SEJARAH PERIODESASI GERAKAN MAHASISWA DI INDONESIA

Sebelum membahas aspek/latar belakang timbulnya Gerakan Mahasiswa (GM),sangatlah perlu melihat kebelakang situasi sosial masyarakat,GM indonesia atau dimanapun di belahan Bumi karena gerakan mahasiswa tidak dapat terlepas dari konteks masyarakat dimana gerakan tersebut terjadi. Dia tidaklah A-historis dari tempat dimana dia muncul, tanpa sebab-akibat yang tidak jelas.Gerakan Mahasiswa, Gerakan Pemuda dan Gerakan Intelektual, Gerakan Buruh, Gerakan Petani sebelum Indonesia Merdeka adalah gerakan untuk melawan pemerintahan Penjajah Indonesia. Pengorganisiran Kaum Buruh, Petani, Pemuda,Intelektual menjadi keharusan dalam berjuang saat itu dalam menentang Penjajah dan diwujudkan dalam bentuk penentangan/non Kooperasi bahkan banyak yang secara terbuka dengan melakukan pemberontakan-pemberontakan Rakyat terhadap penghisapan yg dilakukan penjajah.

Perlawanan rakyat terhadap pendudukan penjajah Belanda dari Jaman Sultan Agung sampai dengan Jendral Soedirman, merupakan sebuah bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta akan Kemerdekaan dan Anti terhadap penjajahan dan penindasan.

Diawal berdirinya organisasi perlawanan yang tumbuh dari kaum intelektual bumi putera, masih bersifat kedaerahan, kooperatif, dan lebih menitik beratkan kepada perjuangan sosial budaya. Hal ini tidak mengherankan karena latar belakang dari mereka yang kebanyakan adalah berasal dari anak-anak kaum bangsawan dan pamong praja (camat, wedana, lurah dll).

Perjalanannya kemudian, didorong oleh kondisi diluar Hindia Belanda, serta semakin banyaknya pelajar-pelajar Bumi Putera yang kembali dari luar negeri (yang secara pendidikan didik secara modern) mengakibatkan sifat perlawanan menjadi sedikit bergeser. Perlawanan itu menjadi bersifat non-kooperatif, mengandalkan persatuan, dan lebih mengarah pada perjuangan politik serta bersifat nasional.

Namun perlawanan yang non-kooperatif ini dihadapi oleh pemerintahan Hindia Belanda dengan represif, sehingga mengakibatkan pecahnya perjuangan para pemuda. Yaitu sebagian bersifat kooperatif, dan sebagian lagi bersifat non-kooperatif.

Demikianlah pada permulaan timbulnya gerakan modern dibidang politik di Hindia Belanda (sekitar 1908 sampai + tahun 1912) telah timbul 3 aliran besar :

Aliran kebangsaan yang berdasarkan kesukuan dan bahasa diberbagai daerah di Indonesia (Budi Utomo, Paguyuban Pasundan, Sarekat Sumatra, Sarekat Ambon, Rukun Minahasa, Sarekat Madura, Kaum Betawi) dan demikian juga diantara pemuda dimasa itu timbul berbagai perkumpulan yang asasnya sama dengan perhimpunan yang disebut diatas (Tri Koro Darmo, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon dsb.
Aliran yang berasaskan kebangsaan Indonesia (lebih progresif) bahkan ia meliputi juga golongan-golongan Indo Belanda, Tionghoa keturunan, dan Arab (Insulinde – Indische Partij).
Aliran pergerakan nasional yang bersifat keagamaan. Contohnya Syarekat Islam, Muhammadiah dan beberapa perkumpulan lain yang berdasarkan agama kristen, katolik, Hindu Bali. Satu aliran lagi yang sebenarnya masuk aliran pergerakan yang berdasarkan keagamaan ini ialah aliran yang dipimpin oleh Kiayi Samin (dikenal dengan nama Saminisme). Berdasarkan konsepsinya aliran ini disamakan dengan komunisme primitif. Kiayi ini menyebarkan ajarannya di Rembang (1890). Tahun 1907 ia diasingkan ke Padang sampai ia meninggal tahun 1914. Gerakan Samin ini adalah murni gerakan kaum tani yang diantaranya memperoleh kepercayaan kepada Ratu Adil yang akan timbul di dunia untuk menciptakan negara yang adil. Menurut ajarannya tanah itu adalah hak kepunyaan semua orang dan siapa pun berhak mengambil pajak dari kepunyaan tanah itu. Dalam prakteknya gerakan tersebut ialah gerakan kaum tani yang revolusioner.

Seiring dengan perjalan waktu, tokoh-tokoh pergerakan yang bersifat nasional mulai tumbuh satu persatu dari kelasnya masing-masing. Dr. Soetomo, Ir. Soekarno, Mr. Ishaq Tjokrohadisoerjo, Dr. Cipto Mangoen Koesoemo, Ir. Anwari, Mr. Boediarto, Mr. Sartono, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Samsi Sastrowidakdo, dan Mr. Soenaryo, Tilaar dan Sujadi merupakan sentral kekuatan dari kaum Intelektual borjuis kecil yang mewakili kaum golongan nasionalis.

Generasi kedua seperti Hatta, Sahrir, Mr. Sartono, dll merupakan borjuis kecil yang mewakili golongan sosial demokrasi. Generasi ke tiga yaitu Mr. Amir Syarifudin, Dr. A.K Gani, Sanusi Pane, Wikana, dan Muhammad Yamin merupakan wakil dari golongan nasionalis kiri yang mempunyai semangat anti fasis yang tinggi.

Kemudian generasi terakhir ini adalah orang-orang yang sangat berperan aktif dalam menyiapkan kemerdekaan Republik Indonesia dan sifat perjuangan mereka adalah non-kooperatif terhadap pemerintahan Dai Nippon. Organisasi mereka berada di bawah tanah (Ilegal). Generasi ini sering disebut sebagai kelompok radikal ”Menteng” 31 adapun anggotanya : Soekarni, Chairul Saleh, Aidit Cs.Ditambah dengan para Pemuda yg bekerja di KaiGun (angkatan Laut Jepang) seperti : Wikana, Mr. Iwa Kusumasumantri, Ahmad Subardjo Cs. Pada Kelompok Prapatan 10 terdapat Sutan Sahrir, Subadiyo Sastrosatomo, Supeno, Johan Syahruzah Cs, adalah bukti Sifat-sifat militansi yg dimiliki pemuda.

Karena semakin represifnya penjajahan Belanda dan berikutnya penjajahan Jepang, maka mulai timbul perlawanan yang dilakukan oleh rakyat, namun sifatnya masih pada lokal-lokal daerah mereka masing-masing.

Namun rata-rata perlawanan yang dilakukan oleh sebagian rakyat belum terorganisir secara baik, terbukti sejarah mencatat perlawanan tersebut tidak berhasil menimbulkan kesadaran yang lebih maju menuju perjuangan semesta, namun dampak yang ditimbulkannya tidaklah berhenti, dia menimbulkan Pergerakan yang akhirnya memuncak pada Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945.

Pada awalnya Revolusi Nasional ini di pelopori oleh Kaum Intelektual “Borjuasi kecil” yang bekerjasama dengan Rakyat terjajah. Namun diakhir Revolusi Nasional, para pemuda, buruh, dan tani serta beberapa tokoh politik sadar, bahwa revolusi kemerdekaan akan berhasil apabila seluruh elemen yang maju dalam masyarakat bergabung dan bergandengan tangan mewujudkan Revolusi Kemerdekaan Nasional.

Sejalan dengan konsepsi tradisional Perkembangan hidup manusia berdasarkan Usia, mahasiswa digolongkan kedalam warga masyarakat Belum Dewasa. Mahasiswa dianggap belum memenuhi persyaratan untuk hidup seperti orang dewasa, karena itu hak, kewajiban belum dianggap penuh seperti orang dewasa, konsep inilah yang masih melekat erat di tiap-tiap orang Indonesia. Karena posisi mahasiswa itu sendiri, berada ditengah-tengah dua posisi. Mahasiswa adalah orang yang baru beranjak dari masa remaja tapi dia juga belum masuk kepada tingkatan masyarakat yang terlibat secara aktif dalam hubungan produksi.

Situasi umum (Indonesia) Abad 19-Pasca 1900-an.

Pergeseran alat produksi dari kepemilikan Raja sebagai pemilik tunggal, yaitu kepada para bangsawannya atau para saudagar mengantarkan sistem ekonomi yang feodalistik menuju sistem ekonomi yang kapitalistik. Pergeseran ini salah satunya disebabkan karena adanya perkembangan teknologi atau Revolusi Industri (inggris 1774) yang sebelumnya dihantarkan oleh suatu jaman pencerahan (rainasance) setelah berakhirnya perang salib. Jaman Rainasance, ilmu pengetahuan Yunani yang selama itu terpendam di Timur Tengah mulai berkembang di dataran Eropa, yang mengakibatkan bergesernya pula cara berfikir masyarakat barat pada saat itu. Dan mulai berkembangnya ilmu pengetahuan yang perlahan-lahan menggeser dominasi tunggal kedudukan Agama dan Raja (sistem Feodal) dalam masyarakat.

Penemuan Columbus akan sebuah pulau yang disangka India ketika dia berangkat dari Timur, mengakibatkan pergeseran yang hebat dibidang kelautan. Vasco Da Gama seorang Portugis pada tahun 1498 berekspedisi ke Afrika dan akhirnya pada tahun 1512 sampai dikepulauan Maluku. Vasco Da Gama sebelumnya menguasai Kerajaan Malaka terlebih dahulu, kemudian mulai menaklukan raja-raja dikepulauan Timur nusantara. Tak lama kemudian Spanyol tiba di Maluku dan akhirnya menghasilkan perjanjian pembagian wilayah ekspedisi.

Cournelis De Houtman seorang Belanda dengan dibiayai oleh Company Van Veer (kumpulan saudagar Belanda yang membiayai ekspedisi) melakukan perjalanan pada tahun 1595. Setelah 250 hari perjalanan, maka sampailah Houtman di pelabuhan Banten. Dari Banten Houtman ke Bali dan akhirnya menemukan Pala dan Cengkeh (komoditas yang paling di cari di Eropa) di Maluku yang kemudian mengantarkan Belanda berkuasa di Nusantara dengan mengusir Portugis dan menghancurkan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda.

Perkembangan ekonomi dan ilmu pengetahuan juga berpengaruh pada perkembangan politik. Hal yang paling signifikan adalah ditemukannya daerah-daerah baru. Hal yang menggembirakan karena merupakan sumber pokok pemenuhan Sumber Daya Alam (SDA) bagi Industri. Selain itu juga timbulnya semangat untuk menemukan dan akhirnya menguasai dan mengeksploitasi daerah baru untuk kepentingan Industri menjadi pemacu Belanda sampai ke Indonesia.

Situasi indonesia tidak dapat terlepas dari situasi Dunia pada abad 19-an, dimana pada tahun 1808 raja Belanda (L.Napoleon) adik Kaisar Napoleon Bonaparte Perancis (akibat dari Revolusi Prancis-1789/1799) mengirimkan Daendels ke Indonsia dengan tugas : Mempertahankan Jawa dari Inggris. Rakyat Indonesia pada saat itu tercengkeram erat dalam penindasan Kolonial Belanda. Dengan adanya “suar” tersebut semakin menambah penindasan yang dilakukan oleh Kolonialis-Imperialis Belanda. Salah satunya adalah dengan menjual Tanah Pertikelir. Rakyat di kerahkan untuk mengerjakan jalan-jalan besar untuk memudahkan Mobilisasi pengiriman pasukan. Selain itu Daendels melakukan Pendekatan-pendekatan secara masiv terhadap golongan-golongan Bangsawan (Raja-Raja di Jawa) namun pendekatan tersebut tidak berhasil. Terbukti dalam penyerangan Inggris, raja-raja tersebut tidak mau membantu Belanda. Tgl 18 september 1811 belanda jatuh dan menyerah kepada Inggris, lepas dari mulut harimau namun jatuh ke mulut buaya kata ini sangat cocok pada keadaan indonesia saat itu.

Pada tahun 1816 berdasarkan convention london (Kongres Wina), Belanda kembali menancapkan kukunya di Hindia Belanda. Penghisapan yang dilakukan menimbulkan peperangan-perang yang bersifat kedaerahan (Raja-raja/kaum bangsawan) melakukan perlawanan.

Peperangan-peperangan itu memerlukan biaya yg tidak sedikit. Akhirnya untuk menutupi biaya perang, Belanda mengadakan sistem tanam paksa (Cultur-Stelsel) sebagai solusinya. 1/5 dari tanah Petani harus ditanami oleh jenis tertentu yg ditentukan oleh Belanda, sedangkan orang yang tidak mempunyai tanah harus bekerja RODI selama 66 hari dalam 1 tahun. Pada tahun 1870 sistem ini berganti nama SISTEM TANAM BEBAS {Perkembangan Eropa sejak 1870 sampai dengan Perang dunia 1,negara-negara Imperialis-kapitalis saling merebut ”Pasar”. Kemajuan Industri yang pesat, terutama produksi yang meningkat jauh melebihi kebutuhan pasar serta keperluan bahan mentah dan daerah Pasaran tempat Menjual membuat Negara-negara seperti : Jerman ,Inggris, Prancis, Italia, Jerman berlomba-lomba memperebutkan Daerah jajahan}.

Thn 1870 sistem pemerintahan Kolonial-Imperialis “berganti wujud” pembangunan yang dilakukan Belanda memerlukan “Tenaga-Tenaga cakap” dan murah. Karena itu pendidikan bagi rakyat/pemuda mulai di perkenalkan dengan Pedoman : SEDIKIT PENDIDIKAN ITU BAIK, PENDIDIKAN SEMPURNA MEMBAHAYAKAN PENJAJAH.

Latar belakang berdirinya sekolah-sekolah di Indonesia.

Pergeseran dan perkembangan alat produksi mengakibatkan bergesernya sejarah perkembangan masyarakat dunia dari feodal ke kapitalis. Hal ini mengakibatkan gejolak dibeberapa belahan bumi.
Perang Kemerdekaan Amerika Serikat (1776) dan Revolusi Borjuis di Perancis (1789) yang menghasilkan kemenangan bagi kaum borjuasi, yang memperjuangkan liberalisasi dan hak-hak kemanusiaan.
Di Hindia Belanda, Kerajaan Belanda (karena adanya pergeseran ekonomi) di akhir abad ke-19 dan permulaan abad 20, ada sedikit perubahan dalam cara imperialisme. Belanda menghisap keuntungan-keuntungan di Hindia Belanda, akan tetapi pada intinya adalah sama saja, yakni mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Jika dahulu kekayaan diperas, digali dan dijual oleh kaum modal Belanda sendiri, maka diakhir abad 19, karena beberapa alasan Belanda juga memberikan kesempatan kepada modal asing untuk turut menggali kekayaan bumi dan memeras tenaga kerja rakyat Indonesia. Inilah yang dinamakan “Politik Pintu Terbuka”. Sehingga dengan cara ini berangsur-angsur kapitalisme international turut juga dalam pengangkutan keuntungan dari Hindia Belanda. Kaum modal Belanda menyelimuti taktik yang licin dan jahat ini dengan perkataan “etis politik”. Kaum ethis Belanda ini menganjurkan supaya kepada rakyat di Hindia Belanda diberikan sekolah-sekolah. Terutama yang berfaedah bagi pendidikan Hindia Belanda untuk menjadi pegawai-pegawai rendahan administrasi, perkebunan-perkebunan dan lain-lain. Dengan demikian mereka mendapatkan buruh administrasi dan buruh perusahaan yang jauh lebih murah upahnya dari pada buruh yang didatangkan dari negeri Belanda. Bahkan kepada gadis-gadis Indonesia juga dianjurkan agar mereka bersekolah. Tokoh-tokoh terkenal penganjur ethis politik adalah : Mr. J.H Abendanon dan Mr. Van de Venter.

Di Belanda, kaum liberalis (sebutan kaum ethis) menuntut untuk membalas jasa-jasa rakyat Hindia Belanda yang dinilai banyak memberi keuntungan bagi Belanda, pada saat pelaksanaan sistem tanam paksa (cultuutstelsel dan Hongi). Selain itu mereka juga melihat bahwa cara-cara penglaksanaan imperialisme kuno itu tidak efektif karena mengakibatkan kerusakan jiwa raga dan kemelaratan yang tidak terhingga, juga berakibat pula berkurangnya hasil yang dipetik nantinya oleh pemerintahan Belanda. Akhirnya golongan liberalis memperoleh kemenangan dalam persidangan di parlemen negeri belanda. Akibat kemenangan tersebut maka pemerintah kolonial Belanda harus melaksanakan politik etis (politik balas budi) yang diwujudkan melalui trilogi politik etis, yaitu dalam bidang :
Irigrasi (pengairan)
Migrasi (pemindahan penduduk)
Edukasi (Pendidikan).

Politik etis ini mulai berlaku di Hindia Belanda sejak tahun 1902. Jauh sebelum politik etis tersebut mulai diberlakukan, di Hindia Belanda sudah ada kursus juru suntik atau juru kesehatan. Yang kemudian berkembang menjadi sekolah dokter Jawa. Sekolah ini dimulai dari situasi di Jawa yang pada saat itu terjangkit wabah penyakit menular. Untuk pengobatannya diperlukan juru suntik, karenanya dibukalah sekolah juru suntik berdasarkan surat keputusan No. 3 Tahun 1856 tertanggal 11 Mei 1856 tentang berdirinya sekolah dokter Jawa. Yang boleh bersekolah di tempat ini harus memenuhi syarat yang sangat diskriminatif sekali, yaitu hanya dari golongan bangsawan atau ningrat. Tahun 1899 nama sekolah diganti menjadi STOVIA (School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen). Yang dimana dari STOVIA inilah awal pergerakan mahasiswa muncul
Selain itu sekolah-sekolah berdiri karena adanya kebutuhan dari para pemodal di Hindia Belanda akan pekerja-pekerja administrasi (yang berpendidikan tentunya). Pada tahun 1914-1918, (dimana barang produksi sudah sangat memuncak pada beberapa negara produksi sehingga diperlukannya sebuah pasar baru), Di Eropa, terjadi perang yang akhirnya melibatkan beberapa negara diseluruh dunia, kemudian dikenal dengan perang dunia I.
Perang Dunia I ini mengakibatkan melonjaknya ongkos untuk mendatangkan para pekerja administratif dari negara Belanda ke Hindia Belanda. Hal ini adalah salah satu faktor pendorong berdirinya sekolah-sekolah di Hindia Belanda.
Pra Kemerdekaan 1908-1942
Budi Utomo

Sebagai akibat pendidikan yang “dibuat”oleh Penjajah, dan kekalahan Rusia oleh jepang (Jepang menghancurkan kapal selam Rusia di selat tsussyma), selain itu adanya Gerakan Turki Muda (1908), suatu gerakan Anti Kaum Kolot/Konservativ yang menimbulkan Revolusi turut mempengaruhi keadaan dalam negeri. Dikalangan mahasiswa STOVIA sendiri mulai menyadari bahwa adanya rasa senasib dan sepenanggungan yang hidup dalam suasana penjajahan yang sama-sama tertekan, diperlakukan oleh pihak penjajah sebagai orang yang bodoh. Karenanya timbul keinginan untuk membebaskan diri dari kehidupan masyarakat terjajah. Para pelajar yang belajar di STOVIA (Mahasiswa) mulai berdiskusi satu sama lainnya. Seorang yg bernama Soetomo aktiv mendatangi Kelas-kelas Di STOVIA, mereka berdiskusi satu sama lain hingga terbit suatu kebutuhan akan Organisasi, disinilah awal lahirnya Boedi Oetomo (20-Mei-1908),suatu Organisasi modern pertama di Indonesia yg bertujuan: ke arah perbaikan hidup untuk bangsa indonesia, karena tidak puasnya keadaan masyarakat yang ada. Budi Utomo sangat bersifat kedaerahan (mengunggulkan orang Jawa), dan sangat kooperatif sekali dengan pemerintahan Belanda serta masih belum memperjuangkan hak-hak politik. Budi Utomo bergerak dalam bidang sosial Budaya. Hal ini tidak mengherankan melihat pada saat itu yang menjadi anggota Budi Utomo adalah anak-anak Bangsawan, ningrat, pejabat Belanda dari pribumi yang jauh dari kaum pekerja. Namun dikemudian hari, berdirinya Budi Utomo mendorong orang-orang daerah yang juga belajar di STOVIA untuk mendirikan perkumpulan.

Perlu diakui bahwa Budi Utomo adalah organisasi modern pertama yang didirikan oleh kaum intelekual (dengan latar belakang priayai) yang menggorganisasikan dirinya secara sistematis dan teratur. Budi Utomo dibuat diantara perlawanan rakyat Hindia Belanda yang pada saat itu masih bersifat reaksioner, kedaerahan (lokal-lokal), sekterian dan dipimpin oleh pemimpin-pemimpin lokal yang kharismatik, bertujuan religius dan mitologis. Hubungan antara pemimpin dan pengikut bersifat patron klien. Ini semua merupakan ciri-ciri perlawanan yang masih bersifat feodal di masyarkat Hindia Belanda.

Budi Utomo adalah salah satu perkumpulan yang semalas-malasnya diantara sekalian perkumpulan-perkumpulan borjuis di Hindia Belanda. Karena ia tidak melakukan cara-cara aksi borjuis yang radikal dan tidak berani mendekati dan menggerakan rakyat. Kaum Budi Utomo sibuk memanggil-manggil arwah yang telah lama meninggal dunia, Borobudur yang kolot, wayang dan gamelan yang merana, semuanya buah kebudayaan Feodal yang digembar-gemborkan mereka siang dan malam.

Budi Utomo sering membicarakan masalah kebudayaan dan seni Jawa. Soal penting yaitu yang mengenai penghidupan rakyat di Jawa, jangan dikatakan lagi di seluruh Indonesia tidak pernah disentuh, jangankan diperbincangkan mereka. Selain itu Budi Utomo tidak pernah menimbulkan cita-cita kebangsaan Indonesia. Budi Utomo mengangkat kembali senjata-senjata Hindu Jawa yang berkarat yang sudah lama dilupakan. Satu cita-cita modern tentang kebangsaan jauh lebih sehat dan lebih luas dari pada fantasi Jawa raya, boleh dikatakan lahir diseluruh kepulauan Indonesia.

Tetapi sesudah Dr. Cipto Mangun Kusumo, Suwardi Surya Diningrat, dan kawan-kawan duduk didalam NIP, orang betul-betul memperhatikannya dapat melihat satu pertentangan diantara anggota-anggota perkumpulan itu. National Indische Partij-NIP berdiri tahun 1912 Didirikan oleh kaum Indo-Belanda mereka hanya meperjuangkan agar kaum indo-belanda mendapat porsi yang sama dengan bangsa Belanda Totok yang kadang-kadang disisipkan perkataan kemerdekaan.

Disatu pihak berdiri Indo-borjuis yang didik secara imperialis, sombong, selalu curiga dan dipihak lain berdiri bumi putera yang ekonomi dan politiknya tergencet, diperas, dan diinjak-injak. Jangankan aksi revolusioner, mogok saja jauh dari keinginan indo-borjuis anggota NIP. Apalagi Revolusi meminta perhubungan rapat serta asimilasi tulen dengan bangsa Indonesia. Bukan saja dengan priayi-priayi tapi juga dengan pak kromo. Dan yang lebih utama pembagian kekuasaan politik dengan si-Inlanders yang terbesar jumlahnya.

Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda yang mendengar Organisasi Budi Utomo ingin pula mendirikan organisasi cabang di Belanda namun gagasan ini ditolak, mereka akhirnya mendirikan organisasi yang bernama Indische Vereniging (perkumpulan Hindia) tahun 1908. Indische Vereeniging didirikan oleh Raden Mas Noto Suroto (penyair Indonesia yang terkenal). Perkembangannya Indische Vereeniging berserikat dengan perkumpulan mahasiswa Indo-Belanda dan mahasiswa Belanda yang hendak bekerja di Hindia Belanda (nama gabungan tersebut adalah Bond Van Indische Studerenden) dari penggabungan ini tercatatlah bahwa pada masa itu para mahasiswa Indonesia masih belum mempunyai tekad yang revolusioner dan masih bersedia untuk bekerja sama dengan pemerintahan Belanda. Dari pemerintah Belanda pun pada waktu itu disediakan seorang nasehat bagi mahasiswa Hindia Belanda di sana. Selain dari tujuan kerja sama tersebut (khususnya dalam bidang pendidikan) perkumpulan itu lebih banyak bergerak di bidang hiburan.

Pada awalnya, gerakan Perkumpulan Hindia bersifat sosial yang sama sekali tidak mempunyai tujuan Politik. Tujuan utama dari gerakan Perkumpulan Hindia hanyalah memperhatikan kepentingan bersama penduduk atau pelajar Hindia belanda yang ada di negeri Belanda (uang saku, kuliah mahasiswa, dan lain-lain) kedatangan dr.Tjipto Mangunkusumo, suwardi Suryaningrat, dan setia budi (Dowes Dekker) yang di buang ke Belanda lambat laun merubah Organiasi ini semakin jauh kedalam politik. Selain itu, asas-asas Perjanjian Versailles (Prancis), Revolusi China (1911), Revolusi Partai Bolshewik-Rusia (1917) turut mempengaruhi Organisasi ini menjadi lebih maju.

Selain itu AA. maramis, Ahmad soebardjo, M. Hatta yang tergabung dalam (organisasi ke Pemudaan) turut menambah aktifnya gerakan ini. Maka pada thn 1921 nama Organiasi ini berubah ini berubah menjadi Indonesisch Vereniging, pikiran-pikiran tentang Hak mengatur diri sendiri, Demokrasi, pembentukan kekuatan, menimbulkan nama baru organisasi; Perhimpunan Indonesia (1924). Proses-proses pembentukan Organisasi secara lebih semesta yaitu ; tahun 1928 SUMPAH PEMUDA, dalam kongresnya; bertanah air satu, bangsa yg satu, berbahasa satu Indonesia. Pada tahun 1930 perkumpulan-perkumpulan Pemuda sedaerah dilebur menjadi Indonesia Muda.

Sejarah Sarekat Islam dan Perkembangannya
Awalnya berdiri Syarikat Dagang Islam (SDI) di Solo pada tahun 1911 dan dalam tahun berikutnya atas inisyatif dari M. H. Samanhudi (seorang pedagang batik yang besar) SDI ini dipergunakan untuk memboikot dan menyerang pedagang-pedagang Tionghoa. Pemerintah merasa kuatir hal ini akan dipergunakan melawan pemerintah, akhirnya 12 Agustus 1912 SDI di skors oleh residen Surakarta (dilarang menerima anggota baru dan mengadakan rapat). Perkembangannya ternyata pemerintah tidak melihat akan adanya perlawanan sehingga 26 Agustus 1912 larangan tersebut dicabut kembali.
1913, SDI diganti menjadi Sarekat Islam dan dipimpin oleh H.O.S Cokroaminoto. 26 Januari 1913 SI mengadakan kongres pertama di Surabaya. Dimana kongres memutuskan bahwa SI hanya terbuka untuk bangsa Indonesia, pegawai pangreh praja tidak diterima.
Pada bulan Mei tahun yang sama Henk Snevliet seorang Marxist dari Belanda memisahkan diri dari Sociaal Democratische Arbeid Partij (SDAP) di Belanda (karena pada saat itu SDAP dikuasai oleh golongan Sosial Demokrat kanan yang mendukung Perang Dunia I). Karena penolakannya terhadap perang dan aktifitasnya di organisasi buruh kereta api Belanda yang semakin membahayakan mengakibatkan Henk Snevliet dibuang oleh pemerintah Belanda ke Hindia Belanda pada tahun 1913. Ia sempat bekerja di koran Soerabajaasch Handlescblad di Surabaya. Masih ditahun yang sama dia pindah ke Semarang dan diangkat menjadi sekertaris di perusahaan Semarangcshe Handelsverenging. Tahun 1914 ia mendirikan ISDV (Indische Sosial Democratiche Vereeniging), dimana anggotanya pada awalnya adalah didominasi oleh kaum sosialis Belanda seperti Ir. Baars, Bergsma, Brandsteder, H.W Dekker, Van Boerink, J.C Stam dan lain-lain. Anggota ISDV juga kebanyakan menjadi anggota dari VSTP (Vereeniging Voor Spoor en Tramweg Personel) yaitu perkumpulan serikat pekerja kereta api dan trem pertama di Indonesia yang juga pada awal didirikannya banyak didominasi oleh para petinggi perusahaan kereta api Belanda. ISDV kemudian melihat ada organisasi besar yaitu SI yang harus didorong lebih maju. Akhirnya ISDV menggunakan strategi Blok Within (blok di dalam) sejak 1916 dalam Syarikat Islam, yaitu membangun blok didalam organisasi SI yang dilakukan oleh kader-kader ISDV yang duduk didalam SI (taktik Infiltrasi) orang-orangnya adalah Semaun dan Darsono  mereka berasal dari keluarga buruh, dari VSTP cabang Surabaya, dia terpilih menjadi ketua cabang di awal 1915, pada 1 Juli 1916 Semaun pindah ke Semarang dan menjadi propagandis utama VSTP dan Editor SI Tetap.

Maksud dari taktik Blok Within adalah mengembangkan propaganda dan koneksitas diantara massa dengan membuat semacam sel-sel didalam partai Induk (SI) pendeknya partai Marxis melakukan Infiltrasi terhadap partai lain. Strategi ini menyebar luas apalagi didukung oleh karakter desentralisasi SI serta sebagai akibat dari sanksi pemerintah Belanda terhadap organisasi nasional. Akibat dari taktik tersebut beberapa dari cabang SI lokal de facto berada dibawah pengaruh ISDV. Hal ini terjadi beberapa tahun sebelum kecenderungan sayap kanan (H. Agus Salim, Abdul Muis, Gunawan, H.O.S Cokroaminoto Cs mereka berasal dari keluarga kaya dan menjalankan taktik perjuangan yang mau bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda.) muncul di SI.

