Selain Ayatullah Ruhollah Khomeini, Iran juga memiliki tokoh besar yang amat berpengaruh khususnya di kalangan intelektual muda, dalam memobilisasi perlawanan terhadap Syah Iran. Tokoh itu bernama Ali Syari’ati. Ia merupakan seorang pemikir sosial terkemuka Iran abad ke-20. Di samping juga seorang ahli politik dan ahli syariat.
Dilahirkan di Khurasan, Iran, pada 1933, sejak muda Ali Syari’ati sudah terlibat dalam berbagai organisasi dan gerakan yang menentang kediktatoran Syah Iran. Semangat juang yang mengalir dalam diri Ali Syari’ati, tak lain diwarisi dari ayahnya, Muhammad Taqi Syari’ati, yang merupakan seorang pengajar di sekolah lanjutan atas dan ahli dalam ilmu keislaman (Islamologi). Sang ayah juga merupakan pendiri Gerakan Sosialis Penyembah Tuhan, sebuah organisasi yang bergerak di bidang dakwah Islamiah.
Pada usia 17 tahun, Ali Syari’ati telah belajar pada sebuah lembaga pendidikan, Primary Teacher’s Training College. Masa belajar tersebut dimanfaatkannya untuk mengajar. Pada usia 20 tahun, ia mendirikan organisasi Persatuan Pelajar Islam di Mashad, Iran. Pada tahun 1958 (ketika berusia 25 tahun) ia meraih gelar sarjana muda dalam ilmu bahasa Arab dan Perancis. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di Sorbonne, Paris, setelah berhasil memenangkan beasiswa untuk belajar di negara itu. Ia belajar di Perancis sampai meraih gelar doktor pada tahun 1963.
Setahun kemudian, ia pulang ke negara kelahirannya. Setibanya di Iran, ia mengawali langkahnya dengan menyampaikan ilmu yang diperolehnya dari berbagai sekolah dan akademi. Kemudian ia mengadakan perjalanan keliling dalam rangka mendirikan Husyaimiah Irsyad, sebuah lembaga pendidikan pengkajian Islam yang kelak menjadi wadah pembinaan kader militan pemuda-pemuda revolusioner.
Karena aktivitas politiknya yang menentang kediktatoran Syah Iran, Ali Syari’ati mengalami banyak kesulitan dalam hidupnya. Ia sudah harus menjalani kehidupan di belakang terali besi dalam usia muda. Namun, hal tersebut tidak membuatnya mundur sama sekali.
Periode kedua tahun 1960-an, Ali Syari’ati bergabung dengan Universitas Mashad. Kuliah-kuliahnya di masjid kampus ini sangat diminati oleh sejumlah besar mahasiswa. Karena ada kekhawatiran akan meningkatnya pengaruh Ali Syari’ati, pada tahun 1968 pemerintah Iran memaksanya menjalani masa pensiun pada usia yang relatif masih muda, 35 tahun.
Setelah pensiun Ali Syari’ati giat mengajar di Husyaimiah Irsyad. Aktivitas-aktivitasnya di Husyaimiah Irsyad ini dinilai membahayakan penguasa, sehingga lembaga tersebut ditutup oleh pemerintah pada tahun 1972. Walaupun demikian, ia tetap sering berceramah di berbagai perguruan tinggi dan masjid di kota-kota besar Iran.
Kuliah-kuliahnya yang simpatik dan berbobot menimbulkan kepercayaan diri bagi jutaan muslimin di Iran. Sejumlah intelektual Islam, para mahasiswa, dan masyarakat Iran tertarik kembali untuk mengkaji Islam yang memberikan potensi besar dalam upaya memberi makna bagi kehidupan pribadi dan nasib bangsa.
Ali Syari’ati adalah seorang orator luar biasa, lidahnya setajam penanya. Dengan kelihaiannya, kampus dan masjid-masjid di Iran menjadi pusat kegiatan organisasi revolusioner. Ia juga tampil memimpin perlawanan terhadap pemerintahan Syah Iran. Oleh karena aktivitas politiknya, pada tahun 1974, Ali Syari’ati ditangkap. Ia kemudian menjalani tahanan rumah sampai tahun 1977.
Sebagai seorang pemikir sosial, Ali Syari’ati amat mengagumi prinsip-prinsip sosialisme, menentang sistem kapitalis, dan mendukung pemerintahan nasionalis. Salah satu tokoh sejarah yang disukai dan diklaim sebagai model bagi kehidupannya sendiri adalah Abu Dzar al-Ghifari, sahabat Nabi Muhammad SAW. Abu Dzar merupakan penganjur utama paham kesamarataan dan pembagian kekayaan secara adil. Bagi Syari’ati, Abu Dzar adalah salah satu contoh prinsip sosialisme yang sejalan dengan agama Islam.
Kematian misterius
Pada bulan Mei 1977, ia terpaksa meninggalkan Iran menuju Inggris untuk menghindarkan diri dari kejaran penguasa. Namun, rezim Syah tidak mengizinkannya ke luar negeri untuk berbicara serta menulis secara bebas, serta menawan istri dan anak Ali Syari’ati. Tidak lama setelah itu, tepatnya tanggal 21 Juni 1977, Ali Syari’ati ditemukan tewas di rumah kerabatnya di Southampton, Inggris.
Meskipun berita resmi menyatakan bahwa ia terkena serangan jantung, namun banyak orang percaya bahwa ia diracuni oleh agen rahasia pemerintah Iran. Jenazahnya kemudian dikebumikan di Damaskus, Suriah.
Setahun setelah kematian Ali Syari’ati, Dinasti Pahlevi runtuh dan lahirlah Republik Islam Iran pada 16 Januari 1979. Ia dinilai memainkan peran penting menjelang Revolusi Iran yang dipimpin Ayatullah Ruhollah Khomeini pada tahun 1978, yang melahirkan berdirinya Republika Islam Iran.
Mengagumi Sekaligus Membenci Barat
Walaupun kurang menguasai kitab-kitab klasik, namun Ali Syari’ati mampu menggunakan teori-teori Barat sebagai pijakan bagi kajian doktrin-doktrin keagamaan. Ia berpendapat bahwa para nabi selalu berpihak kepada kaum lemah dalam upaya menghancurkan kekuasaan lalim yang disebut dalam Alquran sebagai mutrafin. Ia menggunakan istilah mustad’afin (lemah) sebagai pengganti istilah proletar dalam teori Karl Marx dan istilah mutrafin sebagai pengganti istilah borjuis, meskipun ia menentang paham moralisme.
Dalam bukunya Marxisme and Other Western Fallacies (Marxisme dan Kekeliruan Pemikiran Barat Lainnya), Ali Syari’ati menyatakan bahwa baik Marxisme maupun Islam adalah dua ideologi yang mencakup seluruh dimensi kehidupan dan pemikiran manusia. Ia juga secara tegas mmengatakan bahwa antara Islam dan Marxisme terdapat kontradiksi (pertentangan). Marxisme berdasarkan filsafat materialisme, sedangkan Islam, walaupun melihat dunia materi sebagai kenyataan eksistensial, percaya pada adanya Tuhan dan memiliki konsep yang gaib.
Pernyataan yang disampaikan Ali Syari’ati selalu didukung oleh pendapat-pendapat atau teori-teori para pemikir Barat, ayat-ayat Alquran, dan sunah Nabi Muhammad SAW. Meski mengagumi teori para pemikir Barat, namun ia juga membeci Barat. Ia secara terbuka, misalnya, mengakui bahwa proses pendewasaan intelektual yang dilaluinya dibimbing oleh beberapa sarjana Barat. Namun di sisi lain, ia menilai bahwa Barat adalah puncak gunung materialisme dan amoralitas.
Sebagai seorang muslim, Ali Syari’ati percaya Islam sejalan dengan pemikiran yang modern dan progresif. Untuk itu ia mengembangkan sebuah filsafat yang menggabungkan agama dan etika sosialisme.
Dalam karyanya, Eslamshenasi (Islamologi), ia melakukan pembedaan atas Islam, yakni Islam asli dan murni yang menganjurkan agar manusia mengembangkan ilmu pengetahuan, kebebasan, intelektual, dan demokrasi, serta Islam masa kini yang pasif sebagaimana ditawarkan oleh ulama konservatif. Menurutnya, seluruh kaum muslim wajib untuk meneguhkan kembali Islam yang asli. Karena pandangannya ini, ia dimusuhi baik oleh pemerintah Syah maupun ulama konservatif, dan karya-karyanya dilarang beredar.
Sebagai penganut paham Syiah, dalam banyak hal ia memegang prinsip-prinsip keyakinan Syiah. Kecuali dalam masalah imamah (pemimpin), ia berbeda pendapat dengan pendapat umum kalangan Syiah. Dalam hal imamah, ia berupaya memadukan teori musyawarah Suni dan wasiat Syiah dalam pengangkatan pemimpin. Ia mencoba menghapus kesan bahwa para khalifah Suni telah merampas hak Ali bin Abi Thalib dalam imamah. Pemikirannya ini didukung dengan teori sosiologi-politik yang memang merupakan keahliannya.
Pemikirannya selalu diarahkan untuk menggalang ukhuwah Islamiah (persaudaraan dalam Islam). Ukhuwah Islamiah ini, menurutnya, dapat dilakukan melalui gagasan solidaritas di kalangan negeri muslim. Di samping ingin menumbuhkan kesatuan di kalangan umat Islam, ia juga bermaksud agar pemikirannya dapat diterima semua pihak, baik yang berpaham Suni maupun Syiah. Dalam pandangannya, tanpa adanya solidaritas di kalangan negeri muslim, maka persatuan dunia Islam tidak akan tercapai.
Ceramah-ceramah Ali Syari’ati yang dibukukan adalah Marxism and Other Western Fallacies, What is To Be Done (Apa yang Harus Dilakukan), On The Sociology of Islam (Sosiologi Islam), al-Ummah wa al-Imamah (Umat dan Kepemimpinan), Intizar Madab-I’tiraz (Menunggu Kritik), The Role of Intellectual in Society (Peranan Cendikiawan dalam Masyarakat). dia/taq/berbagai sumber (doc Republika April 2009)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment