SEJUMLAH fenomena yang terjadi di Tanah Air memperlihatkan betapa pentingnya suatu strategi kebudayaan untuk sebuah bangsa yang dan majemuk seperti Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa, arogansi kesukuan, terpinggirkannya daerah-daerah konflik antar etnis dan agama, masalah transmigrasi dan permukiman, fenomena KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme), dan sejumlah fenomena budaya lainnya, merupakan akibat dari tiadanya atau kelirunya strategi kebudayaan. Ternyata apa yang disebut sistem pendidikan nasional tak mampu menjawab hal itu. Sistem pendidikan nasional memerlukan strategi kebudayaan. Kerancuan budaya Beberapa kontroversi dan kerancuan di dalam politik kebudayaan telah terjadi sejak puluhan tahun. Kita ingin mengembangkan masyarakat dan kebudayaan yang memiliki identitas, tetapi sementara itu dikembangkan pula sistem dan proses sentralisasi yang mengabaikan daerah-daerah sebagai sumber nilai dan identitas. Kebudayaan nasional hanya menjadikan puncak-puncak kebudayaan daerah sebagai bagiannya (UUD 45). Yang mana itu? Lainnya? Mungkinkah dibedakan mana yang puncak dan mana yang tidak? Paradigma dan konsep tentang kebudayaan nasional itu telah meminggirkan potensi sektor budaya yang ada (hukum, pemerintahan, pendidikan, ekonomi, lingkungan, bahasa, kesenian, moral, dan lain-lain) dari berbagai etnis di Nusantara.
Paradigma negara kesatuan menimbulkan konsekuensi agar Indonesia juga harus memiliki satu kebudayaan, yakni kebudayaan nasional. Paradigma itu mengingkari kenyataan adanya pluralisme budaya, sehingga pluralisme budaya dilihat sebagai suatu yang berbahaya. Faktor sentral Adanya suatu strategi kebudayaan akan menjaga agar manusia selalu merupakan faktor sentral dalam proses pembangunan. Bahwa manusia merupakan subjek dan tujuan dalam setiap langkah dan upaya perubahan. Dalam hubungan dengan teknologi, misalnya, manusia seyogianya menjadi subyek, bukan mangsa, dan seyogianya pula teknologi bisa lebih memanusiawikan dan membahagiakan manusia di Indonesia. Dalam beberapa periode pembangunan bangsa terlihat sektor-sektor tertentu dijadikan panglima atau pertimbangan utama kebijakan strategis. Orde Lama menjadikan politik sebagai panglima, Orde Baru memilih pertimbangan ekonomi sebagai panglima. Berapa tahun yang lalu dicanangkan kebangkitan nasional II dan kelihatannya menjadikan teknologi sebagai faktor sentral. Kemudian terbukti, baik politik, ekonomi, maupun teknologi ternyata gagal sebagai panglima. Pendekatan sektoral seperti itu tidak mampu membahagiakan dan menyejahterakan masyarakat bangsa. Jelas diperlukan suatu pendekatan yang lebih holistic, suatu pendekatan kebudayaan. Proses demokratisasi yang terjadi harus dilihat sebagai usaha dalam memuliakan manusia atau rakyat. Munculnya tendensi tirani mayoritas (suku, ras, ataupun agama) harus dicegah, karena tirani yang demikian sama berbahayanya untuk kemanusiaan dan kebudayaan dengan tirani minoritas. Tantangan budaya Indonesia adalah masyarakat majemuk, terdiri dari sejumlah etnik dan ada dalam keberagaman budaya. Masyarakat yang majemuk dan beragam itulah yang kemudian membentuk masyarakat baru: Masyarakat Indonesia, sekaligus suatu kebudayaan baru: Kebudayaan Indonesia.Masyarakat dan kebudayaan yang baru itu bukan hasil penjumlahan dari masyarakat dan kebudayaan etnis yang ada. Ia merupakan suatu kualitas baru. Kehadiran kebudayaan Barat dan kebudayaan global (beserta kebudayaan agama, misalnya) membuat nilai-nilai budaya etnis menemukan titik-singgung dalam membentuk budaya Indonesia (yang baru itu). Meski kebudayaan yang baru itu merupakan sistem dan nilai budaya baru, faktor nilai budaya etnis (tertentu) akan terasa dalam budaya yang sedang terbentuk. Melalui kreativitas, nilai-nilai budaya etnis yang kuat dan lentur akan memberi kontribusi yang penting dalam proses pembentukan kebudayaan baru itu. Proses pembentukan kebudayaan Indonesia (dengan demikian) berlangsung tidak melalui proses yang sentralistis. Beberapa sentral dan kantung-kantung kebudayaan harus ditumbuhkan dan dikembangkan, guna memungkinkan nilai-nilai budaya etnis dapat dipadukan dan
menemukan titik-singgung dengan nilai-nilai budaya global.