Pecahnya revolusi Sosialis pada bulan Oktober 1917 di Rusia bagaimanapun juga berpengaruh pada aktivitas politik kaum pergerakan di Hindia-Belanda, kemenangan Revolusi Oktober di Rusia itu telah membangkitkan kesadaran Komunisme. Revolusi Oktober memberi inspirasi bahwa imperialisme Belanda pasti dapat digulingkan dan rakyat Bumi Putra pasti dapat mendirikan negara yang bebas dan merdeka.
Di Semarang Semaun dan kawan-kawan menjadi pimpinan SI lokal. Karena sikap dan prinsip komunisme mereka semakin radikal, hubungan dengan anggota SI lainnya mulai renggang.
Kongres Nasional Sarekat Islam ke 2 di Jakarta yang diselenggarakan dari tanggal 20-27 Oktober 1917, membahas hubungan antara Agama, Kekuasaan, dan Kapitalisme. Tema yang menimbulkan perdebatan keras di dalam SI. Pasca Kongres SI Semarang mulai mengadakan aksi-aksi untuk memperjuangkan cita-citanya. Mengadakan rapat anggota dan menyerang ketidak beresan ditanah-tanah partikulir, juga kaum buruh di organisir supaya lebih militan dan mengadakan pemogokan terhadap perusahan-perusahaan yang sewenang-wenang. Atas nama SI, Semaun dan Kadarisman memproklamasikan pemogokan dan menuntut 3 hal :
Pengurangan jam kerja menjadi 8 jam.
Selama mogok gaji dibayar penuh.
Setiap yang dipecat diberi pesangon 3 bulan gaji.
Semaun begitu gigih membangun VSTP, pada tahun 1920 dia telah membangun 93 cabang di pulau Jawa, beberapa pantai barat Sumatra dan perkebunan Deli.
Saat kongres ke-3 diBandung Semaun dengan lantang dan terang-terangan menentang agama sebagai dasar pergerakan SI, karena dianggap akan menjadikan Sarekat Islam menjadi organisasi yang eksklusif, tidak terbuka terhadap seluruh golongan rakyat di Indonesia.SI akhirnya benar-benar pecah menjadi SI putih yang dipimpin oleh (H. Agus Salim, Abdul Muis, Gunawan, H.O.S Cokroaminoto Cs dan SI merah yang dipimpin oleh Semaun serta Darsono. Dan pada akhirnya ISDV terpaksa melepaskan politik Blok di dalamnya dari SI pada tahun 1921, karena pada kongres SI di Purwokerto, diputuskan bahwa anggota SI tidak boleh menjadi mempunyai keanggotaan ganda pada organisasi lain. Semenjak itulah, maka SI Semarang dan beberapa SI lokal lainnya memisahkan diri dari keanggotaan Sarekat Islam.
Pada tanggal 23 Mei 1920 Semaun mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia, 7 bulan kemudian partai ini kemudian merubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia yang sekaligus menjadi anggota dari Komunis International (komintern).
Setelah perpecahan dengan Sentral Comite Sarekat Islam pimpinan H.O.S Cokroaminoto, maka beberapa basis pengorganisiran buruh dan tani dimasukkan kedalam keanggotaan Sarekat Islam Merah yang pada tahun 1924 berubah nama menjadi Sarekat Rakyat.
Tokoh kiri yang tidak kalah peranannya adalah Tan Malaka, ia lahir di gadang Sumatra Barat. Saat berumur 16 tahun ia dikirim ke Belanda untuk bersekolah guru di Rijkskweekschool di kota Harlem Belanda. Ia tidak hanya mendalami pelajaran-pelajaran sekolah semata tetapi juga menjadi kutu buku yang keranjingan menggeluti pemikiran-pemikiran radikal yang ramai diperbincangkan di Eropa. Sebuah toko kecil di pojok jalan Jacobijnen menjadi penghisap utama uang dikantong sebagai ongkos pencerahan pemikirannya. Kehausan intelektualnya semakin menyeret hasratnya untuk menyusuri buku-buku karangan para pemikir terkemuka beraliran komunis yang tengah menjadi arus paling kuat didataran Eropa. Ia melahap Het Capital karya Marx dan Engels, Marxiest Ekonomie karangan Karl Kautsky dan otaknya diobori juga oleh surat kabar radikal Het Volk milik Partai Sosial Demokrat Belanda (SDAP), serta brosur-brosur tentang perjuangan dan pemikiran tokoh-tokoh dibalik kemenangan revolusi Bolsyewik 1917 di Rusia yang membuktikan dalil Karl Marx bahwa dominasi Kapitalisme di dunia dapat dipatahkan lewat Revolusi Sosialis dalam satu arus besar sejarah.
Tahun 1919 ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru disebuah perkebunan di Deli (Sumatra Timur). Di Tempat kerja yang baru ini Tan Malaka mendapat gaji yang sangat layak (kerena memiliki ilmu yang tidak kalah dengan guru-guru Belanda) dan diperlakukan sebagaimana orang Eropa. Diperusahaan perkebunan milik Kapitalis Belanda inilah Tan Malaka menyaksikan didepan matanya sendiri berjalannya sistem kapitalisme dalam wujud paling busuk (klas pekerja dihisap, rasialisme antara kulit coklat dan kulit putih berlaku secara sepihak dan kekayaan buminya dikuras dan diangkut oleh borjuasi Belanda. Ketimpangan social yang dilihatnya dilingkungan perkebunan antara kaum buruh dan tuan tanah Belanda menggugah semangat radikal Tan muda. Tahun 1921 ia meninggalkan Deli mencampakkan tunas priayi dengan segala fasilitas rumah, gaji tinggi, dan kemewahan, ia menyebrang membawa api dan dendam menuju tanah Jawa. Ia secara sadar dalam dirinya untuk memasuki gelanggang pergerakan rakyat yang nyata dan menentang secara langsung kolonialisme dan imperialisme.
Tan Malaka datang kesarang yang tepat, yakni perkumpulan kaum pergerakan rakyat (SI) yang pada waktu itu sedang mengadakan rapat besar di Yogyakarta. Di tempat pertemuan itulah Tan Malaka berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan terkemuka seperti Semaun dan Darsono.

Tan Malaka merasa bagaikan menemukan saudara-saudaranya, sementaranya Semaun dengan kesederhanaan yang menarik hati langsung mengajak Tan Malaka untuk pergi ke Semarang. Selanjutnya ia menetap di Semarang, “ Kota Merah ” kota yang menjadi markas besar bagi perjuangan kaum kiri di Indonesia. Tanpa ragu lagi Semaun menawarkan kepadanya untuk mendirikan sekolah-sekolah proletariat (komunis) atas sponsor SI Semarang. Disana ia banyak mengajarkan prinsip-prinsip perjuangan komunisme dalam pengertian yang paling dasar dan kontekstual bagi anak-anak proletariat Indonesia. Sekolah ini mendapat sambutan dimana-mana, sekolah model ini mencetak murid-murid yang cakap dalam ilmu perkakas dalam bidang ekonomi juga mendidik militansi sebagai propagandis gerakan rakyat dimanapun mereka berada, dan juga disiapkan untuk menjadi agen propaganda dari Partai Komunis Indonesia (PKI).

Karena kesuksesan ia dalam memimpin sekolah itu dan karena kekosongan kader muda progresif dalam PKI, maka dia pada tahun 1921 dia menjadi ketua PKI menggantikan Semaun yang sedang mengikuti kongres Komintern di Rusia. Sebagai pimpinan baru PKI dia berambisi mendamaikan perseteruan antara komunisme dan islam yang sedang meruncing pada saat itu. Menurutnya perseteruan antara kaum komunis dan kaum muslim bukan antagonisme program perjuangan revolusioner. Percekcokan kaum komunis dengan kaum muslimin hanya akan menguntungkan pihak kolonial yang memang getol melakukan politik pecah belah. Kolaborasi antara kaum komunis dengan kaum muslim merupakan salah satu tesis penting Tan Malaka dalam strategi perjuangan revolusioner menumbangkan kolonialisme dan imperialisme di lingkungan geo-politik di Asia.

Setelah memisahkan diri dengan Sarekat Islam, maka PKI mendapat dukungan yang besar dari kaum buruh. Ini terlihat dari pemogokan-pemogokan buruh seperti pemogokan 800 buruh dilingkungan buruh pelabuhan Surabaya. Pemogokan pegawai pegadaian yang mencakup 79 rumah gadai dengan sekitar 1200 buruh. Pemogokan buruh kereta api yang dilakukan pada bulan April 1923 yang diikuti oleh 8500 buruh yang merupakan keanggotaan dari VSTP. Dalam merenspon aksi-aksi buruh tersebut, pemerintah kolonial Belanda merasakan bahwa pemogokan mempunyai tujuan politik untuk menggulingkan kekuasaan mereka.

PKI juga melakukan agitasi, menggunakan media massa. Tidak sedikit media islam adalah pula media Komunis, seperti Sinar Hindia, Soeara Rakjat, SI-Tetap, Islam Bergerak, Medan Muslimin, Proletar, Nyala, Kijahi-djagoer, dll.

Karena semakin represifnya tindakan dari pemerintah Hindia-Belanda, maka pada kongres PKI tanggal 11-17 Desember 1924, dikota Gede Yogyakarta dibicarakan tentang rencana aksi mogok massal kaum buruh diseluruh Indonesia. Ternyata aksi tersebut gagal. Disebabkan karena banyaknya pimpinan-pimpinan teras PKI seperti Semaun, Darsono, Tan Malaka, dll, sudah dibuang ke luar negeri maka semenjak itu pimpinan-pimpinan PKI dipegang oleh orang-orang muda yang pengalaman revolusionernya masih kurang dan kecenderungan advonturisme politiknya tinggi, disebabkan karena kurangnya teori yang membimbing mereka dan juga banyak pimpinan-pimpinan lokal PKI seperti Datuk Batuah, Aliarcham, Kiyai Haji Achmad Chatib, H. Misbach, Mas Marko, sudah tertangkap juga.

Karena kefrustasian melihat kondisi partai dan perjuangan serikat-serikat buruh yang gagal dan keanggotaannya semakin merosot, maka diputuskan pada bulan Desember 1925 di komplek Candi Prambanan yang pada saat itu dikeluarkan oleh Comite Central PKI yang keanggotaannya adalah Musso, Sardjono, Dahlan, Sukrawinata, Cs. Untuk melakukan pemberontakan yang rencana awalnya dilaksanakan pada bulan April 1926.

Ternyata rencana itu tidak berhasil, karena belum terkonsolidasi kekuatan partai yang sudah jelas-jelas sangat lemah. Sisa-sisa terakhir dari pimpinan-pimpinan PKI melaksanakan pemberontakan pada tanggal 12 November di Batavia, Banten. Bulan Desember di Priayangan (Jawa Barat), beberapa daerah Jawa Tengah dan Timur, serta bulan Febuari 1927 di Sumatera Barat. Tapi ternyata pemberontakan itu gagal, karena terlihat waktu pelaksanaan dari daerah-daerah yang melakukan pemberontakan berbeda-beda.

Rencana pemberontakan tersebut pada awalnya sudah tidak disetujui oleh beberapa pimpinan PKI yang ada di Singapura, seperti Tan Malaka, Soegono (ketua VSTP), Djamaluddin Tamim, dll karena melihat kekuatan PKI yang masih lemah (belum terlalu kuat pengaruhnya dimassa rakyat jelata, serta kemampuan PKI dalam menggalang kerjasama terhadap kekuatan-kekuatan revolusioner lainnya. – misalkan kaum nasionalis, intelektual dsb.-mereka mengangap bahwa keputusan Prambanan adalah hasil karya ”para Revolusioner“ amatiran ,keburu nafsu, penuh ketidaksabaran yang akan menyebabkan jika dilaksanakan Partai akan hancur berkeping-keping. Pemerintah Belanda menangkap dan mengasingkan lebih dari 1300 orang ke Digul, 4500 dijatuhi hukuman penjara dan lebih dari 13.000 ditangkap dimana sebagian dihukum mati (ditiang gantung) didepan umum (Egom Dirja Hassan – Jawa Barat-, Manggulung, Sipatai, Siganjil – Sumatra Barat – dll) . Sehingga untuk membangun kekuatan Partai yang akan memimpin perlawanan massa rakyat membutuhkan waktu yang sangat lama.Ini di buktikan bahwa setelah pemberontakan tahun 1926 PKI baru bisa muncul legal kembali pada tahun 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan. (kurang lebih 20 tahun kemudian). Disana terlihat bahwa kepeloporan pada saat Proklamasi sangat kecil orang-orang dari kelompok kiri yang terlibat pada proses tersebut, hanya dari golongan muda seperti Sukarni, Wikana, Chaerul Saleh, Adam Malik dan sebagainya, sedangkan kelompok dari generasi tua jaman PKI dan VSTP tidak terlihat. Pada saat Proklamasi Kemerdekaan kita hanya melihat dominasi dari kelompok-kelompok Nasionalis, Sehingga jalannya Revolusi Nasional di dominasi oleh kelompok-kelompok Borjuis yang menghasilkan perjanjian Renville, Linggarjati dan puncaknya adalah KMB ( Konfrensi Meja Bundar) yang notabene merugikan perjuangan rakyat karena setelah Kemerdekaan unsur-unsur Penjajah/kaum Kapitalis, kaum feodal/priayi/bangsawan dan berbagai elemen-elemen reaksiomer lainnya masih bercokol dan masih memegang kekuasaan, sehingga Kemerdekaan 100% menuju cita-cita masyarakat Sosialis Indonesia gagal.

Setelah kegagalan pemberontakan PKI 1926, melihat kondisi partai yang hancur berkeping-keping, dan juga karena kekecewaan Tan Malaka serta beberapa kader-kader tua PKI yang melihat pimpinan-pimpinan muda PKI di Hindia Belanda yang menghasilkan persetujuan Prambanan dan mereka tidak mendengarkan petunjuk dari pimpinan-pimpinan PKI yang ada diluar negeri, serta melihat konflik yang terjadi di Soviet Russia antara J.W Stalin dan Leon Trotsky paska kematian Lenin, mereka berpendapat bahwa perseteruan tersebut mengakibatkan kerugian besar pada gerakan buruh International dan turunannya adalah juga pada gerakan buruh di Indonesia.

Dr. Soetomo di Surabaya membentuk Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) pada 8 Juli 1928, organisasi ini hanya berumur 1 tahun, disebabkan pada tanggal 1 April 1929 organisasi ini menggabungkan diri dengan “Liga Menentang Kolonialisme dan Penindasan” yang merupakan jelmaan Internationale 3 yang dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Sehingga SKBI dibubarkan.

Soetomo juga menjadi ketua Pelita Buruh Indonesia di Surabaya dan menerbitkan tulisannya suluh serikat pekerja. Karya Soetomo ini berpengaruh di kalangan pegawai kereta api khususnya dalam mempersoalkan gaji dan upah. Bulan Mei 1930, dia membuat persatuan Sarekat Sekerja Indonesia yang menurut dia tidak berkaitan dengan partai politik dan Agama.

Seputar Kongres Pemuda I & II

Bagi golongan nasionalis, Berdirinya Budi Utomo di STOVIA mendorong pemuda-pemuda yang belajar di STOVIA tapi bukan orang Jawa turut ikut mendirikan perkumpulan-perkumpulan seperti Budi Utomo. Namun tetap saja semuanya masih bersifat kedaerahan dan bergerak dalam bidang sosial dan budaya.

Pada tanggal 30 April – 2 Mei 1926 Kongres Pemuda yang pertama diadakan. Dalam kongres ini sudah mulai nampak bibit persatuan dan mulai meninggalkan bibit-bibit kedaerahan secara perlahan.

September 1926 pelajar di Jakarta membentuk Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) di bawah pimpinan Moh. Abdullah Sigit. PPPI berusaha menghilangkan segala perbedaan yang meliputi suku, daerah, kepercayaan, bahasa, dan agama. Kemudian atas dorongan PPPI, berdiri pula Jong Indonesia tanggal 20 Febuari 1927 di Bandung. Atas inisiatif PPPI dan Jong Indonesia (yang kemudian merubah namanya menjadi Pemuda Indonesia) Kongres Pemuda ke II dilaksanakan. Perlu diingat Gerakan pemuda yang paling efektif pada saat itu adalah di kota Batavia (Jakarta) dan Bandung.

Perhimpunan Indonesia.

Perhimpunan Indonesia didirikan pada tahun 1923, yang pertama kali diketuai oleh Iwa Kusuma Sumantri, yang merupakan kelanjutan dari Indische Vereeniging. Pada waktu itu perhimpunan Indonesia sering mengikuti forum-forum International yang mengambil tema-tema Anti Imperialis, Anti Penindasan dan Anti Kolonial dan Pro Kemerdekaan Nasional. Seperti yang dilaksanakan di Brussel Belgia tahun 1927 yang merupakan kelanjutan dari “Congres Democratique Internationale Pour la Paix” tahun 1926 di Bierville dekat Paris. Yang hadir dalam konfrensi itu adalah wakil-wakil pelajar dari Asia seperti India, Tiongkok dan Muangtai. Dorongan untuk mendirikan organisasi mahasiswa itu, pada mulanya hanya bersifat sosial, perasaan senasib hidup jauh dari orang tua dan jauh dari Tanah air. PI banyak mendirikan perkumpulan-perkumpulan study, baik diluar Hindia Belanda maupun di Hindia Belanda sendiri. Sifatnya adalah nasional, tidak condong kepada aliran Islam apalagi condong ke Komunis. Salah satunya adalah perkumpulan study di Bandung yang kemudian hari berkembang menjadi Partai Nasional Indonesia. Yang aktif diantara mereka adalah sikap non-kooperatif dan percaya akan kekuatan diri sendiri/Self Help.

Anggota-anggota PI pada masa sesudah 1926 giat dalam hal memperhatikan keadaan di Hindia Belanda. Perhatiannya kepada rakyat Hindia Belanda dituangkan dalam majalah Perhimpunan yang dinamai “Indonesia Merdeka”. Dan sebaliknya suara dari mahasiswa dari negeri Belanda itu mendapat perhatian khusus dari kaum intelegencia di Hindia Belanda. Dengan demikian maka pengaruh revolusioner dari mahasiswa di Negeri Belanda itu makin lama makin besar di Hindia Belanda.

Partai Nasional Indonesia

Didirikan di Bandung tanggal 4 Juni 1927 oleh Ir. Soekarno, Mr. Ishaq Tjokrohadisoerjo, Dr. Cipto Mangoen Koesoemo, Ir. Anwari, Mr. Boediarto, Mr. Sartono, Mr. Ali Sastroamijoyo, Dr. Samsi Sastrowidakdo, dan Mr. Soenaryo, Tilaar dan Sujadi (bukan sarjana) Sebenarnya PNI dimulai dari kembalinya para pelajar yang belajar di Belanda (Mr. Sartono, Mr. Sunaryo dll) mempengaruhi para pemuda yang menyelesaikan studynya di Sekolah Tinggi Teknik Bandung (sekarang ITB) yaitu Ir. Soekarno, dan Ir Anwari untuk bergerak di bidang politik. Sebelum PNI berdiri diawali terlebih dahulu dengan terbentuknya Algeemene Studie Club.

Tujuan partai ini adalah untuk mencapai kemerdekaan yang penuh untuk Indonesia dari segi ekonomi dan juga politik dengan sebuah pemerintahan yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada seluruh rakyat Indonesia. Mereka berpendapat kemerdekaan seperti yang dicita-citakan itu hanya boleh diletakan diatas dasar tidak bekerja sama dengan pemerintah Hindia Belanda dan hanya akan dapat dicapai dari hasil persatuan rakyat Indonesia sendiri. Karena kepandaian Soekarno berpidato dan kepemimpinan yang baik telah menyebabkan kemajuan penambahan anggota dengan pesatnya. Dalam waktu 2 tahun, anggotanya telah meningkat 10.000 orang. Tidak ragu-ragu lagi, setengah dari bilangan ini datangnya dari bekas anggota Sarekat Rakyat dan Kesatuan-kesatuan buruh yang dulunya dikuasai oleh kaum komunis. Karena perjuangan PNI yang non-Kooperatif dan Anti Kapitalis yang mulai mengejutkan pemerintah Hindia Belanda, maka pada tanggal 24 Desember 1929, Soekarno dan 7 orang pemimpin lainnya ditangkap dengan tuduhan mengambil bagian dalam suatu perkumpulan yang ingin melakukan kekacauan yang mengganggu ketertiban umum dan menjatuhkan pemerintahan Hindia Belanda yang sedang berkuasa. Penangkapan ini membuat PNI dilarang, dan untuk sementara waktu membuat perkumpulan-perkumpulan nasionalis menjadi lebih hati-hati. Kemudian pada bulan April 1931, dideklarasikan berdirinya Partindo (Partai Indonesia) oleh Mr. Sartono, yang keanggotaannya kebanyakan dari bekas PNI. Partai ini bertujuan sama dengan PNI. Partindo mengeluarkan majalah “Persatuan Indonesia“

Setelah kembalinya Hatta dan Sahrir dari Belanda pada awal 1932 mereka membuat Perkumpulan Pendidikan Nasional Indonesia, tapi mereka tidak mau bekerja sama dengan partindo. Ketidak setujuan kepada Partindo, karena Partindo merupakan partai politik yang didukung oleh rakyat jelata (partai massa) dan mereka melihat bahwa pimpinan yang kharismatik tidak sesuai dengan langkah-langkah buat gerakan nasionalis. PNI ini mengeluarkan majalah Daulat Rakyat.

Proses pendirian PNI Hatta-Sahrir ini adalah untuk kepentingan jangka panjang untuk menciptakan kader-kader yang walaupun jumlahnya sedikit tapi mereka sanggup berdiri diatas kaki sendiri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. PNI-baru pada tahun 1934 menerbitkan pamflet pergerakan sekerja. Buku ini adalah hasil ceramah didepan persatuan buruh kereta api Indonesia. Sahrir menjelaskan tentang nilai-lebih, upah nominal-nilai riil, ini semua guna membangkitkan kembali gerakan buruh.

Pada tahun 1934 Hatta-Sahrir lagi-lagi seperti pemimpin yang lainnya ditangkap oleh pemerintah Hindia-Belanda dan di buang ke Tanah Merah di Boven Digul, dan juga pulau Banda dan baru dilepaskan pada awal 1942 ketika Jepang masuk ke Indonesia.

Gerakan Rakyat Indonesia (GERINDO)

Didirikan pada bulan April 1937, kebanyakan anggotanya adalah dari Partindo yang dibubarkan. Para pemimpinnya antara lain adalah : Mr. Sartono, Mr. Amir Syarifudin, Dr. A.K Gani, Sanusi Pane, Wikana, dan Muhammad Yamin. Perlu diketahui bahwa Gerindo ini anggotanya kebanyakan merupakan bagian dari organisasi bawah tanah PKI-Musso dan PARI-Tan Malaka.

Partai ini berkembang dengan pesatnya dan dengan cepat menjadi nasionalis sayap kiri yang kuat. Semangat anti Fasisme yang tinggi menimbulkan tenaga nasionalis militan yang kuat, disebabkan karena perkembangan situasi dunia dan perasaan sensitif yang kuat dari pimpinan terasnya karena melihat perkembangan dunia dengan semakin kuatnya paham Fasis (Jerman, Jepang, Italia, Spanyol).

Tetapi Gerindo walaupun anggotanya punya nasionalisme yang militan, tetapi ia bergerak atas dasar mau bekerja sama dengan pemerintahan Hindia Belanda dan mendudukan wakilnya di Volksraad (Dewan Rakyat).

Pada bulan Mei 1939, Muhammad Husni Thamrin dari Parindra membuat suatu perkumpulan partai-partai yaitu GAPI (Gabungan Politik Indonesia) gabungan ini telah menyatukan 8 buah, perkumpulan-perkumpulan nasionalis yang paling penting. Pimpinan-pimpinannya adalah : Amir Syarifudin mewakili Gerindo, Abi Kusno Cokro Suyoso mewakili Partai Syarikat Islam (PSII) dan Muhammad Husni Thamrin mewakili Parindra. Tujuannya adalah memperjuangkan :

Hak Indonesia menentukan dirinya sendiri.
Kesatuan nasional yang berdasarkan diatas demokrasi politik, ekonomi dan sosial.
Sebuah parlemen Indonesia yang dipilih secara demokratis dan bertanggung jawab kepada penduduk Indonesia.
Menyatukan semua kumpulan-kumpulan politik di Indonesia dan juga pemerintah Hindia Belanda untuk mengekalkan barisan anti Fasis yang kuat.

Pada tahun 1938, Hendro Martono (seorang pengacara) mendirikan barisan kaum buruh.

Pada bulan Desember 1939 diadakan Kongres Rakyat Indonesia yang dibuat oleh Gapi. Dalam kongres itu diputuskan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa kebangsaan, bendera merah putih adalah bendera kebangsaan, dan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

SITUASI DUNIA

Tertumpuknya barang-barang hasil produksi dari negara-negara yang maju pada saat itu seperti Jepang, Jerman, Italia, Inggris, Amerika, Perancis, mengakibatkan dibutuhkannya sebuah pasar perdagangan yang baru. Sehingga diantara mereka mencoba membagi kembali negara-negara jajahan yang ada diseluruh dunia.

Ekspansi Jerman ke Polandia dan diteruskan ke negara-negara Eropa lainnya termasuk Belanda (pada tahun 1940 berhasil ditundukan) serta ekspansinya Fasis Jepang di Asia, mengakibatkan timbulnya pergantian pemerintahan di tanah jajahan Hindia Belanda. Belanda yang telah menjajah Indonesia selama + 350 tahun tidak berdaya berhadapan dengan pasukan Fasis Jepang. Pada tanggal 14 Febuari 1942, Jepang dengan cepat, menyerang dari Sumatera yang sebelumnya telah menyerang Filipina (daerah jajahan Amerika), daerah Indo-Cina (yang dikuasai Perancis), Semenanjung Malaya (yang dikuasai Inggris). Pada Tanggal 1 Maret 1942 Jepang tiba di pulau Jawa dengan kekuatan + 2000 personel. 8 hari kemudian pasukan Belanda di Jawa yang berjumlah + 8000 orang menyerah kepada tentara Jepang tanpa perlawanan berarti karena Gubenur Jendral Hindia Belanda dan Panglima tertinggi penguasa Hindia Belanda sudah kabur ke Australia.

Rakyat Indonesia menyambut Jepang Bak pahlawan yang akan memberikan kebebasan pada bangsa Indonesia. Masuknya Jepang juga ditandai dengan dibebaskannya para tokoh-tokoh nasional yang ditangkap pada jaman pemerintahan Hindia Belanda. Dengan Propaganda yang membius, Fasis Jepang menyerukan Semboyan Asia Raya; dimana maksud mereka adalah memerdekakan bangsa Asia dari pendudukan bangsa Eropa.

Untuk kepentingan dan kelangsungan Jepang di daerah kekuasaannya yang baru (terutama di bekas penjajahan Belanda) Jepang melancarkan gerakan 3 A Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia pada tanggal 29 April 1942.

Maka untuk melawan bangsa Eropa (dalam rangka Perang Dunia II atas nama Fasis VS negara Sosialis + negara Demokrasi) Pemerintahan Jepang di Indonesia mengumpulkan dana & menghimpun kekuatan dari Rakyat Indonesia. Karena tindasan dari pemerintahan Dai-Nippon, maka kebencian rakyat semakin tinggi. Hal ini mengakibatkan timbulnya perlawanan secara sporadis dimana-mana. Seperti pemberontakan Peta di Blitar, pemberontakan di Singaparna, perlawanan GERAF (Gerakan Anti Fasis) yang dipimpin oleh Mr. Amir Syarifudin, Widarta, Sukayat, Abdul Azis, Pamuji, Slamet Kamijaya, Kadiman (mereka adalah sel bawah tanah PKI yang didirikan kembali oleh Musso yang pulang ke Indonesia secara diam-diam pada tahun 1935 dan menetap di Surabaya). Kepulangan Musso tersebut adalah untuk membangun kembali PKI yang sudah hancur berkeping-keping dan mengumpulkan kader-kader PKI yang masih tersisa.

Seiring dengan Kekalahan Fasis Jerman dan Italia di dataran Eropa & Fasis Jepang yang kalah karena di Bom Atom oleh Imperialis-Kapitalis Amerika pada tanggal 9 & 14 Agustus 1945 di Hirosima dan Nagasaki. Terbukalah peluang untuk dilaksanakannya Proklamasi Kemerdekaan, karena adanya Kekosongan Kekuasaan Penjajah. Rakyat yang melawan adalah majoritas dari berbagai macam golongan Buruh, Tani, Borjuis Kecil, Ulama dan lain-lain. Revolusi Di Indonesia adalah untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan nasional.

Pra Kemerdekaan 1942-1945

Pemuda Jawa (Pusat pergerakan awalnya di tanah Jawa, kemudian menyebar) secara mendalam dipengaruhi oleh perubahan-perubahan yg sedang berlangsung dalam masyarakat disekitar mereka. Pengalaman baru merekapun ikut membentuk Kesadaran Mereka.

Pada tahun 1940, diperkirakan ada sekitar dibawah 5 juta pemuda di pulau jawa yg berumur antara 15-19 tahun.1.789 pelajar yg terdaftar di sekolah-sekolah yg mendapat pendidikan Barat dan 637 orang adalah mahasiwa. Secara kasarnya dapat dikatakan bahwa kurang dari satu dalam setiap 2.000 pemuda yang ada di jawa yg menempuh pendidikan Non Tradisional tingkat tinggi. Jumlah kecil Minoritas ini terlihat melukiskan WATAK konservatif dari politik pendidikan Kolonial dan juga mempunyai hak-hak Istimewa. Karena mayoritas dari mereka adalah anak-anak dari Priyayi terkemuka, orang-orang profesional yg berhasil di kota-kota besar maupun pendatang kaya. Selama tahun-tahun terakhir Zaman Imperialis Belanda, Politik Pemuda terpusat di kota besar; Jakarta, Bandung (itu juga karena terdapat fakultas Teknik, Kedokteran, Hukum di tempat itu) dan kota besar lainnya. Pemuda-pemuda yang berkesadaran Politik pada thn 1930-an menunjukkan betul-betul terisolasi dari masyarakat Sebaya mereka.

Dari Baris Berbaris Menuju Perang

Dalam tahun 1943, Lembaga pendidikan yang di buat Belanda ditutup oleh Jepang, kecuali : Fakultas Kedokteran (FK) yang di buka kembali. Fasis Jepang kemudian membuka ”Pusat-pusat pendidikan tertentu tetapi tidak dapat digambarkan sebagai lembaga-lembaga yang bersifat Akademi”.

Beberapa mahasiswa lulusan sekolah-sekolah Belanda mencari kerja pada pemerintahan militer dalam berbagai bidang, namun yang paling diminati adalah SendenBu (Departemen Propaganda). Ada juga yang mengasingkan diri dari masyarakat, bertemu degan sanak saudara, selain itu sebagian juga melakukan diskusi-diskusi tidak resmi, secara intensif membaca tentang segala masalah yang nampaknya berkaitan degan keadaan mereka & hari depan. Beberapa diantara mereka tertarik kedalam kelompok-kelompok bawah tanah seperti kelompok bawah tanah PKI, kelompok bawah tanah PARI pimpinan Tan Malaka, Kelompok Sutan Sahrir.

Jepang juga mendirikan lembaga-lembaga yang menguntungkan serta menjaga kelanggengan Pemerintahan kerajaan Jepang di daerah bekas penjajahan Belanda. Lembaga itu diantaranya adalah PETA (Pembela Tanah Air) yang mayoritas terdiri dari Pemuda (Oktober 1943) dengan tujuan sebagai pasukan yang dilatih Jepang untuk membantu Jepang di garis depan medan pertempuran jika terjadi penyerangan dari pasukan Sekutu, disusun hanya sampai tingkat Batalyon (DaiDan), beranggotakan 500-600 orang, pemimpinnya (Komandan-DaiDan Co) dipilih yang agak tua karena menurut Jepang mempunyai pengaruh dan berwibawa terhadap Pemuda.

Heiho (Pasukan Bantuan) dibentuk sebagai badan resmi dari pasukan Angkatan Darat (AD), menyusul badan-badan lain seperti Keibodan, Jawa Hokokai dll.

Pada Thn 1944 kekalahan perang yang dialami Fasis Jepang sudah semakin banyak, keadaan ekonomi di Jawa khususnya sudah sangat merosot. harapan masyarakat kepada Jepang semakin menurun karena melihat tingkah laku yang semena-mena terhadap rakyat, namun semangat menuju Indonesia yang merdeka menjadi semakin membara

Jawa hokokai di mobilisir untuk melakukan pengawasan yang lebih “Ketat” terhadap rakyat. Selain organisasi SuiShinTai (Barisan Pelopor) dimaksudkan sebagai barisan Aktivis yang akan menggerakkan Hokokai dibawah kepemimpinan Resmi SOEKARNO. Tetapi secara Operasional (kepemimpinan) di kendalikan Dr.Muwardi, barisan ini menarik Kaum Muda dari segala lapisan masyarakat kedalamnya.Baris-Berbaris A”La Militer degan menggunakan Bambu Runcing. Sambil mendengarkan Soekarno Berpidato mengajarkan para anggotanya Teknik memobilisir massa melalui Organisasi ini.

