Spiritualitas-Islami Dalam Karya Sastra (Semiotika Naguib Mahfouz Dalam Novel Zuqaq Al-Midaq)

1. LANDASAN TEORITIS
Sebuah novel, dan karya sastra secara umum : puisi, drama dan prosa, pasti terdiri dari apa yang disebut tema dan amanat (gagasan), atau diistilahkan juga dengan struktur fisik dan struktur bukan fisik atau unsur batin. Struktur batin merupakan ungkapan batin pengarangnya yang sering dinamakan sebagai gagasan atau amanat. Di sini ini saya akan mencoba menelusuri gagasan atau amanat Naguib Mahfouz dalam novel Zuqaq al-Midaq. Apakah sebenarnya yang "diamanatkan", bagaimana amanat itu disampaikan, dan apa mediumnya?
Banyak pilihan teori atau metode pendekatan untuk menganalisis gagasan seorang pengarang dalam karangannya. Teori atau metode kritik ekspresif, strukturalis dan objektif, masing-masing dengan bantuan ilmu-ilmu sosial seperti psikologi, sosiologi, sejarah dan filsafat (juga agama), adalah beberapa teori bagi tulisan gagasan dalam karya sastra. Dalam menganalisis gagasan Naguib Mahfouz dalam novelnya Zuqaq al-Midaq ini, saya menggunakan teori atau pendekatan semiologi, tepatnya semiotik-sastra.
Semiotik (semiotics) adalah ilmu yang mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang, sistem-sistem lambang dan proses perlambangan. Karena itu (Luxemburg, 1989: 44) ilmu bahasa dan bidang-bidang lain yang mempelajari tanda atau simbol adalah juga ilmu semiotik. Karena medium sastra adalah bahasa yang merupakan sistem lambang primer, maka sastra, terutama gagasan dan amanatnya, dapat (dan tepat jika) didekati dengan aliran atau teori semiotik sastra, meskipun sistem tanda dalam sastra adalah sistem tanda sekunder. Apakah perbedaan bahasa dan sastra sebagai sama-sama kajian semiotik? Apakah sistem tanda primer dan sistem tanda sekunder itu?
Sistem tanda primer (bahasa sebagai kajian semiotik) digunakan dalam kerangka berkomunikasi, berfikir dan menafsirkan segala sesuatu, termasuk menafsirkan bahasa itu sendiri. Sedangkan sistem tanda sekunder (Teeuw, 1984: 99) adalah penggunaan bahasa oleh pengarang-sastrawan dalam (untuk) merumuskan gagasannya dalam bentuk tanda bahasa secara artistik.
Dalam sistem tanda (Luxemburg, 1989:45-47) terdapat penanda atas yang menandai dan petanda atau yang ditandai atas arti tanda tersebut. Ada tiga bentuk atau model hubungan dalam kaitan penanda dan petanda itu. (1) hubungan ikon, yaitu jika antara penanda dan petanda ada hubungan langsung. Misalnya (hasil) foto dan benda yang difoto. (2) hubungan indeks, yaitu kalau penanda merupakan akibat bagi petanda. Misalnya, asap menandakan adanya api (hubungan sebab akibat). (3) hubungan antara penanda dan petanda bukan hubungan ikonisitas dan bukan pula hubungan sebab akibat; tetapi hubungan konvensional yang besifat arbitrer. Misalnya hubungan antara kata dan arti yang dikandungnya. Hubungan demikian disebut simbol. Sistem tanda arbitrer atau simbol inilah yang disebut tanda sekunder yang menjadi kajian semiotik sastra.
Dalam tindak komunikasi sastra dalam pandangan semiotik sastra, terdapat setidaknya tiga komponen. Yakni konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya, religi dan konvensi sastra itu sendiri. Dalam "membaca" simbol atau perlambangan yang digagaskan Naguib Mahfouz dalam novel Zuqaq al-Midaq, karena itu, harus diketahui pula keadaan dan konvensi sosio-budaya orang-orang Kairo-Mesir-Muslim tempat Mahfouz dibesarkan. Demikian pula konvensi bahasa Arab sebagai bahasa yang dipakai dalam novel tersebut. Tak kalah pentingnya untuk diketahui dalam rangka memahami perlambangan yang dimaksud Sang Pencipta-Pengarang, Mahfouz, adalah konvensi sastra, sastra Arab ketika itu.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan spiritualitas-Islami dalam tulisan ini adalah arbitrer. Artinya, bisa saja petanda tertentu dalam novel ini, yang saya nyatakan sebagai tanda spiritualitas-Islami ternyata bukanlah islami di tempat lain. Bisa saja, istilah-istilah tertentu yang dianggap sebagai peristilahan khusus dalam etika Islam bukanlah istilah milik Islam, kalau konvensi sosio-budaya dan bahasa serta religinya menghendaki demikian.
