Friedrich Engels
Bagian dari Bab IV Perang Tani di Jerman edisi Inggris, FLPH, Moskow, 1956
Ketika pertempuran-pertempuran buas yang dilakukan oleh kaum bangsawan feodal yang berkuasa mengisi suasana Zaman Tengah dengan keriuhannya, dalam saat bersamaan pekerjaan tak bersuara dari klas-klas tertindas menggerogoti sistem feodal di seluruh Eropa Barat dan menciptakan syarat-syarat di mana makin sempit ruang yang tersisa untuk tuan feodal. Benar, kalangan tuan-tuan itu masih terus seperti sediakala di pedesaan, yaitu menyiksa hamba-hamba mereka, hidup mewah berkat keringat para hamba itu, menunggang kuda menerjang roboh tanaman-tanaman mereka yang hampir panen dan memperkosa istri serta anak-anak perempuan mereka. Tetapi kota besar dan kecil bermunculan di mana-mana: di Italia, di Perancis Selatan, dan di sepanjang sungai Rhein kota-kota tersebut adalah kota-kota utama Romawi yang dibangunkan dari keruntuhannya; di tempat lain, terutama di Jerman pedalaman, kota-kota itu dibangun kembali. Terlindung oleh tembok dan parit, kota-kota itu merupakan basis yang lebih hebat ketimbang benteng-benteng kaum bangsawan, karena basis-basis itu hanya dapat direbut dengan menggunakan kelompok yang besar. Di belakang tembok dan parit, tergabung dalam gilda-gilda dan dalam ukuran yang cukup kecil, berkembang kerajinan tangan Jaman Tengah. Terjadi akumulasi kapital yang pertama, dan lambat laun timbul kebutuhan akan perdagangan dengan kota-kota lain dan dengan daerah-daerah lain di dunia ini, dan dengan itu alat-alat untuk melindungi perdagangan tersebut.
Pada abad ke limabelas orang-orang kota mutlak sudah lebih diperlukan bagi masyarakat ketimbang kaum bangsawan feodal. Benar, pertanian tetap merupakan pekerjaan sebagian besar rakyat, dan dengan begitu, cabang utama dari produksi. Tetapi petani-petani merdeka yang di sana-sini berhasil dapat mempertahankan diri terhadap pelanggaran dari kaum bangsawan, adalah bukti yang meyakinkan bahwa dalam pertanian hal yang terpenting bukan terletak pada kelambanan dan pemerasan ala lintah-darat dari kaum bangsawan, tetapi pada kerja membanting-tulang dari kaum tani. Dan lagi, keperluan-keperluan kaum bangsawan itu sendiri telah berlipat-ganda juga dan berubah, sehingga kota-kota mutlak telah menjadi diperlukan bagi mereka pula; bukankah perkakas-perkakas produksinya yang satu-satunya, lapisbesi pelindung dan senjatanya, diperoleh di kota-kota? Kain tenunan dalam negeri, perabotan dan perhiasan, sutera Italia, renda Brabant, bulu binatang daerah utara, minyak wangi Arabia, buah-buahan Levantin dan rempah-rempah India-semuanya, kecuali sabun-dibeli oleh kaum bangsawan di kota. Suatu perdagangan dunia tertentu telah berkembang; orang-orang Italia berlayar ke Laut Tengah dan pantai Atlantik hingga Flander, dan kota-kota Hanseatik menguasai Laut Utara dan Laut Baltik dengan menghadapi persaingan yang makin hebat dari Belanda dan Inggris. Hubungan darat dipelihara terus antara pusat-pusat utara dan selatan dari lalulintas laut; jalan-jalan raya bagi mereka melintasi Jerman. Sedang kaum bangsawan makin menjadi lebih tak ada gunanya lagi dan makin lebih menjadi halangan bagi perkembangan, maka dalam pada itu warga kota menjadi suatu klas yang menjelmakan perkembangan selanjutnya dari produksi dan perdagangan, pendidikan, dan lembaga-lembaga sosial dan politik.