Organisasi-organisasi diatas yang dilahirkan guna menghadapi sekutu itu ternyata dihari depan semua organisasi itu secara dialektis menjadi perangkat yang berguna untuk menyongsong kemerdekaan Indonesia. Maka Gaya Politik Fasis Jepang memberikan pada Pemuda Jawa suatu Corak Baru dari kahidupan dan tindakan politik,mengandung Kritik Radical terhadap Nilai-nilai dari pandangan politik yang ditanamkan Kolonial-Imperialis Belanda.

Minoritas Yang Membakar

Kelompok-Kelompok Pemuda yang telah disebutkan diatas kebanyakan di kota-kota besar, secara kwantitas sangat kecil, informasi-informasi buat mereka sangat terbatas tentang keadaan Internasional dan nasional Indonesia saat itu. Kelompok-kelompok ini mempunyai Basis-basis kelembagaan yang menimbulkan kepercayaan pada diri pribadi. Basis-basis mereka terutama ada pada Asrama-Asrama untuk berbagai golongan Pemuda, selain tempat pengungsian untuk para mahasiswa yang kandas belajarnya (Di tutup Jepang). Asrama memberikan Alternatif lain yaitu menyediakan forum-Diskusi secara Tertutup.

Ada 3 nama Asrama Mahasiswa yg terkenal (menjadi pusat Kegiatan Pada saat itu) :

1. Asrama Fakutas Kedokteran, yang terletak di Prapatan 10 (sebagai catatan, FK adalah satu-satunya Pendidikan Tinggi yang di buka Jepang) walaupun mahasiswa ini secara pasti dipengaruhi oleh situasi Krisis, namun pandangan mereka mengenai peristiwa-peristiwa politik juga beralaskan kenyataan. Fakultas mereka adalah kelanjutan dari Zaman Belanda yang belum begitu banyak di ubah oleh Jepang. Orientasi mereka lebih condong ke BARAT dari pada Gerakan-Gerakan Bawah Tanah lainnya. Adapun pemimpin asrama ini adalah : Sutan Sahrir, Johar Nur, Syarif Thayeb, Darwis, Ari Soedewo. Selain itu Asrama Mahasiswa lainnya ada di Jln.Cikini yang ditempati oleh Chaerul Saleh, Djohar Nur. Kusnandar Cs.

2. Berpusat di Asrama Angkatan Baru Indonesia, jalan. Menteng Raya 31 (sekarang gedung Juang) yang didirikan pada awal pendudukan Jepang dengan bantuan SendenBu. Ada Sukarni, Maruto Nitimiharjo, Adam Malik, Pandu kartawiguna, DN. Aidit, Armunanto, MH. Lukman, AM. Hanafi (yang bekerja di bawah tanah) tujuannya : menciptakan Inti dari aktivis-aktivis pemuda yang setelah masa pelatihan akan meneruskan hasil latihan itu pada kader-kader di daerah dan mereka mengorganisir rakyat didaerah pinggiran Jakarta (Hal ini nantinya akan terlihat bagaimana kemampuan mereka memobilisasi massa pada saat rapat Akbar pada tanggal 19 September 1945 di lapangan IKADA (sekarang Monas). Masa Pelatihan resminya di Menteng 31, berakhir pada bulan April-1943, keanggotaan asrama itu tidak lebih dari 50 atau 60 orang. Ada bekas mahasiswa FH, juga bergabung pemuda-pemuda berpendidikan lebih rendah, namun sudah turut dalam gerakan-gerakan tahun 1930-an. Komposisi penghuni tersebut sangat jelas ada golongan yang lebih tua dan muda.

Dibawah pendudukan Jepang, Sukarni bekerja di SendenBu (Barisan Propaganda Jepang) dibawah Mr. Muhammad Yamin. Termasuk didalam grup Sukarni ini ialah Adam Malik, Pandu Karta Wiguna, Marutto Nitimiharjo yang memang sejak jaman Belanda dahulu mempunyai hubungan-hubungan perjuangan satu sama lainnya. Sukarni dengan grupnya inilah yang mempunyai hubungan politik dan idiologi dengan PARI-Tan Malaka.

3. Asrama Indonesia Merdeka belakangan berubah, alasan-alasan Problematik pendirinya (Laksamana Tadashi) yang selama ini memimpin BuKanFu-kantor penghubung Angkatan Laut (AL) dan Angkatan Darat (AD) di Jakarta. Asrama ini berada di Kebon Sirih 80 (1944). Setelah jaman pendudukan, beberapa upaya telah dilakukan oleh kelompok Syahrir untuk mendiskusikan kegiatan-kegiatan Maeda dan orang-orangnya. Terutama karena alasan-alasan Politik. Kadang dituduhkan bahwa kelompok Kaigun (AL-Jepang) telah mendirikan asrama itu untuk melatih infiltrator-infiltrator yang akan menyusup ke dalam Gerakan Bawah Tanah (GBT) ”Komunis” yaitu Kelompok Stalinis Ortodoks (PKI yang didirikan kembali oleh Musso pada tahun 1935) dan Kelompok Komunis Nasionalistis yang mempunyai hubungan erat dengan PARI-Tan Malaka. Namun tidak ada bukti tentang itu, kesaksian Wikana, seorang yang jelas bukan “Dekat degan Jepang” dengan tegas membenarkan ketulusan Hati Laksamana Maeda dan pembantunya mengenai kemerdekaan Indonesia. Perlu ditekankan bahwa kelompok ini (Asrama) mencerminkan kemauan yang tumbuh di pihak pemuda untuk menganggap diri sebagai pemikir pikiran-pikiran kritis”jika hati seorang di sakiti oleh kesengsaraan Penduduk, yang semakin parah yang di muakkan oleh keterlibatan Politisi Tua yang diwakili oleh Soekarno dan Hatta yang merupakan kolaborator Jepang, Pamong Praja dalam program Romusha dan penyerahan Padi secara paksa dan sinis tentang Janji Fasis Jepang dalam soal janji Kemerdekaan.

Terbentuknya Beberapa kelompok ini disebabkan Karena :

Adanya Perbedaan latar belakang Pendidikan (Tempat/Daerah didapatkannya pendidikan oleh para pemuda, ada yang bersekolah di Belanda, ada yang hanya di Indonesia.
Adanya kedekatan beberapa Pemuda dengan Orang-orang belanda maupun Tidak

Ini berarti menunjukkan belum adanya suatu Organisasi Revolusioner/Partai Revolusioner/Partai Pelopor-Avant Garde yang mempunyai kesatuan dalam bergerak. Koordinasi Group pemuda tersebut tidak secara langsung tapi berdasarkan Individu-Individu yang ada dalam organisasi tersebut.

Dapat di simpulkan adanya metode yang berbeda dalam Pencapaian Kemerdekaan, dan dalam hal Pengisian Kemerdekaan. Ada yang dengan jalan Kompromi atau mau bekerjasama dengan Fasis Jepang dan juga ada yang menolak bekerja sama dengan Fasis Jepang. Berikutnya setelah kemerdekaan ada yang ingin berjuang dengan cara perang total ataupun ada yang ingin mengutamakan jalur diplomasi.

Masa Kemerdekaan. (jaman perang mempertahankan kemerdekaan)

Dibawah kesadaran keadaan Dunia yang sedang bergejolak antara lain dengan Mendaratnya pasukan-pasukan Amerika di pulau Leyte telah mensinyalir akan tanda-tanda kehancuran Fasis Jepang. Serangan Inggris di Birma dengan cepat memperoleh kemajuan, di bawah keadaan itu menjadi lebih mendesaklah mengadakan pertemuan untuk Menghimpun dukungan rakyat setempat di pulau Jawa. Dengan memberikan wawasan yg lebih luas kepada perasaan Nasionalis kedudukan tawar-menawar dari pada nasionalis Indonesia, baik golongan muda maupun tua bertambah baik. Salah satu dari tanda-tanda yang paling nyata dari perubahan ini adalah kongres Pemuda yang di liangsungkan di VILLA Isoha, Bandung 16-18 Mei 1945. Sidang Kongres itu sebagai tanda dari kemajuan dan keikhlasan pemuda. Kongres itu di sponsori oleh Pemimpin-pemimpin muda yang pertama sejak pendudukan Jepang di Jawa. Setelah melalui perdebatan 3 hari, pemuda memutuskan dua Resolusi penting, yaitu :

1.Seluruh golongan Indonesia harus di persatukan dan di sentralisasikan dalam satu kepemimpinan.

2.Kemerdekaan Indonesia harus di wujudkan secepat mungkin, Angkatan Muda harus selalu siap mengabdikan Tenaga, Jiwa dan Raganya Ke arah pengkoordinasian seluruh upaya untuk mencapai kemerdekaan Indonesia.

Tekanan semakin Keras yang dilakukan oleh para pemuda lebih terlihat pada sidang Ke-8 dari Dewan Pertimbangan Pusat (Chuo Sangi In), dimana pemuda mendesak Jepang supaya membawa lebih banyak Pemuda kedalam kerangka pemerintahan. Kemudian mendesak Jepang untuk mengembangkan pelatihan daam Kepemimpinan Gerakan Rakyat Baru (GRB/suatu organisasi Massa yang telah diumumkan oleh Jepang akan didirikan pada bulan Juli 1945).

Pada waktu yang sama terdapat sekelompok kecil Pemuda (sekitar 100 orang tokoh pemuda) yang diKetuai oleh B.M Diah seorang wartawan di Surat Kabar Metropolitan Asia Raya yang dapat mencari Informasi secara mendetail tentang perkembangan situasi Perang dengan cepat sehingga informasi kemajuan sekutu di Asia dan kekalahan Jepang di Pasifik samar-samar sudah terdengar.

Sukarni, Sudiro (Mbah), Sjarif Thayeb Cs, para pemuda terkemuka di Jakarta mengadakan pertemuan untuk membentuk kelompok Penghubung Poliik tak Resmi yang bernama Angkatan Baru. “Kelompok inilah yg Kemudian membentuk Gerakan Angkatan Baru Indonesia yg menggerakkan Menteng 31”

6 Juli saat sidang itu di buka pemimpin-pemimpin angkatan baru bertemu untuk membahas kedudukan mereka. Persoalan pokok timbul dalam pembahasan Rancangan Piagam GRB, dimana Pemuda Menuntut supaya Kota-kota Republik Indonesia disiapkan, tentu saja tidak dapat diterima Jepang karena :

1.Tokyo sendiri belum membuat keputusan terakhir mengenai kapan dan dengan bentuk apa kemerdekaan akan diberikan kepada Indonesia.

2.Badan Penyelidik yg membahas apakah Indonesia akan menjadi negara Monarki atau Repulik.

Akibat hasil rapat tersebut hanya menimbulkan makian, kekecewaan yang besar pada diri tiap Para Pemuda. Desas-desus Jepang yang sudah hampir menyerah kepada Sekutu melalui para Pemuda yang bekerja di SenDenBu dari siaran radio San Fransisco, bahwa Fasis Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Imperialis Sekutu dan pengumuman resmi penyerahan tanpa syarat itu di umumkan pada tanggal 15 Agustus 1945.

Siaran Kaisar Hirohito di terima di Jakarta, sementara itu berita dengan cepat menyebar degan cepat melalui jaringan Pemuda di seluruh pelosok.

Atas prakarsa Mahasiswa FK, rapat Darurat dilangsungkan di Laboratorium Bakteriologi Pegangsaan yang dihadiri pula oleh Kelompok Menteng 31, disitu diputuskan untuk mengirim suatu delegasi yang dipimpin Wikana untuk menjumpai Soekarno malam itu juga agar mendesak membuat Proklamasi, namun Soekarno menolak dan menimbulkan ketegangan dan suasana emosional, mereka menyatakan Soekarno telah gagal menjadi Bapak, akan terjadi pembunuhan dan pertumpahan darah apabila tidak mau mengumumkan pernyataan itu.

Penghinaan pribadi terhadap Wikana telah menimbulkan jarak yang semakin dalam antara Golongan Tua dan Muda dan sebagai tantangan bersama. Atas prakarsa Sukarni, penculikan terhadap Soekarno-Hatta terjadi, kira-kira pukul 04. pagi dini hari 16-08-45. Soekarno-Hatta dilarikan ke Rengasdengklok, atas kawalan Peta Jakarta Raya yang dipimpin oleh Sodanco Singgih dan pimpinan Peta Rengkasdengklok Sudanco Umar Bachsan (beliau adalah salah seorang pendiri Lembaga Kebudayaan Rakyat –LEKRA-). Disana terjadi desakan untuk memproklamasikan kemerdekaan yang akhirnya menimbulkan perdebatan antara pemuda dan Soekarno-Hatta. Akhir dari perdebatan itu hanya kebuntuan. Akhirnya Soekarno-Hatta dikembalikan ke Jakarta oleh para pemuda.

KRONIK PROKLAMASI (15-17 AGUSTUS 1945)

Setelah perdebatan tentang perlunya sesegera mungkin di kumandangkannya Proklamasi antara Para Pemuda dan Golongan Tua :

Sore hari: Subadio S.dan Subianto datang ke rumah Hatta, mengabarkan Jepang Menyerah pada Sekutu, minta pada Soekarno sebagai pemimpin untuk atas nama rakyat mengucapkan Proklamasi lewat radio ke seluruh dunia.

Hatta menyatakan, bahwa Jepang telah mengakui kemerdekaan Indonesia, dan penyelenggaraannya terserah pada PPKI. Karena itu rapat akan diadakan di Pejambon besok.

Ke dua pemuda mengatakan hal itu harus di halangi. Hatta mengajukan beberapa alasan namun sampai setengah jam terjadi perdebatan, ke 2 Pemuda mengatakan : “ Di saat Revolusi kami rupanya tidak dapat membawa Bung serta, Bung tidak Revolusioner! ”

Hatta Menjawab: ”Saya pun menginginkan Revolusi tapi ingin menyiapkan Organisasinya. Tindakan kalian ini Putsch sama seperti yang dilakukan Hitler di Muenchen ! ”

Pemuda: Bung tidak bisa diharapakan mengadakan Revolusi ,”

Jam 20.00: Rapat dipimpin oleh Chaerul Saleh di Lembaga Bakteriologi, Pegangsaan timur, Jakarta hadir Dari Golongan Pemuda; Chaerul Saleh, Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, Subiantoro, Margono, dari golongan Kaigun; Wikana, Armansjah.

Keputusan: Menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal Rakyat, tidak dapat di gantungkan pada orang lain, maka harus diputuskan dengan janji Jepang, dan diadakan pertemuan dengan Ir. Soekarno dan Drs. Moh.Hatta.

Jam 21.30 : Ketika Hatta sedang mengetik naskah Proklamasi, datang Subardjo untuk mengajak menemui Soekarno, yang waktu itu sedang dipaksa Para Pemuda untuk Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia hari itu juga.

Mereka langsung ke rumah Soekarno disana bertemu dengan; Dr. Buntaran Martoatmodjo dll. Pemuda memaksa Soekarno untuk memproklamasikan Kemerdekaan, tapi menolak dengan alasan yang sama dengan Hatta.


Jam 22.00: Keputusan rapat golongan pemuda disampaikan wikana dan Darwis pada Ir.Soekarno. Wikana menuntut untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, jika tidak akan terjadi pertumpahan darah.

16 AGUSTUS 1945

Kaisar Hirihito memerintahkan penghentian seluruh pertempuran menyusul pernyataan menyerah tanpa syarat.

Jam 4.00 waktu makan sahur Sukarni dkk datang ke rumah Hatta, menjelaskan karena semalam Soekarno tidak mau melakukan proklamasi maka pemuda-pemuda mengambil putusan sendiri:

1.Soekarno-Hatta di bawa ke Rengasdengklok untuk memimpin Republik dari sana

2.Menjelang jam 12.00-15.00 Rakyat-Mahasiswa-PETA akan menyerbu dan melucuti Jepang.

Rombongan pergi ke Rengasdengklok sebelumnya menjemput Soekarno.

Jam 12.30: Hatta meminta sukarni untuk mengecek tentang serbuan ke Jakarta seperti yang direncanakan, namun setelah meengecek ternyata tidak ada penyerbuan.

Jam 18.00: Sukarni mangatakan ”bahwa Ahmad Soebrdjo datang atas perintah untuk menjemput Soekarno Hatta.”

Rombongan kembali pulang ke Jakarta.

Jam 22.00: Berkumpul di rumah Laksamana Maeda.
Maeda: Saya mencintai Indonesia Merdeka. Mereka selanjutnya ke rumah Nishimura.

Terjadi percakapan antara Nishimura dan Hatta dkk:
Nishimura:Jepang tidak bisa mengubah status Quo, tentara jepang telah menjadi alat Sekutu. Sayang Jepang tidak bisa menolong para pemimpin Indonesia menyelenggarakan Kemerdekaan.

Hatta: (Memperingatkan Janji Jepang pd Soekarno-Hatta-Radjiman-lewat Jenderal Terauchi)

Nishimura: Tapi sekarang Rapat PPKI terpaksa kami larang.

Hatta dkk: Kalau jepang tidak bisa memenuhi janjinya, Rakyat Indonesia akan memerdekakan dirinya, Jepang jangan coba-coba menghalangi.

Nishimura: Kami hrs menghalangi terjadinya perubahan pd Status Quo.

Hatta dkk: apakah Jepang akan menembaki Pemerintah Indonesia ?

Nishimura: Apa boleh buat, tapi Bersabarlah Sekutu memperhatikan keinginan Bangsa Indonesia, kami terpaksa menjilat pada Sekutu.

Jam 24.00: sidang PPKI di rumah Laksamana Maeda di hadiri para pemimpin Pemuda,Pergerakan dan anggota Cuo Sangi In,sementara itu diluar berkumpul banyak Pemuda

17 Agustus 1945: jam 10.00 pagi proklamasi di bacakan oleh Ir.Soekarno dihalaman tempat kediamannya, jalan. Pegangsaan Timur 56 Jakarta yang dihadiri sekitar 500 orang yang terdiri dari : Para Pemuda, kaum pergerakan, Barisan Keamanan,dan massa Rakyat Jakarta.

(1945-1949)

Pada masa Revolusi Nasional Para Pemuda, pelajar dan Intelektual tergabung dalam Laskar Rakyat,Tentara Pelajar, Serikat Buruh dan Partai-Partai politik (Parpol). Bahasa sama pada waktu itu;mempertahankan Dan Menyelesaikan Revolusi Nasional. Karakter dari Pemuda, Pelajar adalah Anti Imperialisme.

Dikeluarkannya Maklumat X oleh KNIP mendorong berdirinya partai-partai politik. Hal ini sebenarnya sangat kontra revolusi karena dapat memecah belah persatuan rakyat Indonesia yang di kotak-kotakan oleh partai-partai politik yang tumbuh bak cendawan di musim hujan.

Gerakan yang ada pada saat itu (Berupa laskar-laskar, seperti laskar pemuda, laskar pelajar, dan laskar lainnya) juga ikut terkotak-kotakan oleh partai politik. Hal ini mengakibatkan seringnya terjadinya bentrokan-bentrokan antar laskar-laskar bersenjata yang dimiliki oleh partai-partai tersebut. Seperti bentrokan antara Laskar merah dari PKI dengan Front Hizbullah dari Masyumi, atau Laskar Bambu Runcing/Laskar Rakyat Jakarta Raya sayap bersenjata dari Persatuan Perjuangan dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pasukan pemerintah.

Strategi pokok yang dipakai pada waktu itu adalah Perjuangan diplomasi sambil sedikit melalui perjuangan Bersenjata (Dalam Laskar Rakyat).

Pasca Revolusi Kemerdekaan

Polarisasi Kekuatan Dunia

Menelaah Sejarah Gerakan Mahasiswa, sangat erat kaitannya dengan menelaah Situasi Nasional Sejarah politik, ekonomi 1950-1960-an.

Juga tidak bisa tidak harus mempertimbangkan situasi Internasional yang melingkupi. Sejak Pasca perang dunia II, negara-negara yang dulu tergabung dalam aliansi Fasisme, Jepang, Italia dan Jerman terpecah menjadi 2 Blok Blok Barat yang berideologi Liberal-Kapitalis yang dipimpin Amerika Serikat dan Blok Timur yang berideologi Kerakyatan*Sosialis-Komunis dengan Pimpinannya USSR (Uni Soviet Sosialis Republik), polarisasi ini membawa Bumi kedalam kekuatan Militer, Politik yang di kenal dengan Perang dingin.

Selain Indonesia yang pada saat itu baru merdeka, banyak negara-negara lain di Afrika, Asia dan Amerika Latin mengumandangkan kemerdekaannya. Perlu di ketahui bahwa sebagian besar Negara-Negara yang baru merdeka tersebut pada umumnya bebas dari cengkeraman-Cengkeraman dari Negara-Negara Imperialis yang berideologi **Liberal Kapitalis maupun ultra Nasionalist Sempit atau yang dikenal dengan ***Fasis.

Atas dasar hak setiap bangsa di Belahan dunia untuk merdeka dibentuklah Konferensi Asi Afrika sebagai Gerakan dari Negara-Negara Asia, afrika, maupun Amerika Latin yang tidak mau terlibat dalam polarisasi ke 2 negara tersebut.

Amerika pada saat itu di pimpin oleh seorang Purnawirawan Jenderal yang sangat Konservatif-Eisenhower-bekas panglima Sekutu di Eropa.

Eisenhower bertekad setelah menghancurkan Fasisme, tiba saatnya menhancurkan Komunisme dan para simpatisannya.

Dalam konteks itu ia berprinsip bahwa”bersikap Netral itu Amoral. Padahal inti dari Konfrensi Asia Afrika dan Gerakan Non Blok adalah sikap sebagai bangsa yang Berdaulat, bebas menentukan nasib sendiri.

Setelah kemerdekaan bentuk negara Indonesia berganti menjadi RIS (negara federasi) pasca perjanjian KMB dan UU yang berlaku adalah UUDS 1950 yang membatasi kekuasaan presiden Soekarno dan menyerahkan kepengurusan pemerintahan kepada Perdana Menteri. Sistem pemerintahan ini dinamakan sistem Parlementer. Ternyata dalam perjalanannya tidak ada Perdana Menteri beserta kabinetnya yang mampu bertahan lama karena antar partai politik yang duduk di parlemen saling menjatuhkan.

Tahun 1953, juga telah dilangsungkan pendaftaran pemilih bagi keperluan pemilu yang akan diselenggarakan pada tahun 1955. Pemilu pertama ini berpegang pada prinsip LUBER (Langsung Umum Bebas Rahasia). Pemilu ini adalah yang pertama kali diselenggarkaan setelah Indonesai merdeka. Ada pun susunan pemenang pemilu adalah sebagai berikut :

1. PNI 57 kursi.
2. Masyumi 57 kursi.
3. Partai NU 45 kursi.
4. PKI 39 kursi.
Hal yang cukup mencengangkan adalah hasil yang signifikan yang diraih oleh PKI karena pada saat itu banyak orang menilai pasca peristiwa Madiun, kondisi PKI sudah hancur disebabkan karena banyak pemimpin-pemimpin partai (Musso, Amir Syarifudin, Maruto Darusman, Oey Gwe Hwat, Suripno tewas).

Masyumi cukup puas dengan mempunyai Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Partai Katolik (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia – PMKRI), Parkindo GMKI, ketiganya bernafaskan agama yang bersama-sama dengan 4 organisasi lokal lainnya yaitu Perhimpunan Aktivis Kedokteran Hewan (bogor), Masyarakat Mahasiswa Malang (MMM) membentuk Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI). PPMI merupakan wadah organisasi ekstra universitas di tingkat nasional. PPMI dibentuk oleh 7 organ ini melalui konfrensi mahasiswa di Malang pada tanggal 8 – 10 Maret 1947.

Pada 8 Juni 1950, bergabung pula Badan Kongres Mahasiswa Indonesia (BKMI), Federasi dari 5 organisasi mahasiswa lokal yang berada dibawah pendudukan Belanda pada masa perang kemerdekaan seperti Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Bandung (PMIB) yang kemudian berkembang menjadi Perhimbunan Mahasiswa Bandung (PMB) dan Ikatan Mahasiswa Bandung (IMABA), Perhimpunan Mahasiswa Surabaya (PMS) yang kemudian berubah menjadi Gerakan Mahasiswa Surabaya (GMS), Perhimpunan Mahasiswa Bogor (PMS) kemudian menjadi Masyarakat Mahasiswa Bogor (MMB), Perhimpunan Mahasiswa Indonesia Jakarta (PMIJ) kemudian menjadi Gerakan Mahasiswa Djakarta (GMD), Ikatan Mahasiswa Djakarta (IMADA), serta Perhimpunan Mahasiswa Makasar.

SITUASI POLITIK NASIONAL (Pertarungan Elit Politik)

Keterlibatan Militer di bawah komando AD, dalam lapisan Pemuda,Pelajar/mahasiswa di mulai dari penandatanganan”Piagam Kerja sama pada tgl 17 Juni1957 yang di tanda tangani oleh Sukatno (Sekjend Pemuda Rakyat) SM.Thaher (Pemuda Demokrat) A.Buchori (GPII), K.H Wahib Wahab (Ansor) dan Let.Kol Pamurahardjo (AD). Strukturalisasi ini di nyatakan dalam Badan Kerja Pemuda Militer(BKS-PM). Fase ini adalah titik dimana Pergeraakan Mahasiswa mulai dilirik.

Pertarungan antara elit adalah yang melatar belakangi Gerakan Mahasiswa Indonesia, selain tentu saja hal itu tidak terlepas dari kematangan-kematangan Ideologi-Ideologi yang ada dibanding tahun sebelumnya.

Gerakan Mahasiswa Thn 1966 perlu dibeberkan secara lebih proporsional, secara Kritis dalam memahami aspek Gerakan Mahasiswa beserta dampak yang di timbulkannya di tengah-tengah rakyat Indonesia.

Sebab bila dibandingkan dengan yang lain Gerakan Mahasiswa thn 66 paling besar Klaimnya terhadap pembentukan Politik, maupun dampaknya terhadap pembentukan opini rakyat hingga saat ini.

Selain merupakan Sejarah “Paling Gelap”selain sangat Kontroversial.

Pemaparan ini setidaknya membawa ”Dimana sebenarnya Gerakan Mahasiswa itu bersifat Otentik atau berdasarkan Moral Force dalam menghantam kekuasaan. Dimana sadar atau tidak Gerakan Mahasiswa terjebak dalam Permainan politik pihak lain. Apakah itu Militer, dan Parpol yang ada saat itu.

Hal ini menjadi persoalan yg sangat krusial yang menyelubungi Gerakan Mahasiswa 66. Karena itu perlu didapatkan rekonstruksi baru berdasarkan data-data baru,

Pertarungan antara berbagai kekuatan Politik pada Sektor Mahasiswa (baca;Student) merupakan pertarungan Ideologi antara Elemen progresif yang bersandarkan pada politik kerakyatan yang berbasiskan pada kekuatan-kekuatan Mayoritas Rakyat yaitu; (Buruh,Tani).

Dibawah Payung GMNI ”Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (PNI-Asu)- Partai Nasional Indonesia Ali Sastroamijoya dan Ir. Surachman, Perlu di ketahui GMNI terfragmentasi menjadi 2 kubu yaitu GMNI-nya Ali- Surachman yang Kerakyatan (Kiri) sependapat dengan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dipimpin oleh Hardoyo, yang dikenal berada di bawah PKI. Dengan GMNI yang masih dianggap menjalankan misi Nasionalis (GMNI-Osa usep – Osa Maliki dan Usep Ranuwijaya) yang diidentifikasi sebagai nasionalis kanan dan anti PKI. Elemen Student lainnya yang reaksioner adalah HMI, PMKRI,dan GMSos.

Karakter mahasiswa yang pertama di sebutkan diatas adalah Anti Imperialisme dan Feodalisme. pekikan-pekikan seperti; Anti Neo Kolonialisme, Ganyang Kapitalis Birokrat, Ganyang Kaum komprador, Amerika kita setrika Inggris kita linggis adalah bahasa yang di kumandangkan dalam setiap aksi.

Sedangkan pekikan-pekikan student yang ke dua Komunisme satelit Soviet, Anjing Peking, Diktator, Komunisme menghalalkan segala cara adalah bahasa-bahasa yang sama di kumandangkan oleh pihak-AD, Masyumi, PSI, NU.

Politik Indonesia saat itu diwarnai”Pertentangan antara ABRI, Soekarno- PKI dalam merebut panggung politik .

Soekarno dengan semboyan NASAKOM-nya bertemu secara ideologi dengan PKI saat itu. Apalagi saat itu dengan slogan Amerika kita seterika Inggris Kita Linggis dan “Go to Hell With your aids” adalah salah satu pertanda indonesia dalam kepemimpinan Soekarno Anti Blok Barat.

Militer karena ”merasa berjasa” dalam pembentukan Republik menuntut hak-hak istimewa dalam Politik.Tidak jarang tekanan politik yang memakai cara-cara ”Politik Militer” dimainkan oleh pihak-pihak ABRI saat itu.

Salah satu contonya, termasuk Nasution Kolonel Zulkifli Lubis dan Kemal Idris pada 17 Oktober 1952 yang menuntut di lakukannya perubahan politik yang menjamin aspirasi mereka dengan cara mengepung istana dengan persenjataan lengkap dengan mengarahkan moncong meriam ke Istana negara.

Selain itu Hadirnya Partai-partai Politik antara tahun 1955 sampai 1959 menambah kekuatan baru.

Militer melihat tidak efektif dalam memutuskan suatu masalah, sedangkan permasalahan membutuhkan penyelesaian yang cepat. Sedangkan bagi Soekarno Banyaknya partai menyalahi semangat Revolusi.

UU Darurat di berlakukan mengingat banyaknya pemberontakan yang terjadi, menambah peluang ABRI bisa berbuat lebih banyak.termasuk dapat mengawasi DPR hasil pemilu 1955.

Karena dengan alasan situasi yang tegang dimasyarakat, dengan Demokrasi Parlementer yang goyang, jatuh bangunnya kabinet, adalah alasan yang tepat mengeluarkan Dekrit Presiden kembali ke UU 45.

Juga tidak hanya hasil sidang konstituante yg di buang, DPR dan Badan Konstituante hasil pilihan rakyat 1955 turut di bubarkan.(menurut Petter Bitten ”Keberhasilan Militer mendorong Soekarno adalah kemenangan yg sesungguhnya bagi Kaum Militer”.

Sebab dengan di berlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959: kembali ke UU 45 dengan sendirinya memberi peluang kepada Soekarno untuk memeperoleh kekuasaan UU yang bersifat presidensil tersebut yang memberikan kekuasaan yg sangat besar pd Soekarno, selama demokrasi parlementer yang memberikan kekuasaan eksekutif pada perdana menteri.

Namun dengan di berlakukannya UUD 45 merupakan satu keuntungan bagi Militer. Sebab dengan begitu dapat memberikan keuntungan yang besar. Disinilah kelihatan Bargaining Politik yang aneh antara Militer dan Soekarno.

Sadar akan kekuatan politik yang ada Soekarno kemudian menggandeng Partai/Organisasi besar:NU, PNI dan lebih condong ke PKI. Pembentukan Front Nasionalisme, agama dan Komunis (Nasakom) membuat militer semakin terpojok. Indonesia makin ke Kiri setelah menerima senjata dari Soviet, yang bermula keengganan Amerika membantu persenjataan dalam masalah irian Barat. Padahal Tentara Indonesia baik yg berlatar belakang dari KNIL maupun PETA mayoritas Anti Komunis, ditambah lagi saat itu banyak perwira Militer di Indonesia banyak di latih Di Amerika Serikat. Program pelatihan tersebut yang jelas anti komunis selain itu minat utama A.S adalah menggunakan Indonesia sebagai tameng dalam menghadapi Komunis.