Dalam pandangan Naguib Mahfouz sendiri (Fauzi, tt: 27 dan Faraj, 1987: 56), nilai keagamaan (baca: keislaman) dalam karya-karya sastra tidak berarti karya tersebut (berupa teks-teks agama atau dengan kata yang lebih tepat karya itu ditampilkan dalam bentuk teks-teks teologis. Tetapi, adanya warna keimanan terhadap adanya Yang Maha Pencipta semesta dan kehidupan. Dari keimanan inilah lahirnya pergaulan seseorang terhadap lingkungannya berdasarkan moral dan etika). Pergaulan semacam ini adalah asas pokok dalam agama. Hal yang demikian ini nampak sekali pada tokoh Sayyid Ridwan al-Husaini.
Batasan seperti di atas memang arbitrary, sewenang-wenang. Tetapi memang harus demikian, sebab kalau tidak, akan sulit menilai apakah sebuah tindakan tertentu islami atau tidak. Seorang ateis bisa saja berbuat baik bagi kemanusiaan. Namun apa itu islami? Dan seorang muslim dapat saja berbuat hal-hal yang tidak islami. Karena itu yang mesti digarisbawahi dari pernyataan Naguib Mahfouz tersebut adalah kata kepercayaan (iman) dan etika. Kedua kata ini menyarankan adanya motivasi untuk berbuat baik demi kemanusiaan, dalam arti luas. Dan memang Islam sangat memberikan perhatian terhadap masalah tersebut. Inilah inti dari makna keislaman di sini.
Analisis semiotik-sastra atas novel Zuqaq al-Midaq dalam tulisan ini, dengan demikian, dipusatkan pada penggunaan istilah-istilah (konvensi bahasa) keislaman, dan pada perwatakan beberapa tokoh seperti Al-Huseini dan Syekh Darwisy (konvensi sosio-budaya), serta pada penyelesaian konflik dua tokoh tersebut (konvensi sastra dan sekaligus sosio-budaya).
2. SPIRITUALITAS-ISLAMI DALAM DIRI TOKOH AL-HUSEINI DAN SYEKH DARWISY
Pada bagian terdahulu, telah disingggung bahwa Sayyid Ridwan al-Huseini dan Syekh Darwisy adalah tokoh paling kental dengan (oleh) elemen-elemen spiritual dan keislaman atau dengan satu istilah : spiritualitas-Islami. Keduanya adalah model atau pengejawantahan bagi keimanan yang sempurna, optimisme yang jujur dan tulus. Sementara penduduk lorong Midaq yang lain hidup dalam keadaan sebaliknya. Mereka tak punya etika atau moral atau spirit keagamaan, dengan ekonomi dan kehidupan sosial yang acak, terbelakang dan kebudayaan yang menyedihkan. Calo merajalela, para pencuri beroperasi tak ada henti, narkotika dan candu masyarakat hampir bukan lagi hal-hal terlarang.
Kesamaan antara Sayyid Ridwan al-Huseini dan Syekh Darwisy bukan berarti kesamaan yang persis. Ada beberapa perbedaan. Al-Huseini adalah tokoh terpelajar jika dibandingkan dengan penghuni lorong Midaq secara keseluruhan. Ia pernah kuliah di Universitas Al-Azhar, meskipun tak bisa menyelesaikannya. Dan kenyataannya (Mahfouz, tt: 293-296) banyak para tokoh masyarakat di lorong Midaq dan sekitarnya yang sering mengunjungi al-Huseini untuk belajar dan berdiskusi serta beribadah di rumahnya. Al-Huseini juga seorang dermawan. Tidak sedikit kekayaannya yang diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Misalnya, sejumlah kamar di rumah susunnya dibiarkan dihuni oleh sebagian penduduk Midaq tanpa membayar uang sewa.
Sayyid Ridwan al-Huseini, meski secara sosial termasuk kelompok kaya dan terhormat, tak segan-segan mengunjungi warung kopi milik Mu`allim Kirsyah untuk menemani para pengunjungnya. Ia sudi berlama-lama di sana, tetapi tak larut dalam omong kosong atau rasan-rasan mereka. Al-Huseini dengan demikian, adalah pribadi yang lempang, lurus dan konsisten. Tak gampang larut dalam kebobrokan sekitarnya. Dalam suasana kacau ini (Mahfouz, tt: 12) Al-Huseini adalah rujukan bagi penduduk Midaq. Mereka mendatanginya untuk mendapatkan "hiburan" dan nasihat dari al-Huseini agar mereka tetap kuat menjalani hidup yang serba galau dan kacau. Dan bila telah bertemu dengan Sayyid ini, mereka pun menjadi lega dan bersemangat untuk hidup dan optimisme mereka pun bangkit lagi. Kekuatan pribadi al-Huseini ini, adalah hasil upayanya yang terus-menerus dalam mendapatkan kesejatian diri manusia. Ia memang sudah "terlatih" menjalani hidup yang keras dan sering tak bersahabat.