Segala kemajuan ini yang diakibatkan oleh produksi dan pertukaran adalah, memang, dibandingkan dengan ukuran saat ini, bersifat sangat terbatas. Produksi hanya terbatas pada gilda-gilda, dengan demikian masih mengandalkan watak feodalnya, dan perdagangan terbatas pada laut-laut Eropa; yang tidak meluas melampaui pelabuhan-pelabuhan laut Levantin, di mana hasil-hasil dari Timur Jauh dipertukarkan. Tetapi gilda-gilda, meskipun kecil dan terbatas, dan bersama itu anggota-anggota gilda, cukup kuat untuk membentuk kembali masyarakat feodal, dan paling tidak terus bergerak, sedang kaum bangsawan macet.
Lagi pula, kaum warga kota mempunyai uang-senjata perkasa terhadap feodalisme. Hampir-hampir tidak ada suatu tempat untuk uang di dalam usaha pertanian feodal di masa awal Jaman Tengah. Si tuan memperoleh segala yang dibutuhkan untuknya dari para hambanya, baik dalam bentuk kerja, maupun sebagai hasil jadi; para perempuan menenun rami dan bulu domba, dan memproduksi bahan pakaian; kaum laki-laki mengerjakan tanah ladang, anak-anak menggembala ternak sang tuan, dan mengumpulkan buah-buah dari hutan, sarang burung dan jerami; di samping itu, seluruh keluarga masih harus menyetorkan gandum, buah-buahan, telur, mentega, keju, unggas, hewan piaraan, dan barang-barang lain yang tak terhitung. Setiap rumah feodal sanggup mencukupi diri; sampai pula pembiayaan militer pun dimintakan dalam bentuk hasil bumi; perdagangan dan pertukaran belum ada, dan uang adalah sesuatu yang berlebihan. Eropa telah jatuh ke derajat yang begitu rendah, ia telah memulai segalanya begitu antusias dari awal lagi, sehingga saat itu uang lebih banyak semata-mata berfungsi politik ketimbang berfungsi sosial: uang digunakan untuk membayar pajak, dan pada dasarnya diperoleh melalui perampokan di jalan raya.
Namun semua itu berubah. Uang menjadi perantara umum untuk pertukaran lagi, dan bagiannya yang terbesar, karena itu, berlipat ganda secara besar-besaran; bahkan kalangan tuan-tuan pun tak dapat hidup lagi tanpa uang, dan karena mereka hanya mempunyai sedikit atau sama sekali tidak punya apapun untuk dijual, dan karena perampokan-perampokan di jalan raya tidak begitu mudah dilakukan lagi, mereka terpaksa lari pada lintah darat kota. Lama sebelum alat-alat perang baru menembak menggempur tembok-tembok puri ksatria-feodal, tembok-tembok ini sudah digerogoti oleh uang; memang, serbuk peledak, boleh dikatakan, hanyalah pelaksanaan dalam pengabdian terhadap uang. Uang adalah alat politik yang besar di tangan kaum warga kota. Di mana hubungan-hubungan antara orang dengan orang didesak dan dikuasai oleh hubungan-hubungan uang, di mana cukai hasil bumi diganti oleh pembayaran uang, di situlah hubungan-hubungan borjuis menggeser hubungan-hubungan feodal. Benar, ekonomi alamiah lama yang kejam itu pada umumnya masih berkuasa di pedesaan; tetapi telah muncul pula daerah-daerah utuh di mana kaum tani, seperti di negeri Belanda, Belgia dan Rhein hilir, membayar uang kepada tuan-tuan mereka dan bukan lagi rodi dan pungutan-paksa, di mana tuan dan vasal sudah mengadakan langkah pertama dan menentukan ke arah perubahan menjadi pemilik tanah dan penyewa, dan di mana, sebagai akibat darinya, lembaga-lembaga politik feodalisme mulai kehilangan dasar kemasyarakatannya juga di pedesaan.
