Reformasi Agraria dan Kesejahteraan Petani

SEBAGAIMANA telah banyak diulas, persoalan agraria dan petani hampir sebagian besar pemerhati melukiskan bahwa konflik pertanahan dan kesejahteraan petani adalah masalah krusial yang butuh segera diupayakan penyelesaiannya. Hanya saja basis analisisnya, termasuk dari kalangan Marxis, secara general saja tanpa mempertimbangkan kekhususan sejarah feodalisme di Indonesia yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain.

Memang dalam tataran fenomena empirik dua persoalan tersebut dominan di sektor ini. Namun, dengan mengabaikan kekhususan sejarah feodalisme di Indonesia, akibatnya kekeliruan dalam rumusan praktisnya adalah sebuah keniscayaan. Sebenarnya, di dalam menganalisis persoalan dinamika masyarakat kekinian, tentu dalam konteks kapitalisme, tidak bisa lepas dari ciri-ciri mendasar (fundamental) sejak lahir hingga perkembangannya.

Buktinya, ketika sebagian dari mereka berhasil memberi kesimpulan tersebut pada persoalan agraria dan petani tetapi secara simultan menggagas pula signifikansi program landreform sebagai solusinya. Atau pun gagasannya untuk meningkatkan produktivitas, sebagai solusinya, kecenderungan dari logikanya rentan dikatakan mampu meningkatkan produktivitas dalam makna mensejahterakan petani. Adapun tulisan ini posisinya akan memberikan pertimbangan, benarkah begitu jawaban yang tepat bagi problem mendasar tani. Sebab, jika mendasarkan pada kekhususan sejarah feodalisme di Indonesia kita akan menemukan fakta landreform meragukan sebagai jawaban yang tepat.

Jelas, dibandingkan dengan Eropa ciri-ciri feodalisme di Indonesia sangat berbeda. Di Eropa, tanah dikuasai baron-baron (tuan-tuan tanah) dan tersentral. Dalam hubungan produksinya, tuan-tuan tanah itu mempekerjakan tani-tani hamba, yang tidak mempunyai tanah.

Sedangkan di Indonesia karakteristiknya berbeda-khususnya di Jawa-struktur kepemilikan tanah adalah milik dewa atau Tuhan. Tanah secara penuh dikuasai oleh raja sebagai "wakil Tuhan di muka bumi", tetapi pada waktu Raffles berkuasa, status tanah diubah. Tanah menjadi milik negara. Karenanya bagi penggarap tanah harus membayar pajak (landrente) kepada negara-Domein Theory. Sebelumnya sistem yang berlaku, di Jawa, petani penggarap diharuskan menyerahkan dalam bentuk natura. Dan Raffles memanfaatkan aparatus-aparatus pedesaan dalam rangka akumulasi modalnya, serta menerapkan program pembagian tanah-tanah ke petani.

Sebagaimana dikatakan Jan Breman (LP3ES, 1988), tanah komunal kemudian dibagi-bagi ke petani agar akumulasi modal bisa dicapai. Lurah diberi tanah bengkok sekitar satu bau (satuan ukuran luas tanah, sama dengan 7.096 meter persegi) sebagai upah sebagai lurah.

Selanjutnya, ciri sistem penggarapan tanahnya adalah dibagi dalam petak-petak kecil kepada sikep-sikep, kerik, bujang, dan sebagainya. Mengikuti hierarki perhambaan feodalnya. Istilahnya lain-lain di setiap daerah. Alat-alat produksinya sederhana, dan hasilnya untuk kebutuhan subsistem semata. De facto tanah sudah terbagi-bagi kepada petani. Hingga pascakemerdekaan, sampai sekarang perubahan struktur tanah tidak begitu signifikan. Dalam pascakemerdekaan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960, petani oleh negara mendapat pembagian tanah antara dua hingga lima hektar. Obyek utama landreform adalah tanah-tanah bekas erfpacht dan hasil nasionalisasi-sebagian oleh Soekarno diserahkan ke tentara.