Ketabahan al-Huseini yang paling mencolok adalah (Mahfouz, tt: 11 dan 12) ketika anak-anaknya meninggal dunia secara beruntun. Sayyid Ridwan tak meratapinya secara berlebihan. Ia tetap sabar dan tetap percaya pada adanya kehendak Tuhan yang pasti yang lebih baik daripada kehendaknya sendiri. Karenanya ia masih optimistik dan tegar menghadapi hidup ini. Pernah orang melihatnya sedang mengantarkan jenazah anaknya ke peristirahatan terakhirnya sambil membaca al-Qur'an dengan (aneh sekali! - pen.) muka berseri. Ketika para pelayat datang menyampaikan ta`ziyah, diterimanya mereka dengan senyum selalu. Lantas, sambil menunjuk ke atas ia berkata : "Dialah yang memberi dan dia pula yang mengambil kembali, segalanya atas perintah-Nya dan segalanya adalah miliknya; kesedihan itu bertentangan dengan ajaran agama". Itulah hiburan buat dia. Oleh karena itu, dokter Busyi berkata tentang orang itu (Al-Huseini): "Kalau kau sakit temuilah tuan Huseini, dia akan menyembuhkan. Kalau kau merasa putus asa, tataplah sinar wajahnya, kau akan merasa bahagia. Wajahnya sudah merupakan cermin batinnya. Dia itulah lambang keindahan dalam bentuknya yang amat cemerlang (Mahfouz, tt. : 12, 13 = Audah 12).
Pribadi tokoh al-Huseini ini dapatlah disarikan sebagai berikut. Ia adalah tokoh berkemanusiaan yang utuh. Jiwa dan tindak lakunya "lurus dan tengah". Lurus karena tak tergoyahkan oleh keadaan yang bobrok di Midaq. Tengah karena tak berlebihan dan tak berkekurangan. Dan karena itu, orang pun (penduduk Midaq itu), tentram di sampingnya: tak pernah ia mengolok mereka. Singkat kata, Sayyid Ridwan al-Huseini adalah pribadi yang menyerah kepada Allah untuk kepentingan manusia sendiri: berguna bagi masyarakat tanpa melalaikan kewajiban hamba terhadap Tuhannya.
Di akhir kisah (Mahfouz, tt: 293-300), pribadi yang penuh spirit keislaman ini digambarkan Naguib Mahfouz sebagai tokoh yang lebih mengutamakan kebahagiaan rohani. Sayyid Ridwan akhirnya pergi menyucikan jiwa : menunaikan ibadah haji ke Mekkah dan menziarahi Rasul Muhammad di Madinah al-Munawwaroh (detail ini lihat angka 3 di bawah ini).
Adapun tokoh Syekh Darwisy adalah representasi bagi "hamba Allah untuk dirinya sendiri" (bandingkan dengan Al-Huseini yang adalah " hamba Allah untuk masyarakatnya"). Syekh Darwisy adalah pribadi yang trance terus menerus setelah frustasi menghadapi berbagai kenyataan hidup yang pahit. Yang dilakukan sekarang (Mahfouz, tt. : 17 dan 18) adalah "mengggantungkan" hatinya kepada keluarga Nabi Muhammad Saw. - ahl al-bait. Dalam hampir setiap saat Syekh Darwisy memperdengarkan sajak-sajak cinta yang dipersembahkan kepada ahl al-Bait. Dihindarinya kenyataan hidup dan kehidupan itu sendiri yang diyakininya sebagai kotoran. Ia hidup menurut caranya sendiri. Dalam kata-kata kritikus Hasan Abdullah (1991: 102), "Ia hidup dalam cara yang dianggapnya sendiri baik. Cukuplah alamnya sendiri yang diciptakan dengan fantasi dan khayalnya sendiri". Syekh Darwisy (Taufiq Hanna, tt. : 17) "adalah puncak ekspresi lorong Midaq bagi dimensi hidup yang menarik diri dari realitas". Dalam kata-kata Darwisy sendiri kepada Wakil Menteri Perwakafan (Mahfouz, tt.: 17): "Aku adalah Rasul Allah yang diutus kepada Tuan dengan tugas baru". Siapa yang bisa menerima ucapan ini - ucapan yang lahir dari mulut pribadi yang majdzub atau trance itu? Alam pikirannya memang bukan alam nyata, mirip dunia kaum sufi yang telah sampai di maqam Mukasyafah atau Ma`rifat. Namun ada juga - dan sering - Syekh Darwisy berkata-kata yang dapat difahami oleh orang lain yang hidup di alam nyata.
Dengarlah kata-kata Darwisy yang bijak ini, meski sering aneh, yang disampaikannya dengan dua bahasa: Inggris sebagai bahasa kaum elite dan Arab sebagai bahasa kaum alit. Dengarlah ini (Mahfouz, tt.: 313):
Manusia disebut manusia karena pelupa.
dan jantung (hati) disebut jantung karena suka berubah-ubah. .... . . .
Demi Allah, seumur hidup aku akan bersabar.
Bukankah segalanya akan berakhir?
Ya, segalanya akan berakhir yang dalam bahasa Inggris artinya end dan dieja e n d .
3. KE MEKKAH DAN MADINAH: PERJALANAN SPIRITUAL-ISLAMI (SEMIOTIKA SASTRA BERLANDAS SOSIO-BUDAYA-RELIGI)
Gagasan atau amanat Naguib Mahfouz atas adanya elemen-elemen spiritual - tepatnya spiritualitas Islami - dalam novel Zuqaq al-Midaq, dalam sorotan analisis konvensi sosio-budaya (baca: sosio-budaya-religi), sangat nampak pada perjalanan Sayyid Ridwan al-Huseini ke Mekkah dan Madinah (Mahfouz, tt: nomor 33, hh. 293-296). Tak bisa disangkal lagi bahwa upaya al-Huseini untuk menunaikan ibadah haji dan pergi ke Madinah al-Munawarah adalah simbol pencarian kebahagiaan sejati. Pencarian seorang anak manusia atas kesempurnaan yang total dengan penyucian jiwa atau ruhani - setelah keadaan duniawinya telah terpenuhi. Al-Huseini tidak melulu memuaskan kebutuhan-kebutuhan dirinya dengan hanya berdialog dan menemui orang-orang di Lorong Midaq; tetapi - pada akhirnya - dengan menemui dan berdialog dengan Tuhan di "rumah-Nya", di Mekkah, kemudian sowan kepada Rasul utamaNya, Muhammad Saw. di Madinah.
Sesungguhnya niatan menemui Tuhan itu tidak pada akhir-akhir ini saja. Beberapa tahun sebelum hari kepergian ke Mekkah itu, Sayyid Ridwan al-Huseini sudah berniat berhaji dan ke Madinah. Tetapi keinginan itu disimpannya dulu dalam lubuk hatinya, sambil berniat akan beribadah haji dua atau tiga kali (Mahfouz, tt : 298). "Tuan-tuan aku tak bisa menyembunyikan diri dari kalian, bahwa persaan berdosa telah merasuki diriku," kata Sayyid Ridwan al-Huseini ketika mengadakan perjamuan perpisahan dengan orang-orang di Lorong Midaq.
Di bawah ini saya kutip secara panjang teks novel Zuqaq al-Midaq (Mahfouz, tt. : 293-296) yang dengan jelas menunjukkan adanya nilai atau elemen-elemen spiritualitas Islami, bahwa kepergian al-Huseini ke Mekkah adalah perjalanan spiritual-Islami dalam kerangka pencarian kesempurnaan manusiawi.
.... Hari perpisahan yang sungguh menggembirakan. Di jantung lorong Midaq itu hanya ada satu perasaan yang sama, yakni mereka semua sangat sayang dan hormat kepada Tuan Ridwan, dan mempunyai tempat tersendiri dalam hati semua orang. Tuan Ridwan sudah beristikharah kepada Allah hendak menunaikan ibadah haji tahun ini. Seluruh penduduk sudah mengetahui, Insya Allah ia akan berangkat petang ini ke Suez dalam perjalanan menuju Tanah Suci.
Di rumah Tuan Ridwan sudah banyak handai tolan yang datang hendak mengucapkan selamat jalan. Di dalam ruangan yang lama yang sederhana itu, yang dari tahun ke tahun dijadikan tempat pertemuan malam hari membicarakan ajaran agama dengan penuh rasa keakraban, mereka berkumpul menyambutnya. Sekali ini perbincangan itu sekitar ibadah haji, dengan segala kenangannya. Di segenap penjuru kamar, di tengah-tengah kepulan asap harum yang melingkar-lingkar keluar dari perapian, berbagai kenangan sekitar ibadah haji timbul, dan orang pun asyik menyambutnya. Mereka berbincang-bincang tentang perjalanan haji zaman sekarang dan zaman silam. Ada yang mengutip hadits-hadits Nabi yang mulia serta beberapa puisi yang indah-indah, dan orang yang suaranya merdu lalu membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Setelah itu mereka semua sama-sama mendengarkan uraian Tuan Ridwan Huseini, dan dari uraiannya yang fasih dan menarik itu tergambar kelembutan dan keikhlasan hatinya yang bersih. Salah seorang temannya ada yang berkata : "Selamat jalan dan mudah-mudahan kembali pulang dengan selamat". Wajah Tuan Ridwan yang indah itu bertambah indah oleh senyumnya yang berseri, ia berkata dengan suara penuh kasih sayang : "Saudara, jangan ingatkan saya ke soal pulang. Orang yang pergi ke Baitullah dan dalam hatinya terbetik kerinduan ingin kembali ke kampung halaman, Allah tidak akan memberi pahala, doanya pun akan sia-sia dan akan menghilangkan kebahagiaannya. Saya akan benar-benar akan mengingat kembali lagi bila saya sudah meninggalkan lembah wahyu itu dalam perjalanan pulang menuju Mesir. Maksud saya, dengan pertolongan dan izin Allah kembali menunaikan ibadah haji sekali lagi. Cita-citaku hanya ingin menghabiskan sisa umur ini di Tanah Suci, pagi dan petang hanya melihat Bumi yang pernah disentuh oleh kaki Rasulullah, dengan gema para malikat yang menggetarkan udara. Di tempat-tempat itu orang mendengarkan wahyu yang mulia turun dari langit ke bumi dan mengangkat makhluk bumi ke langit. Yang hidup dalam jiwa manusia hanyalah kenangan tentang keabadian, dan jantung bergetar terbawa oleh deraian cinta kepada Allah. Di situlah terdapat obat penawar yang menyembuhkan. Saudara, sekiranya saya mati dalam kerinduan melihat udara Mekkah dengan langitnya, sambil medengarkan bisikan zaman dan segala unsurnya, berjalan seirama dan sehaluan. Kemudian saya menepi, menyendiri di tempat-tempat ibadah, dan menghirup air dari sumur Zamzam. Saya menulusuri jalan yang dirintis oleh Rasulullah ketika beliau hijrah dan diikuti oleh umat seribu tiga ratus tahun silam dan terus berlanjut beriringan dengan kehidupan kita. Sejuknya hati berziarah ke makam Rasulullah dan shalat di Rawdah yang mulia. Dalam hati saya tergenggam sebuah cinta, yang membuat zaman itu terasa singkat. Saya beroleh kesempatan utnuk mendekatkan diri kepada Al-Khaliq, dan mendapat kebahagiaan yang tak mampu saya lukiskan dengan pikiran dan kata-kata. Saudara-saudara, saya membayangkan diri saya sedang berkelana di lereng-lereng bukit di Mekah sambil membaca ayat-ayat suci, seperti yang semula-mula diwahyukan, seolah saya sedang mendengarkan pelajaran dari Yang Maha Agung. Alangkah senangnya! saya membayangkan diri saya sedang sujud di Rawdah sambil membayangkan wajah Rasulullah tercinta, seperti yang tampak dalam mimpi. Sungguh bahagia! Saya sedang membayangkan diri saya sedang khusyuk di maqam Ibrahim sambil memohon maghfiroh. Terasa begitu tenang! Saya membayangkan diri saya sedang mangambil air Zamzam membasuh kerinduan dengan seruan syafaat. Alanggkah amannya! Saudara, tolong jangan ingatkan saya ke soal pulang. Marilah berdoa kepada Allah bersama saya, semoga cita-cita saya terkabul ...."
Kawannya itu berkata: "Semoga Allah mengabulkan cita-cita Tuan Ridwan dan dikaruniai kesehatan dan panjang umur."
Tuan Ridwan memegang janggutnya, matanya berkilau karena gembira dan penuh kasih sayang.
"Sungguh doa yang indah," katanya. " Sesungguhnya cintaku kepada akhirat tidak sampai membuat saya meninggalkan dunia ini atau tidak betah hidup. Selama ini Saudara-Saudara melihat sendiri kecintaan dan kesenangan saya menyambut kehidupan ini. Betapa tidak, Saudara-saudara, semua ini ciptaan Yang Maha Pengasih. Allah telah menciptakannya dan mengisinya dengan pelbagai lambang dan kesenangan buat kita. Marilah kita renungkan dan kita bersyukur. Saya mencintai hidup ini, hidup dengan segala warna dan nadanya, siang dan malamnya, suka dan dukanya serta segala yang ada dalam kehidupan kita ini, yang bernyawa dan yang tidak bernyawa. Semua itu mengandung kebaiikan semata. Apa yang diperkirakan orang buruk, hanyalah karena ia sakit dan lemah dalam memahami yang baik, yang dalam beberapa segi masih tersembunyi buat kita. Orang yang sakit dan lemah itu akan berprasangka buruk terhadap dunian ciptaan Allah ini.
Oleh karena itu, kepada Saudara-saudara ingin saya katakan, bahwa mencintai hidup di dunia ini adalah setengah ibadah, dan setengahnya lagi ialah hidup untuk akhirat. Berat sekali hati saya melihat segala air mata, keluh kesah, amarah, dengki dan permusuhan yang menjadi beban dunia kita ini. Timbulnya bencana atas semua ini, disebabkan oleh sifat buruk orang-orang yang sakit dan lemah itu. Lebih sukakah mereka jika hidup kita ini tidak diciptakan? Akan punya rasa cintakah mereka jika mereka tidak diciptakan dari yang tak ada? Apakah mereka akan menentang hikmah Ilahi? Saya tidak akan mengatakan diri saya ini benar. Saya pun pernah mengalami duka cita dan kepedihan yang dalam sekali tatkala saya harus bercerai dengan buah hatiku. Dalam kedukaan itu terlintas pertanyaan, kenapa Allah tidak membiarkan bayiku itu hidup, sampai ia dapat menikmati kebahagiaan dunia ini.
Kemudian, karena kehendak-Nya juga Allah memberi petunjuk kepada saya. Dalam hati saya berkata, bukankah Dia yang menciptakannya, maka tentu Dia pula yang akan mengambilnya kembali, bila saja dikehendaki? Kalau dikehendaki-Nya hidup, niscaya Allah akan membiarkannya hidup di dunia ini menurut kehendakNya. Tetapi Dia telah mengambilnya kembali tentu karena suatu hikmah yang sudah ditentukan oleh iradatNya pula. Allah melakukan sesuatu itu karena hikmaNya pula dan hikmah itu demi kebaikan kita semata. Apa yang dikehendaki Allah terhadap anak saya dan terhadap saya sendiri tentu demi kebaikan juga.
Saat itulah timbul rasa gembira dalam hati, ketika kemudian saya dapat memahami hikmahnya. Hatiku berbisik : Tuhan, bencana yang Kau timpakan kepadaku hanyalah untuk mengujiku. Sekarang aku menjalani ujian-Mu itu dengan penuh iman, karena kebijaksanaan-Mu juga. Membisikkan "Allahumma ya Allah, aku bersyukur," sudah menjadi kebiasaanku bila saya mendapat musibah. Saya menerima dan mengucapkan syukur dari lubuk hati yang paling dalam. Allah telah memberi karunia kepada saya dengan ujian dan perhatian-Nya. Setiap saya menjalani cobaan yang akan mengantarkan saya kepada kedamaian dan keimanan, saya makin yakin dan paham akan hikmah kehendak-Nya serta kebaikan yang akan menyertainya, yang dengan itu pula patut disyukuri dan diterima dengan senang hati.
Demikianlah, setiap ada musibah menimpa saya selalu saya hubungkan dengan hikmah karunia-Nya yang tiada putusnya itu. Saya membayangkan diri saya sebagai anak kecil yang sedang lucu-lucunya dalam kerajaan-Nya; saya diperlakukan secara kasar supaya saya pergi dan ditakut-takuti dengan keseraman yang dibuat-buat untuk melipatgandakan kegembiraan sejati dan abadi. Seorang kekasih selalu menguji orang yang dikasihinya dengan berbagai kendala. Bila orang dalam cinta mengerti bahwa kendala itu itu hanya suatu tipu muslihat belaka sebagai ujian yang takkan dapat dihindari, cinta dan kegembiraannya kelak akan berlipat ganda.
Saya yakin bahwa orang-orang yang mendapat musibah di dunia ini, ialah para wali Allah yang dicintai-Nya. Mereka dikaruniai cinta-Nya dan dijaga dari dekat sehinggga diketahui bahwa mereka memang benar-benar berhak mendapatkan cinta dan kasih-Nya. Saya mengucapkan puji-pujian kepada Allah sebanyak-banyaknya, yang karena kurnia-Nya saya dapat menghibur orang yang mengira bahwa saya memang patut untuk itu."
4. PERISTILAHAN: ANALISIS KONVENSI BAHASA-BUDAYA
Dalam pengantar tulisan ini telah disebutkan bahwa analisis semiotik sastra melibatkan setidaknya konvensi bahasa, konvensi sosio-budaya (termasuk sosio-religi) dan konvensi sastra itu sendiri. Setelah diidentifikasi kemudian diklasifikasikan, ternyata tidak sedikit kata-kata, frasa-frasa atau term-term dalam novel Zuqaq al Midaq dari segi konvensi bahasa, sastra dan budaya Arab-Islam, dalam sorotan semiotik sastra yang menunjukkan adanya gagasan atau amanat tentang spiritualitas-Islami. Tak bisa tidak - menurut saya- semua kata-kata, frasa-frasa atau idiom-idiom dan peristilahan yang akan dikutip di bawah ini, adalah simbol nilai spiritual Islami. Frasa dan peristilahan tersebut sangat banyak, tersebar di hampir seluruh dialog para tokoh novel ini. Berikut dikutip beberapa diantaranya, sebagai contoh, bukan untuk membatasi adanya.
A. 'ISTIRJA` (= ucapan: Inna lillaahi wa Inna Ilaihi roji`un )
Contoh Istirja' kita dapati pada bagian (nomor) 19 dan 35 (Mahfouz, tt. : 156 dan 311) :
Pagi itu Lorong Midaq dibangunkan oleh suara-suara hiruk pikuk. Kaum laki-laki penghuni kampung itu memasang tenda-tenda di tanah kosong di Sanadiqiyah yang menghadap ke Lorong Midaq. Pak Kamil terkejut sekali, dikiranya tenda-tenda itu dibangun karena ada orang yang meninggal, maka ia berucap dengan suaranya yang melengking : Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Wahai Yang Maha Kuasa, Wahai Yang Maha Tahu .... (hal. 156)
.... Perempuan itu juga terbunuh?", tanya Muallim Kirsyah penuh perhatian.
"Saya rasa tidak," kata Husein. Rasa berang masih menggerogoti jantungnya. " Saya rasa pukulannya tidak sampai mematikan. Anak muda itu mati percuma ...."
"Dan orang Inggris itu ?"
"Kami tinggalkan dan polisi mengelilingi mereka," katanya dengan nada sedih." Tetapi siapa yang dapat mengharapkan keadilan dari mereka!"
Sekali lagi Kirsyah menepuk-nepukkan tangannya.
"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un," katanya. (hal. 311)
B. HAMDALAH (= ucapan: al-hamdu lillah)
Dalam novel Zuqaq al-Midaq, contoh penggunaan hamdalah kita dapati pada halaman 161 dan 192.
Bibirnya bergayut tersenyum seraya katanya serba berhati-hati:
"Alhamdulillah, Tuan orang baik ...."
Farhat lalu berbisik di telinganya:
"Apa yang dilakukan itu akan saya balas dengan yang lebih baik ...." (hal. 161)
"Alhamdulillah, Tuhan sekalian alam," kata Tuan Ridwan, suaranya tenang dan berat. "Saudara selamat memang sangat menakjubkan dan kita hidup juga hal yang dengan sangat menakjubkan. Manusia dapat melanjutkan hidupnya satu detik saja sudah merupakan suatu mu`jizat besar dari kekuasaan Tuhan. Umur setiap manusia adalah serangkaian mukjizat Ilahi, apalagi kalau kita melihat umur setiap manusia, dan seluruh kehidupan alam semesta ini. Siang dan malam kita harus selalu bersyukur kepada Allah. Alangkah kecilnya rasa syukur kita atas karunia Tuhan yang begitu besar itu !" (hal. 191, 192)
C. SHALAWAT NABI
Frasa atau idiom sholawat Nabi kita dapatkan, misalnya, pada halaman 9 dan 24.
.... Kemudian dia berdehem-dehem, meludah dan membaca bismillah, lalu memekik dengan suaranya yang serak ....
Mari kita mulai sekarang
Dengan membaca selawat kepada Nabi.
Nabi keturunan Arab pilihan dari keluarga Adnan
Abu Sa`da Zannati berkata .... (hal. 9)
"Mengapa akan disebut aib padahal itu atas dasar kebenaran dan menurut hukum agama ?! Nyonya orang bijaksana dan terhormat, dan semua orang membuktikan hal itu. Perkawinan adalah sebagian dari agama, sayangku, dan ada hikmanya apa yang disyariatkan oleh Tuhan dan dianjurkan oleh Nabi Saw."
Dan dengan penuh rasa iman Saniya menyambutnya :
"Semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam kepadanya."
"Mengapa tidak, sayangku. Nabi kita menyukai orang yang taat."
Muka Nyonya Saniya jadi kemerah-merahan di bawah lapisan gincu pipinya. Hatinya meluap gembira. (hal.24)
D. TA`AWWUDZ (= ucapan `audzu billah) dan Basmalah (= ucapan bismillah)
Kita mendapati bacaan a`udzubillah atau yang senada, seperti ma'adzallah, antara lain, pada halaman 161, 162:
.... Tiba-tiba terdengar suara serentak berseru: tidak, tidak, Tuan Farhat. Kita berlindung kepada Allah (ma`adzallah). Tuan adalah anak daerah kami."
Sedangkan ucapan basmalah, kita temukan di halaman 9, ketika tokoh Syekh Darwisy hendak membaca sajak-sajak pujian (ode) kepada Nabi Muhammad Saw. Lalu diambilnya rebab itu untuk mencoba senarnya sambil menghindari pandangan marah yang dilemparkan Sanker kepadanya. Ia mulai memainkan beberapa lagu pembukaan, yang sudah sejak dua puluh tahun dalam hidupnya atau lebih, setiap sore diperdengarkan di warung Kirsyah. Badannya yang kurus bergerak-gerak mengikuti irama rebabnya. Kemudian ia berdehem-dehem, meludah dan membaca bismillah, lalu memekik dengan suaranya yang serak.
E. TAKBIR (ucapan: Allahu Akbar)
Tentang bacaan takbir (bacaan Allahu Akbar) kita, antara lain, mendapatinya pada halaman 158, 159:
... Ibrahim Farhat menghampiri tukang cukur tua yang menggantikan tempat Abbas Hilu. Diulurkan tangannya sambil berkata:
"Assalamu `alaikum, Pak!" Ia membungkuk sedikit ke arah tangan orang itu agak malu-malu tetapi ramah. Lalu berpindah ke Pak Kamil seraya berkata: "jangan susah-susah bangun. Demi Husein, tak usah berdiri, Pak. Bagaimana keadaan Bapak? Allahu Akbar ... Allahu Akbar. Basbusa ini tak ada duanya. Malam ini semua orang akan mengenal mutunya."
F. HAWQALAH (ucapan La hawla wa la quwwata illa billah)
Sedangkan ucapan La Haula wa La quwwah illa billah kita temukan, misalnya, di halaman 310, 311:
Inilah yang terasa telah menyayat-nyayat jantungnya. Api kemarahannya tiada hentinya membakar dadanya. Hampir tak menampakkan diri lagi ia di Lorong Midaq, karena merasa malu. Ketika itu Kirsya hanya menepuk-nepukkan tanganya seraya berkata: "La hawla wa la quwwata illa billah. Apa yang kalian perbuat terhadap orang itu?"
G. DOA-DOA (IDIOM-IDIOM) ISLAMI
Adapun idiom-idiom doa yang jelas-jelas merupakan peristilahan khusus dalam dunia Islam tersebar pada hampir semua bagian atau nomor novel Zuqaq al-Midaq. Agaknya tidaklah sangat perlu menerakan contoh-contoh idiom-doa islami tersebut, kecuali hanya mengutip satu-dua frasa (tanpa melengkapinya dengan/dalam kalimat sempurnanya). Misalnya saja kata-kata: Allahumma, Allahu Yukrimaka ... , Allahu Yarfa`u Qadraka, Allahulmuta`an . Demikian pula ungkapan-ungkapan 'sumpah' (qasam) semacam kata wallahi dan la`amruka dan lain-lain.
Demikianlah beberapa peristilahan yang secara sosio-budaya-religi menyimbolkan adanya ruh atau spirit keislaman yang digunakan oleh Naguib Mahfouz. Sebenarnya, seperti saya singgung di atas, peristilahan-peristilahan itu tersebar di hampir seluruh dialog para tokoh dan beberapa monolog dalam novel ini. Contoh-contoh yang dikemukakan di sini hanyalah sebagai contoh bukan membatasi adanya.r
Daftar Pustaka
Al-Aswad, Fadel, Ad
1986 : Al-rajul wa al-Qimmah, Kairo: Al-Hai’ah al-Misriyyah al-‘Ammaah.
Al-Ghitoni, Jamal
Tanpa Tahun : Naguib Mahfouz Yatadzakkar, Kairo: Akhbar al-Yaum.
Mahfouz, Naguib
Tanpa Tahun : Zuqaq Al-Midaq, Kairo: Maktabah Misriyyah.
Faraj, Nabil
1986 : Naguib Mahfouz Hayatuhu wa Adabuhu, Beirut: Dar al-Masyriq.
Hanna, Taufiq
1956 : Zuqoq Al-Midaq: Kairo: Al-Risal al-Jadidah
Fauzi Mahmud
tt. : I’tirofat Naguib Mahfouz, Kairo: Dar Al-Syabbab
Luxemburg, Jan Van
1989 : Pengantar Ilmu Sastra (Terjemahan Dick Hartoko), Jakarta : Gramedia.
Mahfouz, Naguib
1991 : Lorong Midaq (Terjemahan Ali Audah), Jakarta : Yayasan Obor.
Teeuw, A
1984 : Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastram, Jakarta: Pustaka Jaya.
http://www.geocities.com/HotSprings/6774/m-8.html

Nur Mufid

No comments:

Post a Comment