Di kabinet Militer menguasai 1/3 kursi,&1/3 Gubernur dari wilayah-wilayah itu adalah orang-orang militer.

MILITERIS DAN PKI

dI tahun 1960 Undang-Undang Landreform lahir yaitu UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) & UUBH (Undang-Undang Pokok Bagi Hasil) Intinya tidak boleh mempunyai tanah terlalu luas walaupun orang tersebut membelinya, hal ini adalah awal Pertentangan antara Militer, NU, dan sebagian PNI yang merupakan tuan tanah dengan PKI, PKI menginginkan agar UU itu dijalankan secara konsekwen tapi ternyata AD dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya kurang puas. AD sebagai kekuatan Militer yg terkoordinasi dan mempunyai kelebihan yg tidak di punyai oleh kelompok lain adalah “Kepemilikan tunggal Senjata” merasa bahwa atas usaha sebagian besar dari mereka dalam mempertahankan Repulik merasakan Soekarno terlalu dekat dgn PKI (telah di sebutkan diatas).PKI dalam melakukan aksinya yaitu melakukan perampasan tanah-tanah yang tidak sesuai dengan UU Landreform tersebut, kadang dalam perampasan tanah kekerasan terjadi hingga jalan masuk ini yg di gunakan oleh pihak AD hingga didaerah yg keras sering terjadi pertumpahan darah.
Selain itu masalah-masalah seperti Pembebasan Irian Barat, pemberontakan-pemberontakan yang terjadi (DI/TII-Masyumi, PRRI/PERMESTA- PSI, Konfrontasi dengan Malaysia, penurunan mata uang dari 1000 ke 100 rupiah (scenering).
Situasi international ditahun-tahun terakhir pemerintahan Soekarno sesungguhnya semakin menghangatnya perang dingin antara Blok imperialis A.S dengan kekuatan NATO melawan Blok Komunis Uni Sovyet dengan Pakta Warsawanya. Sedangkan Indonesia berada di bawah pimpinan Bung Karno berada dalam kekuatan negara ke 3 yang sedang berjuang memerdekakan negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin sebagai bentuk kekuatan baru yang sedang tumbuh yang oleh Bung Karno dinamakan “The New Emerging Forces” melawan “The Old Established Forces”. Dalam situasi seperti inilah para kaki tangan imperialisme dunia didalam negeri bermain untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Sebagai buktinya di ketemukan dokumen Gilchirst dikedubes Inggris yang pada waktu itu didemonstrasi dan diobrak-abrik oleh ormas-ormas yang tergabung dalam Front Nasional. Isi dari dokumen tersebut adalah dukungan kepada “Our Local Army Friend” untuk menjatuhkan Soekarno. Selain itu ada juga peristiwa lainnya seperti Penggayangan aktivis-aktivis Manikebu oleh Lekra/PKI dan LKN-PNI, melihat kedekatan Soekarno kepada PKI, dan pengikut setia Soekarno melihat bahwa ajaran Soekarnoisme telah diselewengkan, maka mereka mendirikan Barisan Pendukung Soekarno (BPS) dibawah pimpinan Sayuti Melik yang reaksi berikutnya dari PKI adalah menuntut pembubaran BPS. BPS kemudian dibubarkan oleh Soekarno pada tanggal 17 Desember 1964. Aksi-aksi pemboikotan Film AS dan tindakan terhadap Asosiasi Film Amerika (AMPAI) dan Bill Palmer, pengambil alihan perusahaan-perusahaan Inggris, pembubaran partai Murba, pengganyangan terhadap hal-hal yang berbau kebudayaan barat (musik ngak-ngik-ngok), aksi pengganyangan 3 setan kota (koruptor, kapitalis birokrat, birokrat komprador) dan 7 setan desa, pengganyangan menuntut pembubaran HMI (sayap mahasiswa masyumi) pada saat rapat akbar Pemuda rakyat dan CGMI seperti nampak pada pidato D.N Aidit bahwa CGMI “lebih baik pakai sarung jika tidak bisa membubarkan HMI ”. Bentrokan-bentrokan antar golongan mahasiswa reaksioner seperti HMI, PMKRI, GMKI, GMNI-Osa-Usep dengan CGMI dan GMNI-Asu. Aksi-aksi menentang agresi AS terhadap Vietnam.

Sebagai reaksi terhadap aksi-aksi dari kelompok kiri, kaum reaksioner dalam negeri (AD) yang berkomplot dengan kaum imperialis As juga meningkatkan aktifitasnya menimbulkan provokasi-provokasi.

Dan pada puncaknya semakin terakumulasi sampai peristiwa G 30 S, menurut versi Angkatan Darat dan Gestok menurut Soekarno. Yang semakin membuyarkan harapan massa rakyat saat itu. Harga-Harga barang semakin naik. Dengan adanya masalah-masalah tersebut mahasiswa mulai melakukan protes untuk mengkritik keadaan tersebut.

Pada mulanya gerakan ini masih sangat terbatas jumlahmya, hanya sekitar 75 orang paling banyak.Tema utama dari Demonstrasi tersebut adalah Mengutuk Gerakan Kontrarevolusi dan GESTAPU dan semua tuduhan itu ditujukan kepada PKI beserta ormas-ormasnya.
Seluruh Media Massa sudah dibredel oleh militer, sumber informasi hanya dapat diperoleh dari koran berita Yudha (harian militer AD), sehingga massa dengan mudah dipengaruhi. Yang melakukan aksi pada saat itu tidak saja dilakukan oleh pemuda, pelajar/mahasiswa saja tapi Parpol dan organisasi sosial lainnya bahkan tentara turut serta. Pembubaran PKI serta Turunkan harga kebutuhan pokok adalah tuntutan-tuntutan umum saat itu.

Gerakan Mahasiswa yang ada dan demonstrasi yang di lakukan mereka bersifat lokal dalam arti hanya sekitar kampus, Kota ataupun Kedaerahan. Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) saat itu Mayjen.Sjarif Thajeb memberikan saran agar dibuat organisasi nasional.
Mahasiswa menyambut maka pada tgl 25-Oktober 1965 terbentuklah Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Tgl 10 Juni 1966 mahasiswa mendeklarasikan Heri Kebangkitan Mahasiswa sambil mengusung TRITURA (3 tuntutan Rakyat) Bubarkan PKI, Re Tool Kabinet Dwi kora danTurunkan Harga. Dukungan terhadap mahasiswa justru mendapat sambutan dari masyarakat bawah.
Mulai dari tulisan di pamflet-pamflet, coretan-di dinding tembok kantor pemerintah sampai mendatangi para pejabat bahkan kedutaan-kedutaan asing, seperti RRC yang dituduh melakukan banyak intervensi terhadap Indonesia.
Gerakan mahasiswa ini dituduh sebagai Agen CIA, namun beberapa pimpinan KAMI mengatakan “aksi kami karena terdorong oleh keadaan rakyat yg semakin sengsara.”
“kalaupun ada yang menunggangi kami maka merekalah yang menunggangi Amanat Hati Nurani Rakyat. Dalam satu ketika mereka mengatakan ”aksi kami adalah Moral Force.”

Yozar Anwar ”penerjemah bukuPergolakan Mahasiswa Abad 20”-seorang presidium KAMI mengatakan ”GM muncul sebagai curahan perasaan rakyatyg mendambakan perubahan untuk kemajuan

Dukungan KAMI semakin luas tidak hanya dari Parpol maupun Organisasi sosial lainnya.
Dalam Rapat apel siaga Jend.Nasution hadir dalam apel di Aula UI. Pangkostrad Mayjen Soeharto ”Batista” Presiden dari Indonesia hanya memberikan sambutan tertulis.
KOSTRAD dan RPKAD yang telah lama membantu mahasiswa baik dalam penjagaan ketika aksi, melakukan rapat-rapat untuk konsolidasi.
Sebagaimana yang di ucapkan Kemal Idris: untuk menghindari penculikan-penculikan mahaisswa oleh Pasukan Cakrabirawa maka Tokoh utama KAMI seperti : Cosmas Batubara, Abdul.Gafur, David Napitupulu mendapat perlindungan dari KOSTRAD,
Bahkan mereka sampai menginap di Asrama tersebut. Ini bukanlah kerelaan hati maupun kikhlasan Militer tapi merupakan bagian dari Pertarungan Kekuasaan.
Akhir cerita PKI beserta ormas-ormasnya dibubarkan dan dilarang serta berikutnya setelah itu adalah penangkapan 15 menteri dari kabinet 100 menteri. Soekarno sendiri pada akhirnya diturunkan lewat keputusan rapat MPRS yang pada saat itu keanggotaannya sudah diganti dengan orang-orang yang pro-Jend. Soeharto dikuatkan dengan penetapan TAP MPRS No. 33 tahun 1967. Maka akhir cerita selesailah orde lama dan pupus sudah cita-cita masyarakat sosialis Indonesia, karena berikutnya dibawah kepemimpinan Soeharto Indonesia bergabung dengan blok kapitalis-imperialis Amerika. Serta menolak kebijakan Komunisme.
Pada masa ini pula mulai ada pemisahan antara pemuda dengan mahasiswa, dan mahasiswa mulai terpisah dari akar rumputnya, yaitu masyarakat. Pada saat ini pula Indonesia membuka pintu yang selebar-lebarnya untuk masuknya modal asing yang itu akan dipergunakan untuk menghisap Sumber Daya Alam Indonesia dan menghisap seluruh rakyat Indonesia.

Orde Baru.
Naiknya Soeharto membuat seluruh oposisi hancur dengan dibubarkannya PKI dan organisasi afiliasinya tidak ada organisasi yang berbasis massa yang mengkritik pemerintahan yang didominasi militer. Kelompok kelas menengah muslim maupun yang sekuler mendukung apa yang dinamakan Orde Baru, seperti juga banyak aktivis mahsiswa. Tetapi segera menjadi jelas bahwa kelompok komunis bukanlah satu-satunya kelompok yang mendapat derita dari pemerintahan baru.

Sejak pemimpin baru mencoba mengontrol masyarakat dan mencegah berkembangnya setiap bentuk organisasi independen, banyak aktivis kelas menengah menjadi sadar dan mulai mengkritik rezim. Sejak 1970 sampai Januari 1972 protes dialamatkan pada tindak korupsi khususnya yang terjadi di perusahaan minyak negara (pertaminta). Proyek Taman Mini Indonesia yang juga di sponsori istri presiden merupakan target berikutnya. Januari 1972, pemerintah menindak protes-protes tersebut dengan menangkapi para pemimpin mahasiswa maupun editor media massa. Arief Budiman salah seorang pemimpin mahasiswa pindah ke Luar Negeri setelah huru-hara.

Banyak aktivis kelas menengah mengambil perdebatan yang lebih modern dan kurang konfrontatif. Mereka mendirikan LSM yang menangani isu-isu pembangunan perempuan, lingkungan dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena profile politik mereka yang rendah. Mereka lebih meloloskan diri dari bentuk-bentuk penindasan yang lebih hebat agar bisa melanjutkan advokasi mereka.

Aktivis-aktivis mahasiswa yang lebih radikal tidak dengan pendekatan moderat LSM itu. Tahun 1974 satu generasi baru aktivis mahasiswa menggalang demonstrasi untuk memprotes kebijakan pembangunan dan dominasi modal Jepang di Indonesia. Mereka di pengaruhi teori kemandirian (Independent Teori) dan barangkali juga oleh demonstrasi mahasiswa di Thailand tahun 1973 yang mengakibatkan berakhirnya rezim militer disana. Protes ini didukung unsur-unsur militer.

Hariman Siregar mengaku telah ,mengantongi dukungan dari sejumlah pengusaha Indonesia. Menyusul demonstrasi dan kerusuhan 15 Januari 1974 (dikenal dengan Malari) beberapa pimpinan mahasiswa diantaranya Hariman dipenjarakan. Setelah peristiwa Malari Kopkatip Sudomo mensinyalir kehidupan kampus menjadi apatis. Dr. Syarif Tayeb (mendiknas) menerapkan SK. 028 sebagai tempurung untuk mengurung gerakan mahasiswa hanya di dalam kampus.

Pada masa itu pemerintah begitu kelihatan menerapkan security aproach. Penguasa militer misalnya Pangdam biasanya dalam mengadakan brifing justru kesempatan ini dimanfaatkan oleh mahasiswa untuk mendesak pencabutan berbagai larangan yang mematikan mahasiswa. Perjuangan berat untuk melepaskan diri dari belenggu kekuasaan itu supaya ditempuh dengan berbagai cara, dengan membentuk grup-grup diskusi dikampus, pagelaran kesenian (teater) yang banyak memebrikan sindirian terhadap situasi kehidupan politik saat itu, pembacan puisi yang kebanyakan ekspresi kritik sosial, menjamurnya perkumpulan musik rakyat yang dipentaskan dalam acara kemahasiswaan.

Tahun 1977- 1978 lagi-lagi mahasiswa menentang rezim orde baru sekalian demokrasi dan HAM merupakan konsep kunci gerakan mahasiswa ini. Tahun 1977 banyak persitiwa penting yang dicatat mengenai lahirnya gerakan mahasiswa seperti pertemuan di kota malang jatim atas prakarsa mahasiswa yang bergerak di bidang Pers, akhir tahun 1970-an dan 80-an terjadi pula kerusuhan buruh gelombang pemogokan melanda wilayah perindustrian Jakarta tapi setelah ada intervensi militer frekuensinya menurun tajam.

Perjuangan buruh saat itu tidak terkait dengan protes-protes mahasiswa dan kelas menengah lain. Menyusul demonstrasi anti pemerintah 1978 aktivitas politik dikampus dilarang melalui kebijakan yang dikenal dengan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) / Badan Koordinasi Kampus (BKK).

Hal ini mengantarkan pada terciptanya forum-forum lain untuk diskusi dan aktivitas politik kelompok studi dan LSM. Kelompok-kelompok studi dibentuk oleh mahasiswa memainkan peran penting dalam memasukan ide-ide radikal dari teori kemandirian Marxisme, Feminisme, Islam radikal, dan Teologi Pembebasan.

Suatu media mahasiswa informal bangkit. Seiring dengan perkembangan pembangkangan di bawah ini muncul pula beberapa pembangkang elit. Pada tahun 1980, beberapa pensiunan jendral, mantan politisi sipil, intelektual dan tokoh mahasiswa mengeluarkan pernyataan keprihatinan yang mengkritik presiden Soeharto atas idiologi negara pancasila dan konsep dwi fungsi ABRI. Pernyataan ini lebih dikenal dengan petisi 50. Akhirnya penandatangannya dilarang meninggalkan Indonesia, kontak dengan media, dan disisihkan dari kehidupan elit.

Banyak kelompok digenerasi baru aktivis mahasiswa yang berkembang pada akhir 80-an mencoba menghubungkan diri dengan pekerja dan petani. Yang semakin menuntut kondisi yang lebih baik. Demokrasi dan HAM menjadi kata kunci dalam perjuangan tersebut dan banyak LSM baru yang vokal dan radikal dibentuk pada akhirn 1980 dan awal 1990.

Pengalaman dibawah pemerintah orde baru tentunya melahirkan bibit-bibit pembangkang prodemokrasi. Dibalik perkembangan prodemokrasi adalah struktur kelas yang sedang berubah dengan tumbuhnya kelas pekerja dan menengah. Pemikiran baru Islam juga ikut menyumbang bagi tersebarnya nilai-nilai demokrasi.

Untuk menguraikan secara lebih rinci aktor prodemokrasi yang berbeda-beda membuat analisis ini teratur ada baiknya dibedakan 4 kategori aktor :

Kelompok pembangkang elit dan intelek.
Generasi LSM senior.
Aktivis Mahasiswa.
Generasi baru LSM dan prodemokrasi dan Hak Asasi Manusia.

Selain isu-isu demokrasi dan Ham ada 2 isu spesifik yang memiliki nilai penting yang saman sehingga perlu mendapatkan perhatian khusus. Ini adalah politik kelas bawah, yakni isu-isu kelas buruh dan tani. Isu ini digarap oleh lebih dari 2 aktor yang tersebut pada penggolongan diatas.

Di tahun 1980 sebuah kajian tentang pembangkangan mahasiswa di Indonesia, menyimpulkan laporan tetang 155 demonstrasi mahasiswa dalam periode 1987-1990 bertentangan dengan protes-protes mahasiswa tahun 1970 yang berfokus pada isu-isu nasional, misalnya strategi pembangunan dan peran modal asing serta korupsi. Gerakan mahasiswa pada akhir 1980-an dan awal 1990-an berkonsentrasi pada isu-isu lokal. Mahasiswa memihak rakyat miskin yang dipaksa meningkat oleh pemerintah (kaki tangan pemodal)

Salah satu contoh mengenai aliansi antara mahasiswa dan petani, adalah Kelompok Solidaritas Pembangunan di Kedung Ombo (KSKPKO) kelompok ini meliputi mahasiswa-mahasiswa dari 45 Universitas dan akademi, seniman, pekerja sosial, dosen, dan sebagainya. Kolaborasi oleh aktivis-aktivis mahasiswa dengan rakyat miskin di pedesaan dan perkotaan, merupakan wajah baru aktivisme mahasiswa di era orde baru. Kontak intensif antar aktivis mahasiswa diberbagai kota melalui kelompok-kelompok study dan Pers mahasiswa merupakan ciri lain yang membedakan gerakan mahasiswa yang baru ini. Sementara aktivisme mahasiswa pada 1970-an terkonsentrasi terutama di Jakarta dan Bandung, gerakan mahasiswa yang baru ini jauh lebih tersebar luas. Bertentangan dengan tahun 1970-an, ketika aktivis mahasiswa di organisasi dalam lembaga-lembaga kemahasiswaan resmi, generasi baru aktivis mahasiswa ini membentuk sejumlah besar kelompok aksi dengan sasaran khusu, mempunyai kesadaran politik lebih tinggi dan lebih siap dalam mengambil resiko aksi politik dibanding generasi gerakan mahasiswa sebelumnya.
Hanya sekitar 0,6 % dari penduduk Indonesia adalah mahasiswa, dan dari jumlah ini hanya sebagian kelompok yang amat kecil, kurang lebih 1 % yang dapat dicap sebagai aktivis, kabanyakan mahasiswa di Indonesia bersikap pasif dalam politik jika tidak apatis.
Mahasiswa Indonesia terutama berasal terutama dari kelas menengah dan karena itu ekonomi relatif aman. Banyak dari aktivis mahasiswa radikal adalah anak dari elit militer dan elit politik serta barang kali karenanya mendapatkan perlindungan politik. Solidaritas mereka terhadap petani dan buruh serta ketertarikan mereka pada teori-teori politik yang menentang kepentingan-kepentingan kapitalis “menunjukan bahwa” peran mereka dalam perkembangan politik saat ini adalah lebih merupakan bagian dari peningkatan protes masyarakat.
Meskipun beberapa aktivisme mahasiswa telah dibiarkan oleh otoritas, cara penindasan telah dipergunakan untuk mengontrol gerakan mahasiswa. Pertemuan-pertemuan dan demonstrasi sering dibubarkan secara kasar dan publikasi terhadap gerakan mahasiswa dilarang. Sejumlah aktivis mahasiswa dipenjarakan pada akhir 80-an dan awal 90-an, menyusul pengadilan-pengadilan politik. Kasus yang paling terkenal diantaranya adalah kasus “dua” Bambang dan Bonar di Yogyakarta. Bambang Subeno, seorang mahasiswa ilmu politik UGM, ditangkap pada 9 Juni 1988 karena menjual buku terlarang karya Pramudiya Ananta Toer. Pada September 1989 dia dinyatakan bersalah atas tuduhan subversif dan dihukum 7 tahun penjara. Temannya Bambang Isti Nugroho, seorang asisten Lab. Fisika UGM dan Koord. (Kelompok Study Palagan) ditangkap pada 20 Juni 1988 juga karena tuduhan menjual buku-buku terlarang (berbau Marxis) September 1989 dia dihukum penjara. Juni 1994 kedua Bambang diberi kebebasan bersyarat. Bonar Tigor Naipospos ditangkap pada Juni 1989. Ketika itu ia sedang menyiapkan thesis pada gerakan mahasiswa 80-an dan dia sendiri adalah tokoh mahasiswa terkemuka yang aktif dalam kelompok-kelompok study di Yogya. Tahun 1990 dia dihukum 8 tahun, 6 bulan penjara. Dia diberi pembebasan bersyarat pada bulan Mei 1994. Aktivis mahasiswa lainnya yang diadili pada 1980-an dan 1990-an diJakarta adalah Bambang Beator Suryadi yang ditangkap pada Agustus 1989 karena menyebarkan pamflet dan mengorganisir demonstrasi menentang kenaikan listrik.
Peradilan penting lain terhadap aktifis-aktifis mahasiswa terjadi diBandung menyusul demonstrasi menentang kunjungan Mendagri Rudini ke kampus ITB pada 5 Agustus 1989. 6 mahasiswa menerima hukuman masing-masing 3 tahun. Pada 14 Desember 1993 sekitar 200 mahasiswa yang tergabung dalam jaringan FAMI berdemonstrasi didepan parlemen mereka menuntut diakhirinya pendekatan keamanan bagi masalah-masalah sosial dan berpendapat Presiden Soeharto bertanggung jawab terhadap penyelewang HAM. Salah satu slogan mereka berbunyi “Seret Presiden Kehadapan SI-MPR”. Demonstrasi ini berlangsung selama beberapa jam, tapi secara tiba-tiba dengan kasar dibubarkan paksa oleh militer. Beberapa mahasiswa terluka dan 21 orang ditangkap. Selama pengadilan terhadap 21 mahasiswa itu terjadi demonstrasi di pengadilan maupun aksi solidaritas di banyak kampus di Indonesia. Didalam persidangan tersebut mereka melihat bahwa hakim hanyalah alat pemerintah. Pelanggaran HAM oleh orde baru mulai dari penyembelihan orang-orang yang dianggap komunis (tahun 1965-66), aksi teror di aceh, Timor-timor, Papua Barat, biasanya dibahas dan dikutuk.

Ketimpangan sosial merupakan perhatian utama generasi baru aktivis mahasiswa, buku-buku berhaluan kiri banyak dipelajari seperti buku-buku Paulo Ferre, D.N Aidit, Tan Malaka dan buku lainnya.
Pada dasarnya aktivis mahasiswa 1990-an dapat dibagi menjadi 3 kategori utama yang menyangkut idiologi mereka. Yaitu :
kelompok-kelompok yang menggunakan wacana Marxis dan mencoba membangun gerakan massa yang mencakupi buruh dan petani.
kelompok populis kiri yang terlibat dalam demonstrasi-demonstrasi dan kampanye High Profile sering langsung menentang Presiden Soeharto.
kelompok Muslim.
Salah satu kelompok mahasiswa paling radikal dan aktif di Indonesia pada akhir 80-an adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Yogyakarta (FKMY). 1989 kelompok ini mengklaim memiliki 1500 anggota dari 20 Sekolah Menengah Umum dan Universitas di Yogyakarta. FKMY tidak membatasi kegiatannya di Yogyakarta saja. Kelompok ini juga aktif di Kedung Ombo dan mengirimkan orang untuk melakukan protes di Semarang dan Jakarta. Pada 1991 terjadi perpecahan di tubuh FKMY yang menghasilkan pendirian 3 kelompok baru utama :
Yang populis tetapi anti komunis.
Dewan Mahasiswa dan Pemuda Yogyakarta (yang lebih radikal).
Solidaritas Mahasiswa Yogyakarta dan Kelompok Muslim yang tergabung dalam serikat mahasiswa di UII.

Perpecahan itu terjadi karena ada profokasi internal masalah-masalah idiologi dan masalah-masalah pribadi (Subyektifisme). Sebaliknya aktivis-aktivis mahasiswa yang lebih radikal (yang kenyataannya tidak hanya memiliki perhatian pada isu-isu di dalam kampus) tapi mencoba menjangkau petani dan buruh mengklaim adanya perbedaan idiologi mendasar diantara organisasi-organisasi mahasiswa. Mereka melihat permasalahan di masyarakat dilandaskan pada analisa ekonomi dan politik. Sementara gerakan mahasiswa yang lain dilihat sebagai “kekuatan moral” semata.
Pada tingkat nasional perbedaan kecenderungan idiologis ini diwakili pada satu sisi oleh FAMI dan disisi lain oleh Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi (SMID). Setelah terjadinya pembantaian dan kerusuhan yang didisain oleh penguasa militer orde baru dikantor pusat PDI (27 Juli 1996) banyak aktivis SMID yang tergabung dalam Partai Rakyat Demokratik (PRD) ditahan.
Aktivis mahasiswa muslim termasuk yang ada di Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) mengorganisasi demonstrasi besar-besaran menentang judi milik negara (SDSB) pada tahun 1993. protes-protes keras terutama didasarkan pada nilai-nilai agama dan moral memaksa pemerintah untuk membubarkan usaha-usaha itu. Dan juga aktivis-aktivis mahasiswa muslim juga mengambil sikap solidaritas untuk muslim di Bosnia dan untuk menentang Korupsi.
Meskipun gerakan mahasiswa ini tidak memiliki basis kuat (massa luas) , ciri paling siknifikan dari generasi aktivisme mahasiswa ini adalah :
Bahwa dia telah melahirkan organisasi-organsiasi politik di Luar Kampus yang menyerukan perubahan politik dan sering kali mencari dukungan pada kaum buruh dan petani. Dengan demikian aktivisme mahasiswa pada akhir 80-an dan akhir 90-an turut ikut andil bagi radikalisasi oposisi demokratis di Indonesia.
Gerakan mahasiswa tersebut juga banyak belajar dari gerakan-gerakan mahasiswa dan rakyat yang terjadi di seluruh dunia seperti gerakan people power di Filipina menumbangkan rezim Marcos, gerakan menumbangkan pemerintah yang dikuasai rezim militer di Thailand dan Korea Selatan. Pengalaman gerakan buruh di Amerika Latin, Polandia dan Spanyol. Kejadian di Lapangan Tianamen (aksi protes mahsiswa di Cina). Sifat tanpa kekerasan dari gerakan massa di Filipina ditekankan sebagai pelajaran penting oleh banyak aktivis di Indonesia. Perlawanan bersenjata melawan kekuatan Fasis “militer Soeharto” dengan rezim orde barunya tidaklah mungkin, tetapi aksi massa yang massif bisa dipakai sebagai strategi untuk menumbangkan Soeharto. Pelajaran strategis yang lebih spesifik dapat juga diambil dari pengalaman pergerakan di Filipina. Kegagalan gerakan kiri di Filipina dalam mengambil kepemimpinan sewaktu menumbangkan rezim Marcos menunjukan pentingnya melengkapi gerakan bawah tanah (Ilegal) dengan sebuah payung yang resmi (Legal) “kami harus belajar dari kesalahan gerakan di Fiipina. Mereka lemah dari strategi tingkat atas. Organisasi kami akan seperti payung, tetapi tidak boleh ada hubungan apapun yang bisa terlihat dengan gerakan kami yang lain, sebab kalau terlihat bahwa ada hubungan antara keduanya, maka semuanya akan hancur bilamana diserang. Karena itu hubungan yang ada harus tidak kelihatan.”
Masuknya krisis kapitalis diseluruh dunia mengakibatkan guncangan yang hebat di Indonesia. Guncangan ini timbul berasal dari seluruh lapisan masyarakat. Sebelumnya perlu diingat bahwa pada awal 1990-an pers-pers kampus dipakai oleh para aktivis untuk menyebarkan propaganda. Selain itu kelompok-kelompok diskusi merupakan tempat untuk mencari dan mencetak kader. Sedangkan advokasi atau pendampingan petani atau buruh merupakan praktek dari teori yang didapat. Kesemuanya ini berjalan beriringan dan tidak terputus-putus.
Melonjaknya harga yang mengakibatkan keresahan pada seluruh lapisan masyarakat tidak disia-siakan oleh para aktivis mahasiswa, buruh, petani dan pemua yang ada dan para senior LSM. Pada akhirnya aksi merebak di mana-mana. Dari awal yang berjumlah puluhan dalam sekejab berubah menjadi ratusan ribu, dan ini serentak diseluruh Indonesia. Setelah pendudukan DPR/MPR oleh mahasiswa akhirnya tanggal 21 Mei 1998, Soeharto mundur dari presiden dan digantikan wakilnya.
Seiring perjalanan organ-organ mahasiswa bersatu dalam sebuah jaringan yang bersifat nasional, namun tidak lama, karena kemudian baik organsasi lokal maupun nasional pecah menjadi berkeping-keping. 29 Maret 1998 di Malang dideklarasikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia sebuah organisasi mahasiswa yang bersifat keagamaan. Bagi gerakan prodem sendiri hanya sampai kepada menuntut reformasi tanpa sebuah konsep negara setelah itu dan siapa yang memegang dan bersama dengan siapa. Ini tidak mengherankan karena situasi yang timbul selama tahun 1990-an. Mendorong mahasiswa untuk menjatuhkan sebuah pemerintahan.
GERAKAN MAHASISWA di Perancis, Jerman, Italia dan Jepang.
Gerakan Mahasiswa PERANCIS (1960-1970)
BANGKIT DAN JATUHNYA
Organisasi mahasiswa (UNEF) ”Union des Etudiants de France didirikan pada tahun 1911 yang bekerjasama dengan organisasi mahasiswa Internasional yang beraliran Sosialis dan Komunis. Tahun 1961 pemerintah dengan para pendukungnya membuat organisasi tandingan (FNEF)
Gerakan Mahasiswa Prancis terkenal dengan ”Krisis Mei” yang bermula dengan Pemogokan kuliah umum.
Latar Belakang Pemogokan
Diawali pada mahasiswa yang kuliah di cabang sorbonne, kampus Naterre, 20 km dari Prancis. Sistem Pendidikan dan semangat pendidikan yg menjunjung tinggi kebebasan akademik, mimbar bebas, mengeluarkan pendapat, mendorong terjadinya semangat dalam mendiskusikan berbagai macam ilmu khususnya Ilmu-ilmu sosial.
Tak heran perdebatan-perdebatan tentang Mao-tse-Tung, tulisan-tulisan Che Guevarra, Fidel castro, Herbert Marcuse menjadi pembahasan mahasiswa ataupun dosen.
Perdebatan timbul atas kritikan terhadap tulisan Herbert marcuse yang banyak mempengaruhi mahaisswa-mahasiswa radikal. Pernyataan Herbert Marcuse ini ”Mahasiswa saat ini terpanggil untuk memimpin gerakan yang bertujuan merubah sistem dan sistem masyarakat. Sebagaimana kata marcuse, pihak buruh tidak dapat di harapkan dalam usaha perombakan struktur masyarakat. Buruh-buruh sudah terbius oleh barang-barang yang serba mewah, sehingga persetan siapapun yabg jadi tuannya. Apakah orang/negara.
Perdebatan tersebut akhirnya diambil kesepakatan untuk melakukan aksi, terpilihlah Daniel Cohen Bendit terpilih sebagai ketua mahasiwwa jurusan sosiolog, 23 tahun. Organisasi yang dipimpinnya ini tidak mempunyai sebuah ikatan dengan anggotanya serta tidak mempunyai anggaran yang tertulis. Sehingga anggotanya meliputi individual serta kelompok mahasiswa yang cenderung Anarchy.
Pada mulanya gerakan ini dimulai dari kelompok kecil. Pada mulanya gerakan ini hanya menuntut agar di bebaskan bermain ke asrama putri, dan hal ini didukung oleh para orang tua mahasiswa Anarchy. Tuntutan kedua merkea pada universitas yaitu harus menyediakan ruang kelas untuk diskusi. Lobi-lobi dilakukan tapi tidak membuahkan hasil. Tanggal 22 Maret 1968 mahasiswa melancarkan aksi pendudukan kampus dengan menduduki salah satu ruangan untuk diskusi. Kampus meminta bantuan polisi dan akhirnya terjadilah kontak fisik antara mahasiswa dengan polisi.
Gerakan ternyata menjadi semakin besar karena kehadiran polisi memicu solidaritas mahasiswa yang lain. Akhirnya terjadilah keributan besar yang memaksa pihak kampus untuk menutup kampus. Namun dengan ditutupnya kampus, tidak membuat gerakan menjadi terhenti, malah menjadi semakin membesar. Mahasiswa Sorbonne pusat terpecah menjadi dua, yaitu mendukung aksi 22 Maret dan yang tidak mendukung aksi 22 Maret.
Tanggal 3 Mei 1968 polisi dikerahkan untuk mengatasi keributan. Universitas kembali ditutup. Dosen, Staf pengaraj memprotes penutupani itu. Akhirnya kontak fisik terjadi kembali.
Bersatunya mahasiswa, Buruh dan Kelompok lain.
Mahasiswa tidak tinggal diam, rapat umum diadakan, persiapan-persiapan perlawanan terjadi dihampir seluruh kampus. Mahasiswa bahu-membahu sesuai dengan kemampuan dan disiplin ilmunya masing-masing, seperti mahasiswa Teknik mencotoh mahasiswa Honggaria yang terkenal dalam pembuatan “Molotov Cocktail”.
Bantuan solidaritas dari UNEF maupun buruh-buruh muda, serikat buruh pengajar Perguruan Tinggi hadir berduyun secara spontan. Organisasi buruh-buruh lokal menganjurkan pemogokan satu hari penuh. Dan akhirnya mereka bersama-sama dengan didukung oleh partai politik tumpah ruah di jalan-jalan.
Depolitisasi Gerakan (taktik De-Gaulle, sebuah konsep yang abstrak).
Pemogokan besar-besaran terjadi di Perancis, mahasiswa menyarankan perubahan struktural masyarakat, namun mahasiswa tidak dapat menyodorkan konsep tersebut secara konkret pada masyarakat.
Kelompok-kelompok penekan pada akhirnya membuat Gerakan Mahasiswa menjadi pecah (dapat dilihat dari mahasiswa sendiri tuntutannya berbeda). Hal ini memperlemah gerakan, ditambah lagi dengan polisi yang mulai menangkapi para mahasiswa, buruh maju mundur tidak jelas, sedangkan gerakan De-Gaulle mempropagandakan : “demi mencegah anarky dan penguasaan Komunis, maka tidak mengada menyetujui pembaruan, tapi menentang kekacauan. De-gaulle dalam propagandanya juga mengatakan bahwa pihak komunislah sebagai pengacau masyarakat.
1970 Periode kemunduran Mahasiswa
Demonstrasi yang besar tidak terjadi, apa yang disebut dengan Gerakan Mahasiswa 1968-1969 menghilang (bumbu kekerasan atau anarky yang menjadi ciri-ciri Gerakan Mahasiwa 1968 telah diganti dengan tipe konflik korporatis dengan mahasiswa yang berjuang dengan mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka sendiri (sebagai suatu badan). Gerakan 1968 itu hanya berhasil dalam membuat sketsa hak-hak baru, termasuk mempertanyakan secara terbuka akan legitimasi kekuasaan, hak-hak sungguh-sungguh memperolah perlakuan hukum secara bersama-sama bagi semua orang.
 Dampak Gerakan Mahasiswa 1968
Akibat peristiwa yang diikuti dengan kerusuhan dan akhirnya menghasilkan penataan alur utama dari organisasi Universitas secara keseluruhan. Universitas akhirnya membentuk Dewan dan Komite diberbagai tingkat beserta mekanismenya. Dewan dan Komite ini secara legal memasukkan wkail terpilih dari berbagai badan dosen dan kemahasiswaan tapi yang dipilih adalah daftar.
Akibatnya sering terjadi dalam pemilihan, ketika mahasiswa suatu departmen (dari universitas) harus memilih wakil-wakil mereka, mereka disodorkan daftar pilihan yang sangat terbatas (organisasi mahasiswa yang paling kuat pada saat itu adalah UNEV Renouveau suatu organisasi yang dekat dengan partai komunis Perancis).
Dan melalui sistem inilah akhirnya memberikan posisi resmi pada politik di Universitas. Walaupun begitu melalui mekanisme tesebut (dicap oleh para mahasiwa sebagai sistem Oligarki ala michels  politik yang dilembagakan dan merupakan unsur minoritas kecil yang tertarik dan terorganisir). Hal ini berakibat kemundurnya politik. Pemerintah sendiri masih mengatur masalah-masalah :
Sumber daya terbesar disediakan oleh pemerintah.
Gaji dosen tidka tersandung dari lembaga-lembaga pendidikan.
Gelar bersifat nasional, artinya negara yang memberikan gelar tersebut.
Situasi ekonomi.
Proses deferensiensi sebagai akibat Gerakan Mahasiswa 1968 bukan satu-satunya penyebab menurunnya strategi kolektif dan penguatan secara individul pada sebagian mahasiswa, namun ada beberapa faktor yang ikut menentukan yaitu kesukaran mahasiswa untuk mendapatkan pekerjaan lebih besar pada pertengahan (1970-an) walaupun ini tidak hanya terjadi didalam Perancis saja. Akibat dari pengangguran ini :

