak Al-Azhar hanya urusan agama. Ulama Al-Azhar tidak ada yang belajar ilmu kedokteran tapi mereka berani berfatwa dalam bidang kedokteran. Ketika saya memiliki pendapat melarang khitan perempuan dan laki-laki, mereka menolak. Lho, khitan ini masalah agama atau kedokteran? Jika mereka berani berfatwa dalam kedokteran padahal mereka tidak pernah belajar, berarti saya memiliki hak juga untuk berpendapat dalam agama, karena saya belajar agama. Saya berasal dari keluarga agamis dan bapak saya lulusan Al-Azhar.
Islam tidak mengenal sistem kependetaan (al-kahanût) seperti dalam Kristen. Setiap individu muslim bertanggung jawab secara langsung di hadapan Allah tanpa ada seorang perantara. Karena tanggung jawab individu itu, saya wajib memahami Islam, baik dari Al-Quran maupun hadis, dengan pemahaman dan nalar saya sendiri. Meskipun saya ikut pendapat ulama Al-Azhar, mereka juga tidak akan bisa menanggung amal saya.
Jadi, ada muatan politis di balik keputusan itu?
Sangat jelas! Anda harus tahu, selama ini ada hubungan mutualis antara kelompok fundamentalisme agama dan kekuatan politik. Di Mesir, kelompok Islam fundamentalis dibangun oleh Sadat dengan bantuan Amerika dan Israel. Nah, aktivis-aktivis Islam mampu menguasai pemerintahan, pers, organisasi-organisasi pemerintah atau non-pemerintah, dan Al-Azhar sendiri. Dan pemerintah memberi mereka kekuatan dan legitimasi.
Pemerintah dan kelompok Islam fundamentalis seperti dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Dan cara pemerintah memanjakan kelompok Islam dengan memburu intelektual dan sastrawan yang dituduh menghina Islam. Al-Azhar sendiri sejak dulu menjadi alat pemerintah, dari zaman raja-raja Mesir sampai saat ini. Al-Azhar belum pernah beroposisi dengan pemerintah.
Tapi, sesuai dengan Undang-Undang Mesir Nomor 103 Tahun 1961 Pasal 15, Al-Azhar memiliki hak menyeleksi semua buku yang beredar di Mesir, terutama yang dianggap melanggar agama?
Itu undang-undang aneh. Jika ada buku yang melanggar ajaran agama, mengapa tidak dibantah dengan buku pula. Bukan dengan pencekalan. Gara-gara pencekalan, banyak penerbit yang menawarkan untuk menerbitkan buku-buku saya, ha, ha, ha. Khusus untuk novel ini (Suqûth al-Imâm), sudah ada lima penerbit yang menawarkan, dua penerbit di Mesir dan tiga penerbit di luar Mesir. Pencekalan Al-Azhar itu menjadi iklan tidak resmi, ha, ha, ha. Dan undang-undang itu keputusan politis Sadat pada awal-awal berkuasa, untuk menarik dukungan dari Al-Azhar.
(Wawancara terputus ketika Dr. Sharif Hatatah, suami Nawal, mengabarkan ada telepon dari seorang jurnalis Inggris meminta izin mengutip sebagian isi novel Suqûth al-Imâm untuk dimuat di korannya. Dengan senyum ramah dan mesra, Nawal berbicara dengan suaminya dan mengizinkan).
Jadi, Anda tidak merasa novel itu melanggar agama seperti dituduhkan?
Melanggar agama? Apa definisi agama menurut mereka? Apakah agama itu tulisan-tulisan yang ada dalam Al-Quran, kitab-kitab hadis, dan kitab-kitab klasik? Bapak saya bilang, Tuhan itu tidak keluar dari percetakan. Sedangkan nenek saya bilang bahwa Allah adalah keadilan dan bisa diketahui dengan akal (Allâh huwa al-dîn wa na’rifuhu bi al-’aql).