Semasa Orde Baru hingga kini kondisi obyektif sistem kepemilikan tanah, ada tiga ciri. Pertama, mereka yang tidak mempunyai tanah sehingga kemudian menjadi buruh tani-menjual tenaga pada pemilik tanah-untuk menyambung kelangsungan hidupnya. Jumlah buruh tani tidak banyak, karena sebagian besar petani Indonesia mempunyai tanah dalam petak-petak kecil atau yang dikenal dengan borjuis kecil pedesaan. Kedua, seperti yang telah disebutkan tadi, para borjuis kecil pedesaan. Mereka hidup dari mengolah tanah yang dimilikinya, di sinilah tanah berfungsi sebagai alat produksi bagi petani. Ketiga, pemilikan tanah yang dikuasai negara, swasta kroni penguasa Orde Baru dan institusi-institusi militer. Kebanyakan tanah ini adalah bekas tanah erfpacht dan bekas tanah adat/ ulayat (yang tidak tergarap karena ketiadaan tenaga produktif, paling menjadi lahan berburu). Tanah ini di era pemerintahan Orde Baru dijadikan Hutan Tanaman Industri (HTI), PTP dan sejenisnya. Pada era Orde Baru juga terjadi perampasan-perampasan tanah akibat dari industrialisasi yang mengabaikan hak-hak pemilik tanah-ganti rugi tidak memadai, penggusuran paksa dan sebagainya.

Kepemilikan tanah jenis ketiga inilah yang kebanyakan menimbulkan konflik di kalangan petani. Karena dari sejarahnya tanah-tanah bekas erfpacht ini seharusnya diserahkan kepada petani penggarapnya dengan status hak guna-menurut UUPA 1960-tetapi oleh Orde Baru diselewengkan. Tentu saja dalam kasus-kasus seperti ini nasib petani yang tergusur tanahnya harus diperjuangkan. Tetapi, akan menjadi aneh jika pengembalian tanah-tanah yang dirampas Orde Baru dijadikan model bagi kesejahteraan petani secara keseluruhan.

Dengan basis inilah maka tidak tepat jika menetapkan program landreform. Landreform sebagai gerakan sosial dan politik dimaksudkan sebagai antitesis terhadap kepemilikan tanah berdasarkan hak-hak feodal. Dalam makna ekonomi, transisi dari feodalisme ke kapitalisme (baca: Revolusi Demokratik) sehubungan dengan kepentingan dan kebutuhan petani untuk memiliki tanah, landreform bertujuan untuk mengubah struktur kepemilikan berdasarkan hak-hak feodal menjadi milik perseorangan dengan merebut dari tuan-tuan tanah dan bangsawan.

Sedangkan dalam makna politik hakikat dari gerakan landreform tujuannya menjadikan tanah sebagai hak milik perseorangan (property rights). Tanah dengan status sedemikian, dalam masyarakat kapitalis statusnya sama seperti tenaga produktif yang diubah menjadi komoditas (tenaga kerja, pabrik, mesin-mesin dan sebagainya).

Jadi dalam soal pertanahan tidak terdapat adanya fakta/ciri kontradiksi antara tuan tanah dengan hamba tani. Sehingga dalam memaknai adanya gerakan tani yang selama ini berkembang, kategorinya berbeda dengan gerakan-gerakan tani di Eropa masa-masa kehancuran feodalisme atau dengan kata lain dalam periode Revolusi Demokratik (Revolusi Borjuis) menuntaskan feodalisme Eropa. Kontradiksi di perkotaan antara raja dan kaum borjuasi (berusaha menarik keterlibatan kaum tani dalam perjuangannya) semakin memuncak dan meluas sampai ke pedesaan-antara kaum hamba sahaya (buruh tani) dengan tuan-tuan tanah. Dari sinilah aksi pengambilalihan tanah milik tuan tanah yang luas oleh petani, dan kemudian dibagi-bagi. Maka populerlah dengan aksi landreform.

Lalu dari mana asal mula buruh tani di Indonesia yang tidak memiliki tanah? Seperti dijelaskan di atas pada awalnya mayoritas sudah memiliki tanah dalam bentuk petak-petak kecil. Menjadi kelompok yang membesar karena persaingan dalam masyarakat kapitalis melemparkan dan membuat mereka kehilangan tanah-baik secara halus maupun dirampas. Perkembangan ini hanyalah membuktikan dalam masyarakat kapitalis bahwa tanah bukan satu-satunya tenaga produktif termasuk bagi petani sendiri. Mereka kemudian hanya memiliki tenaga kerja yang diupah baik di perkebunan, di lahan petani kecil lain (musiman) dan menjadi buruh di kota-intinya menjadi kelas proletariat.

***

LEMAHNYA tenaga produktif (force of production) di pedesaan, juga merupakan problem. Artinya minimnya modal, manajemen produksi dan rendahnya teknologi pertanian yang menunjang, kebanyakan petani pemilik tanah kecil ini tidak sepenuhnya mengandalkan tanahnya yang kecil ini untuk memenuhi kehidupannya. Mereka bahkan mencari tambahan penghasilan dengan bekerja sebagai buruh tani, di lahan pemilik tanah lainnya. Dan karena ini pula, biasanya tani tetap mengerjakan (menghisap) tenaga buruh tani di petak tanahnya, sekalipun tanahnya hanya 0,5 hektar. Dari fakta ini spirit filosofis landreform patut dipertanyakan. Landasan filosofisnya adalah kepemilikan tanah dibawah dua hektar tidak mencukupi kebutuhan petani dan bisa jadi akan dijual, di atas lima hektar akan menyebabkan petani menjadi tuan tanah dan menindas buruh tani.

Akibat minimnya tenaga-tenaga produktif mempengaruhi tingkat produktivitas petani. Dengan minimnya modal dan rendahnya teknologi pertanian, tingkat produktivitasnya menjadi tidak efektif dan efisien. Ditambah dengan problem nilai tukar produk pertanian dengan produk industri manufaktur yang tidak sesuai. Hal ini mudah kita dapati: harga satu liter beras tak sebanding dengan harga-harga kebutuhan sandang, sebagai contoh. Apalagi jika untuk mengakses teknologi pertanian modern. Perbandingannya bagai bumi dan langit.

Ketiadaan jaminan dari pemerintah terhadap hasil produksi pertanian adalah cermin pengabaian penguasa terhadap nasib petani. Kasus yang paling aktual adalah keterpurukan petani akibat liberalisasi tarif bea impor beras dan gula belum lama ini. Selama ini hanya beberapa komoditas pertanian saja yang dijamin dengan harga pagu (gabah dan beberapa komoditas lain), dan itu pun dengan standar yang masih rendah untuk ukuran kesejahteraan petani.

Problem minimnya modal dan rendahnya teknologi pertanian modern tersebut, disebabkan pula anggaran negara selama kekuasaan Orde Baru (hingga pemerintahan Abdurrahman Wahid) yang disediakan untuk mengembangkan teknologi dan produktivitas pertanian sangatlah kecil dibanding dengan dana bagi industrialisasi.

Sekalipun pada tahun 1980-an Pemerintah Orde Baru menerapkan modernisasi dan mekanisasi pertanian (Revolusi Hijau). Dalam perkembangannya bukanlah untuk memajukan tenaga-tenaga produktif di pedesaan, terbukti hingga sekarang, minimnya modal, manajemen yang rendah, dan teknologi pertanian di Indonesia sangatlah usang-bahkan dibandingkan dengan negeri berkembang lainnya (Vietnam, Thailand, Cina, dan lain-lain).

Revolusi Hijau hanyalah dimaksudkan untuk menjadi penyangga kebutuhan pangan bagi proses industrialisasi. Anggaran untuk kredit-kredit pertanian dan rekayasa teknologi pertanian sangat minim-bandingkan dengan subsidi pemerintah untuk bankir-bankir korup dalam kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).

***

FAKTOR lainnya adalah problem politik. Sebagaimana kita ketahui, sejak Orde Baru berkuasa gerakan-gerakan tani yang sebelumnya berkembang diberangus. Hal ini sangat jelas mempengaruhi bagi kehidupan petani dengan dipotongnya basis massa petani dengan organisasi-organisasi wadah perjuangannya. Dan bargaining terhadap negara untuk memperjuangkan hak-haknya pun tidak ada. Dengan tidak adanya gerakan tani yang signifikan, akhirnya Pemerintah Orde Baru tidak bisa dikontrol dalam merumuskan kebijakan-kebijakan yang memihak terhadap peningkatan produktivitas dan kesejahteraan tani.

Akhirnya belajar dari kenyataan tersebut, negara harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan dua persoalan pokok menyangkut peningkatan produktivitas dan kesejahteraan tani. Dalam hal ini adalah menyelesaikan persoalan-persoalan sengketa tanah antara negara dan petani seadil-adilnya, dengan dilanjutkan mengembalikan tanah-tanah rampasan kepada petani. Selanjutnya, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan modal (mengalokasikan anggaran besar ke pertanian, kredit bunga murah dan lunak, subsidi-subsidi terhadap Saprodi (sarana produksi padi), menyediakan teknologi modern murah dan jaminan harga pagu produk pertanian dan lain-lain, dan sarana teknologi modern bagi pertanian.