Proporsi mahasiswa yang menggunakan waktu untuk mencari uang meningkat.
Mereka cenderung menggunakan tambahan waktu untuk mencari uang dari waktu yang semestinya. Akibatnya kegiatan akademis hanya sebagai sambilan.
Tipe-tipe mahasiswa yang kebanyakan berasal dari kelas atas, adalah mereka yang langsung melanjutkan ke pendidikan tinggi, secara ekonomis mereka tergantung pada orang tua, dapat membagi waktu untuk sanksi dan kuliah setelah memperoleh gelar yang lebih tinggi mereka mencari pekerjaan. Mahasiswa tahun 1970-an secara porsi akademik lebih rendah dari pada mahasiswa tahun 1960-an. Dari seluruh kehidupan mereka dalam hal waktu maupun dalam hal komitmen pribadi, memperolah gelar berarti sama dengan memperoleh imbalan secara sosial dan ekonomi.
Situasi sosial
Selama tahun 1970-an hanya sedikit gerakan yang dilakukan mahasiswa. Salah satu aksi yang paling menonjol terjadi tahun 1978, yang didasari oleh keinginan reformasi teknis dari lingkaran ke II (yaitu bagian dari kurikulum untuk mencapai gelar-gelar) secara ringkas konflik dalam bentuk konflik sosial telah sangat terlembagakan dan sangat berbeda dengan siat yang mewarnai gerakan tahun 1968.
Mahasiswa tahun 1970-an menghasilkan perubahan yang mengarahkan mahasiswa pada strategi-strategi yang bersifat individualistik. Mereka lebih tertarik dalam aktivitas politik yang berusaha untuk memperoleh satu kursi dari posisi-posisi pemilihan yang ditawarkan oleh institusi pasca gerakan 1968. Selain itu beberapa mahasiswa juga tertarik untuk memperoleh gelar dengan biaya yang rendah dalam bidang yang mudah.
Mahasiswa juga banyak yang menjadi anggota-anggota partai politik dan menjadi anggota serikat buruh. Jumlah mahasiswa yang dekat dengan partai politik yang membentuk mayoritas pemerintahan adalah sedikit. Namun jumlah mahasiswa mayoritas banyak merasa lebih dekat dengan gerakan-gerakan yang terwakili secara lemah pada semua jenjang institusi politik dari partai oposisi utama (sosialis dan komunis).
Penyebab tambahan bagi pasifnya gerakan mahasiswa Perancis adalah karena dari dunia politik para filsuf sosiolog kiri yang mendominasi kehidupan kehilangan prestise.


Gerakan Mahasiswa Jerman Barat 1960-1970

Kebebasan akademik telah dibatasi oleh perpanjangan tangan rezim Republik Federasi Jerman. Tanpa kebebasan akademik berarti seorang mahasiswa tiada adalah lebih dari hanya seorang pemuda atau pemudi yang sedang belajar untuk menjadi orang. Selain kebebasan akademik, kebebasan untuk berada didalam kampus juga dibatasi oleh pemerintah.
Mahasiswa pada saat itu turun kejalan menuntut beberapa aspek untuk diperbaiki, terutama aspek pendidikan. namun selain itu gerakan anti perang nuklir, protes terhadap perang vietnam dan imperialisme di Afrika juga mereka suarakan.
Terhadap kebijakan dunia pendidikan, mahasiswa menghendaki wakil mereka di badan-badan universitas untuk menghancurkan prinsip-prinsip otoriter dari para guru besar. Gerakan ini dimulai dari Berlin Barat dan dari sana menyebar ke seantero Jerman Barat. SDS (Sozialistischer Deutscher Studentenbund) adalah organisasi mahasiswa yang menggerakan perlawanan ini mengembangkan suatu teori revolusioner yang ditujukan pada birokrasi di Timur dan di Barat. Dalam analisa perkembangan masyarakat mereka mengatakan bahwa “memperlihatkan kemerosotan demokrasi parlementer dan manipulasi pendapat umum. Begitu pula halnya dinegara-negara modern dan industri. Oleh karena itu sasarn yang dihantam adalah :
monopoli kekusaan.
Kontrol pemikiran.
Gerakan mahasiswa Jerman Barat menyebarkan suatu inti kesadaran, tidak ingin membuat partai. Bagaimana manusia dihisap dan kelompok inti perlahan akan mempengaruhi lingkaran-lingkaran yang lebih besar dari pada kaum buruh yang lebih sadar.
Latar belakang Gerakan Mahasiswa dipengaruhikuat dengan perkembangan keinginan dan kemajuan ilmu-ilmu sosial yang menjadi ciri utama gerakan mahasiswa 1960-an. Ekkehart, salah seorang yang berkecimpung dalam dunia universitas dan bergabung dalam oposisi estra parlementer, menggariskan dalam program orang-orang kiri muda “junge linke” sebuah analisa baru, yaitu ajaran-ajaran yang diambil dari puncak-puncak pegunungan Amerika Latin, hutan belantara Asia Tenggara, dan kurang lebih pergolakan-pergolakan kampus mulai dari Barkley sampai praha. Mereka berpegang pada buku-buku kecil kutipan-kutipan dari Mao di bidang politik, ekonomi, kebudayaan dan gerilya, selain juga buku-buku catatan Che Guevara.
Demonstrasi pada bulan April 1968 di Berlin Barat, Hamburg, Frankfrut dan kota besar lainnya berlangsung salama 3 hari. Namun akhirnya gerakan Mahasiswa Jerman Barat seperti halnya di negara-negara Eropa lainnya memasuki tahun 1970-an mengalami kemunduran. SDS sebagai organsasi mahasiswa yang paling berpengaruh terpecah dari dalam. Tujuan dasar Gerakan Mahasiswa, Tujuan organisasi dna bentuk-bentunya berbeda dari keadaan 1960-an.
Strategi Gerakan Mahasiswa Jerman Barat mencapai puncaknya pada periode antara tahun 1967 dan 1969 ; yaitu dengan menganalisi dan mengkritisi meyarakat serta mendukung perubahan sosial. Namun dari awal sekali mahasiswa mencari-cari teori sosial mengenai posisi dan kewajiban universitas. Gerakan mahasiswa di Jerman Barat dapat kita bagi menjadi 3 tahap :
Kecaman terhadap masalah politik secara umum.
Tahap-tahap pada memusatkan perhatian pada masalah-masalah universitas.
Fase pendirian dan pengembangan secara eksplisit organisasi dan parpol dengan landasan idiologi politik.
Tahun 1970-an organisasi-organisasi parpol bersaing mendapatkan dukungan mahasiswa. (Partai Demokrat Sayap Kanan – sebagian kecil korps mahasiswa tradisional, Partai Demokrat Kristen muda konservatif, ke sosialis muda kiri marxis tradisional dan yang terakhir beberapa kelompok Maois).
SDS adalah pecahand perpecahan dari SPD karena program non maxis. Keretakan pertama terjadi tahun 1967 ketika kelompok anarchys dikeluarkan. September 1968, sayap tradisional dikeluarkan. Januari 1969 sayap traditional mendirikan kelompok Spartacus bertipe Moscow-Trotskys. Perbedaan Idiologi akhirnya melumpuhkan dan melemahkan organisasi yang berdampak pada lumpuhnya program-program SDS. Kalaupun ada dan berhasil dijalankan, itu hanya sebentar dan lalu mati. 5 kelompok yang bisa dikenali adalah :
Kelompok Spartacus.
Kelompok Komunis Maois dan organisasi KBW.
Kelompok dasar Sosialis sebagai pewaris khas dari gerakan-gerakan anti otoriter.
Kelompok Spontan, yang digerakan oleh kebutuhan-kebutuhan spontan massa. Bermusuhan terhadap setiap orang, bertindak sebagai pengganti para pekerja.
Kelompok-kelompok sosialis lokal kecil-kecil yang sejak 1969 didukung oleh partai sosialis.


Faktor-faktor radikalisasi mahasiswa, ada 2 faktor :
Secara teoritis dan struktur pengajaran di Jerman mahasiswa Jerman lebih mudah menerima teori politik dari pada mahasiswa Inggris.
Mahasiswa dan kondisi study universitas di Jerman pada waktu itu mendorong pertumbuhan gerakan mahasiswa (bebas pindah dari satu universitas ke universitas lain, memilih kapan saja menempuh ujian, dapat memilih skripsi sebelum mengikuti semua ujian, mahasiswa lebih banyak meluangkan waktu untuk ikut organisasi dan aktif dalam kegiatan politik yang tidak mungkin dilakukan dalam waktu studi yang lebih singkat, tersediannya waktu yang lebih banyak terhadap para mahasiswa memungkinkan pengelompokan secara politis lebih banyak waktu untuk berpikir, membaca, dan berjuang sebelum mereka terserap dalam masyarakat kapitalis (Halliday)
Metode Gerakan Mahasiswa 1970 awal :
Jumlah kecil maksud memilih alur gerakan bersenjata.
banyak menarik diri dari aktivitas politik dan masuk ke bentuk pengisolasian diri.
Menjauhkan diri dari alur politik Universitas dan beralih ke politik sipil.
Tetap mencoba meneruskan perjuangan Gerakan Mahasiswa yang disesuaikan dengan kondisi.
Faktor yang sangat dominan mempengaruhi Gerakan Mahasiswa :
Meningkatnya analitis teoritis tentang kebijaksanaan negara dalam hubungannya dengan ekonomi.
Koalisi Liberal dan sosdem (1969) dan reformasi yang di janjikan oleh pemerintah federal.
Meningkatnya jumlah populasi mahasiswa.
Meningkatnya pasar kerja terutama bagi guru.
Kecenderungan yang meningkat dari rezim yang berkuasa untuk membatasi tujuan-tujuan politik mahasiswa.
Taktik dan Strategi.
Tidak seperti tahun 1960-an, tahun 1970-an tidak didasarkan pada demonstrasi dan aksi massa. Perubahan ini didasarkan pada situasi yang berbeda baik di Universitas maupun masyarakat. Mahasiswa pada saat itu memandang kuliah sebagai :
bagi mahasiswa yang tidak tertarik pada bidang politik akan bertujuan unutk mempersiapkan kecakapan dan profesional secara cepat.
Bagi mahasiswa yang berorientasi pada teori-teori sosialis yang menganggap bahwa kuliah sebagai persiapan teoritis bagi keterlibatan dalam dunia politik di kemudian hari.
Hanya sebagian kecil saja mahasiswa yang tetap mengkonsentrasikan diri pada masalah-masalah pribadi atau kemahasiswaan. Tipe ini tidak menyusun rencana melebihi satu periode semester kuliah. Peran tinggi terhadap kelompok mahasiswa yang berhaluan kiri, kelompok ini terbatas pada individu-individu universitas yang sebagian anggotanya tersebar dari kelompok demonstrasi-demonstrasi nasional. Kelompok ini disegani oleh kelompok mahasiswa lain. Akhir tahun 1960-an mahasiswa berhaluan politik kiri tumbuhkayakinan akan marginalitas setelah melalui perdebatan panjang tentang komunis. Mereka juga percaya dari pengalaman bahwa mahasiswa tidak cukup bisa menjadi pelopor bagi golongan proletar dan gerakan mahasiswa tidak bisa menggantikan gerakan massa atau buruh.
Bagi aliansidalam organisasi politik external yang besar (serikat dagang dan parpol) serta harapanmembangun solidaritas dengan para buruh yang tidak terorganisir dengan pada orang asing dan buruh yang bekerja pada sektor tanpa keahlian.
Sebagai mahasiswa diketahui kelompok-kelompok dasar tidak memusatkan perhatian pada masalah-masalah mereka dan universitas. Namun mereka memfokuskan diri pada kegiatan politik di pabrik, wilayah perkampungan kota. Akhirnya kelompok ini menjadi sulit dalam merekrut anggota di kampus karena jarang berkomunikasi. Intensitas Gerakan Mahasiswa 60-an hampir lenyap ditahun 1970-an, dimana situasi tersebut banyak tergantung pada kebijakan pemerintah, latar belakang teoritis, yang berbeda atau pengaruh parpol yang besar dan perubahan didalam jumlah mahasiswa itu sendiri.
Tahun 1970-an strategi ditandai dengan kerja sama dengan kelompok sosial lainnya. Di dalam universitas sendiri, kegiatan mahasiswa menjadi kurang. Tahun 1960-an
Gerakan Mahasiswa Italia pasca 1960-an.
Manifestasi Gerakan Mahasiswa di Italia terutama dirangsang oleh frustasi yang mendalam dan kemarahan para mahasiswa. Dengan faktor masalah pendidikan mereka yang tidak puas menyerukan semboyan :”Rombak sistem pendidikan universitas”. Akhirnya sekitar 30 universitas bergerak menduduki gedung universitas Roma sambil meneriakan yel-yel tersebut.
Ada 2 kecenderungan yang bertabrakan dlaam taktik Gerakan Mahasiswa. Beberapa unsur berpaling pada taktik-taktik kekerasan sementara sebagian lagi berhenti dengan politik idiologi dan menyembunyikan diri dalam kehidupan pribadi.
Pengangguran para sarjana, menurunnya standar kehidupan, memburuknya kondisi universitas, buruknya birokrasi membuat kemarahan anak-anak muda. Hasil analisa mahasiswa adalah bahwa universitas tidak membekai mereka dan menemukan posisi yang tepat dan semua pelajar SMU, kau imigran Italia Selatan bersama-sama membentuk “kelompok proletariat” di kota-kota utara dan bersama-sama mahaiswa bergabung dalam gerakan sosial.
Pada Demonstrasi lainnya yang terjadi, terdapat gerakan bersenjata Brigade Merah (Brigade Rosse) melancarkan berbagai serangan atas para hakim, pengacara, pegawai negeri, pengusaha dan lain-lain.
Taktik gerilya kota, berbagai kelompok bersenjata adalah taktik-taktik yang dipakai para demonstran. Akibatnya timbullah perpecahan antara kelompok kiri yang dipimpin oleh autonomia operaia yang mendukung penggunaan kekerasan dan senjata dan dalam perjuangan sosialnya. Sedangkan yang lainnya menentang hal tersebut. kelompok kiri mengatakan metode tersebut ; adalah Fasis laten, irasional, hal ini makin menimbulkan kebingungan dalam politik.
Tidak seperti Gerakan Mahasiswa tahun 19680-an, Gerakan Mahasiswa tahun 1977 kurang memobilisasi pandangannya. Gerakan ini tidak berusaha membentuk dan mendekati diri pada publik, teralienasi dari massa, diperparah dengan penyerangan terhadap Luciano Lama (pemimpin buruh CGIL) yang datang ke Uniersitas Roma pada tanggal 17 Febuari 1977. Para mahasiswa menyerangnya dan mengacaukan pertemuan itu. Partai komunis yang melindungi, akibat dari penyerangan tersebut beberapa orang terluka dan disinilah perpecahan antara kelompok kiri semakin tajam. Pada tahun 1977 kampus-kampus di Italia beralih menjadi kekerasan, dan mereka menyebarkan ke luar universitas. Dikota-kota perang gerilya menjadi umum.

Brigade merah dengan pendirinya Ranato Curcio (sarjana sosiologi mengklaim dirinya sebagai bentuk yang paling murni dari Marxis-Leninis), dengan memakai logika gerakan mahasiswa tahun 1960-an, brigade merah berdalih tekanan dengan memakai kekerasan diperlkan untuk merusak sistem yang sudah mapan untuk menghasilkan sebuah perubahan sosial dan revolusi.
Akibat dari gerakan ini semakin menjauhkan apa yang diharapkan pada pembangunan awal. Opini publik semakin terbentuk dan menjauh dari brigade merah. Kesatuan nasional atau pemerintah baru terbentuk dan semakin menentang keras gerakan ini.
Beberapa gerakan yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa berusaha mencari perspektif baru, namun berbagai pendapat tentang gerakan tersebut tetap mengecilkan dan memecah belah gerakan. Kelompok seperti Autonomia Operasia selain beranggotakan mahasiswa juga para imigran dan narapidana.
Berpartisipasi dalam perampokan beberapa toko, membawa senjata dan menjadi pasukan bersenjata bawah tanah, anggota automania menjadi pasukan organisasi dari Brigade merah.
Tahun 1978 Fragmentasi terjadi (pecahan) dalam gerakan kiri Gerakan Mahasiswa, Cotta continua dan Democrazia proletaria terpecah diantara mereka yang memilih kekerasan massa tapi menentang brigade merah dan yang sepenuhnya mengutuk tindakan kekerasan.
Antara November 1978 dan Febuari 1979,terjadi pertarungn antara yang menentang kekerasan yang dilakukan oleh brigade merah dan automania operasia dengan yang memilih perjuangan massa cotta continua (cotta continua tahu banyak tentang perampokan, bersenjata). Kelompok automania membalas dan semakin keras mengubah seluruh norma dan nilai sosial dengan menyerang dengan membabi buta para guru, wakil politisi, dan serikat buruh. Akibatnya semakin mendorong mahasiswa untuk beralih ke kehidupan pribadi dan pada politik. Para guru secara perlahan-lahan meninggalkan lembaga-lembaga pendidikan dan lebih berhati-hati dengan meninggalkan aktivitas politik. Dengan begitu kaum kiri telah “dikurangi” oleh suara kekerasang yang didengungkan oleh kelompok ini.
Arus idiologis seperti Marcuse dalam tulisannya mengkritik integritas kelas pekerja dalam masyarakat kapitalis yang sudah maju dan menunjuk pada orang-orang terbuang dalam masyarkat barat seperti : mahasiswa, minoritas sosial para migran dan kaum miskin kota, para migran sebagai kekuatan Revolusi utama dari negara-negara barat sebagaimana yang mendorong gerakan mahasiswa tahun 1968.
Selain itu Gerakan Mahasiswa yang muncul (1968) mewakili berbagai macam rangkain protes dan oposisi, melihat universitas sebagai simbol-simbol masalah dasar masyarakat industri, kurikulum yang sudah usang. Gerakan dasarnya adalah menentang otoritas dan struktur birokrasi dalam masyarakat.
Selin itu penurunan ekskalasi Gerakan Mahasiswa Perancis, Jerman mempunyai dampak pada Gerakan Mahasiswa Italia. Kelas pekerja yang tadinya “menjual diri” pada kapitalis dilihat sebagai sebagai dasar idiologi yang kokoh dan sebagai pendorong utama revolusi. Bersama para buruh membangun kontak perburuhan nasional, namun tetap terisolasinya kelompok dari kelas pekerja. Semakin tumbuh hal ini karena krisis sosial di Italia semakin jadi. Terdapat 2.000.000 pengangguran (1976) produksi industri berada dalam tingkat yang rendah, ini semakin memperkuat terorisme politik. Universitas menerima siapa saja yang memiliki ijazah SMU mahal. Hal ini menjadikan kampus sebagai tempat tanpa proses kerja dan bagi para mahasiswa membuat menjadi semakin bersimpati pada terorisme politik.
Meledaknya universitas yang menghasilkan intelektual-intelektual yang tidak dapat ditampung oleh lapangan kerja, krisis ekonomi mendorong kekecewaan mahasiswa dan membuat teradikalisasi komunitas mahasiswa.
Para mahasiswa kalangan bawah cenderung untuk aktif belajar, dan mendapatkan nilai bagus. Sekalipun demikian perspektifnya tidak sebaik kalangan menengah dan atas. Sementara mahasiswa dari kalangan menengah dan kelas pekerja bersimpati pada kekerasan politik.
Dalam keadaan ini pemuda Italia hidup dalam suatu isolasi dan marjinalitas psikologi yang hancur dan kebencian yang disebabkan oleh bermacam-macam frustasi yang berkaitan dengan situasi politik dan ekonomi.
Tak satupun dari gerakan-gerakan ini menawarkan alternatif yang memuaskan. Puncak dari gerakan bersenjata di Italia adalah tahun 1979 dimana ketua mahasiswa terlibat perampokan dan pembunuhan bersenjata pada seorang tukang permata. Ketua ini menghubungkan perbuatannya dengan revolusi agar dari peristiwa perampokan itu bisa menciptakan ketidakstabilan.kecenderungan politik ini mempacu titik terendah dalam sejarah modern golongan kiri di Italia. Dalam satu hal universitas sebagai tempat latihan untuk mempraktekan inimidasi brutal dan juga menjadi tempat berkumpulnya para intelektual yang putus asa.
Gerakan Mahasiswa Jepang.
Ada beberapa point penting dalam melihat gerakan mahasiswa di Jepang hingga melahirkan suatu gerakan yang radikal. Adapun hal tersebut dapat disaksikan pada :
pengaruh situasi dunia.
pengaruh dalam negeri.
pendidikan yang ada.

Inti dari hal tersebut adalah berasal dari ketenangan kampus yang goyang karena adanya UU baru tentang pemulihatn ketertiban di universitas sebagian lagi karena turunya kemakmuran secara umum yang tercermin dari tingginya pengangguran dan pragmatisme mahasiswa.
Situasi dunia
Gerakan mahasiswa Jepang dapat dikategorikan dalam 3 tahap. Ini disebabkan dalam menilai kondisi obyektif Jepang pada saat itu. Gerakan mahasiswa yang terkenal dan memacu pergerakan mahasiswa pada saat itu di Jepang adalah Federasi Nasional Dewan Mahasiswa (Zengakunen).
Namun pada tahun 1960, terpecah akibat kontradiksi dalam menetapkan strategi dalam beberapa kelompok dalam menentang perjanjian keamanan antara As dan Jepang (gerakan anti peras).
Gerakan mahasiswa tahap I :
Perpaduan kerja sama dan perebutan pengaruh diantara kelompok-kelompok kiri yang tidak pernah bersatu, kelompok mahasiswa (Koma) kiri baru semakin terpecah dan berebut pengaruh. Zenkyoto sebagai Gerakan Mahasiswa yang besar mengikuti pola SDS (Student For Democratie Society) As, dalam menentang pernag Vietnam. Ada 2 kelompok Gerakan Mahasiswa pada saat itu dalam menyikapi perang tersebut. kelompok I adalah damai bagi Vietnam yang dipimpin oleh Makota Oda (persatuan waga negara (Be-kei-Nem), mampu mengerahkan sekitar 32.000 mahasiswa. Kelompok II adalah komite pemuda anti perang (Hansen Seinen Inusi). Pasca perang Vietnam gerakan mahasiswa otomatis mereda, banyak mahasiswa menarik diri dari gerakan, sejumlah kecil mahasiswa masih aktif (pemimpin-pemimpin) mencari alasan untuk bergerak.
Gerakan Mahasiswa tahap II : (1971-1975)
Adalah masa penuh radikalisasi, Gerakan Mahasiswa penuh dengan kegiatan-kegiatan berdarah, kekerasan oleh gerakan mahasiswa ini ditandai dengan meningkatnya Hegemoni perebutan simpati di Jepang, terkenal dengan Uchi Geba. Sekitar tahun 1973-an perang Timur tengah menjadi fokus atau akses bagi gerakan mahasiswa yang mendorong gerilya di Palestina. Di Jepang sendiri perang timur tengah ini memicu terjadinya tentara merah jepang (mihon sekogun) yang merekrut para pemimpin radikal mahasiswa untuk menyatakan solidaritas pada orang-orang arab palestina, selain juga aktif menentang kapitalisme.
Metoda
Pada tahun 1972, Kozo Okomoto seorang sniper tentara merah membunuh 27 orang di bandara udara Tel Aviv. Bulan juli 1973 membajak sebuah pesawat Jumbo Jet, Januari 1974, menyerang pangkalan minyak di Singapura, September 1974 menduduki kedubes perancis di Den-Hag dan kemudian dibulan yang sama membajak pesawat terbang JAL lainnya.
Tahap III (sejak 1976).
Adalah meningkatnya terorisme oleh kelompok-kelompok anarkis yang kecewa dengan kelompok kiri baru, karena radikalisme yang dijalankan oleh kelompok ini, Ryuota pemimpinnya yang mencanangkan bahwa “pusat Revolusi Dunia harus beralih dari Proletariat negara Industri maju ke Proletariat yang tersisih seperti penduduk Ainu (ashi Jepang).
Metode.
Kelompok ini menyerang langsung perusahaan-perusahaan dan organisasi-organsiasi Mitsubisi dan keindonren (Federasi Organisasi ekonomi Jepang). Yang dianggap sebagai pusat exploitasi dan diskriminasi dengan menghancurkan dan membunuh pemimpin dan gedung-gedung organisasi tersebut. Dalam tahun 1977 serangan-serangan kelompok ini naik 5 kali lipat dibanding tahun 1976.
Situasi di dalam Negeri.
Efek krisis energi di seluruh dunia pada bulan Oktober 1973 (akibat gejolak di kawasan penghasil minyak Timur Tengah) adalah fokus dari terorisme tentara merah.
OPEC mengatakan penurunan dalam export minyak. Yang akhirnya menaikan harga 4 kali lipat. Naiknya minyak mengakibatkan inflasi di Jepang, sektor produksi industri sangat bergantung pada minyak impor. Tahun 1974 keadaan normal kembali dipicu oleh ekspor mobil-mobil dan perangkat elektronik dan diterimannya barnag-barang Jepang oleh dunia International.
Namun kenyataan berbanding terbalik dengan kesadaran masyarkat jepang pada waktu itu. Penurunan pasar kerja mempersulit para lulusan universitas untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dalam masa kerja yang sulit kebanyakan para pemuda (mahasiswa) Jepang menjadi lebih konservasif, apolitis, berusaha mengejar nilai yang bagus yang menggambarkan menjadi pegawai yang baik.

