Realisme Sosialis

Mempertimbangkan (Sastra) Realisme Sosialis
Realisme sosialis adalah salah satu paham/aliran sastra yang cukup kuat mendominasi di Eropa Barat khususnya ketika rezim sosialis menempati posisi kekuasaan. Aliran ini cukup mempunyai konstribusi yang besar terhadap kasanah sastra dunia. Namun hingga kini banyak orang yang kurang suka membicarakannya.Hal ini punya alasan yang cukup kuat mengingat kebanyakan para sastrawan masih banyak yang berpaham netral dan anti partisan terhadap segala macam bentuk kekuasaan. Lebih-lebih ketika realisme sosialis pernah mengalami sejarah buruk ketika berada dalam genggaman kekuasaan Stalin di rusia selama beberapa dekade.
Realisme sosialis –dan sastra lain yang berbau politis dan memihak—kemudian sering direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi dipandang sebagai gagasan kreativitas yang humanis. Hal ini tidak terjadi di Eropa saja melainkan di Indonesiadimana para seniman realisme sosialis seperti Pramudya Ananta Toer dkk memang pernah terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang punya masalah historis. Agar reduksi yang menjerus pada sikap subyektifisme/sentimen berlebihan ini bisa jernih maka perlulah kiranya di telaah lebih mendasar dan ilmiah tanpa perlu berprasangka buruk terhadap aliran ini.
Akar filosofis
Seperti halnya ajaran pemikiran lain, aliran realisme ini mempunyai persoalan historis dalam konsepsi dasarnya. Ia menjadi antitesis dari paham idealisme yang hanya cukup mendasarkan diri pada persoalan idea. Dalam tataran filosofis, Obyek yang di pandang paham idealisme hanya ada dalam akal budi maka sebaliknya kaum realis berpandangan bahwa obyek presepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada ada terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya.
Alasan yang paling menonjol dalam hal ini adalah bahwasanya obyek itu dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditemukan hakikatnya lewat filsafat. Secara bahasa realis ini bertitik tolak dari kata latin yang mempunyai arti sungguh-sungguh, nyata benar adanya. Sebagai aliran etis realisme ini mengakui adanya faktor etis yang dialami, entah itu berkaitan dengan hidup, perilaku, dan perbuatan konkret, terlepas dari indra dan budi yang mengerti. (A. Mangunhardjana,1997).
Selaras dengan pendirianya tentang yang ada, dalam prinsip etis dan mengejar cita-cita etis, realisme menyesuaikan dengan hidup nyata. Artinya ia menolak paham yang hanya berpegang pada prinsip etis dengan alasan tidak mungkin dilaksanakan (tidak realistis) Dalam setiap melaksanakan prinsip dan cita-cita etisnya paham ini selalu memperhitungkan semua faktor; situasi, kondisi, keadaan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan orang-orang yang terlibat.
Kalau kita tengok lebih jauh pada dasarnya kemunculan aliran ini bukan berdiri sendiri. Ia terkait dengan konsepsi dasar filosofis materialisme dialektik dan materialisme historis (marxisme) yang digagas oleh Karl Marx dan Fedrik Engels. Walaupun orang seperti Pramudya mengaku tidak pernah belajar Marxis, namun berbagai karya sastra baik dalam bentuk novel, cerpen maupun romannya membuktikan keterkaitan tersebut. Apa sebenarnya dasar filosofi Marxis yang mempengaruhi sastra ini?
Pertanyaan ini adalah suatu pertanyaan mendasar berkaitan dasar teoritik marxisme dalam segala bidang. Dalam meninjau hubungan struktur masyarakat Marx berpandangan bahwa ada dua strata sosial yang ada dalam setiap zaman, yakni basis-struktur (struktur dasar) dan supra-struktur (struktur atas). Dalam hal ini filsafat marxis menempatkan ekonomi sebagai struktur yang secara urgen mempengaruhi bidang-bidang lain dalam bidang suprastruktur seperti, pemikiran, politik, agama, dan kebudayaan. Seluruh komponen suprastruktur berubah atau tidaknya akan sangat di tentukan dari dari corak produksi ekonomi sebuah masyarakat.