Negara juga bertanggung jawab untuk memberi kebebasan seluas-luasnya dan menjamin hak petani untuk berorganisasi, serta memberikan kesempatan bagi petani untuk ikut menentukan kebijakan negara. Akan tetapi, untuk yang satu ini, jelas tidak cukup bergantung pada pemerintah semata. Petani harus berkesadaran mengorganisasi diri dan melakukan tindakan-tindakan untuk mempengaruhi jalannya transformasi sosial-politik.

Budiman Sudjatmiko, Ketua Umum PRD (Partai Rakyat Demokratik).

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 September 2000
Komentar
Kolom penulisan komentar hanya bisa diakses oleh pengguna yang sudah mendaftarkan diri.
Bagi yang belum mendaftar, silahkan mengisi kolom pendaftaran, bagi yang sudah mendaftar, silahkan Login.
Terima kasih.
Admin.
























Menyelamatkan Semangat UUPA 1960 dari Kepungan Neoliberalisme

Oleh Idham Samudra Bey
Beberapa waktu lalu, harian ini memuat dua pernyataan yang berkait dengan masalah pembaruan agraria. Pertama, pernyataan Wakil Presiden (Wapres) Hamzah Haz, "Penghentian alih fungsi lahan pertanian tidak cukup hanya dengan keputusan presiden (keppres), tetapi harus melalui ketetapan hukum yang lebih kuat, melalui undang-undang (UU). Karena itu, harus ada perubahan terhadap UU Pokok Agraria (UUPA)."

Kedua, pernyataan Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, "Saat ini lebih dari 200.000 hektar lahan BUMN kehutanan dan perkebunan yang dijarah penduduk". Sehubungan dengan masalah itu, HKTI mengusulkan beberapa solusi, di antaranya, "pelaksanaan Ketetapan (Tap) MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam kaitan itu perlu dilakukan sinkronisasi undang-undang yang ada". (Kompas, 27/9/2002)

Dari pernyataan Hamzah Haz, meski tidak lengkap disebutkan, tetapi kita tahu, UUPA yang dimaksud adalah UU RI Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau yang populer disebut UUPA 1960. Di sini, secara implisit, pernyataan Wapres telah memvonis UUPA 1960 sebagai penyebab utama terjadinya alih fungsi lahan pertanian selama lebih tiga dasawarsa. Kita tidak tahu apakah kesimpulan wapres itu telah melalui suatu proses pengkajian yang komprehensif? Meski demikian, berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), penyusutan lahan pertanian diperkirakan mencapai 102.780 hektar setiap tahun. Penyusutan ini sebagian besar terjadi karena alih fungsi lahan pertanian ke sektor nonpertanian, terutama ekspansi sektor industri ke lahan-lahan subur di sektor pertanian. Tetapi, benarkah penyebab utamanya UUPA 1960?

Sementara itu, pernyataan Siswono Yudo Husodo yang mendiskreditkan rakyat sebagai "penjarah" lahan BUMN kehutanan dan perkebunan telah membuktikan, HKTI kembali pada takdir sejarahnya, yaitu terlahir sebagai salah satu lembaga eksploitatif Orde Baru. Kata "penjarah" telah memberi stigma hitam terhadap upaya rakyat dalam memperjuangkan hak-haknya yang dirampas Orde Baru, dan hingga kini belum terselesaikan. Karena belum tentu semua yang dilakukan rakyat selama ini dapat dikategorikan sebagai kasus kriminal murni "penjarahan". Sehubungan dengan itu, yang paling "mencurigakan", adalah usulan HKTI untuk melaksanakan Tap MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam rangka menyinkronisasikan undang-undang yang ada.

Padahal, seperti diketahui, isi Tap MPR No IX/MPR/2001 itu sendiri banyak ditolak serikat tani, lembaga swadaya masyarakat, maupun para akademisi. Adapun penolakan banyak kalangan ini, di antaranya, karena ketidakjelasan ke mana arah dan tujuan politik agrarianya, adanya dikotomi antara masalah pembaruan agraria dengan pengelolaan sumber daya alam, tak disebutkannya "kepentingan rakyat tani", tak jelasnya landasan land reform yang diinginkan, tidak disinggungnya sama sekali posisi hukum UUPA 1960 sebagai peraturan dasar pokok-pokok agraria, dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan mendasar lain yang dapat diajukan terhadap ketetapan MPR itu. Lantas kita bertanya, apakah Tap MPR No IX/ MPR/2001 dapat dijadikan landasan untuk menyinkronisasikan undang-undang yang ada?