Nilai-nilai budaya demikian yang akan membentuk sistem-budaya dalam menghadapi tantangan kebudayaan di masa depan. Implikasinya harus terlihat dengan jelas dalam sistem pendidikan. Pada satu pihak, nilai budaya itu harus memiliki suatu identitas (suatu yang lebih berakar di masyarakatnya), dan pihak lain nilai itu menjadi universal, sehingga mampu menjawab tantangan-tantangan yang universal dan global. Proses desentralisasi kebudayaan yang memberi tempat kepada sentra dan kantung-kantung kebudayaan yang tersebar di berbagai daerah di Nusantara, bukan saja akan menumbuhkan kreativitas bangsa, tetapi juga akan memiliki arti penting bagi ketahanan budaya dari suatu bangsa yang majemuk. Pada sentra dan kantung-kantung kebudayaan itu harus dikembangkan sikap yang terbuka dan kreatif. Nilai-nilai budaya yang ada harus dilihat sebagai bagian masa depan, dikembangkan secara kreatif dalam suatu proses perubahan yang eksistensial. Jika tidak demikian, maka sentra dan kantung-kantung kebudayaan itu akan menjadi lembaga yang defensif dan konservatif.
Proses pembentukan kebudayaan (baru) Indonesia, pada hakikatnya lebih banyak berlangsung di kota-kota. Kota menjadi pusat-pusat kebudayaan baru menggantikan keraton-keraton. Di kota-kota berlangsung "pertemuan" berbagai nilai budaya. Secara kreatif dan inovatif berbagai nilai budaya itu dibentuk menjadi nilai budaya baru dalam menghadapi tantangan-tantangan budaya yang baru pula. Dalam masyarakat (Indonesia) telah terjadi perubahan penting dan mendasar. Masyarakat agraris yang mengandalkan tanah, telah bergeser menjadi masyarakat industri yang menjadikan modal sebagai faktor penentu, dan selanjutnya bergeser menjadi masyarakat informasi yang mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan yang demikian jelas akan mempengaruhi nilai-nilai budaya dan struktur kekuasaan. Strategi kebudayaan Pembicaraan tentang strategi kebudayaan ini akan mengundang pembicaraan tentang berbagai sektor budaya; pemerintahan, hukum, ekonomi, pendidikan, etika dan moral, lingkungan, kesenian, bahasa dan sastra, serta sektor-sektor budaya lainnya. Pembicaraan itu mungkin juga akan "menggugat" berbagai kebijakan yang telah dilakukan selama ini: sentralisasi dan feodalisme (baru). Pembicaraan tentang strategi kebudayaan ini akan berhadapan dengan arogansi kekuasaan, arogansi sektoral, hegemoni kebudayaan suku. Pembicaraan tentang strategi kebudayaan ini mungkin juga akan mempertanyakan beberapa pasal UUD 45. Masalah-masalah itu selama ini dilihat sebagai masalah yang sensitif bahkan sakral. Seminar atau diskusi berusaha menghindari masalah-masalah itu. Sebuah seminar yang dilaksanakan LIPI, Depdagri, dan Depdikbud tahun 1978 menghindari tema strategi dan mengalihkannya menjadi pengembangan kebudayaan dengan topik dan pembicaraan yang tidak "berbahaya". Kongres kebudayaan yang diselenggarakan berapa saat lalu juga berusaha menghindari topik-topik yang sensitif dan sakral itu. Kongres kebudayaan itu lebih bersifat formal dan hampir tidak ada pengaruhnya. Proses reformasi yang tengah berlangsung pada hakikatnya adalah proses kebudayaan. Pendekatan yang dilakukan dalam proses itu tidak mungkin hanya pendekatan sektoral. Reformasi hukum, reformasi sistem pemerintahan, reformasi pendidikan, reformasi politik, reformasi sistem keamanan, dan reformasi sektor-sektor lainnya, harus dilihat sebagai reformasi budaya. Reformasi itu bukan masalah sederhana yang bisa diselesaikan dalam orasi-orasi. Masalah-masalah yang dianggap sensitif itu harus diselesaikan dalam forum yang ilmiah secara kultural. Tidak ada masalah yang sakral. Kesakralan adalah sebuah rekayasa agar status quo tidak terganggu. Kalau di dalam masyarakat agraris kekuasaan ada di tangan para penghulu (penguasa tanah), dalam masyarakat industri beralih ke tangan para konglomerat (pemilik modal) dan dalam masyarakat informasi peranan pemilik ilmu pengetahuan dan teknologi, serta lembaga-lembaga perguruan tinggi akan amat menentukan. Perubahan struktur kekuasaan dan perubahan nilai budaya itu akan menyebabkan beralihnya pula pusat-pusat kebudayaan ke kota-kota dengan berbagai sarana dan lembaga-lembaga baru dan modern. Sebuah kota akan amat fungsional sebagai sentra dan kantung-kantung kebudayaan bilamana di kota itu ditumbuhkan dan dikembangkan suatu tradisi kebudayaan (bukan kebudayaan tradisi) yang memungkinkan berbagai pemikiran, pengkajian, dan penciptaan berlangsung dan mendapat tempat. Tradisi kebudayaan itu seyogianya didukung berbagai sarana dan lembaga, seperti universitas, para budayawan dan seniman, lembaga-lembaga birokrasi, serta lembaga-lembaga pendidikan dan kebudayaan.
Sistem pendidikan harus bertolak dan mempertimbangkan suatu strategi kebudayaan yang demikian. Sistem pendidikan seyogianya disusun dengan menyadari adanya pluralisme budaya atau multikulturalisme. Prinsip yang demikian semestinya dimulai dari sistem pendidikan.
*Krisvianto
* Krisvianto
Mahasiswa fakultas teknik, jurusan arsitektur
Universitas Widya Mataram Yogyakarta
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment