Namun, dalam kenyataaannya, ternyata masalah gender ini tidak sesederhana yang saya pikirkan. Karena di balik masalah gender ini ternyata ada berbagai macam hal yang mempengaruhi perkembangan masalah ini. Hal-hal yang mempengaruhinya adalah faktor-faktor seperti faktor budaya, negara dan kekerasan. Yang akan saya jelaskan adalah dua faktor terakhir, yaitu negara dan kekerasan. Penjelasan berikut ini didapatkan dari buku “Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan”.
Dalam bagian Pengantar dalam buku yang disebutkan di atas, Kartini Syahrir menjelaskan hubungan antara tiga faktor yang disebutkan dalam judul buku tersebut, yaitu negara, kekerasan dan perempuan. Menurut Kartini, negara Indonesia telah mengalami evolusi dari negara yang sederhana (Tribe), ke bentuk negara yang memiliki strata sosial (Huta/Nagari), lalu memasuki fase penjajahan Belanda, yang ‘mengajarkan’ bangsa kita menjadi negara modern dan diatur dengan sistem birokrasi tertentu. Selama proses ini, berlangsung kesinambungan pengaturan nilai yang mengatur hubungan pria dan wanita. Namun sayangnya tidak tercermin dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang malah amat bercorak militerisme pada masa Orde Baru. Sedangkan, menurut Kartini, kekerasan dan negara menjadi dua hal yang identik satu sama lain, terutama negara yang dipimpin secara militer. Negara yang bersifat lebih tradisional memiliki masyarakat yang rasional. Dalam arti, di dalam masyarakat seperti ini hak-hak perempuan lebih terjaga dan menurunkan kecenderungan kekerasan yang dilakukan negara terhadap kaum perempuan.
Kartini lalu menjelaskan mengenai perempuan dan gender. Menurutnya, gender sendiri merupakan istilah Barat yang didapat dari Revolusi Industri, dimana terjadi pembedaan pekerjaan untuk pria dan wanita. Apa yang terjadi dari revolusi ini menjadi pilar utama perabadan Barat. Dan secara otomatis mempengaruhi Indonesia, yang mengalami jajahan kolonialisme Belanda. Sehingga hal ini berlaku juga di Indonesia. Misalnya, dalam proses produksi peranan perempuan dibatasi, yang secara hukum diperkuat dengan pencantuman dalam GBHN (pada masa Orde Baru, dan mungkin sampai sekarang), bahwa ada pembatasan profesi untuk perempuan. Adanya rezim militer yang berkuasa secara otoriter selama 32 tahun di Indonesia menumbuh-suburkan terjadinya banyak kekerasan, termasuk terhadap perempuan. Negara ‘membiarkan’ kekerasan terhadap perempuan karena perempuan tidak dianggap hal penting bagi proses-proses produksi, contoh konkritnya, reproduksi pada perempuan dianggap ancaman yang harus diantisipasi dengan program Keluarga Berencana yang dilaksanakan oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional).
Secara lebih mendetail dan lugas, Gadis Arivia dalam artikel pertama dalam buku ini menjelaskan mengenai “Logika Kekerasan Negara Terhadap Perempuan”. Gadis menjelaskan bahwa negara melalui aparatnya secara langsung atau tidak ‘merestui’ / ‘mendiamkan’ kekekerasan-kekerasan yang khususnya ditujukan ke perempuan. Contohnya kasus terakhir di Indonesia, yaitu aksi perkosaan massal pada tanggal 13,14 dan 15 Mei 1998. Kasus ini terjadi karena adanya muatan politis, yang artinya dilakukan secara terpola dan terorganisir (terlihat misalnya dari adanya 2 kelompok, yaitu kelompok penjarah dan pemerkosa). Kekerasan yang terorganisir yang dilakukan negara terutama menargetkan perempuan sebagai sasarannya, yaitu dengan cara memerkosa.