***

BERBICARA mengenai masalah pembaruan agraria di tengah gencarnya arus neoliberalisme ini, kini semangatnya terasa berbeda bila dibandingkan pada masa Orde Baru. Pada masa itu, semangat perbincangan lebih terfokus pada masalah penyimpangan kebijakan agraria rezim Orde Baru dari UUPA 1960. Kini, oleh sejumlah kalangan, dikembangkan semangat untuk menyudutkan, bahkan menuduh UUPA 1960 sebagai pangkal penyebab buruknya situasi dan kondisi agraria nasional selama ini. Padahal, problematika agraria yang kita alami bukanlah semata-mata sekadar masalah "salah tafsir" atau "multitafsir" atas UUPA 1960, tetapi menyangkut masalah ideologi pembangunan yang dianut rezim Orde Baru. Seperti diketahui, paradigma pertumbuhan Orde Baru itu berakar kuat pada mazhab pembangunan neoklasik/neoliberalisme. Karena itu, tidaklah terlalu mengherankan bila sistem agraria Orde Baru itu mengkhianati jiwa dan semangat UUPA 1960 yang berlandaskan Pasal 33 UUD 1945.

Jiwa dan semangat UUPA 1960 amat jelas tercermin dalam konsiderannya yang menyadari realitas kehidupan sosio-politik dan sosio-ekonomi rakyatnya. Karena itu, ingin mempersembahkan segenap kekayaan nasional kepada rakyat untuk membangun suatu masyarakat adil dan makmur. Hukum agraria kolonialisme telah terbukti menebar ketidakadilan, penindasan, kemiskinan, dan keterbelakangan bagi seluruh rakyat. Karena itu, hukum agraria kolonialisme harus dienyahkan dari muka bumi Nusantara.

Untuk itulah, tujuan pokok UUPA 1960 adalah: (1) meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat adil dan makmur; (2) meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan; dan (3) meletakkan dasar-dasar untuk memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945 amat terang membayang dalam UUPA 1960. Penjelasan UUD 1945 (naskah asli) menegaskan, dalam Pasal 33 tercantum "dasar demokrasi ekonomi" di mana produksi dikerjakan oleh semua untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat dan kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Ini menunjukkan, dasar demokrasi ekonomi Indonesia, sejatinya, amat menentang sistem perekonomian yang bersendikan filsafat individualisme. Dalam konteks demokrasi ekonomi inilah maka bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagai kekayaan nasional, dipersembahkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Ini suatu jiwa dan semangat konstitusi yang merupakan hasil kristalisasi pemikiran the Founding Fathers atas realitas sejarah bangsa yang selama berabad-abad hidup dalam cengkeraman kolonialisme/imperialisme. Diketahui bersama, kolonialisme/imperialisme lahir dari rahim ideologi liberalisme klasik yang bersendikan filsafat individualisme, yang muncul pada abad pertengahan di Eropa Barat. Dan, neoliberalisme yang kini mengepung bangsa, juga berakar kuat pada filsafat individualisme itu, dan merupakan bentuk lanjutan termutakhir dari liberalisme klasik. Jadi, paradigma pembangunan Orde Baru itu, secara ideologis bertentangan dengan jiwa dan semangat UUPA 1960 dan Pasal 33.

***

APA yang disimpulkan Hamzah Haz di atas menunjukkan, beliau kurang memahami UUPA 1960. Dalam penjelasan UUPA 1960 disebutkan, pasal 11 ayat (1) dimaksudkan untuk mencegah terjadinya penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan asas keadilan sosial yang berperikemanusiaan.

Dalam penjelasan Pasal 13 Ayat (2) disebutkan, pemerintah wajib mencegah organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli swasta. Khusus tentang hal ini, apakah produk perundang-undangan agraria Orde Baru sesuai jiwa dan semangat UUPA 1960?