Sampai derajat mana dalam abad ke limabelas feodalisme telah tergerogoti dan dari dalam diceraiberaikan oleh uang, dengan menyolok dicerminkan dalam kehausan akan emas yang pada masa itu menguasai Eropa Barat. Orang Portugal mencari emas di sepanjang pantai Afrika, di India, dan di seluruh Timur Jauh; emas adalah kata mujijat yang mendorong orang Spanyol menyeberangi Samudra Atlantik ke Amerika; emas adalah barang yang pertama-tama ditanyakan oleh orang kulit putih ketika mereka menginjakkan kakinya di tanah yang baru ditemukan. Dan hasrat akan perjalanan jauh dan petualangan untuk merebut emas ini, biarpun sudah begitu banyak terwujud pada mulanya dalam bentuk-bentuk feodal dan setengah-feodal, pada dasarnya sudah bertentangan dengan feodalisme, yang landasannya bertumpu pada pertanian, dan yang perebutan-perebutannya pada hakekatnya tertuju pada memperoleh tanah. Dan lagi, berlayar di laut adalah nyata-nyata pekerjaan borjuis, yang meninggalkan jejak bekasnya yang anti-feodal juga pada setiap angkatan laut modern.
Demikianlah maka pada abad ke limabelas feodalisme berada dalam keruntuhan yang sempurna di seluruh Eropa Barat. Kota-kota dengan kepentingan-kepentingan anti-feodal, dengan undang-undangnya sendiri dan kaum wargakotanya yang bersenjata, telah menancapkan dirinya dan menembus ke dalam wilayah-wilayah feodal di manapun, dan telah menjadikan sebagian tuan-tuan feodal tergantung pada mereka secara sosial, melalui uang, dan di sana-sini bahkan juga secara politik. Sampai pula di lingkungan-lingkungan di mana teristimewa syarat-syarat menguntungkan telah memberikan sumbangannya kepada kemajuan pertanian, ikatan-ikatan feodal lama telah mulai kendor di bawah pengaruh uang; hanya di negeri-negeri yang baru direbut, seperti jajahan-jajahan Jerman di sebelah timur sungai Elbe, atau kalau tidak di daerah-daerah terbelakang yang jauh dari lalu-lintas perdagangan, kaum bangsawan berjalan terus sebagaimana di waktu lampau. Di mana pun-di kota dan desa-terdapat makin banyak orang di atas segala peperangan yang silih berganti dan bodoh itu, dihentikannya permusuhan-permusuhan feodal yang mengekalkan adanya perang dalam negeri bahkan di waktu musuh asing ada di dalam negeri, dan dihentikannya keadaan yang berupa pembinasaan tak henti-henti dan tak berperasaan yang berlangsung selama Jaman Tengah. Masih terlalu lemah untuk menyatakan serta mempertahankan kehendaknya, anasir-anasir ini menemukan dukungan kuat pada anak-tangga teratas dari seluruh sistem feodal-kekuasaan raja itu sendiri. Dan dengan begitu maka meningkatkan studi tentang syarat-syarat kemasyarakatan kepada syarat-syarat negara, dan pergilah kita meninggalkan bidang ekonomi ke bidang politik.
Lambat laun berkembang nasionalitas-nasionalitas baru dari kekacau-balauan suku-suku bangsa di masa paling awal dari Jaman Tengah, suatu proses di mana pemenangnya dikatakan telah dicernakan oleh yang dikalahkan di sebagian terbesar daerah yang dahulunya adalah propinsi-propinsi Romawi, yaitu, tuan Jerman oleh kaum tani dan orang-orang kota. Nasionalitas-nasionalitas modern dengan begitu adalah juga hasil dari klas-klas tertindas. Bagaimana perpaduan terjadi di sini dan pembagian di sana, ditunjukkan secara grafik dalam peta Lorraine Tengah2) buatan Menke. Seorang hanya perlu mengikuti garis pembagi antara nama-nama Romawi dan Jerman untuk mendapatkan bahwa garis itu sejalan dengan, pada pokoknya, batas antara bahasa Perancis dan Jerman, yang ada selama seratus tahun di Belgia dan Lorraine Bawah.