Sekarang pertanyaan yang timbul adalah “apakah kita hidup dalam budaya perkosaan?” Fakta yang ada mengatakan bahwa tidak ada satu hari pun dimana tidak ada cerita tentang kekerasan seksual di media massa. Apakah itu perkosaan atau pelecehan kepada perempuan/anak, penggambaran perempuan lewat media massa yang melecehkan; semuanya dilakukan tanpa disadari dan diterima oleh masyarakat. Contoh yang paling sederhana adalah bila seorang perempuan keluar dari rumahnya, maka akan banyak lelaki yang mengomentari tentang tubuh, pakaian atau rupanya. Dalam masyarakat seperti ini, budaya memperkosa tumbuh dengan subur. Ada banyak faktor yang mempersulit maksud untuk memerangi budaya ini. Faktor pertama adalah kekerasan seksual telah dianggap sebagai sesuatu yang bersifat alamiah dalam diri manusia (given), sehingga bukan merupakan hal yang perlu dimintakan pertanggungjawabannya. Faktor kedua, korban berada di pihak yang paling lemah, bahkan mereka berada di pihak yang dipersalahkan. Faktor ketiga adalah hukum perkosaan adalah hak kepemilikan, dimana perempuan sendiri tidak memiliki hak akan seksualitasnya sendiri (atau mungkin akan hak lainnya), bahkan tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan bagian dari integritasnya.
Dari penjabaran ini maka kita akan bertanya-tanya “Mengapa perempuan secara historis maupun budaya dianggap subordinat, terus-menerus dilecehkan?” Mungkin teori Jaques Lacan dapat memberikan suautu kerangka teori besar tentang hal ini. Lacan berkata bahwa setiap masyarakat mengatur dirinya melalui bahasa masyarakatnya dan menginternalisasikan aturan-aturan tertentu seperti peranan gender / kelas, yang ia sebut sebagai Aturan Simbolis. Masyarakat akan terus-menerus memproduksi bentuk-bentuk aturan main yang berlaku di masyarakatnya. Seorang anak akan mengalami proses ketidaksadaran akan dirinya sampai ia mengalami proses pengidentifikasian dirii dengan orang tuanya, sesuai dengan jenis kelaminnya (anak perempuan ke ibunya, anak laki-laki ke ayahnya). Anak perempuan akan merasa tidak sungguh-sungguh memahami Aturan Simbolis, sehingga merasa terasingkan dan tersunyikan karena dipatok oleh aturan-aturan yang ia tak mengerti (Contohnya, dalam buku Perempuan di Titik Nol oleh Nawal El Saadawi, yang menceritakan mengenai cerita nyata seorang pelacur, yang bernama Firdaus yang dihukum mati karena membunuh germonya; Firdaus sewaktu remaja ingin sekali ikut pamannya untuk bersekolah, namun pamannya tidak memperbolehkannya karena sekolah hanya untuk pria katanya, alasan ini tidak dapat dimengerti oleh Firdaus. Yaitu mengapa ada ‘peraturan’ seperti itu. Ketidak-mengertian ini terjadi karena seluruh bahasa yang dipakai dalam Aturan Simbolis adalah bahasa maskulin, yang tidak dapat mengkomunikasikan perasaannya dan pemikirannya, terutama mengingat kaum perempuan tidak memiliki bahasanya sendiri.