Dalam hal ini sastra menurut marxisme juga menempati bagian supra-struktur. Seni (sastra) merupakan bagian dari ideologi(kesadaran) masyarakat—satu elemen dalam struktur persepsi sosial yang amat rumit yang meyakinkan bahwa situasi dimana satu kelas sosial memeiliki kekuasaan terhadap kelas-kelas lainnya yang juga dilihat oleh sebagian besar anggota masyarakat sebagai suatu yang “alamiah” atau tidak terlihat sama sekali. Memahami sastra berarti pemahaman terhadap seluruh proses sosial di mana sastra merupakan bagiannya.(Terri Eagleton 1979).
Georgy Plekanov mengatakan; ” mentalitas sosial suatu jaman dikondisikan oleh hubungan-hubungan sosial pada masa itu. Sekarang hal itu cukup sebagai bukti sebagaimana dalam sejarah seni dan kesustraan.(Henri Arvon, 1970) Karya-karya sastra bagi marxisme bukanlah sesuatu yang terinspirasi secara misterius, atau sederhananya dipandang dalam istilah psikologi pengarangnya. Karya tersebut menurut Eagliton dipandang adalah bentuk persepsi-persepsi, cara khusus dalam memandang dunia; dan juga memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi mentalitas atau ideologi sosial suatu zaman. Sebaliknya ideologi tersebut adalah suatu produk dari hubungan sosial yang konkrit yang kedalamnya manusia memasuki ruang dan waktu tertentu; ideologi adalah cara hubungan-hubungan kelas yang dialami, dilegitimasi dan diabaikan. Terlebih lagi manusia tidaklah bebas memilih hubungan sosial mereka, mereka dipaksa memasuki hubungan sosial itu karena keharusan material—yang disandarkan oleh sifat dan tingkat perkembangan model produksi ekonomi mereka.
Aliran ini dulunya hanya bersifat sederhana dan terbatas dalam lingkungan sastrawan yang bersinggungan dengan pemikiran marxis. Namun ketika ajaran marxis mampu menampilkan dirinya menjadi sebuah ideologi dan dipraksiskan oleh V.I Lenin menjadi partai revolusioner klas pekerja yang berideologi sosialisme, dan mempunyai banyak pengikut sastrawan beraliran realis, maka banyak orang menyebutnya menjadi realisme-sosialisme. Aliran ini lahir pertama kali di Rusia atas prakarsa beberapa sastrawan partai Bolshevik, antara lain, Maxim Gorki yang kemudian dikenal sebagai bapak pendirinya.
Pandangan awalnya ia mempunyai gagasan bahwa ‘the people must know their history” (manusia harus mengenali sejarah dirinya sendiri) dan “musuh yang tak mau menyerah harus dimusnahkan”.(Kurniawan Eka 1999). Slogan ini ternyata cukup memberikan pengaruh pada perkembangan realisme sosialis di kemudian hari.
Garis Visioner
Teori filosofis diatas ternyata tak mudah dipahami begitu saja oleh para
sastrawan baik yang pro maupun yang kontra. Disatu sisi ia sering dianggap
menempatkan sastra menjadi tidak penting dalam diskursus perubahan di lain pihak dianggap terlalu memaksa seniman untuk terus berkiblat pada doktrin yang kurang lebih ekonomistik. Selain itu bagi penganut realisme sosialis sendiri juga
sering mengalami kegagalan dalam membentuk karekteristik sastra yang utuh. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh ketidak lengkapan pemikiran Karl Marx dan Engels yang memang tidak pernah secara utuh dan baku menjelaskan rumusan teoritik estetikanya.
Namun setidaknya sastra realisme rosialis pernah punya rumusan yang cukup valid. Apa yang di ungkapkan oleh Fokkema D.W dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku Teori Sastra Abad Keduapuluh (Gramedia;1998) setidaknya mengambarkan rumusan konkret tersebut. Mereka berdua menuliskan kriteria dalam tiga dasar pokok: 1) kriteria penafsiran determinisme ekonomi yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra mengambarkan perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan
ekonomi;2)kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan kode sastra pada zamannya; dan 3) kriteria (selera) pribadi, misalnya tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daftar kesustraan pada
zamannya. Secara general realisme sosialis menginginkan keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus di nyatakan sebagai mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus di sandarkan pada konteks kondisi obyektif. Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah semangat ideologi terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat). Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer.
Sastra realisme sosialis bisa dianggap sebagai sastranya rakyat jembel, kaum pekerja(buruh, tani dan nelayan) yang hadir untuk ikut terlibat berjuang melawan segala sesuatu yang menindas terutama sistem kapitalisme yang secara nyata menghisap kaum pekerja.( Kurniawan Eka, 1999). Ia harus menjadi aspeks gerakan partisan terhadap partai revolusioner. V. I. Lenin, sang pemimpin revolusi Rusia 1917 mengatakan;” Sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi”. Kenetralan tulisan dianggap oleh Lenin sebagai sesuatu yang mustahil, “kebebasan penulis borjuis (klas menegah) hanyalah ditopengi oleh ketergantungan terhadap sekantong uang!…begitu juga dengan penulis-penulis non partisan. Apa yang dibutuhkan adalah sastra yang luas, bentuk yang beragam dan tidak terpisah dari gerakan klas pekerja (kaum buruh dan tani).
Karena persoalan komitmen dan keberpihakan inilah yang kemudian sering dikatakan oleh berbagai macam sastrawan idealis-borjuistik dengan klaim bahwa sastra marxis lebih mengutamakan visi politik (kepentinganya) dari pada mengutamakan netralitas dan kebebasan ekspresinya. Realisme sosialis yang paling dominan memang tidak mengelak dari persoalan ini. Aturan garis ini memang terkesan menjurus dalam satu format ideologi kepentingan partai.
Kebebasan ekspresi bagi seniman seolah-oleh menjadi terengut didalamnya. Benarkah demikian halnya? Leon Trotsky, arsitek terpenting revolusi Rusia setelah lenin memberikan jawaban pada pertanyaan ini. Ia melihat bahwa wilayah budaya (baca; sastra dan seni) bukanlah suatu tempat dimana partai terpanggil untuk memerintah, tapi bukan berarti memilih mentoleransi karya-karya yang menentang revolusi. Sebuah kewaspadaan revolusioner haruslah disatukan dengan kebijakan yang luas dan fleksibel dalam ilmu-ilmu sastra. (Issac Detscher, 1959)
Sastra bagi partai sosialis haruslah “realis”, tapi dalam pengertian umum yang tak sempit, karena kaum realis sendiri pada hakekatnya tidaklah revolusioner dan reaksioner. Realisme sebetulnya adalah “sebuah filsafat hidup” yang tidak seharusnya dibatasi menjadi teknik-teknik suatu sekolah khusus. Trotsky memandang bahwa bentuk-bentuk artistik sebagai hasil dari “muatan” sosial, tapi pada saat yang sama dia menganggapnya berasal dari sebuah tingkatan tinggi otonomi.(literature and evolution in Soviet1917-62). Pendek kata dari seluruh rangkaian teoritik diatas seni tidak bisa dinilai dan dihakimi dari parameter yang lain seperti politik, sosial, eksak, melainkan hanya melalui hukumnya seni itu sendiri.
Urgensi bagi Indonesia
Di atas telah dijelaskan akar dan garis visi serta komitmen keberpihakan sebuah sastra. Relevansi persoalan filosofis dan visi seni (sastra) di negara kita terhadap aliran kiri ini belumlah banyak di kaji oleh para sastrawan. Sastrawan kita lebih banyak yang sering mengkritik aliran ini secara vulgar tanpa pertimbangan basis teoritik yang memadai. Jikalau-pun ada yang berkeinginanmempraktekkan aliran ini di negara kita, kendala-kendala yang muncul tentulah tidak sedikit. Selain dari halangan yang muncul dari pihak luar yang berupa intrik, teror dan sikap sinis terhadap aliran ini, di kalangan penganutnya-pun sering terjadi kontradiksi yang menjurus pada sikap-sikap ideologis.
Diluar itu sebenarnya masyarakat kita membutuhkan aliran ini sebagai pelengkap keragaman yang telah ada. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan situasi makro –dimana rakyat Indonesia membutuhkan komponen perubahan transformasi sosial—maka realisme sosialis rasanya penting di jadikan elan revolusioner bagi aktivis gerakan akar bawah yang menginginkan tegaknya keadilan dan demokrasi.***
FAIZ MANSHUR (Penulis tinggal di Bandung).
Hak Cipta © 2002 – 15 Juni 2002 Pikiran Rakyat Cyber Media
http://faizmanshur.wordpress.com/2002/06/22/realisme-sosialis-2/

No comments:

Post a Comment