Ada daerah sempit yang dipertengkarkan di sana-sini di mana dua bahasa itu bertempur merebut keunggulan; tetapi pada keseluruhannya adalah ditegaskan dengan baik apa yang Jerman dan apa yang Romawi. Tetapi bentuk Jerman tinggi dan Perancis rendah lama dari bagian terbesar nama-nama di peta tersebut menunjukkan bahwa nama-nama itu tergolong pada abad ke sembilan, atau selambat-lambatnya, pada abad ke sepuluh, dan bahwa batas antara mereka itu pada hakekatnya sudah diletakkan menjelang akhir periode Karolinga. Pada pihak Romawi, teristimewa di dekat batas bahasa, terdapat nama-nama campuran yang terjadi dari nama Jerman dan nama ilmu bumi Romawi; misalnya, di sebelah barat Maas dekat Verdun, Rofridi curtis, Ingolini curtis, Teudegisilo villa, sekarang bernama Ippecourt, Recourt la Creux, Amblainecourt sur Aire, Thierville. Itu semua adalah adalah wilayah-wilayah Frangkonia, koloni-koloni kecil Jerman di wilayah Romawi, yang cepat atau lambat menjadi di-Romawi-kan. Di kota-kota, dan di beberapa lingkungan pedesaan, terdapat koloni-koloni Jerman yang lebih kuat, yang mempertahankan bahasanya selama jangka waktu yang lebih lama; salah satu koloni semacam itu, misalnya, menghasilkan "Ludwigslied"3) dalam bagian akhir abad ke sembilan; tetapi sumpah-sumpah raja-raja dan orang-orang besar dalam tahun 842 Masehi, yang di dalamnya bahasa Romawi sudah menjadi bahasa resmi Frangkonia, membuktikan bahwa sejumlah sangat besar tuan-tuan Frangkonia telah di-Romawi-kan lebih dahulu.
Sekali kelompok-kelompok bahasa itu dibatasi (kesampingkan perang-perang perebutan dan pembinasaan yang terjadi kemudian, seperti yang dipertarungkan dengan orang-orang Slav Elbe),4) maka wajarlah bahwa kelompok-kelompok bahasa itu akan berperanan sebagai dasar untuk pembentukan negara, dan bahwa nasionalitas-nasionalitas mulai berkembang menjadi bangsa (nasion). Keruntuhan yang cepat dari negara campuran Lorraine menunjukkan bagaimana kuatnya proses spontan ini sudah dalam abad ke sembilan. Benar, sepanjang seluruh Jaman Tengah batas-batas bahasa sama sekali tidak berpadu dengan batas-batas negara, namun setiap nasionalitas, terkecuali Italia barangkali, diwakili dalam suatu negara besar Eropa yang spesifik, dan kecenderungan untuk mendirikan negara nasional, yang tampil lebih jelas lagi dan lebih sadar, merupakan satu di antara pengungkit-pengungkit yang paling hakiki dari kemajuan di masa Jaman Tengah.
Di dalam setiap negara macam Jaman Tengah ini raja mewakili anak-tangga teratas dari seluruh hirarki feodal, seorang kepala tertinggi yang mutlak diperlukan bagi vasal-vasal, tetapi yang terhadapnya mereka itu selalu dalam keadaan berontak terus-menerus. Hubungan-hubungan terutama dalam ekonomi feodal, yaitu hak mengusahakan tanah dengan upeti-upeti serta kerja-wajib perseorangan tertentu, tidak kurang memberikan dasar-dasar bagi pertentangan-pertentangan dalam bentuk yang paling sederhana, teristimewa di mana begitu banyak orang berkepentingan dalam hal mendapatkan alasan untuk bersitegang. Niscaya, karena Jaman Tengah, di mana hubungan-hubungan hak di semua negeri merupakan suatu kekusutan yang membingungkan berupa hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang diakui, dicabut, diperbarui, dibatalkan, diubah dan dengan cara lain diterapkan? Karel Pemberani, misalnya, adalah pemakai tanah Kaisar untuk sebagian dari tanahnya, dan pemakai tanah raja Perancis untuk sebagian lainnya lagi; pada lain pihak, raja Perancis, orang yang memberi hak-pakai tanah kepadanya, bersamaan dengan itu adalah pemakai tanah Karel Pemberani, vasal-nya sendiri, untuk daerah-daerah tertentu. Bagaimanakah bentrokan-bentrokan dapat dielakkan? Maka itu pergantian berabad-abad terikatnya kaum vasal kepada pusat kerajaan, yang itu sendiri sudah dapat melindungi mereka terhadap musuh-musuh dari luar dan terhadap satu sama lain, dan pergantian berabad-abad penolakan mereka terhadap pusat itu, sehingga hal terikat tadi dengan tak terelakkan dan selalu senantiasa berubah menjadi penolakan; maka itu perjuangan yang terus-menerus antara raja dengan vasal, yang riuh menjemukan itu menghanyutkan segala sesuatu lainnya selama waktu yang panjang ketika perampokan merupakan sumber satu-satunya dari pendapatan yang dianggap layak bagi orang-orang merdeka; maka itu terjadi penghianatan, pembunuhan, racun, komplotan dan kebencian berlarut apa pun yang mungkin, yang mendasari pikiran puitis dari ke-ksatriaan feodal dan biarpun begitu bukan rintangan untuk berbicara tentang kehormatan dan kesetiaan.
Terang sudah bahwa dalam kekacauan umum ini kekuasaan raja adalah unsur yang progresif. Ia mewakili susunan tata-tertib dalam keadaan kacau, dan nasion yang sedang bertumbuh dihadapkan pada keterpisahan menjadi negara-negara vasal yang memberontak. Semua anasir revolusioner yang terbentuk di bawah permukaan feodal cenderung mendukung raja sama banyaknya seperti yang menolaknya. Persekutuan raja dengan warga kota sudah mulai sejak abad ke sepuluh; sering diganggu oleh berbagai bentrokan, karena dalam Jaman Tengah tidak satupun menempuh jalan secara konsekuen, persekutuan setiap kali diperbarui lebih kokoh dan lebih teguh, sampai ia menolong raja mencapai kemenangannya yang terakhir, dan raja, sebagai pernyataan terima kasih, menaklukkan dan merampok sekutunya.
Raja, seperti juga kaum warga kota, mendapatkan dukungan sangat kuat dari para ahli hukum. Dengan penemuan-kembali hukum Romawi maka berkembang suatu pembagian kerja antara alim-ulama, penasehat legal di masa feodal, dan para ahli hukum keduniawian. Para ahli hukum baru ini di atas segalanya pada hakekatnya adalah suatu lembaga borjuis; dan, lagi pula, peradilan yang mereka pelajari, maju dan terpakai, pada hakekatnya adalah anti-feodal dan, dalam hal tertentu, berjuis. Hukum Romawi sejauh itu adalah pernyataan yuridis klasik mengenai syarat-syarat hidup dan benturan-benturan di dalam masyarakat yang istimewa dikuasai oleh milik perseorangan, sehingga segala perundang-undangan kemudian tidak mampu berkembang dengan berlandaskan padanya dengan jalan wajar dan layak. Tetapi hal milik warga kota selama Jaman Tengah masih kuat dikepung oleh pembatasan-pembatasan feodal, dan, misalnya, sebagian terbesar berupa hak-hak istimewa. Karena itu Hukum Romawi, dalam hal ini adalah jauh lebih maju daripada hubungan-hubungan borjuis di masa itu. Tetapi semua perkembangan sejarah selanjutnya dari hak milik borjuis hanya dapat, seperti halnya yang terjadi, bergerak maju ke arah hak milik perseorangan sejati. Perkembangan ini tentu mendapatkan suatu pengungkit yang kuat dalam hukum Romawi, yang memuat dalam bentuk sudah jadi segala sesuatu yang dengan tidak sadar masih dicari-cari oleh kalangan wargakota dalam paruh akhir dari Jaman Tengah.
Benar, dalam banyak hal hukum Romawi memberikan dalih untuk penindasan yang lebih berat terhadap kaum tani oleh kaum bangsawan. Ini adalah demikian, misalnya, bilamana saja kaum tani tidak dapat menunjukkan bukti tertulis tentang kebebasannya dari upeti-upeti secara lain yang sudah lazim, namun hal ini tidak mengubah keadaan. Kaum bangsawan pasti mendapatkan berbagai dalih semacam itu, dan memang setiap saat selalu mendapatkannya, tanpa hukum Romawi. Setidak-tidaknya, adalah suatu kemajuan yang sangat pesat bahwa diberlakukan suatu hukum yang tidak memikirkan hubungan-hubungan feodal dan sepenuhnya mengharapkan hak milik perseorangan yang modern.