Kemudian, apa hanya mereka yang berhak berbicara tentang agama? Mengapa saya tidak punya hak, apa karena saya seorang perempuan? Dan sepanjang sejarah, tidak ada seorang perempuan yang menjadi Syekh Al-Azhar atau mufti. Mereka masih memiliki pendapat bahwa perempuan kurang berakal dan beragama (nâqishah al-’aql wa al-dîn). Ingat! Agama itu memiliki dua fungsi: pencerahan dan pembodohan. Nalar saya dicerahkan oleh agama. Dan bagi mereka, agama dijadikan sebagai alat pembodohan terhadap rakyat.
Apa latar belakang novel itu ditulis?
Saya menulis novel itu di dalam bui ketika saya dengan beberapa pemikir yang anti-Sadat dipenjara. Novel ini menceritakan seorang imam (pemimpin) di suatu daerah yang mengklaim sebagai wakil Allah di bumi. Dia menindas dan memperdaya rakyatnya atas nama Tuhan. Ternyata imam yang dipuja-puja rakyatnya itu memiliki anak di luar nikah. Dan borok imam tercium ketika sang anak dikejar-kejar polisi karena dituduh sebagai pembunuh. Sang imam mati sangat tragis karena ditembak anaknya sendiri saat perayaan kemerdekaan negaranya.
Tokoh imam itu terilhami oleh sosok Sadat. Sedangkan sifat kemunafikan imam yang sering menampakkan diri di depan rakyat sebagai pemimpin yang taat beragama tapi di belakang rakyat suka mabuk adalah sosok Numairi (mantan Presiden Sudan). Saya pernah ke istana Numairi. Di sana ada kamar khusus salat dan kamar khusus minuman keras. Padahal, Numairi memerintahkan rakyatnya untuk membuang setiap minuman keras ke Sungai Nil. Munafik, bukan? Dan, pemimpin-pemimpin sekarang banyak yang seperti itu.
Apakah penyitaan ini hanya terjadi pada karya Suqûth al-Imâm?
Tidak… tidak. Semua karya saya mengalami pencekalan. Sejak dua tahun lalu, karya-karya saya dicekal di Pameran Buku Internasional di Mesir. Karya-karya saya sudah biasa dicekal, baik utuh satu buku maupun beberapa bagian isi buku, sejak zaman Gamal Abd. Naseer.
Pernah ada yang dicekal sebagian dari isi buku saja?
Iya. Dan yang memprihatinkan, ini tidak hanya di Al-Azhar, tapi juga di Majlis Tinggi Budaya Mesir. Pernah ada karya seorang penulis Amerika asal Arab, Fadwi Douglas, tentang studi ilmiah salah-satu novel saya dengan bahasa Inggris. Jabir Ushfur, ketua Majlis Tinggi Budaya Mesir setuju karya itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ushfur menyuruh Fakhri Labib menerjemahkan karya itu dengan imbalan 7.000 pound. Setelah selesai, Ushfur menghapus beberapa bagian isi buku yang menurutnya berbahaya.
Selain karya Anda dicekal, apakah ada ancaman-ancaman lain?
Percobaan pembunuhan sering. Dulu, ketika rumah saya di Giza, pernah dijaga selama 24 jam. Tapi yang paling sering adalah pembunuhan karakter saya. Saya dituduh murtad dan menghalalkan kebebasan seks. Sampai-sampai pernah ada percobaan di pengadilan untuk memisahkan saya dari suami saya. Di Mesir, saya diopinikan sebagai makhluk yang menakutkan. Karya-karya saya diharamkan, sehingga anak-anak muda di Mesir takut membaca karya-karya saya.
Tapi saya tidak peduli, karya-karya saya sudah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa dunia. Saya juga dicekal di mayoritas universitas di sini, padahal saya menjadi dosen tamu di universitas-universitas di dunia, Amerika, Inggris, Spanyol, dan lain-lain. Saya tahu, kalau saya mengajar di sini, saya akan memberi perubahan pada mahasiswa.
Anda dituduh beraliran kiri dan marxis?