Memang, kini di masyarakat ada dua kubu yang berbeda dalam menyikapi lahirnya Tap MPR No IX/MPR/2001. Yaitu, kubu yang menerima dan kubu yang menolak isi ketetapan MPR itu. Dalam kubu yang menerima ada dua kelompok.
Kelompok pertama adalah yang amat gandrung membicarakan prinsip-prinsip baru pengelolaan sumber daya alam.
Kelompok kedua adalah pro-neoliberalisme, di antaranya Badan Pertanahan Nasional dan HKTI. Sedangkan kubu yang menolak isi Tap MPR No IX/MPR/2001 adalah mereka (Serikat Tani/LSM/Akademisi) yang sadar bahwa jiwa dan semangat UUPA 1960 merupakan pengejawantahan dari jiwa dan semangat Pasal 33 UUD 1945. Jiwa dan semangat UUPA 1960 ini diyakini amat relevan di tengah-tengah arus globalisasi neoliberalisme yang kini sedang menerpa bangsa.

Kita ketahui, hingga kini, rakyat masih hidup dalam ketidakadilan struktural yang mencekam dalam suatu piramida sosial terbalik. Kita tidak bisa berharap pada Tap MPR No IX/MPR/2001 dapat membalikkan posisi piramida sosial warisan kolonialisme itu. Sebaliknya, bila kita mau jujur, kelahiran Tap MPR itu malah membuka kotak pandora dan membuat pendukung neoliberalisme tersenyum menyeringai sembari menunjukkan gigi taringnya yang kotor! Ini menjadi makin relevan bila dikaitkan dengan isu suap di DPR sebagaimana disinyalir Kwik Kian Gie baru-baru ini.
Dalam konteks inilah kita semua wajib menyelamatkan jiwa dan semangat UUPA 1960. Untuk itu, Tap MPR No IX/ MPR/2001 harus dicabut dan itu dijamin UUD 1945, Aturan Tambahan, Pasal 1, menyebutkan: "Majelis Permusyawaratan Rakyat ditugasi melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk diambil putusan pada Sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat tahun 2003".

Idham Samudra Bey, Ketua Centre for National-Democracy Studies (CNDS)

Sumber: Kompas, Rabu, 30 Oktober 2002
Komentar
Kolom penulisan komentar hanya bisa diakses oleh pengguna yang sudah mendaftarkan diri.
Bagi yang belum mendaftar, silahkan mengisi kolom pendaftaran, bagi yang sudah mendaftar, silahkan Login.
Terima kasih.




Demi Kemanusiaan, Cabut Tap XXV/MPRS/1966

Oleh Asvi Warman Adam

DALAM sidang tahunan MPR 1-10 Agustus, dijadwalkan pencabutan beberapa Tap MPR yang tidak sesuai dengan situasi sekarang. Sebagian kalangan di DPR ingin mempertahankan Tap MPRS No XXV Tahun 1966 tentang "Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran omunisme/Marxisme-Leninisme".

Sikap itu dapat dipahami karena selama 32 tahun Orde Baru, kebenaran peristiwa ini tidak boleh diungkap kepada publik.

Padahal Ketetapan MPRS No XXV Tahun 1966 merupakan sekadar penguatan Keppres No 1/3/1966 yang dikeluarkan Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden/Pangti ABRI/Mandataris MPRS/ Pemimpin Besar Revolusi, Ir Soekarno, 12 Maret 1966 tentang Pembubaran PKI.

Keppres itu mengatasnamakan Soekarno. Tetapi, Presiden Soekarno dengan gamblang menolak keputusan itu seperti disampaikannya pada tanggal itu juga dengan memanggil Basuki Rachmad, Jusuf, dan Amir Machmud ke Istana Bogor. Tetapi, Soeharto tetap pada keputusannya, yang hakikatnya merupakan penyalahgunaan Supersemar yang dikeluarkan 11 Maret 1966.

LETJEN Soeharto membubarkan PKI bukan karena PKI dalang Gerakan 30 September 1965 (kini versi itu amat diragukan), tetapi karena ia ingin menghancurkan partai yang merupakan saingan terberat dalam mencapai puncak kekuasaan. Kebetulan, keinginan Soeharto itu sejalan dengan sebagian kalangan Islam yang secara horizontal sudah terlibat konflik pertanahan di pedesaan Jawa dengan partai/ormas kiri. Pembubaran PKI bukan meredam konflik, malah membakar ladang kering permusuhan yang sudah ada di pedesaan. Secara kronologis, pasukan komando datang ke suatu daerah, secara bertahap terjadilah pembantaian di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, dan sebagainya. Korban yang jatuh diperkirakan dari 500.000 sampai tiga juta jiwa.

Namun, pembantaian yang merupakan kejahatan atas kemanusiaan itu masih dirasa kurang cukup. Sebanyak 10.000 orang termasuk orangtua dan anak-anak dibuang ke Pulau Buru selama 10 tahun (1969-1979), tanpa pengadilan. Masih belum puas, mantan tahanan politik itu masih harus rutin melapor selama bertahun-tahun. Masih dianggap kurang, anak-anak dan cucu-cucu mereka dinyatakan tidak "bersih lingkungan". Artinya, mereka tidak bisa bekerja sebagai pegawai negeri, militer, polisi, guru dan jabatan strategis lain di masyarakat.

Sampai renta (60 tahun ke atas) mereka masih disakiti. Kepada eks tapol, tidak diberi KTP seumur hidup. Beberapa waktu lalu, dengan perjuangan berat Nani Nurani (62), mantan penari Istana Cipanas diputus pengadilan PTUN Jakarta untuk berhak mendapat KTP seumur hidup. Ia sempat ditahan selama tujuh tahun gara-gara pernah menari pada ulang tahun PKI, Juni 1965. Pertanyaannya, apakah ribuan eks tapol itu harus mengajukan kasusnya kepada pengadilan PTUN di seluruh wilayah di Indonesia.

Hal serupa pernah dialami seorang kakek, Ir Setiadi Reksoprodjo. Mantan Menteri Tenaga Listrik semasa Soekarno itu "diamankan" Maret 1966 dan ditahan tanpa pengadilan, dan mengalami nasib sama. Ia yang tinggal di Jalan Sibayak tidak diberi KTP seumur hidup oleh Lurah Menteng, Jakarta. Untung Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI segera menelepon dan sang lurah segera mengantarkan KTP ke rumah yang bersangkutan. Tetapi apakah Bang Ali harus menelepon setiap kali dan apakah itu tugas beliau?

HINGGA kini stigma buruk terhadap orang-orang yang dituduh berideologi kiri masih dilestarikan. Keluarga yang dituduh komunis-meski banyak di antara mereka yang tidak tahu apa-apa tentang ideologi kiri-akan terkucil di masyarakat. Pernikahan bisa batal bila diketahui salah satu pasangan ternyata mempunyai orangtua atau paman yang terlibat G30S 1965.

Beberapa tahun silam, seorang anggota DPRD (dari fraksi PDI-P) Yogyakarta dimasalahkan karena dituduh tidak "bersih lingkungan". Kasus serupa juga terjadi di berbagai daerah di Tanah Air. Persyaratan menjadi anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) sesuai UU mengenai Otonomi Daerah tahun 1999 mencantumkan "tidak terlibat G30S/PKI".

Saya mengenal banyak di antara anak-anak korban tragedi 1965 yang selama puluhan tahun terpaksa menyimpan identitasnya. Berarti selama sepersekian dari perjalanan hidupnya, orang-orang ini-yang jumlahnya sudah jutaan orang-telah menyandang trauma yang sebetulnya bukan berasal dari kesalahannya. Padahal, sang anak tidak minta mereka dilahirkan sebagai anak dari seorang anggota PKI (atau NU, Muhammadiyah, PNI, tentara, atau polisi). Hanya karena orangtuanya dituduh terlibat peristiwa 1965 mereka terkena getahnya. Mengapa konflik ideologis antarorangtua pada masa lalu, masih ditanggung anakcucu yang tak tahu apa-apa? Maka demi pertimbangan kemanusiaan (yang adil dan beradab), Tap MPRS XXV/1966 perlu dicabut selamanya. Karena TAP itu merupakan biang kerok dari UU dan peraturan lain yang diskriminatif dan memberi stigma tak berampun pada suatu kelompok dan keluarganya.

Dr Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI

Sumber: Kompas 2 Agustus 2003
Kolom penulisan komentar hanya bisa diakses oleh pengguna yang sudah mendaftarkan diri.
Bagi yang belum mendaftar, silahkan mengisi kolom pendaftaran, bagi yang sudah mendaftar, silahkan Login.
Terima kasih.
Admin.




Proyek Listrik Rp 1,6 M Disoal
Sumenep, Surabaya Post – Sekitar sepuluh tokoh masyarakat Kepulauan Masalembu mendatangi Gedung DPRD Sumenep. Mereka menanyakan nasib proyek listrik APBD 2006 sebesar Rp 1,6 miliar yang hingga kini belum beroperasi. Padahal, proyek tersebut telah melampaui batas jang waktu kegiatannya.

Menurut tokah masyarakat Masalembu, Hisbullah, proyek yang akan melayani sekitar 20 ribu warga desa Masalima dan Masajeruk itu baru terpasang jaringan utamanya yang berada di pinggiran jalan, sementara jaringan dan instalasi listrik ke rumah warga hingga kini belum terpasang. Di pusat pembangkit listrik, kata dia, yang ada hanya mesin diesel pembangkit, sedangkan tangki solar dan lainnya belum juaga terpasang.

"Sekarang kan sudah tahun 2007, padahal proyek APBD tersebut sudah selesai mestinya sudah selesai tahun 2006 dan bisa beroperasi, tapi ternyata belum apa-apa," ujar Hisbullah, Sabtu (07/04) pagi tadi.

Akibat belum selesainya diesel listrik berkekuatan 350 PK itu, pulau Masalembu tetap gelap gulita pada malam hari. Di samping itu, mimpi masyarakat Masalembu yang ingin meningkatkan produktifitasnya usaha pembuatan minyak goreng kelapa, pengeringan ikan, dan usaha lainnya tidak tercapai. "Masyarakat Masalembu sudah lama berharap ada listrik. Tapi nyatanya hingga kini masih tetap bermimpi," tambah Hisbullah.

Kasie Energi Kelistrikan Kantor ESDM Sumenep, Drs Naqsyabandi M Si, membantah bahwa proyek kelistrikan di pulau Masalembu belum selesai.

"Kontraktor sudah menyelesaikan kewajibannya. Namun, karena ada beberapa kendala teknis pada penyebaran jaringan, kami harus menunggu yang lainnya tuntas," ujar Naqsyabandi siang tadi. Pria yang akrab disapa Bandi itu menjelaskan, bahwa instalasi calon konsumen hingga kini memang belum selesai. Sebab kewajiban pemasangan instalasi dalam rumah merupakan tanggung jawab pelaksana operasional listrik Masalembu. "Teknis sudah selesai, kami menunggu langkah penyerahan dari kontraktor ke pemerintah kabupaten," ujar Bandi.

Ketua Komisi DPRD Sumenep, Drs Hanafi, usai menemui tokoh masyarakat Masalembu menjelaskan, bahwa proyek listrik kepulauan Masalembu sudah mencapai semnbilan puluh persen. Nantinya proyek tersebut diswakelolakan kepada swasta untuk operasionalnya, sehingga tanggung jawab dan kelancaran suplai listrik tersebut berada dalam pengawasn dan tanggung jawab masyarakat. Hal ini karena tarif dan bentuk perjanjian antara pengelola dan konsumen dimusyawarahkan bersama sehingga saling menguntungkan.

"Nanti listrik bantuan APBD ini dikelola swasta, di bawah pengawas Camat setempat," ujar Hanafi. Untuk itu calon pengelola listrik Masalembu akan diseleksi secara khusus, siapa yang paling layak mengoperasikan proyek listrik di pulau tersebut. Sebab ketika pertama kali beroperasi, setidaknya pengelola punya modal pemasangan instalasi pelanggan, solar, dan biaya operasional minimal untuk tiga bulan ke depan, serta biaya lain-lain.

"Jika tidak ada modal operasional dari calon pengelola, niscaya listrik Masalembu tidak akan jalan. Saya pikir calon pengelola harus punya dana segar yang khusus diperuntukkan kegiatan ini. Jadi wajar jika proses menuju terang benderangnya Masalembu butuh proses agak panjang," tambah Hanafi.

Sekedar mengingatkan, bahwa di pulau paling timur di Sumenep itu pada tahun 2003 pernah mendapat bantuan listrik APBD Pemerintah Kabupaten Sumenep, demikian pula pada tahun 2005 Pemerintah Propinsi Jawa Timur memberi bantuan, namun karena kekuatan daya listrik dieselnya kecil ssehingga sering anjlok, dan menyebabkan mesin diesel cepat rusak. (far)

Oleh Budiman Sudjatmiko
Sumber: Surabaya Post, 07/04/07

No comments:

Post a Comment