Situasi Pendidikan.
Selain masalah ekonomi dan situasi dunia, masalah pendidikan juga mengakibatkan menurunnya ekskalasi Gerakan Mahasiswa. UU pemulihan ketertiban di Universitas yang dikeluarkan pada tahun 1969 dan akibatnya masih terasa sampai 5 tahun.
UU tersebut memberikan kekuasaan kepada Rektorat untuk mengatasi konflik-konflik di kampus dan memberi wewenang kepada menteri pendidikan untuk menutup kampus yang menimbulakn kerusuhan diamna jika dalam 9 bulan masih ada gejolak mahasiswa kampus itu akan ditutup oleh pemerintah.
Reformasi Pendidikan di Jepang.
Ketika UU pemulihan ketertiban di jalankan, ternyata sangat efektif dalam membangun situasi kondisi yang diinginkan oleh pemerintah. Tercatat kalau ditahun 1967 terdapat 147 lembaga pendidikan yang diduduki oleh para mahasiswa radikal, tahun 1978 hanya 31 lembaga pendidikan tinggi yang dikuasai oleh mahasiswa yang radikal.
Pemerintah membuat universitas baru dengan melibatkan partai demokrat liberal dan rencana induknya pembuatan universitas terbuka model inggris, gagasan ini disambut baik karena dianggab kebal dari pendudukan mahasiswa yang radikal.
Keresahan mahasiswa dalam pendidikan.
Massa mahasiswa tidak puas dengan tipe pendidikan umum yang ditawarkan pada mahasiswa. Gaya pendidikan umum yang ditawarkan pada para mahasiswa baru dan mahasiswa tahun ke-2 – kualitas pendidikan umum lebih rendah dari pada pendidikan profesional dalam ilmu-ilmu alam kedokteran dan sebaginya. Sarana lebih miskin dan silabus pendidikan umum dipandang sama dengan pendidikan SMA, walaupun di Univ. Hirosima yang merupakan universitas ketiga sudah mampu melakukan penghapusan pendidikan umum atau menerapkan pendidikan profesional. Namun tetap saja secara mayoritas mahasiswa tidak merasa puas dalam program pendidikan umum.
Sebaliknya universitas-universitas swasta memberi perhatian pada masalah keuangan dan bukan pada pendidikan umum yang sedang menjadi keinginan mahasiswa. Sampai akhir tahun 1960-an universitas swasta tidak mendapat bantuan dari industri dan alumni seperti Amerika juga tidak dibantu oleh pemerintah seperti di Inggris.
Semua tergantung pada uang mahasiswa maka otomatis uang kuliah jauh lebih tinggi dari universitas nasional. Sedangkan dosen sedikit untuk memindahkan pengeluaran untuk meminimalkan keresahan mahasiswa mereka maka mentri pendidikan memberikan bantuan keuangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, hingga upah dosen bisa lebih baik dan penerimaan mahasiswa dapat dijaga.
Selain itu demokratisasi Universitas dan administrasi Fakultas menjadi sorotan mahasiswa. Pemilihan rektor, akhirnya asisten dosen diberikan hak untuk memilih. Meskipun para Profesor yang paling berpengaruh dalam pengambilan suara ini. Sedangkan mahasiswa masih tetap tidak diijinkan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan (pemilihan rekor).
Demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dalam menilai kehidupan kampus melahirkan sebagian kelompok-kelompok cendikiawan yang bersifat kritis “keluar” kampus dan aktif sebagai wartawan atau aktif di gerakan-gerakan sosial menyerang peran universitas. Sedangkan yang lainnya tinggal di dalam kampus dan mengkritik peran universitas, membentuk kuliah-kuliah tersendiri secara terpisah dari kuliah-kuliah yang ditawarkan oleh universitas.
Akibat gerakan Anarchy (Zentoya).
Zentoya (persatuan mahasiswa militan) bergeser dari spontanisme ke idiologi, gerakan ini dipimpin oleh New Left sampai ke tahap kekacauan (anarchy). UU pemulihan universitas memperbolehkan polisi masuk ke dalam kampus, hal ini mengakibatkan perlawanan menjadi mengecil dan bisa dikatakan menghilang. Akibatnya gerakan mahasiswa dari inti yang sangat radikal dalam memaparkan gerak menjadi kurang relevan bagi mahasiswa.
Manurunnya jumlah anggota (kuantitas) membuat perjuangan bawah tanah semakin menjadi alternatif dalam memperoleh Hegemoni. Ciri gerakan mahasiswa tahun 1970-an ini lazim dikenal dengan uchi geba.
Adapun organisasi radikal yang terlibat dalam gerakan ini adalah :
tentara merah Jepang (kelompok yang bersandarkan kepada kekutaan bersenjata dan menjadi contoh bagi kelompok yang lain.
pasukan Helm Hitam (kelompok anarchy) yang diperkirakan ada 320 kelompok.
Gerakan mahasiswa seperti ini berdampak pada penilaian mahasiswa dan masyarakat yang semakin sinis pada setiap gerakan mahasiswa. Mereka menjauhi dan apatis pada setiap Gerakan Mahasiswa yang ada.
Departemen Pendidikan dan Propaganda
Serikat Mahasiswa Indonesia
Cabang Jakarta
2007























GERAKAN NAHASISWA
ADAKAH ITU SUTU USAHA SEJARAH
oleh: Nur Farid, S.H

(Pekerja Politik dan Mantan Direktur Yayasan Cakrawala Timur-Surabaya)
Kelas yang tersubordinasi akan benar-benar bebas dan menjadi dominan bila dapat mengukuhkan tipe negara baru. Kebutuhan akan tipe negara baru tumbuh secara konkrit karena adanya perkembangan tatanan moral dan intelektual baru, yakni yang dapat menjelaskan tipe masyarakat baru, oleh karenanya di butuhkan penjelasan konsep yang paling jauh daya jangkaunya sebagai senjata ideologi yang paling tersaring dan ampuh.
LATAR BELAKANG SEJARAH
Pembuktian sejarah gerakan mahasiswa Indonesia, sesuai dengan konteks jamannya, haruslah memberikan kesimpulan apakah gerakan tersebut, dalam orientasi dan tindakan politiknya, benar-benar mengarah dan bersandar pada problem-problem dan kebutuhan struktural rakyat Indonesia. Orientasi dan tindakan politik cermin daripada bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakan pada rakyatnya serta kecakapan merealisasi nilai-nilai tujuan ideologinya.
Karena pranata mahasiswa merupakan gejala pada masyarakat yang telah memiliki kesadaran berorganisasi, dan mahasiswa merupakan golongan yang di berikan kesempatan sosial untuk menikmati kesadaran tersebut, maka asumsi bahwa gerakan mahasiswa memberikan penghargaan yang tinggi terhadap kegunaan organisasi dalam gerakkannya adalah absah. Dengan demikian kronologi sejarah gerakan mahasiswa harus memperhitungkan batasan bagaimana mahasiswa memberikan nilai lebih terhadap organisasi. namun demikian tidak ada maksud untuk menghargai gerakan rakyat spontan.
Nilai lebih organisasi dalam gerakan mahasiswa hanyalah bermakna bahwa didalam organisasi gerakan mahasiswa ditempa dan di penuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Pemahaman terhadap masyarakat problem-problem rakyatnya,
2) Pemihakan kepada rakyat-nya, dan
3) Kecakapan-kecakapan dalam tindakan mengolah massa-nya.
Ketiga syarat tersebutlah yang mencerminkan:
1) Tujuan dan orientasi gerakan mahasiswa,
2) Metodologi gerakan maha-siswa,
3) Strukturalisasi sumberdaya manusia, logistik dan keuangan gerakan mahasiswa, dan
4) Program-program gerakan mahasiswa yang bermakna strategik-taktik.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah merupakan akumulasi dan kulminasi dari dialektika kondisi obyektif dengan tindakan subyektif masa-masa sebelumnya. Oleh karena itu gerakan mahasiswa Indonesia tidak terlepas dari pengaruh:
1) Perang-perang heroik dan patriotik didalam dan diluar negri; gerakan petani pada abad 19 dan buruh diawal tahun 1920-an didalam dan diluar negeri; pemberontakan-pemberontakan terhadap kolonialisme-imperialisme Belanda; munculnya kekuatan partai-partai politik di tahun 20-an,
2) Penyebaran ideologi liberal, nasionalisme, komunisme, sosial-demokrat, dan islam,
3) Kondisi ekonomi politik.

MASA PENJAJAHAN BELANDA

Murid-murid STOVIA mencoba memulai gerakan dengan mendirikan Trikoro Dharmo di tahun 1915. Gerakkannya bukan dalam kerangka konsep mahasiswa tetapi pemuda, dan juga belum memiliki konsep nasionalisme yang jelas (kedaerahan) atau tujuannya: Djawa Raya. Dalam hal ini jelas bahwa walaupun konsep tentang mahasiswa, nasionalisme ataupun keadilan sosial sudah bisa masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, namun pada konteks jamannya semua idealisme konsep-konsep tersebut belum bisa dirumuskan dan terwujud sebagai artikulator problem-problem konkrit masyarakat pada waktu itu ; Kolonialisme, kapitalisme dan sisa-sisa feodalisme. Dan yang lebih parah: belum bisa menggerakkan massanya sesuai dengan artikulasinya tersebut.
Sejarawan-sejarawan yang idealis sering mengatakan, bahwa pada tahap awal gerakan elemen-elemen pelopor, pertama-tama harus bisa merumuskan problem-problem masyarakat dan kemudian menyampaikannya dalam bentuk agitasi dan propaganda. Namun, realita sejarah menghidangkan kenyataan yang lain: kondisi subyektif gerakan belum bisa bersatu dengan kondisi obyektif di luar gerakan. Keduanya belum solid, keduanya belum bisa menyatu melalui tahap-tahap panjang, rumit dan mengesalkan.
Dan juga ada keharusan yang katanya logis dan absah, yang dipaksakan oleh sejarawan-sejarawan idealis, yakni keharusan yang mengatakan: karena ide-ide nasionalisme, liberal, komunisme, sosial-demokrat, islam dan lain-lainnya sudah masuk ke tanah jajahan Hindia Belanda, seharusnya kaum intelaktual membentuk diri menjadi pelopor yang mengartikulasi problem-problem masyarakat serta rakyatnya dan kemudian menggerakkan massanya. Persoalannya bukan saja terletak pada keinginan subyektif dan normatif dari kaum intelektual; persoalannya juga terletak pada tingkat kesadaran (level of consciesness) kaum intelektual itu sendiri (sebagai kondisi subyektif), tingkat kesadaran rakyatnya dan atmosfir ekonomi-politik pendorong tingkat kesadaran tersebut (sebagai kondisi obyektif). Jadi, logika sejarawan idealis tidaklah berpijak pada realitas sejarah, logika yang tidak historis.
Atau bentuk dan watak organisasi seperti Trikoro Dharmo hanya merupakan taktik kaum pelopor dalam menghadapi kondisi pada saat itu? Tidak, tidak didapatkan data ilegal, baik tertulis (dokumen) maupun lisan, yang menyatakan hal tersebut.
Organisasi-organisasi yang tumbuh kemudian adalah juga organisasi kedaerahan (Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Minahasa, Bond Ambon) dan tidak ada upaya berkonsolidasi. Hanya atas bantuan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) maka organisasi-organisasi tersebut dilebur menjadi Indonesia Moeda (IM) tahun 1930. Dalam tindakan konsolidasi, pelajar-pelajar mengambil inisiatif, juga dalam hal merubah konsep pelajarnya menjadi pemuda, yang secara teoretis lebih memungkinkan mewadahi massa yang lebih luas.
Perjuangan IM pada umumnya lunak, kecuali cabang Surabaya, Radikalisasi IM Surabaya berhasil memprovokasi kepala sekolah-kepala sekolah menengah untuk mengeluarkan Schoolverbood (pemecatan bagi pelajar-pelajar sekolah menengah yang memasuki IM). Dengan adanya peraturan tersebut dan intel-intel bangsa sendiri yang menyusup ke IM untuk mengadakan provokasi, maka IM menjadi lemah: menjadi organisasi dekaden/bejad, tempat foya-foya.
Hanya anggota IM yang sadarlah yang bisa keluar dari IM dan kemudian membentuk Soeloeh Pemoeda Indonesia (SPI) dan Pergerakan Pemoeda Revolusioner (PERPIRI). Namun, dan memang wajar dalam masyarakat kolonial, dikeluarkanlah Vargader-verbod (pembubaran dan larangan berkumpul) bagi SPI dan PERPIRI. Tapi anggota-anggota yang konsisten melakukan gerakan bawah tanah. Tahun 1915-1930 merupakan waktu yang cukup panjang bagi pemuda dan pelajar untuk memiliki penjelasan yang lebih jernih tentang nasionalisme yang melekat pada organisasi Indonesia Moeda dan melepaskan diri dari organisasi sektarian pemuda dan mahasiswa guna lebih mempertajam orientasi anti kolonial. Selain itu juga gerakan ini telah melewati masa-masa sulit: kelumpuhan pergerakan nasional akibat pemerintah kolonial yang semakin represif, setelah pemerintah kolonial di uji oleh pemogokan-pemogokan buruh di awal tahun 1920-an dan pemberontakan PKI tahun 1926. Gerakan pemogokan buruh dan pemberontakan PKI tersebut merupakan suatu pengorbanan yang berharga positif; memberikan atmosfir pendidikan politik bagi kelanjutan pergerakan nasional. Banyak sejarawan Indonesia masih menolak menuliskan tinta emasnya bagi sejarah Indonesia kurun itu.
Didalam kondisi kelumpuhan pergerakan nasional seperti ini, muncullah alternatif kelompok study (studieclub) yang politis dilihat dari orentasi dan tindakan politiknya, terbentuknya Indonesia Studieclub (IS) dan Algemeene Studieclub (AS). Makna politis dari kelompok study pada waktu itu adalah:
1) Mempelajari kondisi dan problem-problem konkrit yang berhubungan dengan negeri dan rakyat, kemudian mengadakan ceramah-ceramah dan kursus-kursus tentangnya. Misalnya, yang berhubungan dengan buruh; upah, kesejahteraan dan jam kerja; tentang perumahan rakyat; hal kondisi organisasi politik; keuntungan atau kerugian dengan adanya pemilihan anggota Gementeraad (dewan Kota); Arti pergerakan, pendidikan nasional, parlemen, statistik perdagangan, gerakaan persatuan, kooperasi dan non-kooperasi, kerjasama diantara organisasi-organisasi politik dan lain-lain,
2) Membentuk komite dan pengumpulan bahan mengenai masyarakat koloni terutama Hindia Belanda, kemudian menyebarkannya dalam bentuk brosur-brosur atau surat kabar atau majalah, seperti Soeloeh Ra'jat Indonesia dan Soeleoeh Indonesia,
3) Mencari alternatif bagi perbaikan terhadap problem-problem konkrit tersebut dan kemudian dilakukan tindakan nyata,
4) forumnya ditujukan pada sasaran masyarakat luas, pertemuannya terbuka di gedung-gedung pertemuan umum yang di hadiri oleh kalangan pergerakan dan masyarakat luas,
5) Mendukung pemogokan buruh bengkel dan elektrik di Surabaya bulan nopember 1925. Namun tidak dapat di pungkiri ada juga kelompok studi yang apolitis dan hanya berkubang di masalah-masalah teoritis, yaitu apa yang dinamakan Debating Club (Sukarno keluar dari organisasi ini dan masuk ke Algemeene Studieclub)
Dalam merespons perubahan politik yang lebih liberal akibat penggantian gubernur Jendral de Fock oleh de Graeff (pendukung van Limburg Stirum, liberalis), dan dalam kondisi ekonomi Belanda serta Hindia Belanda yang berada pada posisi merambat ke arah ekses penawaran (posisi demikian merupakan masa positif sebelum mencapai puncak konjunktur ekses penawaran dalam masa depresi kapitalisme pada tahun 1929-1930 maka IS dan AS berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI) dan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Kelompok studi berhasil bertranformasi menjadi partai, ia merupakan cikal-bakal partai yang banyak menyumbang bagi tercapainya "kemerdekaan" Republik Indonesia. Tanda kutip pada kata kemerdekaan bermakna: Setelah Indonesia merdeka partai-partai tersebut,ternyata tidak berhasil memenangkan pertempuran untuk merubah hubungan sosial rakyat Indonesia menjadi lebih adil, unsur-unsur reaksioner juga turut dihidupkan dan menjadi kuat oleh momen sejarah Indonesia.
Namun demikian Studieclub telah memperlihatkan keunggulannya ketimbang kelompok studi tahun 1980-an. Kelompok studi tahun 80-an lebih menyerupai debating club dalam tindakannya, apolitis:
1) berkubang di masalah-masalah teoritis,
2) tidak bisa berdialektika sebagai unsur subyektif yang merespons dan menstimulasi kondisi obyektif dalam kondisi ekonomi-politik Orde Baru, ia bukannya bertransformasi menjadi politis tapi malahan membusuk. Lebih gegabah lagi bila kelompok studi tahun 80-an disimpulkan menjadi bertransformasi menjadi pelopor, dominan atau bahkan mengambil peranan kecil sekalipun sebagai koordinator dalam gerakan mahasiswa tahun 80-an. Kesimpulan ini bukan berarti kami tidak menghargai nilai lebih diskusi. Jangan samakan antara tindakan diskusi dengan tindakan kelompok studi secara keseluruhan.
Analisa terhadap sejarah studieclub jelas memberikan kesimpulan bahwa kondisi obyektif ekonomi-politik pada saat itu politik kolonial yang semakin represif, yang kemudian berubah menjadi liberal karena perubahan status ekonomi Belanda dan Hindia Belanda bisa direspon dan distimulasi oleh kondisi obyektif Studieclub yang bertransformasi menjadi partai. Jadi, sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif bila dikatakan bahwa mandulnya gerakan mahasiswa dari basis kampus pada masa Orde Baru dan larinya mahasiswa dari basis kampus untuk membentuk kelompok studi adalah akibat oleh NKK/BKK. Sungguh suatu kesimpulan yang spekulatif, seolah-olah bila tidak ada NKK/BKK maka akan semarak dan menjadi kuatlah gerakan mahasiswa. Apakah hal ini terbukti pada gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an dimana pada waktu itu belum ada NKK/BKK? Tidak, sejarah membuktikan bahwa kondisi subyektif gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an tidak bisa merespons dan menstimulus ekonomi politik Orde Baru pada tahun 60-an dan 70-an. Perdebatan mengenai kondisi ekonomi-politik Orde Baru tahun 60-an dan 70-an memerlukan ruang tersendiri. Namun yang jelas, sebagai gejala, gerakan mahasiswa Orde Baru tahun 60-an dan 70-an benar-benar telah dilumpuhkan, terutama tahun 60-an benar-benar merupakan borok sejarah. Justru dalam skala tertentu, gerakan mahasiswa tahun 80-an dapat menembus NKK/BKK. Namun akumulasi dan kulminasi tindakan politik, maka yang lebih dapat di hargai adalah gerakan mahasiswa masa Orde Baru tahun 70-an. Penghargaan itu tentunya adalah hanya sebatas bahwa gerakan tersebut telah memberikan atmosfir pendidikan politik dan tapak-tapak kabur pedoman menuju demokratisasi.
Masa setelah bertransformasinya Studieclub menjadi PBI dan PNI pada kurun sejarah inilah dapat di tebar pupuk momentum bagi konsolidasi, penyaringan dan semaraknya wadah-wadah massa pemuda dan pelajar. Hal ini terbukti dengan di selenggarakannya kongres Pemoeda Indonesia pada tahun 1928, yang berhasil menggabungkan pergerakan-pergerakan pemuda yang berorentasi luhur, memprioritaskan terwujudnya cita-cita nasionalisme, menjunjung harkat nusa bangsa: mengolah tercapainya kemerdekaan. Nama organisasi gabungan tersebut, dilihat secara semantik saja, sungguh mengejutkan dan menggembirakan: Pemoesatan Pergerakan Pemoeda Indonesia (PERPINDO) di pusat dan Pergaboengan Pemoeda (PERDA) di daerah. Dan, anggota-anggotanya adalah IM, Pemoeda Muhaammadijah, Persatoean Pemoeda Taman Siswa, Pemoeda Muslimin Indonesia, Persatoean Pemoeda Kristen Djawi, Barisan Pemoeda GERINDO dan PRRI.

MASA PENJAJAHAN JEPANG
Tentu saja ruang ini tidak cukup tersedia untuk membahas gerakan mahasiswa pada masa ini, yang cukup menggairahkan untuk di analisa namun harus memperhitungkan spektrum perdebatan yang cukup luas.
Yang pasti, semua organisasi pemuda yang ada di bubarkan, dan pemuda di masukkan kedalam, yang utama Seinendan-Keibondan (Barisan Pelopor) dan Pembela Tanah Air (PETA) untuk dididik politik dan kegiatan-kegiatan menunjang fasisme: latihan militer untuk membela kepentingan ekonomi-politik Asia Timur Raya.
Jalan keluar bagi gerakan pemuda adalah: gerakan bawah tanah (Underground-legal). Ramainya pamflet-pamflet gelap, dan rapat-rapat gelap yang mengakibatkan adanya penangkapan-penangkapan oleh penguasa fasis Dai Nippon Jepang. Momentum gerakan bawah tanah, yang juga "katanya" dikombinasikan dengan gerakan legal Sukarno, merupakan jalan keluar yang lebih mencekam dan belum memassa, tingkat kesadaran massa untuk mengambil jalan keluar ini belum mencapai tingkat yang revolusioner. Dan harus dilacak mengapa Fron Anti Fasis tidak menampakkan sosok yang jelas.

MASA KEMERDEKAAN
1945-1950
Suatu momentum yang tidak disia-siakan oleh gerakan pemuda dan pelajar: selain mereka melucuti senjata Jepang, juga memunculkan kembali organisasi-organisasi mereka, misalnya Angkatan Pemoeda Indonesia (API), Pemuda Repoeblik Indonesia (PRI), Gerakan Pemoeda Repoeblik Indonesia (GERPRI), Ikatan peladjar Indonesia (IPI), Pemoeda Poetri Indonesia (PPI dan lain-lainnya.
Pada saat belum ada pemuda dan pelajar yang berbentuk federasi, diselenggarakanlah kongres Pemoeda Seloeroeh Indonesia I (1945) dan ke-II (1946). Kedua kongres tersebut sangat penting artinya karena:
1) Dapat melahirkan organisasi gabungan Pemoeda Sosialis Indonesia (PESINDO) yang merupakan hasil peleburan API, PRI, GERPRI, AMRI dan sebagainya,
2) Terbentuknya badan Kongres ke-I berada dalam suasana semangat perjuangan bersenjata (pemuda turut berpartisipasi dalam pertempuran Nopember di Surabaya),
3) Kongres ke-II menghasilkan keputusan antara lain: Berpegang teguh pada Undang-Undang Dasar, membentuk dan memperkuat laskar, mengisi jabatan-jabatan penting di pemerintahan dan mematuhi pimpinan yang mengajak revolusi nasional dan revolusi sosial.
Organisasi-organisasi seperti Perhimpoenan Mahasiswa Djakarta (PMD), Perhimpoenan Mahasiswa Katholik Jogja (PMJ), Sarekat Mahasiswa Indonesia (SMI), Perhimpoenan Mahasiswa Islam (HMI), Perhimpoenan Mahasiswa Kedokteran Hewan (PMKH), Perhimpoenan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKRI) dan Persatoean Peladjar Pergoeroean Tinggie Malang (PPPM) setuju membentuk Perserikatan Perhimpoenan-perhimpoenan Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan Badan Koordinasi Mahasiswa Indonesia (BKMI) yang khusus berada di daerah pendudukan Belanda. Dalam perjalanannya, keberadaan BKMI, yang dikatakan kolaborator, menimbulkan pro dan kontra republik. Pertentangan ini dapat diselesaikan setelah elemen-elemen pro republik mengadakan infiltrasi ke badan eksekutif organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi ke BKMI. Kongres Pemoeda Seloeroeh Indonesia pada 8-14 juni 1950 berhasil membentuk Front Pemoeda Indonesia (FPI) dan hanya mengakui PPMI sebagai federasi mahasiswa universitas.
Pada masa ini gerakan pemuda dan mahasiswa mencoba memperkuat penolakan terhadap usaha kolonialisme Belanda untuk kedua kalinya, dan secara umum belum sampai kepada anti imperialisme (perusahaan-perusahaan Belanda dan asing lainnya, yang masih bercokol di Indonesia, belum mendapat gugatan berarti). Kelahiran PESINDO merupakan hal yang menggembirakan karena sudah memiliki: pemahaman dan gugatan terhadap hubungan sosial yang tidak adil, serta dalam tindakan politiknya telah memiliki semangat perjuangan bersenjata (military bearing).
Dampak dari masa vakum pendidikan dan perlawanan politik populer pada masa pendudukan jepang adalah tidak solidnya organisasi mahasiswa untuk bersatu menentang usaha kolonialisme kedua, apalagi untuk mengerti imperialisme. FPI-lah yang berhasil memimpin gerakan PPMI, dengan hanya mengakuinya sebagai federasi yang pimpinannya banyak didudukkan di pusat eksekutif FPI.

1950-AN DAN SELANJUTNYA
Periode demokrasi liberal, diawal tahun 1950-an, yang oleh beberapa sejarawan dikatakan memberi dampak positif bila dilihat dari pendewasaan pendidikan politik ternyata tidak berlaku bagi lahan mahasiswa. Pertemuan Madjelis Permoesjawaratan Mahasiswa (MPM) PPMI dalam bulan Desember 1955 di Bogor memutuskan untuk menarik keanggotaannya dari FPI. Dengan demikian jelaslah bahwa keanggotaan PPMI di FPI, yang secara sosiologis dapat memberikan dimensi lingkungan sosial yang lebih luas, dihindari oleh gerakan mahasiswa. Mahasiswa justru melumpuhkan aktifitas politik mereka: membius diri dengan slogan-slogan "Kebebasan Akademik" dan "Kembali Ke Kampus". Mahasiswa jadinya lebih mengutamakan kegiatan-kegiatan rekreasi, perploncoan, mencari dana untuk aktifitas kedermawanan dan jarang menghadiri pertemuan-pertemuan yang berwatak serius. Hanya segelintir saja mahasiswa yang prihatin atas kemunduran gerakan mahasiswa tersebut.
Persiapan menghadapi PEMILU tahun 1955 menyebabkan partai-partai berusaha mencari kader-kader baru yang cakap, dan mereka melihatnya ada pada mahasiswa. Disinilah momentum untuk menggairahkan kembali gerakan mahasiswa, dan pada kurun inilah terbentuk organisasi-organisasi mahasiswa yang lebih kuat berafiliasi ke partai, seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI, afiliasinya ke PNI), Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (GERMASOS, afiliasinya ke PSI, terutama berbasis di UI), Himpunan Mhasiswa Indonesia (HMI, afiliasinya lebih ke MASYUMI), Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI, pada masa demokrasi terpimpin CGMI secara terbuka berdampingan dengan PKI). Sementara itu PPMI setuju dengan posisi yang apolitis. Hanya pada Konggres PPMI ke-IV tahun 1957, ketika organisasi-organisasi yang berafiliasi ke partai diperbolehkan menjadi anggota PPMI, maka PPMI berhasil didorong maju. Hal ini bisa dipahami karena banyak jabatan eksekutifnya yang kemudian dipegang oleh CGMI dan GMNI, terutama setelah konggres PPMI ke-VI tahun 1961. Ajang kuasi peperangan partai-partai di kampus identik dengan ajang kuasi di PPMI, berhasil dimenangkan oleh CGMI dan GMNI. Jadi tidak benar bila ada yang mengatakan bahwa CGMI dan GMNI menang karena memperoleh keistimewaan pada masa demokrasi terpimpin. Sudah dari awalnya mereka berjuang dan berhasil mendorong maju gerakan mahasiswa (PPMI) yang sedang berada dalam status demoralisasi.
Pertentangan lama antara front kiri dan partai-partai kanan, mereka tidak pernah menyatakan diri sebagai front, mendapatkan momentumnya lagi pada saat menghadapi PEMILU dan implementasinya di sektor mahasiswa adalah pertentangan antara CGMI, GMNI, GMKI di satu pihak, dengan HMI, PMKRI dan GERMASOS dilain pihak. Namun ajang pertempuran GERMASOS berada diluar forum PPMI, tidak ada data yang membuktikan bahwa GERMASOS adalah anggota atau berhasil merebut kepemimpinan PPMI. Dalam pertentangan tersebut tema utama isue-isue dari pihak kiri adalah kapitalisme, neo-kapitalisme/imperialisme, feodalisme, dan fasisme (yang nampaknya masih belum jelas elaborasi dan tindakan politiknya). Sedangkan isue-isue dari pihak kanan adalah komunisme (yang identik dengan atheis dan kafir), diktator (identik dengan menghargai kebebasan individu), satelit negara-negara komunis, menghalalkan segala cara, dan sebagainya. Yang semuanya merupakan elaborasi dari kalimat bahwa PPMI telah "condong ke kiri".
Sejak tahun 1956 perpecahan (yang nampaknya wajar dalam kehidupan politik dimana militer sudah mulai turut campur dalam gerakan mahasiswa menjadi lebih terbuka, apalagi dalam situasi nasional sebagai berikut:
1. Kehidupan pembangunan perekonomian yang di ganggu oleh pertikaian politik antara pemerintah dan oposisi kanan.
2. Daerah tertentu menekan pemerintah pusat agar pendapatan pemerintah dan mata uang asing dibagikan secara lebih merata ke daerah. Di parlemen MASYUMI, PSI, politikus-politikus oposisi dan pejabat-pejabat militer saling bekerja sama dalam menentang pemerintah. Puncak pertentang ini adalah pemberontakan PRRI dan PERMESTA.
3. Pada saat itu pula Badan Konstituante dibentuk di Bandung sejak 1957 dan bertanggung jawab membuat konstitusi baru. Badan tersebut kemudian dibubarkan, penyebabnya adalah adanya kontroversi utama yang ditimbulkan oleh partai-partai Islam yang berusaha memasukkan Piagam Djakarta ke dalam konstitusi baru.
Didalam pengurusan PPMI perpecahan tidak dapat dielakkan lagi; pada tangga 11 juni 1959 beberapa anggota PPMI berangkat ke Bandung dengan tujuan memberikan tekanan agar kembali ke UUD '45. Pada 28 Februari 1957, aktivis-aktivis mahasiswa yang berbasis di UI-Djakarta berprakasa menggalang senat-senat mahasiswa dari berbagai universitas dan berhasil membentuk federasi mahasiswa yang bernama Madjelis Mahasiswa Indonesia (MMI). Terjadi lagi usaha memundurkan gerakan mahasiswa Indonesia, ketika gerakan mahasiswa berada pada tahap sedang menyerap aspirasi politik yang disebar luaskan oleh partai-partai politik, mahasiswa justru menghidupkan federasi mahasiswa yang tidak memiliki keprihatinan terhadap problem-problem konkrit rakyat.
Misalnya:
1) Mereka tidak mengerti dan tidak mendukung bahwa perjuangan merebut kembali Irian Barat merupakan bagian yang terpisahkan dari perjuangan rakyat Indonesia melawan kolonialisme dan imperialisme. Irian Barat meliputi area 388.000 km2 atau kira-kira 20% dari luas republik. Irian adalah pulau terbesar di Pasifik, kedua terbesar setelah Greenland. Selain mineral-mineral, di Irian juga terdapat sumur minyak modern (di Sorong) dan deposit emas yang telah diekploitasi Belanda di Boven Digul (Tanah Merah) dan di Merauke. Juga tambang batu bara di Horna, dekat kepala burung. Berdasarkan penelitian para ahli; di Irian Barat ada kemungkinan terdapat uranium. Selidikilah perjanjian antara Belanda-Amerika, baik di bidang militer maupun ekonomi: kepentingan strategis Irian Barat bagi Amerika adalah usaha merelokasi rencana digunakannya Irian Barat sebagai garis strategis militer sepanjang kepulauan Bismark - Solomon - New Britania Investasi kapital Amerika secara bertahap dapat menggeser investasi Belanda: di sektor pengeboran minyak Sorong, perbandingan pada waktu itu telah menjadi 60% (40% Stanvac dan 20% CalTex): 40% juga terdapat perjanjian yang menyatakan bahwa Amerika akan membantu Belanda di PBB dalam persoalan Irian Barat, dan sebagai balas jasanya Amerika akan diperbolehkan mengambil alih pertambangan tembaga yang pada waktu itu dieksploitasi Belanda. Target utama kebengisan Belanda adalah pemuda: Abdullah dan Piet Kadar di bunuh secara kejam; 20 buruh di pengeboran minyak Sorong dikejar-kejar, ditindas hak-hak sipilnya, dan dibuang. Disamping kekejamannya, Belanda juga merampoki karya-karya seni berharga peninggalan nenek moyang Irian Barat,
2) Mereka tidak turut berpartisipasi dalam Deklarasi Hari Solidaritas Internasional Menentang Kolonialisme, 24 April 1957 yang berpartisipasi adalah PPMI, FPI dan Perserikatan Organisasi Pemoeda Islam Seloeroeh Indonesia (PORPISI) yang isinya merupakan pernyataan untuk saling memperkuat kerjasama dantara rakyat negeri-negeri Asia-Afrika, menghentikan secara tuntas ulah kolonialisme dalam segala bentuknya yang masih bercokol di negeri-negeri Asia-Afrika dan belahan bumi lainnya, menentang percobaan bom nuklir yang akan mengganggu keselamatan manusia, dan menyarankan agar ilmu nuklir di gunakan untuk kesejahteraan manusia sesuai dengan Konvensi Jenewa mengenai energi atom.
Bertambah kukuhnya peranan militer dalam kehidupan masyarakat di Indonesia berkembang sejak akhir tahun 50-an. Pertama, ketika dikeluarkannya peraturan SOB (negara dalam keadaan darurat) yang kemudian meningkat dalam masa perjuangan pembeasan Irian Barat, Kedua, ketika Presiden Soekarno terpaksa harus mengadakan rembuk dengan jendral Nasution, karena Soekarno menunjuk dirinya sebagai Perdana Mentri sesuai dengan UUD '45 (karena negara dalam keadaan SOB).
Dan, akar depolitisasi gerakan pemuda, mahasiswa dan sektor-sektor masyarakat lainnya bermula dari:
1) Penandatanganan kerjasama antara Pemuda dan Angkatan Darat, 17 juni 1957, yang di tanda tangani oleh Sukatno (Sekjen Pemuda Rakyat), S.M. Thaher (Pemuda Demokrat), A. Bochori (GPII), Wahib Wahab (Ansor) dari pihak pemuda, dan Letkol. Pamuraharjo dari pihak Angkatan Darat. Strukturalisasi kerjasama ini dikukuhkan dalam bentuk Badan Kerjasama Pemuda-Militer (BKS-PM), yang diresmikan pada tanggal 26 juli 1957, sore hari di Istana. Perlu dicatat bahwa 125 organisasi pemuda dari 6 federasi memiliki perwakilan di Dewan Penasehat BKS-PM, dan BKS-PM memiliki struktur yang vertikal: Komite Eksekutif - Dewan Penasehat - Anggota,
2) Militer juga mengharuskan membentuk badan kerjasama dengan kelompok-kelompok fungsional lainnya, misalnya dengan buruh, petani dan wanita.
Tujuan administrator militer sebenarnya adalah untuk mengikis partai-partai politik. Pemimpin-pemimpin pemuda dan mahasiswa dengan menyesal harus menerima peraturan yang keras tersebut, yang kini membatasi gerakan. Sangat menarik untuk dicatat bahwa kekuatan mahasiswa (universitas), terutama sekali, sangat menggairahkan perhatian militer. Bukanlah merupakan kebetulan bila pejabat-pejabat militer memanjangkan tangannya ke Rektor ITB dan UI; Iwa Kusuma Sumantri digantikan Prof. Thoyib sebagai Menteri Pendidikan Tinggi; dan kini lebih banyak pejabat-pejabat militer di administrasi sipil kementrian. Bahkan di luar negeri, atase militer menjadi pejabat yang lebih berpengaruh dalam menangani urusan-urusan mahasiswa yang belajar di luar negeri; di dalam kampus, Resimen Mahasiswa (MENWA) dipasang. Eksponen-eksponen GERMASOS dan HMI diikutsertakan dalam aktifitas-aktifitas luar kampus. Sejak awal 1959 mereka telah mengukuhkan beberapa hubungan dengan administrator-administrator militer yang berkaitan dengan urusan-urusan pemuda dan mahasiswa (seharusnya mereka sadar bahwa adanya struktur kelembagaan di militer yang bertugas mengurusi pemuda dan mahasiswa tidak bedanya dengan pola-pola fasis di Eropa). Mahasiswa Bandung yang tidak menyadari hal itu menjadi ladang oposisi mahasiswa dalam menentang Soekarno. Itulah sebabnya, bukanlah suatu yang mengejutkan bila pada tahun 1966 mahasiswa-mahasiswa yang paling militan memimpin demonstrasi untuk menjatuhkan Soekarno berasal dari KAMI Bandung. Dan untuk waktu yang cukup lama, Sekolah Strategi Komando Angkatan Darat (SESKOAD) Bandung, dibawah pengarahan Kol. Suwarto, mempekerjakan teknokrat-teknokrat lulusan Berkeley sabagai inti instruktur-instruktur sipil.
Sementara Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) dibubarkan karena dituduh terlibat usaha pembunuhan terhadap Presiden Soekarno, HMI sampai peristiwa '65 berhasil selamat dari pembersihan . Hingga sekarang HMI tetap dapat melanjutkan eksistensinya sebagai organisasi mahasiswa Islam legal, dan hingga tahun 1966 banyak aktif menjatuhkan Soekarno.
GMNI, CGMI, dan GERMINDO kemudian membentuk Biro Aksi Mahasiswa dan menyelenggarakan Konggres V PPMI di Jakarta pada juli 1961. Hasilnya adalah pembentukan presidium yang terdiri dari GMNI, PMKRI, GMD, CGMI, PMB dan MMB. Eksekutif yang baru dianggap oleh lingkungan mahasiswa tertentu (minoritas) memiliki orentasi ke kiri. Pada saat yang sama, GERMASOS dan HMI berhasil masuk ke organisasi-organisasi lokal di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya. Dalam tahun 1961 organisasi-organisasi lokal tersebut membentuk Sekretariat Organisasi Mahasiswa Lokal (SOMAL). Dalam banyak kesempatan SOMAL selalu menegur PPMI agar jangan terlalu terlibat dalam isue/peristiwa politik, dan orang akan dapat membaca, dalam pernyataan SOMAL ada semacam hubungan antara aspirasi SOMAL dengan senat-senat mahasiswa yang tergabung dalam MMI.
Sehubungan dengan insiden rasial di Bandung pada bulan mei 1963, Konsulat PPMI Bandung mengeluarkan peryataan: Bahwa yang sebenarnya terjadi bukanlah bermotif rasial, akan tetapi merupakan isue sosial yang di akibatkan oleh gap si kaya dan si miskin yang terus mendalam. Dalam masalah ini terjadi perpecahan dalam Konsulat PPMI Bandung, 4 anggota PPMI Bandung membentuk organisasi yang serupa dengan Biro Aksi Mahasiswa. Keadaan ini di manfaatkan oleh MMI, mereka tergabung dengan organisasi pecahan PPMI Bandung tersebut dan membentuk Madjelis Permusjawarahan Mahasiswa Indonesia (MAPEMI) pada Agustus 1965. Haruslah dicatat bahwa eksekutif MMI terdapat perwakilan dari Akademi Hukum Militer (AHM) dan Perguruan Tinggi Kepolisian (PTIK), sehingga tidak mengherankan bila kepemimpinannya dipegang oleh perwira tingkat menengah Angkatan Darat dan Kepolisian.
Dalam masa ini orentasi gerakan mahasiswa sudah mulai membaik dalam menggugat hubungan sosial kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, dan sisa-sisa feodalisme, dikalahkan oleh kesiapan militer (yang masuk ke dalam gerakan pemuda, mahasiswa dan partai-partai politik sayap kanan). Bisakah gerakan mahasiswa tersebut disebut gerakan massa? Karena secara teoritis kesiapan gerakan militer sayap kanan hanya dapat dikalahkan oleh mobilisasi massa yang sudah siap, baik kuantitas maupun kualitasnya. Orentasi politik yang baik tanpa tindakan politik yang baik hanyalah merupakan petualangan.
Sebelum tahun 70-an, aktifis yang mula-mula sadar akan kekeliruan alternatifnya adalah Soe Hok Gie (dari GERMASOS) dan Achmad Wahib (HMI). Namun seperti juga generasi baru aktifis-aktifis mahasiswa dan pemuda tahun 70-an lainnya, yang mulai menyadari kekeliruan strategi mereka yang salah (menjalin kerjasama dengan militer) mereka membuat kesalahan strategi lainnya: Terpisah dari potensi kekuatan rakyat atau tanpa basis massa yang luas. Demonstrasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII), anti korupsi, Golongan putih/GOLPUT (aksi boikot PEMILU), gerakan 15 januari/MALARI (anti dominasi ekonomi Jepang, ketimpangan ekonomi, sulit untuk dikatakan anti imperialisme bila dilihat dari segi pemahaman para pelakunya pada konteks waktu itu) dan gerakan Parlemen Jalanan-Anti Suharto '78 dengan buku putihnya merupakan contoh-contoh keterasingan dan frustasi.
Dengan melihat latar belakang sejarah seperti tersebut diatas, kita bisa menyadari bagaimana kondisi sosiologis gerakan pemuda dan mahasiswa pada masa Orde Baru sebelum tahun 80-an. Sebagian besar aktifis tahun '66 pada masanya tidak pernah bersentuhan dengan literatur-literatur kiri (kecuali untuk Soe Hok Gie, pada masa SMP bahan-bahan bacaannya mencerminkan kejujuran/demokrasi intelektual, juga Ahmad Wahib). Dan dalam tindakan politiknya mereka tidak memiliki pengalaman mengorganisir atau bergulat dengan rakyat bawah (grassroot); tindakan politiknya elitis serta pragmatis. Dengan begitu tidak mengejutkan bila, pada masa-masa Orde Baru, mereka terbius oleh mitos bahwa bangsa Indonesia sedang dalam proses pembangunan ekonomi dan politik. Apalagi pada waktu itu masih didukung oleh booming minyak. Sebagian dari mereka masuk kedalam struktur kelembagaan negara, sebagian menjadi pengusaha, sebagian kecil saja dari mereka masuk ke struktur kelembagaan yang secara sosiologis dapat menumbuhkan kembali idealismenya.
Pada yang terakhirlah daya kritis bisa tumbuh, apalagi sebagian besar berada dalam kelembagaan yang dapat mengakomodir sentimen idealisme dan intelektualnya; lembaga keilmuan, mass media, LSM/NGO. Sentimen idealisme dan intelektual mereka sebenarnya merupakan konskwensi logis dari krisis demi krisis pembangunan Orde Baru, yang mengakutkan dampak-dampak negatif dan kontradiksi dari imperialisme ekonomi, kapitalisme, dwi-fungsi serta sisa-sisa feodalisme.
Bekas aktifis-aktifis '66 berada pada status sebagai generasi yang, sampai sekarang, tidak menemukan alternatif konkrit. Tidak ada alternatif konsep yang tegas bagi problem-problem ekonomi, politik dan budaya rakyat Indonesia, demikian juga dalam alternatif tindakan politiknya. Kalaupun ada, dan ini mayoritas adalah alternatif konsep tengah/reformis yang bukan merupakan jalan keluar bagi problem-problem konkrit rakyat Indonesia. Dan itupun direalisasi dengan strategi tindakan moral; menghimbau atau merubah dari dalam sistem (yang paling banyak adalah dengan menggunakan ideologi dan struktur kelembagaan LSM). Tidak ada tindakan politik yang dapat memperkuat daya tawar mereka, pengorganisasian massa sebagai alat penekan politik sepertinya tabu bagi mereka. Sering mereka berlindung dibalik kata (benar-benar hanya kata) taktis. Namun dalam kenyataan di lapangan mereka tidak pernah melakukan tindakan politik dalam arti penggalangan massa.
Pada tahun 70-an, tawaran LSM, literatur populis dan ada juga sedikit yang struktural dari barat, serta belajar keluar negeri meruapakan salah satu kondisi obyektif yang ditaarkan kapitalisme yang sedang berada pada titik kontrakdiksi ekonomi, politik, dan budayanya. Produktifitas yang rendah (terutama produk yang memiliki watak nasionalistis), kemiskinan, konsumerisme, kesenjangan harga dan pendapatan, krisis kepemimpinan, rendahnya kuantitas dan kualitas pendidikan politik, kosongnya kehidupan dunia pendidikan, keilmuan dan budaya yang nasionalistis dan pro-rakyat, peruaskan lingkungan, dekadensi moral dan sebagainya, yang belum pernah terjadi sedemikian membahayakannya dalam sejarah bangsa Indonesia.
Kondisi obyektif tersebut diatas, yang sebagian besar diserap oleh bekas aktifis '66, kemudian menjadi kondisi subyektif mereka sehingga tidak memiliki alternatif konsep dan tindakan politik. Kategori bekas aktifis '66 yang mengambil alternatif konsep ekonomi, politik dan budaya tengah, yang strategi tindakannya moral, benar-benar mandul, tak ada sejumputpun beban sejarah yang dipikulnya.
Ada kategori lain dari bekas aktifis tahun '66 ini, yakni yang juga tengah dan bergabung dengan suatu faksi eks Partai Sosialis Indonesia (PSI), unsur-unsur birokrasi yang tidak puas dan administrator militer. Ideal tindakan politik mereka adalah insureksi. Pada kasus MALARI kondisi insureksi tersebut malahan dihindari, militansi massa kemudian diredam kembali, ketika massa mengharap komandonya, massa justru disuruh mundur. Pada gerakan tahun '78, yang memiliki watak yang sama dengan kategori ini, tahap-tahap penggalangan massa lebih kurang siap.
Hukum sejarah pada periode ini memberikan kesimpulan bahwa: kondisi obyektif ekonomi-politiknya belum mematangkan pamahaman, pemihakan dan kecakapan tindakan politiknya.
Kondisi popularitas LSM, gelar-gelar akademis, teori-teori dan kesimpulan-kesimpulan ilmu-ilmu sosial (terutama yang menyangkut masyarakat Indonesia) yang dipasok dari luar negeri, terutama dari barat, menyuburkan budaya diskusi, riset-penelitian masyarakat dan aksi-aksi sosial kedermawanan dan peningkatan pendapatan (income generating) . Bravo! buat menjamurnya kelompok study (menjamur sekitar tahun 1983) dan LSM, yang direspon oleh mahasiswa-mahasiswa moderat (mayoritas) generasi tahun '80-an dan eks mahasiswa-mahasiswa generasi tahun 70-an, yang juga moderat (beberapa aktifis gerakan mahasiswa tahun 70-an, yang frustasi pun masuk kedalamnya, mencoba menikmatinya atau mencari alternatif lain, dan larut dalam dekadensi ideologinya). Kategori pertama generasi tahun '66 diatas, yang sampai sekarang paling ekstrim moderatnya, turut juga bertanggung jawab dalam mempopulerkan kondisi tersebut sehingga kelompok study dan LSM dianggap sebagai jalan keluar oleh generasi berikutnya.
Sampai sekarang, mahasiswa-mahasiswa yang mengambil jalan keluar kelompok studi tidak menyadari proses pembusukan yang mereka alami, sehingga, sebagai kelembagaan kelompok study mereka tidak pernah memberikan respon tindakan atas terjadinya kasus Tanjung Priok, gerakan mahasiswa Ujung Pandang dan gerakan mahasiswa akhir-akhir ini. Bila kelompok study masih mempertahankan wataknya seperti sekarang, maka proses pembusukan tidak akan berubah menjadi proses transformasi ke arah organisasi yang lebih politis.
Yang lebih parah lagi adalah LSM, yang walaupun juga tidak pernah memberikan picu bagi tindakan politiknya , proses pembusukannya lebih lamban ketimbang kelompok study. Sokongan keuangan yang besar, yang terus-menerus mendemoralisasi aktifis-aktifis sosial bahkan mahasiswa yang diserap kedalamnya, menyebabkan LSM masih bertahan dalam wataknya semula. Dalam perkembangannya, LSM justru menciptakan stratifikasi diantara mereka sendiri; terbentuknya statuta BINGO, MINGO, dan LINGO.
(BING) kelompok 13 dan INGI (sekarang INFID) merupakan gejala konsentrasi BINGO yang mempersulit transformasi LSM untuk memiliki agenda politik dan melakukan reorganisasi . Sulit untuk memberikan kesimpulan adanya spektrum LSM, karena penguasaan LSM oleh: (1) kelompok-kelompok sosial-demokrat (merupakan rangkaian generasi eks PSI), (2) kelompok-kelompok protestan, katolik, dan Islam modernis (rangkaian generasi MASYUMI, Muhammadiyah/HMI, dan NU), memiliki konsep dan tindakan politiknya yang sama: berwatak tengah. Usaha yang tengah dilakukan, yakni mengadakan persekutuan diantara mereka pun tidak memberikan dampak yang berarti.

1985 DAN SETERUSNYA

Kebekuan respon masyarakat terhadap kondisi obyektif ekonomi-politik yang sangat negatif bagi pembagunan demokrasi politik dan keadilan sosial berhasil dikuakkan oleh gerakan mahasiswa akhir-akhir ini, gerakan yang oknum-oknumnya mayoritas berasal dari kelas menengah ke bawah, dan masih sektarian bila dibandingkan dengan Filipina atau Korea Selatan . Bila dilihat aksi dan issuenya, gerakan mahasiswa sekarang relatif lebih merakyat, berhasil dalam membentuk opini dan lebih kuat bargain politiknya , ketimbang gerakan buruh, petani atau sektor-sektor masyarakat lainnya. Gerakan-gerakan sektor-sektor lainnya, terutama sektor buruh dan petani, hanya berkonsolidasi dengan gerakan mahasiswa dari segi issuenya saja, belum dari segi aksinya. Apalagi dari segi keorganisasiannya untuk kondisi Indonesia, hal ini memang wajar dalam tahap awal.
Sewajarnya juga dalam tahap awal, konsolidasi aksi tersebut tidaklah menyiratkan adanya konsolidasi solid keorganisasian,ia hany merupakan konsolidasi aksi yang insidental; bereaksi bila tercapai kesepakatan mengangkat issue yang sama. Konsolidasi solid keorganisasian tidak pernah terdorong oleh kekuatan bargain politik yang dihasilkan oleh gerakan mahasiswa oleh generasi tahun 80-an, pencairan NKK/BKK yang otomatis juga pencairan Dewan Mahasiswa, benar-benar hanya merupakan iming-iming dari MENDIKBUD. Namun nampaknya pencairan itupun bukanlah merupakan faktor yang lebih menentukan lagi kelanjutan gerakan mereka, karena ternyata issue-issue sektarian otonomi kampus tidak terus menarik lagi untuk di perjuangkan; yang lebih menentukan adalah momentum obyektif ekonomi-politik dan pengkondisian subyektif oleh lingkaran kecil yang berdampak terutama bagi lingkaran kecil tersebut , ataupun bagi gerakan secara keseluruhan. Dan konsolidasi solid keorganisasian inilah yang dapat terus-menerus merespon dan berdialektik dengan kondisi obyektif ekonomi-politik Indonesia. Tanpa ini, kita hanya akan mengulangi kesalahan sejarah gerakan pemuda dan mahasiswa sebelumnya, yang pantang menyerah namun pecundang.
Aksi mahasiswa Ujung Pandang, 1987 adalah aksi yang baru pertama kalinya turun ke jalan (rally) dengan massa yang relatif besar, serta dengan issue tentang kebijakan pemerintah dibidang lalu-lintas (helm), judi dan ekspresi kesulitan ekonomi. Aksi ini dihentikan dengan biaya dikorbankannya demokrasi oleh pemerintah; memakan jiwa manusia.
Kasus Tanjung Priok dan gerakan mahasiswa Ujung Pandang yang keduanya memakan jiwa manusia, tidak sampai mendapatkan respon populer dikalangan mahasiswa. Dalam merespon kasus Ujung Pandang, hanya mahasiswa ITB-UNPAD yang secara terbuka mengeluarkan pernyataan di DPR-MPR RI, sebelumnya hanyalah dalam aksi pamflet gelap dan sedikit pemberitaan di pers kampus. Aksi Ujung Pandang tersebut hanya direspon oleh mahasiswa ITB-UNPAD, setelah sebelumnya mahasiswa-mahasiswa ITB menurunkan aksi dengan massa yang lebih sedikit, tidak turun ke jalan (mendatangi Rektorat), dan dengan issue yang sektarian ; soal skorsing salah seorang mahasiswanya.
Intensitas aksi-aksi mahasiswa ITB pada waktu itu tinggi sekali (baru pertama kalinya dalam tahun 80-an), hampir dalam waktu 1,5 bulan mahasiswa ITB terus-menerus mengadakan aksi dengan issue-issue yang resikonya lebih tinggi (tidak ada kontinum issue-issue yang berkerangka dialektik taktik-strategik). Aksi-aksi ini juga terganggu oleh menurunnya kualitas konsolidasi dengan mahasiswa-mahasiswa UNPAD, dan tidak terjalinnya konsolidasi dengan mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta pada waktu mereka menghadiri Peringatan Hari Hak Asasi di Yogyakarta. Aksi-aksi itu dihancurkan oleh militer dengan cara penangkapan-culik, dan dengan alasan yang dibuat-buat (dikatakan; bahwa pada acara panggung malam acara tahun baru, yang organisatornya mahasiswa-mahasiswa baru, mahasiswa ITB menurunkan issue-issue yang berbau komunis). Nampaknya tidak ada kontinum yang seimbang antara peningkatan issue dengan konsolidasi massa di kotanya sendiri dan antar kota. Celah-celah kegiatan pers dan tersebarnya mass media kampus, kegiatan-kegiatan diskusi, aksi-aksi yang kontinumnya dipikirkan masak-masak, benar-benar memberikan pengalaman yang berharga baik dari segi pematangan pemahaman, penyatuan alam pikiran, maupun rekonsolidasi. Selanjutnya gerakan mahasiswa generasi tahun 80-an. Kontinum gerakan mahasiswa generasi tahun 80-an nampaknya kini lebih menggembirakan. Hingga sekarang mereka bisa merebut opini nasional dan internasional, issuenya lebih merakyat, bargain politiknya lebih kuat, dapat menarik simpati masyarakat, serta (tak seperti generasi sebelumnya) tingkat kolaborasi (yang menghilangkan independensi) dengan unsur-unsur administrasi militer, birokrat, partai-partai legal, eks partai, ormas-ormas, LSM, kelompok study ataupun lainnya, boleh dikatakan sangat rendah. Namun, kontinum tersebut belumlah sampai pada tingkat konsolidasi solid seperti yang dijelaskan di halaman sebelumnya. Status yang ada sekarang tentu saja dengan melewati masa-masa yang cukup menyulitkan, memakan waktu yang kadang-kadang mengesalkan, menyita pikiran dan dana yang tidak sedikit. Dan banyak aktifis-aktifis mahasiswa yang mengorbankan kesenangan-kesenangan yang biasa mereka nikmati sebelumnya .
Dan karena issue-issue yang diturunkan sudah lebih merakyat, maka issue-issue seperti deregulasi, liberalisasi, dan swastanisasi ekonomi tidak populer di kalangan mahasiswa karena kepentingan issue-issue tersebut yang jelas akan merubah konstelasi modal denga cara-cara yang lebih "demokratis" (sesuai dengan rasionalisasi kapitalisme). Dan makna pendemokratisasian konstelasi modal, pada kondisi struktur modal domestik dan asing sekarang di Indonesia, hanyaakan dinikmati atau dimenangkan oleh pesaing modal yang lebih besar. Kesulitan dana yang ditanggung oleh pemerintah jelas akan mengundang pendemokratisasian konstelasi modal, namun arahnya kesana atau tidak tergantung pinjaman (hutang) luar negeri dan diizinkannya pengeksploitasian sumber-sumber daya oleh pihak asing (perlu diingat: Indonesia tidak pernah berusaha untuk mampu mandiri). Sekarang, apapun jalan yang akan diambil oleh kelembagaan trias politika Republik Indonesia, yang identik satu suara, tetap akan menimbulkan krisis hubungan sosial dalam masyarakat Indonesia. Krisis ini akan dapat di perlambat bila militer dapat menekan pemerintah untuk menahan kecenderungan pemusatan modal di segelintir orang-orang yang memperoleh kemudahan-kemudahan serta mengadakan program-program penghiburan ekonomi dan politik; menaikkan kesejahteraan masyarakat strata sosial menengah dan ke bawah, serta merubah konstelasi kekuasaan. Dengan kata lain, perspektifnya tergantung juga kepada bagaimana militer dapat menekan kekuasaanagar lebih ke tengah. tentu saja Amerika dan Jepang akan senang dengan tindakan ini: kedamaian modal mereka akan terjamin.