Kita telah melihat bagaimana kaum bangsawan feodal di bidang ekonomi telah berlebihan, dan malah merupakan rintangan, dalam masyarakat semasa paruh akhir Jaman Tengah, dan bagaimana, di bidang politik pun juga, ia menjadi penghalang bagi perkembangan kota, dan perkembangan negara-negara nasional, yang pada masa itu hanya mungkin dalam bentuk monarkhi. Tetapi biarpun demikian ia masih dapat ditegakkan oleh monopolinya atau keahlian-perang; tak ada perang yang dapat dilakukan, tak ada pertempuran yang dapat diadakan, tanpa itu. Inipun harus berubah: langkah terakhir yang harus dibuat untuk menunjukkan kepada para bangsawan feodal bahwa periode dominasi mereka di bidang sosial dan politik sudah berakhir, bahwa mereka tidak dibutuhkan lagi dalam kedudukannya sebagai ksatria feodal, tidak juga di medan pertempuran.
Untuk memerangi sistem feodal dengan tentara feodal, yang di dalamnya serdadu-serdadunya terikat lebih erat kepada atasannya yang langsung daripada pada pimpinan tentara kerajaan, sudah terang akan berputar dalam lingkaran tak berujung-pangkal dan tak berakhir. Sudah sejak permulaan abad ke empatbelas raja-raja berupaya untuk menghapuskan pengelompokan-pengelompokan feodal semacam itu, dan mendirikan tentara-tentara mereka sendiri. Bagian di dalam tentara kerajaan yang terdiri dari pasukan-pasukan terdaftar dan sejak itu serdadu-serdadu sewaan senantiasa semakin besar. Pertama-tama mayoritas mereka itu adalah serdadu-serdadu jalan-kaki, orang-orang gelandangan dari kota dan hamba-hamba yang lari, orang-orang Lombardia, Genoa, Jerman, Belgia, dsb., digunakan dalam merebut kota dan untuk tugas-tugas dalam kota, dan mula-mula jarang sekali berguna dalam pertempuran terbuka. Tetapi pada akhir Jaman Tengah kita mendapati juga orang-orang berkuda yang bekerja mencari bayaran pada pengeran-pangeran asing dengan para pengikut mereka yang terhimpun dengan cara entah bagaimana, dan dengan itu memberi pertanda tentang kemusnahan yang tak terelakkan dari keahlian-perang feodal.
Bersamaan waktu dengan itu syarat pokok untuk pasukan jalan kaki yang cukup mampu untuk berperang, tercipta di kota-kota, dan di kalangan kaum tani merdeka telah muncul hal seperti itu. Sampai saat itu para ksatria feodal dengan pengiring-pengiring berkuda bukan saja merupakan intinya, tetapi tentaranya itu sendiri; kerumunan-kerumunan orang yang menyertainya berupa serdadu-serdadu jalan kaki tidak masuk hitungan, dan timbul tersedia di medan terbuka hanya untuk maksud berkelahi atau merampok belaka. Selama feodalisme menempati puncak kejayaannya sampai pada akhir abad ke-13, pasukan berkudalah yang bertempur dan menentukan semua pertempuran. Tetapi sejak itu keadaan berubah, dan memang benar, serentak di berbagai tempat. Menghilangnya perhambaan secara berangsur-angsur di Inggris menimbulkan berbagai klas kaum tani merdeka, pemilik tanah dan penyewa, yang memberi bahan mentah untuk pasukan jalan kaki yang baru yang terampil menggunakan busur dan panah, senjata nasional Inggris pada masa itu. Mulai digunakannya secara umum para pemanah, yang selalu berperang dengan berjalan kaki, tak peduli menunggang kuda atau tidak selama dalam perjalanannya, menyebabkan munculnya suatu perubahan penting dalam taktik tentara Inggris. Dari abad ke-14 kaum ksatria feodal lebih suka bertempur dengan berjalan kaki di mana saja lapangan dan syarat-syarat lainnya mengarah ke situ. Di belakang barisan pemanah, yang membuka pertempuran dan mengusahakan kekacauan dalam barisan musuh, suatu barisan tentara yang padu terdiri dari ksatria-ksatria feodal yang tidak berkuda menunggu serangan musuh atau saat yang tepat untuk menyerang, sedangkan hanya sebagian dari mereka tetap menunggang kuda untuk melancarkan dukungan dengan serangan-serangan samping. Rangkaian kemenangan-kemenangan Inggris di Perancis pada masa itu secara prinsipil terletak pada hidupnya kembali anasir defensif di dalam tentara seperti tersebut di atas; dan kebanyakan adalah justru pertempuran-pertempuran yang sama bersifat defensif dengan pengaruh ofensif seperti halnya pertempuran-pertempuran Wellington di Spanyol dan Belgia. Sesudah Perancis menggunakan taktik baru-mungkin, sesudah penembak-penembak busur silang sewaan Italia dalam kelompok mereka mengisi tempat penembak-penembak busur Inggris-maka habislah kemenangan-kemenangan Inggris.
