Pendahuluan
Akhir-akhir ini, wacana mengenai subsidi pupuk untuk sektor pertanian kembali muncul. Subsektor perkebunan sebagai salah satu andalan sektor pertanian akan terpengaruh seandainya subsidi pupuk tersebut dikurangi atau dicabut. Hal ini disebabkan pupuk merupakan salah satu komponen input penting dalam struktur biaya produksi pada subsektor perkebunan, dengan pangsa berkisar antara 10-40% dari total biaya. Seperti diketahui, subsektor perkebunan merupakan subsektor yang mempunyai beban yang paling berat karena ditargetkan untuk mencapai pertumbuhan diatas 6% per tahun sampai dengan tahun 2010. Pencabutan/pengurangan subsidi tersebut jelas akan menghambat pencapaian target pertumbuhan tersebut.Dalam upaya memberi masukan atas wacana tersebut, bersama ini akan diuraikan dampak dari pencabutan subsidi. Di samping itu, jika subsidi pupuk masih dipertahankan, khususnya bagi perkebunan rakyat, maka tulisan ini juga akan memberi masukan mengenai pengelolaan pengadaan dan pendistribusian subsidi pupuk tersebut.
Dampak Pencabutan Subsidi Pupuk
Pupuk merupakan salah satu komponen input terpenting dalam bisnis perkebunan dengan pangsa antara 10%-40% dari biaya produksi. Jika subsidi pupuk dihapuskan maka akan terjadi kenaikan biaya produksi yang cukup signifikan. Dampak langsung dari pencabutan subsidi adalah terjadinya kenaikan harga pupuk sehingga menurunkan penggunaan pupuk. Besarnya penurunan penggunaan pupuk bergantung pada tingkat kepekaan tanggapan petani terhadap kenaikan harga pupuk, yang bervariasi antara komoditi. Secara persentase, penurunan penggunaan pupuk terbesar akan terjadi pada tanaman tebu dan teh dengan penurunan lebih dari 15% (Tabel 1). Untuk komoditas kelapa sawit, kopi, dan kakao, penurunan penggunaan pupuk diperkirakan sekitar 10%, sedangkan perkebunan karet diperkirakan mengalami penurunan terkecil yaitu sekitar 5%.Tabel 1. Dampak Pencabutan Subsidi Pupuk Terhadap Biaya Produksi Perkebunan
Walaupun penggunaan pupuk menurun, biaya untuk pupuk sebagai akibat pencabutan subsidi justru meningkat. Hal ini terjadi karena persentase penurunan volume penggunaan pupuk lebih kecil dari persentase kenaikan nilai pupuk, yang bervariasi antara 20%-37%, bergantung pada komposisi penggunaan pupuk untuk masing-masing komoditi. Seperti terlihat pada Tabel 1, biaya pupuk meningkat antara 13%-23%, bergantung komoditi. Secara keseluruhan, biaya operasional usahatani (biaya produksi) akan meningkat antara 1.6% - 4.63%. Bila dilihat nilainya, biaya operasional meningkat antara Rp 0.17 – 0.38 juta per ha/tahun. Kenaikan yang tinggi diderita oleh petani tebu, kelapa sawit, dan kakao (di atas Rp 200 ribu/ha/th), sedangkan kenaikan terkecil diderita oleh petani karet yang hanya sekitar Rp 90 ribu/ha.
Sebagai akibat penurunan penggunaan pupuk, produktivitas tanaman juga mengalami penurunan. Penurunan terbesar diperkirakan akan terjadi pada komoditas tebu dan teh yaitu lebih dari 7% (Tabel 2). Untuk kelapa sawit dan kakao, penurunan diperkirakan sekitar 4%, sedangkan kopi dan karet masing-masing sekitar 3.36% dan 1.73%.
Sebagai akibat penurunan produktivitas dan kenaikan biaya pupuk, maka tingkat pendapatan petani ( gross margin ) menurun cukup signifikan. Untuk usahatani tebu dan teh, penurunan pendapatan diperkirakan sekitar 11%, suatu penurunan yang sangat signifikan (Tabel 2). Usahatani kelapa sawit, kopi, dan kakao diperkirakan mengalami penurunan pendapatan sekitar 8%, sedangkan karet sekitar 3%. Dari segi nilai nominal, penurunan pendapatan terbesar dialami oleh usahatani kelapa sawit, yang mengalami penurunan sekitar Rp 0.63 juta/ha/tahun. Usahatani tebu juga mengalami penurunan cukup signifikan yaitu sekitar Rp 0.5 juta/ha, diikuti oleh usahatani kakao sekitar Rp 0.36 juta/ha. Untuk usahatani kopi, karet, dan teh, penurunan pendapatan dperkirakan dibawah Rp 0.3 juta/ha.
Tabel 2. Dampak Pencabutan Subsidi Pupuk Terhadap Produktivitas dan Pendapatan
Jika dilihat secara nasional, pencabutan subsidi pupuk terhadap sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan, diperkirakan akan mempunyai dampak yang cukup signifikan. Dengan asumsi bahwa semua pekebun rakyat menggunakan pupuk bersubsidi, maka besarnya subsidi pupuk yang diberikan pemerintah untuk pekebun kelima komoditas tersebut adalah sekitar Rp 0.82 triliun. Jika semua subsidi tersebut dicabut, maka akan berdampak terjadinya penurunan nilai produksi (produksi dikalikan harga) senilai Rp 1.42 triliun. Dari perhitungan tersebut dapat diperkirakan bahwa subsidi pupuk sebenarnya mempunyai dampak “kesejahteraan” yang secara bruto adalah sekitar Rp. 0.59 atau dengan nilai B/C ratio sekitar 1.6, nilai tersebut masih bersifat “perkiraan” tetapi berdasarkan data-data yang ada. Nilai B/C ratio > 1 mengindikasikan bahwa subsidi pupuk pada subsektor perkebunan masih memiliki net benefit yang positif yaitu biaya subsidi lebih kecil dari nilai produksi yang dihasilkan.
Tabel 3. Dampak Pencabutan Subsidi Pupuk Terhadap Perkebunan
Permasalahan Pengadaan dan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi
Mengacu pada jalur pengadaan dan pendistribusian ( Gambar I), jalur kritis dalam pengadaan dan penyaluran pupuk ada pada Lini I, Lini III dan IV. Lini I rawan penyimpangan untuk ekspor, sedangkan lini III dan IV rawan perembesan ke perkebunan besar. P ermasalahan ini sebenarnya bersumber pada dua hal berikut yaitu:(i) Disparitas harga domestik dan ekspor terlalu tinggi, sehingga terjadi ekspor pupuk (disparitas harga bisa mencapai AS$ 50 per ton)
(ii) Disparitas harga pupuk bersubsidi dan pupuk tidak bersubsidi terlalu tinggi dimana harga pupuk bersubsidi terlalu rendah (disparitas harga normal Rp. 850 per kg). Hal ini memicu perembesan pupuk dari pertanian tanaman pangan dan perkebunan rakyat ke perkebunan besar.
Di ambil dari Bambang dradjat
No comments:
Post a Comment