Sekarang kita akan menjelaskan “Adakah hubungan negara dengan kekerasan?” Menurut Gadis, negara pada dasarnya adalah kekerasan. Keberadaan negara ditopang oleh kekerasan. Artinya, negara menghidupi dirinya dengan cara mengatur dan mengolah kekerasan. Adapun sumber dari kemampuan negara mengolah kekerasan bermuara pada kekuasaaan politik. Jadi kekerasan dikokohkan untuk mempertahankan kekuasaan. Jika pemahaman terhadap kekerasan negara tidak hanya berhenti pada “hakekat” tetapi pada “politik”, maka bisa dimengerti bagaimana negara merekayasa suatu sistem “nilai” (values) dan “kepercayaan” (beliefs) dalam sistem Aturan Simbolis masayarakat tersebut. Legitimasi kekerasan pertama harus dilakukan lewat ideologi dominan dengan pokok pikiran bahwa ideologi berfungsi untuk melegitimasikan kekuasaan politik tertentu. Kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh negara adalah tamparan keras bagi perempuan Indonesia, terutama bagi feminisme. Sudah saatnya bagi kaum perempuan untuk menggugat secara politis dengan memaksa pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini dengan lebih sungguh-sungguh dan lebih jauh lagi, membongkar seluruh Aturan Simbolis yang melekat secara kental dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara selama ini. Tidak ada jalan lain disini, kecuali mendekonstruksi seluruh cara berbahasa dan cara berpikir individu, kelompok masyarakat dan negara.
Di dalam artikel selanjutnya yang berjudul Kekerasan Negara Terhadap Perempuan, yang ditulis oleh Toeti Herati Noerhadi, saya tidak akan mengulasnya secara menyeluruh. Namun akan saya soroti mengenai tulisannya adalah hal sebagai berikut. Yaitu bahwa dengan pencantuman soal perlindungan terhadap perempuan dengan dibentuknya “Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan” (CEDAW) dalam Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia, yang juga diikuti oleh Indonesia, maka jelaslah bahwa negara mempunyai komitmen terhadap perlindungan hak-hak manusia ditambah lagi komitmen khusus yakni perlindungan terhadap diskriminasi dan bahkan penghapusan akan diskriminasi itu sendiri. Tetapi sebelum kita melihat pelaksanaan konkrit Konvensi tersebut, maka ada pertanyaan yang perlu dijawab terlebih dahulu. Yaitu sejauh mana kita sebagai perempuan dan sebagai feminis menginginkan perlindungan khusus itu? Sebagai perempuan dengan kodrat biologis yang kita miliki, kita mermbutuhkan perlindungan tersebut, tetapi bukankah sebagai feminis kita mencanangkan dengan lantang menolak anatomy is destiny, dan kebebasan perempuan? Inilah dilema terbesar dan paling serius yang kita hadapi dan kelihatannya sulit mencapai kesepakatan dalam hal ini. Selama kita tidak bersepakat atas posisi kita yang mau bebas tetapi sekaligus mau dilindungi, maka bisa jadi ini akan menjadi lelucon dan guyonan belaka.
Mengapa menurut saya ini menarik? Karena dalam kehidupan sehari-hari, ada teman-teman saya yang perempuan yang di dalam dirinya mempraktekkan tuntutan untuk bebas (melakukan apapun) namun masih menuntut perlakuan khusus dari kaum lelaki, yang merupakan hasil internalisasi nilai-nilai yang bernuansa gender. Adalah hal yang dilematis, bahwa kita ingin melawan dan membongkar ‘genderisme’, namun tetap berpikir dan hidup dalam sistem itu. Yang mana memang tidak dapat dipersalahkan juga karena hal ini telah melekat dalam lingkungan kita dalam jangka waktu yang tak terhitung. Namun ada 1 hal yang saya dapatkan dari perkataan Ibu Megawati Soekarnoputri, yang penting untuk diingat oleh para perempuan, bahwa janganlah menyerah pada keadaan yang memang kita rasa tidak ‘sreg’ dengan diri kita.
oleh Gisella Tani Pratiwi, Tim Pena, Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
SUMBER PUSTAKA :
Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan dan The Asia Foundation, Jakarta, 2000.
Nawal El Saadawi, Perempuan di Titik Nol
JUGA DIBACA:
Nawal El Saadawi, Catatan dari Penjara Perempuan, Yayasaan Obor Indonesia, Jakarta, 1997.
sumber: Sekitarkita.comhttp://www.kesrepro.info/?q=node/207
No comments:
Post a Comment