Sama dengan itu, pada awal abad ke-14 pasukan jalan kaki kota-kota Flandria memberanikan dirinya-dan seringkali dengan sukses-melawan kaum ksatria feodal Perancis dalam pertempuran terbuka, dan percobaan Kaisar Albrecht untuk membujuk kaum tani merdeka (reichsfreie) Swiss supaya berpihak kepada Archduke Austria, yaitu, dia sendiri, memberikan dorongan untuk pembentukan pasukan jalan kaki modern pertama yang tersohor di Eropa. Dalam segala kemenangan Swiss atas Austria, dan, patut dicatat, atas Burgundia, ksatria-ksatria feodal berbaju lapis besi-menunggang kuda atau secara lain-menderita pukulan-kembali terakhir di tangan serdadu-jalankaki, kelompokan feodal di tangan tentara modern yang sedang bertumbuh, ksatria feodal di tangan orang kota dan tani merdeka. Dan orang Swiss, sebagai penegasan tentang watak borjuis dari republik merdeka pertamanya di Eropa, segera mengubah kemashuran perangnya menjadi perak. Segala pertimbangan politiknya menguap; kanton-kanton berubah menjadi pusat pendaftaran serdadu-serdadu sewaan yang mencari penawaran tertinggi. Di lain tempat juga, dan khususnya di Jerman, genderang berbunyi gemuruh penuh nafsu memanggil serdadu-serdadu baru, tetapi sinisme suatu pemerintah, yang maksud satu-satunya ternyata adalah penjualan orang-orang penduduk negerinya, tetap tak ada bandingannya sampai saat para pangeran Jerman melampauinya ketika terjadi kemunduran nasional yang terdalam.
Kemudian, dalam abad ke-14 juga, bahan peledak dan senjata meriam diperkenalkan ke Eropa melalui Spanyol oleh orang Arab. Sampai akhir Jaman Tengah senjata api tetap tidak penting, dan begini memahaminya, karena busur para penembak-busur Inggris di Crecy menembak sama jauhnya juga dan barangkali lebih pasti-biarpun, barangkali, dengan hasil yang-biarpun, barangkali, dengan hasil yang kurang-daripada senapan berlaras-halus serdadu-serdadu jalankaki di Waterloo. Alat-alat perang lapangan masih juga dalam keadaan sangat sederhana, meriam-meriam berat, sementara itu, telah berkali-kali menggempur merusak tembok-tembok puri ksatria feodal, dan meramalkan kepada bangsawan feodal bahwa bahan peledak menentukan nasib kekuasaannya.
Tersebarnya ketrampilan mencetak, studi yang hidup kembali tentang sastra kuno, seluruh gerakan kebudayaan, yang telah menghimpun tenaga dan menjadi makin lebih umum sejak tahun 1450-ini semua adalah baik bagi burjuasi dan bagi raja dalam perjuangan mereka melawan feodalisme.
Pengaruh yang meningkat dari berbagai sebab ini, yang meningkat dari tahun ke tahun melalui aksi timbal-balik mereka yang meluas terhadap satu dengan lainnya mendorong mereka makin hebat ke arah yang sama, menentukan kemenangan atas feodalisme dalam paruh terakhir abad ke limabelas jika tidak masih untuk kaum warga kota, ya untuk monarkhi. Di manapun di Eropa, termasuk daerah-daerah terpencil yang tidak melalui tingkat feodalisme, kekuasaan raja dengan tiba-tiba memperoleh singgasana kemenangan. Di Semenanjung Iberia dua golongan Romawi setempat bergabung ke dalam sebuah kerajaan Spanyol dan negara Aragon yang berbicara Provenca dikalahkan oleh lidah sastra Kastilia; golongan ketiga menyatukan daerah bahasanya, terkecuali Galisia, ke dalam kerajaan Portugal. Belanda-nya Iberia, memalingkan punggungnya terhadap daerah pedalaman, dan menguatkan haknya untuk suatu kehidupan terpisah melalui kegiatan-kegiatan maritim.
Di Perancis Louis XI pada akhirnya berhasil, sesudah jatuhnya negara penyangga Burgundia,5) menegakkan kesatuan nasional, yang terjelma dalam kekuasaan kerajaan yang pada saat itu masih meliputi suatu wilayah terbatas dari Perancis, dan sampai pada suatu derajat sedemikian rupa sehingga penggantinya dapat ikut campur urusan Italia, dan kesatuan ini hanya pernah suatu ketika dalam waktu yang pendek terancam oleh Reformasi.6)
Inggris pada akhirnya menghentikan peperangan-peperangannya yang seperti Don Kisot itu untuk merebut wilayah-wilayah Perancis, yang lama-kelamaan toh akan menghabiskan tenaganya juga; bangsawan feodalnya mencoba menggantinya dengan Perang Bunga Mawar,7) dan memperoleh lebih banyak daripada apa yang diharapkan darinya. Ia menghabisi dirinya sendiri dan menempatkan keluarga bangsawan Tudor ke singgasana, yang kekuasaannya melampaui kekuasaan semua pendahulu dan penggantinya. Negeri-negeri Skandinavia sejak lama sudah dipersatukan, Polandia, dengan monarkhi yang sampai pada saat itu belum menjadi lemah, mendekati puncaknya sesudah persatuannya dengan Lituania, dan bahkan di Rusia juga penggulingan pangeran-pangeran penerima tunjangan raja dan pembebasan dari tindasan Tatar berlangsung bergandengan tangan dan pada akhirnya diresmikan oleh Ivan III. Di seluruh Eropa hanya terdapat dua negeri-Italia dan Jerman-di mana kerajaan dan kesatuan nasional yang pada masa itu tidak mungkin tanpa itu, atau tidak ada sama sekali, atau hanya ada di atas kertas saja.
Catatan:
1) Judul ini dibubuhkan oleh penerbit, yaitu Balai Penerbitan Bahasa Asing Moskow, sedang dalam manuskrip Engels sendiri tidak dicantumkan apa-apa.
2) Spruner-Menke, Hand-Atlas fur die Geschichte des Mittelalters und der neueren Zeit, 3. Aufl., Gotha 1874, Karte No. 32.
3) Ludwigslied-Sebuah hikayat tentang raja Frangkonia Barat, Ludwig III (dari dinasti Karolinga), dan tentang kemenangannya atas orang-orang Norman dalam tahun 881, direkam dalam dialek-bahasa Frangkonia-Rhein.
4) Orang-orang Slav Elbe-Suku-suku dan nasionalitas-nasionalitas Slav di sebelah timur sungai Elbe; ditaklukkan oleh tuan-tuan feodal Jerman (abad X-XIV) dengan cara yang paling buas, termasuk pembinasaan sepenuhnya atas beberapa suku Slav; yang masih hidup dijadikan hamba dan di-Jerman-kan dengan paksa.
5) Negeri Duche Burgundia-berantakan sesudah matinya Karel Pemberani pada tahun 1477; suatu bagian besar dari milik-milik Burgundia menjadi bagian dari kerajaan Perancis, dan sisanya (Nederland, dsb.) jatuh ke tangan kaum Hapsburg. Duc adalah gelar bangsawan tinggi di Eropa, dalam bahasa Belanda dinamakan hertog, sedang duche adalah wilayah yang dikuasai oleh seorang duc.
6) Yang dimaksud adalah gerakan kaum Hugenot, kaum Calvinis Perancis yang menganjurkan reformasi atau penyusunan kembali keagamaan. Gerakan itu ditindas dalam apa yang dinamakan Perang (keagamaan) Hugenot (1562-94).
7) Perang Bunga Mawar-The Wars of The Roses, suatu perjuangan membencanakan antar-dinasti antara Keluarga-bangsawan Lancaster dengan York, yang mengucilkan Inggris dalam abad ke-15, mulai dari pertempuran pertama Santa Albans (1455) sampai pertempuran Bosworth (1485).
ooo0ooo
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment