“ Dengan diterbitkannya Paket Undang-Undang Keuangan Negara khusunya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang Badan Layanan Umum”Intinya undang-undang yang melegalkan Negara lepas tanggunng jawab terhadap dunia pendidikan dan bersifat komersial yang diharapkan kampus mampu mencari pendapatan usaha yang dapat memberikan kontribusi terhadap pembiayaan, yang menyedihkan itu yang naggung biayanya rakyat yang tidak mampu, jika mau kuliah harus di liat dulu sakunya, punya duit kagak? Kalau gak pulang aja bantuin bapakmu nyangkul disawah.
Kampus adalah tempat belajar dan tempat menambah ilmu yang bermanfaat untuk keluarga,bangsa dan negara itu yang aku pikirkan sebelum masuk bangku kuliah. Aku semenjak masih SMA berkeinginan menjadi orang sukses, pengen jadi orang yang berguna, pengen bahagia orang yang telah melahirkan aku kedunia,pengen kaya raya. Memang mayoritas keluargaku dan tempat aku tinggal jauh dari perkotaan (Desa), tetapi aku punya semangat untuk bisa menjadi orang yang berguna paling tidaknya buat kelurgaku dan tempat aku tinggal. Aku hanya tau bahwa orang sukses itu adalah orang yang setelah selesai kuliah, dapat gelar sarjana, dan punya pekerjaan trus punya mobil, banyak uang. Jadi orang terkenal. Aku tidak pernah berpikir bahwa orang sukses itu bukanlah sukses dari keringat pekerja, keringat petani, keringat buruh yang diperah untuk kesuksesan, tetapi sukses ketika sama-sama bisa makan, sama-sama bisa belajar, sama-sama bisa tidur enak, sama-sama bisa merasakan indahnya hidup, bukan malah menyesal hidup karena sangking miskinnya, dan tidak punya tempat tinggal, tidak punya uang buat beli makanan untuk hari ini, tidak tau tempat tidur dimana entar malam.
Negara adalah alat untuk mengatur biar orang semunya bisa makan enak, bukan tempat bikin aturan siapa yang bisa makan pizza, siapa makan nasi sayur, siapa yang hanya makan nasi putih, siapa yang cuma makan sisa dari tong sampah dari mall besar dan siapa yang harus makan angin dan minum air keran itupun nyuri dulu.
Arah negara mengeluarkan kebijakan berupa Undang- Undang tidak lain dan tidak bukan seharusnya berpihak dan sebagai perwakilan dari suara mayoritas rakyat (proletar) dan bukan suara minoritas (Borjuasi), tetapi kenyataannya malah sebaliknya yang terjadi dari rezim berganti rezim, dari penindas berganti penindas yang lebih aman dan nyaman dengan melakukan kemuflase diri untuk membuat sistem semakin lebih keliatan humanis tetapi intinya tetap membuat rakyat sengsara.
Produk Undang-Undang yang dilahirakan dari perwakilan rakyat melalui pemilihan umum maka muncullah keijakan yang jelas keberpihakannya terhadap rakyat, tetapi jika dianalisis satu persatu, baris perbaris, pasal perpasal ternyata Undang-Undang hari ini bukan lagi perwakilan suara mayoritas melainkan siapa yang punya kepentingan terhadap UU tersebut, sungguh ironis memang ketika semenjak SD saya diajarkan bahwa Kekayaan SDA ( Sumber Daya Alam ) di Indonesia itu melimpah ruah, gemah ripah loh jinawi. Tetapi kemana kekayaan itu semua? Untuk siapa? Siapa yang mengelola? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bermunculan dibenak kita, jawaban nya selalu aja membuat kita geram, bahwa kekayaan indonesia ini bukan untuk orang indonesia, tetapi indonesia hanyalah menjadi tenaga produktif ( Buruh) bagi perusahaan-perusahaan besar yang pemodalnya (Investor) dari negara –negara kapitalisme internasional, apalagi jumlah pengangguran di Indonesia akan bertambah berpeluang tembus 10 Juta jiwa *Vibiznews – Economy, maka tunggu saja giliran jika belum jadi pengangguran.
Akhirnya terserah kawan-kawan setuju apa tidak dengan kenyataan ini..??
Mari berdiskusi.....
No comments:
Post a Comment