Saya dituduh marxis mungkin karena suami saya seorang marxis. Saya bukan marxis. Saya tidak mengikuti Karl Marx. Menurut saya, akal Marx tidak lebih jenius dari akal saya. Saya tidak mengikuti pikiran seseorang. Yang kudus bagi saya hanya akal saya, bukan akal lain. Saya yakin, kalau setiap manusia mampu menjalankan akalnya, dia akan mampu berkreasi.
Novel-novel Anda juga dituduh melawan norma-norma susila, terutama norma agama dan pergaulan?
Pendapat saya pribadi, karya-karya saya sejalan dengan ajaran agama. Karena semua karya saya membongkar penggunaan agama untuk tujuan-tujuan kotor, baik oleh pemimpin politik maupun pemimpin agama. Saya juga dituduh mengampanyekan kebebasan seks dalam sastra. Itu pandangan yang picik! Saya memang menulis tentang seks, tapi untuk menyucikan seks itu dari hipokritas manusia. Kekerasan terhadap perempuan atas nama seks sering terjadi. Saya tidak menulis seks untuk merangsang pembaca. Saya ingin memanusiakan seks. Mengubah hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan seks menjadi hubungan kemanusiaan yang luhur dan tinggi.
Menurut George Tharabishy dalam Al-Untsâ Dlidl al-Untsâ (Perempuan vis a vis Perempuan), Anda dituduh berpotensi memiliki “ideologi kebencian”, terutama terhadap kaum laki-laki?
Benci pada laki-laki? Ah, tidak, saya malah mencintai mereka, ha, ha, ha. Saya hidup bersama Dr. Sharif Hatatah, suami saya, sudah puluhan tahun. Saya membenci laki-laki pembohong, munafik, dan pengkhianat. Tetapi saya mencintai laki-laki yang jujur, baik, dan berpendidikan. Sama juga sikap pada perempuan. Ah, tidak benar Tharabishy itu, ada-ada saja dia.
Apa fungsi sastra menurut Anda?
Fungsi utama sastra adalah sebagai elan kritik. Di samping wujud ekspresi dan kreasi (al-ibdâ’). Sastra harus mampu mengkritisi semuanya, terutama agama dan politik. Agama tidak boleh membatasi karya sastra. Dan agama harus mengabdi pada sastra, bukan sebaliknya. Anda tahu, negara-negara Barat saat ini maju karena mengabdikan agama untuk ilmu, bukan seperti di negara-negara Timur yang menjadikan segalanya untuk mengabdi pada agama. Ketika pemahaman agama rigid maka semua akan ikut rigid, bukan?
Apakah ini merupakan pengalaman Anda pribadi?
Iya. Saya menulis sejak 50 tahun lalu. Saya lahir di desa dari keluarga miskin, tetapi dalam studi saya sukses. Kemudian saya melihat dalam masalah kedokteran, akhlak, politik, dan agama banyak terjadi penyimpangan. Dan semua karya saya mengkritisi penyimpangan-penyimpangan itu. Pendapat saya tertuang dalam bentuk novel, karya ilmiah, ataupun kolom-kolom. Saya telah melakukan penelitian langsung terhadap laki-laki, perempuan, dan masalah seks. Antara perempuan, seks, dan konflik batin. Mengenai seks dan masalah ekonomi. Saya juga melakukan penelitian tentang relasi penindasan politik dan ekonomi dengan penindasan seks dan psikologi.
Sekretaris Umum Majma’ Buhûts Syekh Ibarahim Al-Fayumi, mengatakan keputusan Majma’ bukan bertujuan untuk membatasi kebebasan berpikir dan berkreasi, bagaimana tanggapan anda?
Pendapat dia bertentangan dengan sikap yang diambil. Karena dia memiliki pendapat menjamin kebebasan berpikir dan berkarya tapi dalam waktu bersamaan sikapnya melarang beberapa karya karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam. Dia hanya berdalih saja.
[Wawancara, GATRA, Edisi 30 Beredar Jumat 4 Juni 2004]
http://jasa-cetakan.blogspot.com/2009/05/tuhan-tidak-keluar-dari-percetakan.html

No comments:

Post a Comment