Militer dan Gerakan Mahasiswa
Oleh TETI SOLIHAT

ISU mengenai militer ini sempat tidak terdengar di telinga kita seiring dengan problematika pemerintahan yang semakin kompleks. Namun akhir-akhir ini isu tersebut kembali mencuat ke permukaan sehubungan dengan munculnya dua figur militer dalam bursa calon presiden dan satu orang dalam bursa calon wakil presiden. Ada beberapa catatan yang perlu dijelaskan seputar isu ini.
Lahirnya dikotomi sipil-militer sudah dianggap seperti hukum alam dalam sebuah negara. Bahkan jauh sebelum dikenal pemerintahan demokrasi pun, jabatan patih sebagai kepala pasukan kerajaan menunjukkan eksistensi militer menjadi sebuah keharusan. Permasalahan selanjutnya muncul ketika lahir pertanyaan sejauh mana peran militer dalam sebuah negara.
Untuk menjawab pertanyaan tadi, kita harus menyimak akar permasalahan sesungguhnya. Ide dasar dihadirkannya kalangan militer dalam sebuah negara adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara. Jauh sebelum Indonesia merdeka, perjuangan melawan penjajahan dilakukan oleh rakyat sehingga kemudian muncul Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai tameng hidup negara. Kehadiran BKR disambut meriah rakyat Indonesia yang kala itu belum memiliki tentara. Dari zaman ke zaman, BKR ini mengalami metamorfosis menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Penamaan ini pun terkesan represif dan "sangar" sehingga di era reformasi diubah penamaannya menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang berkesan penjaga kedaulatan rakyat semata.
Secara substantif eksistensi militer di Indonesia lebih ditujukan pada pertahanan negara. Namun peranan ini mengalami deviasi seiring dengan perubahan konstelasi politik di era 1966 di mana terjadi peralihan kekuasaan, terlepas dari kontroversi sejarah yang melingkupinya, antara Orde Lama dengan Orde Baru. Seketika itulah, militer mengambil peranan penting dalam kehidupan bernegara, terlebih saat itu H.M. Soeharto mendapat mandat sebagai Pangkopkamtib yang berakhir dengan lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Posisi Soeharto sebagai representasi ABRI kala itu sangatlah kuat dan didaulat sebagai Presiden RI setelah Soekarno. Pasca "terpilihnya" Soeharto tadi, militer mulai menguatkan cengkeramannya dalam lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Dibentuknya infrastruktur militer hingga tingkat babinsa menunjukkan perlunya pengamanan pemerintahan melalui doktrinasi pada rakyat. Di era itu jualah demokrasi dipahami secara parsial.
Adanya fusi partai politik ke dalam tiga partai pada tahun 1973 mengindikasikan tingginya tingkat pemahaman politik kalangan militer serta cerdiknya strategi yang diterapkan. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) saat itu mewakili kalangan religius dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) mewakili kalangan nasionalis, sedangkan Golongan Karya (Golkar) dicitrakan sebagai partai jalan tengah pro pembangunan sehingga melibatkan segenap aparatur pemerintahan baik pusat maupun daerah, baik struktural maupun nonstruktural. Kondisi seperti ini telah membius iklim demokrasi di Indonesia.
Pembiusan ini berlangsung selama 32 tahun yang ternyata menyimpan berbagai letupan kecil menuntut demokratisasi di Indonesia. Dan suara itu lebih disuarakan oleh kalangan mahasiswa sebagai agent of social change. Akumulasi dari letupan kecil ini terjadi pada tahun 1998 sekaligus menjadi tonggak awal reformasi seiring krisis moneter dialami Indonesia. Pada tahun 1998, tuntutan reformasi semakin meluas tidak hanya pada tataran ekonomi, politik, hukum bahkan sudah menjurus pada isu subjektif mengarah pada figur seorang Soeharto. Militer yang dalam hal ini direpresentasikan oleh Soeharto mendapat kecaman yang tidak kalah hebatnya mulai dari desakan untuk menghapus dwifungsi ABRI hingga pengembalian total seluruh kekuatan militer ke barak.
Isu yang diangkat ini tentunya memiliki alasan tersendiri yaitu adanya trauma politik rakyat terhadap kepemimpinan militer. Dan dewasa ini tuntutan mahasiswa tidak hanya sebatas profesionalisme militer melainkan sudah merambah ke wilayah politik, sejalan dengan munculnya figur militer ke dalam bursa pencalonan presiden. Tak ayal lagi gerakan mahasiswa ini adalah gerakan politik. Layaknya sebuah manuver politik, gerakan ini pun disinyalir didanai kelompok politik tertentu untuk menolak calon presiden dari kalangan militer.
Menyikapi hal ini diperlukan pengkajian yang lebih mendalam. Apakah gerakan ini murni hasil kajian mahasiswa atau sebatas emosional belaka? Penulis lebih sepakat bahwa gerakan ini hanya luapan emosi semata yang berasal dari kekhawatiran masa lalu terulang kembali. Jika kita telaah lebih jauh, penolakan capres berlatar belakang militer justru menunjukkan ambiguitas, bahkan menguatkan asumsi standar ganda yang diterapkan mahasiswa. Karena menghalangi pencalonan seseorang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang selama ini digaungkan mahasiswa.
Salah satu renungan yang perlu dipikirkan mahasiswa dewasa ini adalah dengan mencari kembali akar dari gerakan yang mereka lakukan. Beberapa isu yang ditawarkan akhir-akhir ini terkesan berbeda dengan realita di lapangan. Tentunya ini menjadi sentilan-sentilan tersendiri terhadap gerakan moral mahasiswa. Apakah gerakan mahasiswa telah menjadi gerakan eksklusif tersendiri dan mulai meninggalkan aura hati nurani rakyat? Atau memang pola pikir rakyat yang cenderung pragmatis sehingga jauh dari nilai idealisme yang diusung mahasiswa? Namun di balik itu semua, suatu hal yang pasti bahwa mahasiswa telah gagal dalam menge-set mind pola pikir rakyat. Tetapi kegagalan ini bukanlah alasan untuk berhenti "bergerak" melainkan mahasiswa harus kembali pada khittah perjuangannya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.***
Penulis mahasiswa Fikom Unpad Bandung.
GERAKAN MAHASISWA SEBAGAI GERAKAN PEMBERDAYAAN DAN IDENTITAS
(Bagian Pertama dari Dua Tulisan)
Diskurkus tentang mahasiswa dan gerakannya sudah lama menjadi pokok bahasan dalam berbagai kesempatan pada hampir sepanjang tahun. Begitu banyaknya forum-forum diskusi yang diadakan, telah menghasilkan pula pelbagai tulisan, makalah, maupun buku-buku yang diterbitkan tentang hakikat, peranan, dan kepentingan gerakan mahasiswa dalam pergulatan politik kontemporer di Indonesia. Terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat.
Bahkan, bisa dikatakan bahwa gerakan mahasiswa seakan tak pernah absen dalam menanggapi setiap upaya depolitisasi yang dilakukan penguasa. Terlebih lagi, ketika maraknya praktek-praktek ketidakadilan, ketimpangan, pembodohan, dan penindasan terhadap rakyat atas hak-hak yang dimiliki tengah terancam. Kehadiran gerakan mahasiswa --- sebagai perpanjangan aspirasi rakyat ---- dalam situasi yang demikian itu memang amat dibutuhkan sebagai upaya pemberdayaan kesadaran politik rakyat dan advokasi atas konflik-konflik yang terjadi vis a vis penguasa. Secara umum, advokasi yang dilakukan lebih ditujukan pada upaya penguatan posisi tawar rakyat maupun tuntutan-tuntutan atas konflik yang terjadi menjadi lebih signifikan. Dalam memainkan peran yang demikian itu, motivasi gerakan mahasiswa lebih banyak mengacu pada panggilan nurani atas keperduliannya yang mendalam terhadap lingkungannya serta agar dapat berbuat lebih banyak lagi bagi perbaikan kualitas hidup bangsanya.
Dengan demikian, segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa lebih merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu, peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Saking begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakkan negara di dunia telah mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Alasan utama menempatkan mahasiswa beserta gerakannya secara khusus dalam tulisan singkat ini lantaran kepeloporannya sebagai "pembela rakyat" serta keperduliannya yang tinggi terhadap masalah bangsa dan negaranya yang dilakukan dengan jujur dan tegas. Walaupun memang tak bisa dipungkiri, faktor pemihakan terhadap ideologi tertentu turut pula mewarnai aktifitas politik mahasiswa yang telah memberikan konstribusinya yang tak kalah besar dari kekuatan politik lainnya. Oleh karenanya, penulis menyadari bahwa deskripsi singkat dalam artikel ini belum seutuhnya menggambarkan korelasi positif antara pemihakan terhadap ideologi tertentu dengan kepeloporan yang dimiliki dalam menengahi konflik yang ada. Mungkin bisa dikatakan artikel ini lebih banyak mengacu pada refleksi diskursus-diskursus politik kekuasaan otoritarian Orde Baru yang sengit dilakukan di kalangan aktifis mahasiswa dalam dekade 90-an. Di mana sebagian besar gerakan-gerakan mahasiswa yang terjadi kala itu, penulis ikut terlibat di dalamnya. Tentunya, pendekatan analisis dalam artikel ini lebih mengacu pada gerakan mahasiswa pro-demokrasi jauh sebelum maraknya gerakan mahasiswa dalam satu tahun terakhir ini, yang akhirnya mengantarkan pada pengunduran diri Presiden Soeharto.
Pemihakan terhadap ideologi tertentu dalam gerakan mahasiswa memang tak bisa
Artikel:
dihindari. Pasalnya, pada diri mahasiswa terdapat sifat-sifat intelektualitas dalam berpikir dan bertanya segala sesuatunya secara kritis dan merdeka serta berani menyatakan kebenaran apa adanya. Maka, diskursus-diskursus kritis seputar konstelasi politik yang tengah terjadi kerap dilakukan sebagai sajian wajib yang mesti disuguhkan serta dianggap sebagai tradisi yang melekat pada kehidupan gerakan mahasiswa Pada mahasiswa kita mendapatkan potensi-potensi yang dapat dikualifikasikan sebagai modernizing agents. Praduga bahwa dalam kalangan mahasiswa kita semata-mata menemukan transforman sosial berupa label-label penuh amarah, sebenarnya harus diimbangi pula oleh kenyataan bahwa dalam gerakan mahasiswa inilah terdapat pahlawan-pahlawan damai yang dalam kegiatan pengabdiannya terutama (kalau tidak melulu) didorong oleh aspirasi-aspirasi murni dan semangat yang ikhlas. Kelompok ini bukan saja haus edukasi, akan tetapi berhasrat sekali untuk meneruskan dan menerapkan segera hasil edukasinya itu, sehingga pada gilirannya mereka itu sendiri berfungsi sebagai edukator-edukator dengan cara-caranya yang khas".
Masa selama studi di kampus merupakan sarana penempaan diri yang telah merubah pikiran, sikap, dan persepsi mereka dalam merumuskan kembali masalah-masalah yang terjadi di sekitarnya. Kemandegan suatu ideologi dalam memecahkan masalah yang terjadi merangsang mahasiswa untuk mencari alternatif ideologi lain yang secara empiris dianggap berhasil. Maka tak jarang, kajian-kajian kritis yang kerap dilakukan lewat pengujian terhadap pendekatan ideologi atau metodologis tertentu yang diminati. Tatkala, mereka menemukan kebijakan publik yang dilansir penguasa tidak sepenuhnya akomodatif dengan keinginan rakyat kebanyakan, bagi mahasiswa yang committed dengan mata hatinya, mereka akan merasa "terpanggil" sehingga terangsang untuk bergerak.
Dalam kehidupan gerakan mahasiswa terdapat adagium patriotik yang bakal membius semangat juang lebih radikal. Semisal, ungkapan "menentang ketidakadilan dan mengoreksi kepemimpinan yang terbukti korup dan gagal" lebih mengena dalam menggugah semangat juang agar lebih militan dan radikal. Mereka sedikit pun takkan ragu dalam melaksanakan perjuangan melawan kekuatan tersebut. Pelbagai senjata ada di tangan mahasiswa dan bisa digunakan untuk mendukung dalam melawan kekuasaan yang ada agar perjuangan maupun pandangan-pandangan mereka dapat diterima. Senjata-senjata itu, antara lain seperti; petisi, unjuk rasa, boikot atau pemogokan, hingga mogok makan. Dalam konteks perjuangan memakai senjata-senjata yang demikian itu, perjuangan gerakan mahasiswa --- jika dibandingkan dengan intelektual profesional ---- lebih punya keahlian dan efektif.
Kedekatannya dengan rakyat terutama diperoleh lewat dukungan terhadap tuntutan maupun selebaran-selebaran yang disebarluaskan dianggap murni pro-rakyat tanpa adanya kepentingan-kepentingan lain meniringinya. Adanya kedekatan dengan rakyat dan juga kekauatan massif mereka menyebabkan gerakan mahasiswa bisa bergerak cepat berkat adanya jaringan komunikasi antar mereka yang aktif ( ingat teori snow bowling)..
Oleh karena itu, sejarah telah mencatat peranan yang amat besar yang dilakukan gerakan mahasiswa selaku prime mover terjadinya perubahan politik pada suatu negara. Secara empirik kekuatan mereka terbukti dalam serangkaian peristiwa penggulingan, antara lain seperti : Juan Peron di Argentina tahun 1955, Perez Jimenez di Venezuela tahun 1958, Soekarno di Indonesia tahun 1966, Ayub Khan di Paksitan tahun 1969, Reza Pahlevi di Iran tahun 1979, Chun Doo Hwan di Korea Selatan tahun 1987, Ferdinand Marcos di Filipinan tahun 1985, dan Soeharto di Indonesia tahun 1998. Akan tetapi, walaupun sebagian besar peristiwa pengulingan kekuasaan itu bukan menjadi monopoli gerakan mahasiswa sampai akhirnya tercipta gerakan revolusioner. Namun, gerakan mahasiswa lewat aksi-aksi mereka yang bersifat massif politis telah terbukti menjadi katalisator yang sangat penting bagi penciptaan gerakan rakyat dalam menentang kekuasaan tirani

PUBER IDEOLOGI
Fadli Zon*
Sebagai mahasiswa baru Universitas Indonesia di tahun 1991, saya diajak teman
berdiskusi di rumah kos seorang mahasiswa senior. Di sana telah berkumpul 20-an
mahasiswa siap membahas tulisan Jorge Larrain, penulis buku A Reconstruction
of Historical Materialism. Mula-mula pembahas memaparkan tentang
pikiran-pikiran Larrain. Dalam diskusi, hampir setiap orang beranjak dari
paradigma yang sama: masalah alienasi, perjuangan kelas, materialisme historis,
akumulasi dan disakumulasi modal, dan revolusi.
Ketika saya ikut menyumbang pikiran dengan berangkat dari pemikiran Islam, dan
menolak Marxisme, suasana hening dan semua mata menyorot tajam. Satu per
satu peserta diskusi itu meyakinkan saya bahwa Islam bukanlah alternatif dan
secara umum, agama bukanlah jawaban terhadap persoalan-persoalan rakyat. Tentu
saja saya membantah argumentasi-argumentasi mereka. Saya katakan, Uni Soviet
sebagai kampiun komunisme hampir runtuh (saat itu baru saja terjadi usaha kudeta
Agustus yang digagalkan oleh Boris Yeltsin) dan rakyat di negara-negara Eropa
Timur sudah menolak komunisme. Ini adalah bukti kegagalan praktek
Marxisme-Leninisme dan ideologi komunisme. Yang mengherankan, kenyataan
buram dunia komunis itu ditepis dengan argumentasi bahwa negara-negara itu tidak
menerapkan teori dengan benar.
Di ruangan itu belasan buku Karl Marx dan Frederick Engels tertata rapi. Di
bagian lain ada buku-buku Pramoedya yang dilarang, beberapa buku Mao,
buku-buku klasik komunisme serta buku-buku langka dan terlarang lainnya.
Sebagian buku Marx-Engels itu berbahasa Indonesia seperti buku Manifes Partai
Komunis yang diterbitkan Jajasan "Pembaruan" tahun 1960. Buku Lenin Negara
dan Revolusi yang dicetak kembali tahun 1976, sebelas tahun setelah G 30-S/PKI,
juga ada di sana. Di atas meja belajar sederhana berdiri foto Lenin tanpa
bingkai.
Belakangan saya tahu, buku-buku itu hanya hiasan perlawanan, tidak dibaca
seluruhnya, sebagian besar hanya membaca introduction. Diskusi berhenti tanpa
kejelasan. Di antara mereka sendiri tidak ada perdebatan, satu sama lain saling
mendukung karena mungkin telah percaya pada Marx walaupun tidak mengerti
benar apa itu Marxisme atau Marxisme Leninisme.
Fenomena di atas tidak hanya terjadi di Universitas Indonesia. Kajian kritis di
kampus-kampus lain pun tidak sedikit yang memuja kembali Marx-Lenin-Mao,
bukan new left atau kiri baru. Proses kaderisasi dan rekruitmen berlangsung
terus
melalui diskusi, aksi dan advokasi lainnya seperti pembinaan terhadap buruh
maupun petani. Hal ini merupakan suatu resistensi terhadap kekuasaan dan
statusquo, yang mereka anggap telah memenjarakan kebebasan dan menindas
rakyat. Merekalah yang sering disebut kelompok "merah" atau "kiri." Sedangkan
aktivis-aktivis muslim disebut kelompok "hijau" atau "kanan." Kelompok lainnya
sering disebut sebagai kelompok "independen," kelompok "putih" untuk yang
netral dan bahkan ada yang disebut kelompok "semangka," untuk mereka yang
berwajah hijau tapi berhati merah. Klasifikasi ini bukan hal baru dan ia
merupakan
simplifikasi yang kadangkala menyesatkan namun terlanjur diterima.
Aktivis-aktivis mahasiswa era 1990-an adalah mereka yang terputus dari akar
gerakan mahasiswa di tahun 1970-an dan menjadi korban kekalahan aktivis-aktivis
mahasiswa akhir 1970-an. Dengan adanya NKK/BKK pada awal 1980-an,
depolitisasi kampus berjalan efektif. Organisasi mahasiswa ekstrauniversiter
seperti
HMI, PMII, PMKRI, GMNI, GMKI, dan lain-lain, yang selama itu berperan
dalam gerakan mahasiswa, telah dicabut akarnya dari kampus.
Kebijakan kembali ke kampus untuk belajar, makin berhasil dengan sistem kredit
semester yang kurang ditunjang fasilitas infrastruktur pendidikan yang memadai.
Akhirnya mahasiswa menghadapi oppotunity cost: belajar atau beraktivitas.
Sebagian aktivis "kiri" di kampus tidak begitu outstanding dalam prestasi studi,
bahkan tidak sedikit yang drop out.
Kelompok "kiri" tidaklah fenomenal di era 1980-an. Meskipun sebagian besar
aktivis mahasiswa adalah kalangan sekuler dan "abangan," namun kelompok "kiri"
yang memuja Marxisme-Leninisme-Maoisme, sebut saja "kiri klasik," masih dalam
jumlah relatif kecil dan tidak berani menampakkan diri. Mereka mendapat angin
di era 1990-an dengan makin globalnya isu hak asasi manusia dan demokrasi.
Kepentingan ini bertemu dengan kepentingan anak-anak eks PKI yang menjadi
aktivis, yang sakit hati karena perlakuan tidak adil atas dosa yang
dilakukan orang tua mereka.
Harus diakui, di antara mereka ada pula orang-orang yang memang murni
memperjuangkan kepentingan rakyat tanpa embel-embel ideologi. Namun tidak bisa
dikatakan bahwa yang membela rakyat itu selalu kelompok "kiri." Kelompok
aktivis mahasiswa Islam termasuk yang rajin membela nasib rakyat akibat
penggusuran, upah buruh rendah dan bentuk ketidakadilan lainnya.
Kesan yang dimunculkan kelompok "kiri" dengan the power to think dan the desire
to rebel, dalam kenyataannya tidak selamanya benar. Seorang teman yang ketika
mahasiswa menjadi aktivis "kiri," tidak lama setelah lulus menjadi seorang yang
begitu kompromis terhadap kenyataan hidup. Maka saya melihat kebangkitan
kelompok mahasiswa atau kaum muda "kiri" termasuk yang ikut-ikutan membela
Pramoedya sebenarnya karena puber ideologi. Bahayanya adalah mereka tidak
membaca Marx atau Marxisme secara tuntas, tetapi merasa paling tahu ajaran itu
dan berusaha memperjuangkannya.
* Dewan Redaksi Majalah HORISON dan mahasiswa Program Studi Rusia, UI.
Dimuat sebagai KOLOM Majalah GATRA edisi 14 Oktober 1995.

Peta Politik Indonesia - part 1
PERUBAHAN POLITIK INDONESIA PASCA SOEHARTO DAN POSISI UMMAT ISLAM
Oleh: Drs. Mahfudz Siddiq
Peneliti Yayasan SIDIK Jakarta
Bagian Kesatu
Kamis, 21 Mei 1998 merupakan hari bersejarah dalam kehidupan bernegara di Indonesia. Hari itulah Soeharto menyatakan pengunduran dirinya dari jabatan Presiden yang pada hakikatnya menandakan runtuhnya rezim Soeharto (baca: Orde Baru) yang telah berkuasa selama 32 tahun. Peristiwa itu merupakan klimaks dari perjuangan gerakan pro-reformasi yang dimotori oleh mahasiswa. Sejarah telah menemukan putaran baliknya setelah berjalan begitu lamban sejak kejatuhan rezim Orde Lama.
1. Tiga Faktor Utama Pemicu Gagasan Reformasi
Berkembangnya gagasan-gagasan idealistik tentang reformasi yang lalu mengkristal menjadi isu bersama menumbangkan rezim Soeharto, setidaknya disebabkan oleh tiga faktor utama.; Pertama, kerapuhan sistem Orde Baru. Pola kekuasaan sentralistik-militeristik telah menumbuh-kembangkan iklim politik yang sangat distortif yang akhirnya merambah ke aspek-aspek kehidupan lain. Sistem yang dibangun lebih didasari oleh motif untuk menjaga status-quo dengan mengabaikan pemberdayaan unsur-unsur masyarakat dan bangsa. Sistem otoriter ini telah memunculkan the strong state dimana seluruh unsur-unsur masyarakat dan bangsa sangat bergantung kepada negara.
Pola komunikasi paternalistik menyuburkan hubungan-hubungan tidak wajar dalam perilaku politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dan negara. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi konsekuensi wajar dari pola hubungan ini. Pada gilirannya, budaya KKN ini bukan saja berdampak secara ekonomis, tapi juga politis. Pola hubungan dalam kekuasaan menjadi tidak transparan dan para pelaku kekuasaan cenderung mengembangkan pola tersebut ke lapisan subordinasinya untuk menjamin dan mengokohkan posisi-posisi politiknya. Sehingga KKN di Indonesia bukan saja sebagai budaya pemerintahan, tetapi juga menjadi budaya masyarakat.
Dalam kondisi seperti ini, sebenarnya sistem itu tidak berjalan sebagaimana mestinya. Proses pemerintahan dan bahkan kehidupan masyarakat lebih banyak dipandu oleh hubungan-hubungan distrotif yang sudah menjadi konsensus di bawah tangan. Dan bahkan setiap upaya untuk menjelaskan suatu masalah dengan merujuk kepada sistem sering mengalami jalan buntu. Kasus-kasus hukum yang berhubungan dengan elit politik menjadi contoh paling; konkret dalam hal ini.
Ketika semua hubungan yang terjadi berpangkal pada satu figur kekuasaan - yaitu presiden - maka banyak pihak menilai bahwa presiden merupakan representasi dari sistem itu sendiri. Di sinilah letak kerapuhan utama Orde Baru. Logika yang dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya adalah bila figur tunggal kekuasaan jatuh, maka secara bersamaan sistem itu akan ikut runtuh pula.
Faktor kedua menguatnya gerakan anti-kemapanan.; Selama masa kekuasaannya, orientasi kebijakan politik rezim Orde Baru telah memunculkan dua arus gerakan anti-kemapanan. Selama fase 1967 - 1987, Orde Baru menarik garis politik tegas terhadap Islam yang dipicu oleh trauma politik kasus DI/NII dan PRRI-Permesta. Kebijakan ini juga tidak lepas dari peran politik kalangan Kristen (khususnya Katolik) yang sejak awal berdirinya Orde Baru secara intens membangun akses ke pusat kekuasaan. Orientasi kebijakan politik ini melahirkan gerakan-gerakan Islam ekstrem yang bersifat sangat ideologis. Gerakan Aceh Merdeka, Tanjung Priok (Komando Jihad), Lampung (GPK) dan NII.
Walaupun kasus-kasus di atas meninggalkan dosa sejarah bagi rezim Orde Baru, namun politik akomodatif yang diambil Soeharto terhadap ummat Islam sejak awal tahun 1987 telah banyak mengubah sikap politik berbagai kalangan Islam. Bahkan sejak awal tahun 90-an, terjadi kristalisasi dukungan dan legitimasi ummat Islam terhadap rezim Soeharto. Munculnya ICMI dan langkah-langkah politik Soeharto yang bernuansa Islam menjadi simbol menguatnya politik akomodasi yang bersifat mutual-simbiosis.
Legitimasi ummat Islam terhadap Soeharto memberikan ruang baginya untuk melicinkan dan mengokohkan proses pewarisan kekuasaan kepada anak-anaknya kelak. Pada sisi lain, koridor lebih besar yang diberikan kepada kalangan Islam memberikan angin segar dan ruang gerak yang lebih terbuka untuk mengakselerasi potensi-potensi kekuatan ummat. Situasi inilah yang akhirnya mempengaruhi sikap sebagian besar kalangan Islam terhadap rezim Soeharto dalam masa-masa kritis menguatnya tuntutan reformasi.
Arus kedua, gerakan anti-kemapanan yang berkembang pada fase 1987 sampai sekarang. Gerakan ini lebih bersifat politis dan sangat variatif. Mereka berasal dari unsur-unsur yang terpinggirkan oleh politik akomodatif Soeharto kepada kalangan Islam. Umumnya mereka dari kalangan Kristen dan Nasionalis. Kedua, mereka berasal dari sisa-sisa Orde Lama, baik secara personal, pemikiran politik sampai ideologi. Sebagiannya mengkristal di bawah payung Megawati dengan Soekarnoisme-nya, dan sebagian lagi tetap bermain di dalam sistem Orde Baru.
Kelompok ketiga adalah dari unsur-unsur lawan politik Orde Baru yang dilabelkan komunis. Sikap politik Soeharto yang mengisolasi hak-hak hidup napol PKI dan keluarganya telah melahirkan kekuatan lawan laten yang siap muncul secara tiba-tiba. Kelompok keempat, kalangan muda yang menganut paham Teologi Pembebasan yang secara ideologis cenderung sosialisme-marxisme. Mereka mengkristal ke dalam wadah LSM-LSM dan memiliki jaringan kerja internasional. Kemunculan mereka juga didorong oleh kebijakan depolitisasi kampus yang diantaranya melahirkan gerakan-gerakan bawah-tanah (OTB). Kelima, kalangan pro-demokrasi. Yang terakhir ini tidak memiliki sandaran ideologis yang jelas, namun sangat dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran politik dan keagamaan yang cenderung liberal.
Bahkan sebagian tokoh-tokohnya dari kalangan muslim. Mereka mengambil posisi berseberangan dengan rezim melalui agenda demokratisasi.
Dalam kasus 27 Juli 1996 (Kudatuli), kelima unsur anti-kemapanan ini bisa bertemu dalam Aliansi Pelangi yang dengan gerbong demokrasi mengedepankan agenda penumbangan rezim. Namun kasus Kudatuli ternyata belum menjadi momentum yang tepat bagi sebuah gerakan perlawanan terbuka. Malah sebaliknya, rezim Soeharto berhasil menanamkan opini komunisme kepada gerakan Kudatuli yang direpresentasikan oleh Partai Rakyat Demokratik (PRD). Justifikasi kalangan Islam terhadap sikap keras Soeharto memberangus PRD pada akhirnya juga mempengaruhi sikap politik kalangan anti-kemapanan terhadap ummat Islam pasca Soeharto.
Faktor ketiga, krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan. Sejak Juli 1997, kawasan Asia dilanda krisis ekonomi yang mempengaruhi kondisi politik. Indonesia merupakan satu-satunya negara yang paling parah dan lama menanggung krisis ekonomi ini. Itu disebabkan kerapuhan sistem ekonomi dan politik Indonesia, sehingga tidak mampu secara cepat mengatasi masalah yang memang sangat dipengaruhi oleh faktor
internasional.
Krisis moneter terjadi pada saat Indonesia berada pada titik yang sangat berbahaya, namun justru tidak disadari oleh banyak kalangan. Yaitu tingginya jumlah utang luar negeri dan besarnya ketergantungan impor bahan baku bagi proses produksi di dalam negeri. Depresiasi rupiah mengakibatkan guncangnya seluruh sendi perekonomian Indonesia yang berjalan dengan multiflying effect-nya. Ketidaksiapan sistem politik (yang distortif) untuk mengambil kebijakan-kebijakan tepat mengakibatkan berkepanjangannya krisis tersebut sampai menghancurkan infra-struktur perekonomian nasional. Rontoknya dunia perbankan, terjepitnya sektor ekonomi kecil, macetnya proses produksi dan distribusi menjadi bom waktu yang siap (dan ternyata telah) melahirkan krisis politik dan sosial.
2. Gerakan Mahasiswa Menuntut Reformasi
Dalam konteks tiga faktor utama inilah, gagasan-gagasan reformasi idealistik semakin berkembang dan bahkan menjadi main-issue. Gagasan ini baru bergulir menjadi sebuah gerakan ketika mahasiswa dari berbagai kampus mulai bicara mengangkat issu reformasi sampai kepada aksi-aksi turun ke jalan. Secara tidak langsung, kemunculan gerakan mahasiswa di tahun 1998 ini memang dipengaruhi oleh ketiga faktor di atas. Namun masih ada penjelasan-penjelasan empirik lain untuk melogikakan kemunculan gerakan mahasiswa Indonesia yang spektakuler ini.
Sejak awal Februari 1998, aksi-aksi mahasiswa mulai mengarah kepada sebuah gerakan. Ini ditandai oleh mengkristalnya agenda tuntutan kepada agenda bersama, yaitu reformasi dan turunkan Soeharto, dan kedua ditandai oleh kesamaan pola aksi hampir seluruh mahasiswa. Ada dua instrumen kekuatan mahasiswa yang bekerja secara efektif selama proses tuntutan reformasi. Pertama kekuatan massa (mass power). Dalam kekuatan massa besar yang tak terorganisir, mahasiswa bisa bersatu oleh kepentingan yang sama, yaitu reformasi dan pijakan yang sama, yaitu tanggung-jawab moral-intelektual mereka. Kedua adalah kekuatan lembaga (institutional power), yang umumnya direpresentasikan oleh SMPT.; Selain lembaga intra-kampus, yang juga turut meramaikan student movement ini adalah lembaga-lembaga mahasiswa ekstra-kampus. KAMMI, HMI dan GMNI bisa disebut sebagai contoh. Bahkan KAMMI termasuk unsur kekuatan yang leading dalam hal mobilisasi massa dan penyebaran aksi.
Kejatuhan Soeharto memang tidak semata-mata karena faktor gerakan mahasiswa. Namun bisa dipastikan, gerakan mahasiswa menjadi main-factor yang mempengaruhi unsur-unsur elit politik lain yang mempengaruhi jalannya proses politik. Setidaknya ada empat unsur kekuatan elit yang sangat dipengaruhi oleh gerakan mahasiswa. Pertama, elit intelektual. Mereka menyatu dalam agenda setting mahasiswa, ketika gerakan tersebut mulai mengkristal dan membuat arus besar. Para elit intelektual menjadi rallying figure bagi gerakan mahasiswa dan sekaligus justifikasi politik bagi keabsahan tuntutan reformasi dari mahasiswa. Bertemunya dua arus ini menandakan gerakan reformasi masih kuat warna elitisnya. Walaupun dalam agendanya diangkat sejumlah isu populis, namun unsur-unsur masyarakat lain yang secara langsung mewakili isu populis belum tampil menjadi arus lain yang berjalan bersama-sama.
Unsur kedua adalah kalangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Munculnya isu-isu reformasi selama SU MPR pada Maret 1998 mempercepat terjadinya perubahan sikap politik anggota dewan ketika para mahasiswa mengarahkan tuntutan reformasinya ke DPR/MPR. Keputusan pimpinan fraksi DPR untuk meminta presiden Soeharto meletakkan jabatan merupakan keputusan politik yang luar biasa. Ini menunjukkan, lembaga legislatif yang lama jumud ini terdinamisir kuat dan cepat oleh gerakan mahasiswa.
Unsur ketiga adalah kalangan anggota eksekutif. Pertanggung-jawaban moral, politik dan hukum yang didengungkan gerakan pro-reformasi sangat terasa pengaruhnya ke kalangan anggota kabinet. Kompleksitas krisis ekonomi dan derasnya tuntutan reformasi bukan saja membuat mereka _kehilangan fikiran_ tanpa bahkan memunculkan indikasi-indikasi awal untuk lompat pagar. Langkah ini bahkan sudah diambil jauh-jauh hari oleh mantan-mantan menteri yang dulu menikmati kehidupan rezim Soeharto.
Unsur lainnya adalah militer. Secara kelembagaan, militer berupaya menempatkan posisi di tengah dengan mengajukan sikap akomodatif dengan sejumlah reserves. Namun secara personal di tataran elitnya, terjadi friksi kuat dalam mensikapi proses perubahan. Sikap militer sangat menentukan proses pengambilan keputusan pada diri Soeharto. Unsur keempat, adalah luar negeri, khususnya Amerika Serikat. Banyak pihak sebelumnya menduga kuat bahwa telah terjadi deal politik antara AS dan Soeharto ketika ditanda-tangani letter of intent. Dugaan itu bahwa AS menerima figur Soeharto dengan konsesi besar yang harus diberikan oleh Soeharto kepada AS. Namun terbukanya sikap AS yang menghendaki Soeharto turun, tidak bisa dilepaskan dari sangat kuatnya tuntutan itu di kalangan mahasiswa. Sehingga akhirnya, mahasiswa berhasil memicu tertutupnya pintu-pintu keluar bagi Soeharto untuk bisa lolos dari tuntutan publik luas ini.
Perlu dicatat bahwa dua tekanan situasi riil yang diperhitungkan berbagai kalangan, dilakukan oleh mahasiswa. Pertama, pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa se Jabotabek dalam jumlah puluhan ribu orang dan diorganisir oleh Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta (FKSMJ). Kedua, rencana rapat akbar mahasiswa dan masyarakat di lapangan Monas pada Rabu, 20 Mei 1998 yang digerakkan oleh Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) dan Amin Rais. Situasi tanggal 19 Mei 1998 sampai 20 Mei dini hari, merupakan saat-saat paling kritis dan mencekam. Karena prediksi banyak pihak, setelah simbol legislatif kenegaraan dikuasai mahasiswa, tinggal satu simbol yang tersisa, yaitu Istana Negara yang letaknya persis diseberang tugu Monas. Sehingga, ketika tanggal 21 Mei 1998, Soeharto akhirnya memutuskan mengundurkan diri, bisa dipastikan pada tanggal-tanggal 19 s/d 20 Mei terjadi proses tawar-menawar politik yang sangat hebat di jajaran elit politik.
3. People Power yang Belum Lengkap
Dari gambaran ini, maka yang terjadi di Indonesia belum merupakan people power dalam arti sebenarnya. Karena masih ada pilar-pilar kekuatan yang belum sepenuhnya masuk dalam arus _pembangkangan umum_. Kalangan tokoh agama, profesional dan masyarakat umum secara luas hanya menunjukkan pelawanan pasif. Dan sepanjang aksi tuntutan massa berlangsung, belum pernah muncul aksi mahasiswa yang melibatkan unsur-unsur masyarakat lain secara besar.
Reaksi susulan dari mereka baru muncul pasca kejatuhan Soeharto yang bahkan eskalasi aksinya sampai ke tingkat kabupaten. Masyarakat seperti tercerahkan dan terdayakan dalam waktu sekejap, lalu bergerak bersama-sama menuntut masalah-masalah KKN dan penyimpangan hukum sampai tuntutan menurunkan pejabat daerah setempat. Kondisi ini menjelaskan social setting masyarakat Indonesia. Kultur besar masyarakat Indonesia masih memunculkan jarak antara _kesadaran_ dengan _tindakan_. Sangat mungkin ini lebih karena persoalan _knowledge and experience_ dalam kehidupan berdemokrasi, atau secara lebih spesifik karena adanya hambatan psikologis (psychological barrier) dari pencitraan akibat (consequences imaging) bagi tindakan-tindakan; politik selama masa rezim Orde Baru.
Bila potret ini benar, maka sesungguhnya masyarakat belumlah cukup berdaya secara politik. Kesadaran politik yang muncul secara tiba-tiba di kalangan mahasiswa lebih banyak kesadaran permukaan sebagai hasil dari pemotretan situasi kondisi ekonomi-politik yang muncul secara transparan. Sementara elit politik masih lebih banyak produk setting Orde Baru yang seringkali belum sepenuhnya mampu mempertemukan kepentingan politik diri (political interest) dengan kepentingan umum (public interest). Kalaupun ada baru satu dua orang, itupun umumnya dari luar sistem.
Maka perubahan politik yang terjadi sekarang lebih merupakan terbukanya pintu kehidupan politik bagi masyarakat untuk lebih berdaya dan memberdayakan dirinya. Yang lebih penting, para politisi harus menyadari betul kondisi ini sehingga orientasi kerja politik mereka lebih tertuju pada kepentingan pemberdayaan politik masyarakat, dan bukan mempolitisir masyarakat. Oleh karena itu, sebenarnya masih ada kekhawatiran, perubahan politik bila tidak ditata antara gagasan-gagasan demokrasi idealistik dengan potret budaya besar masyarakat Indonesia, justru akan menjadi bumerang atau blunder baru bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Contoh kasus paling konkret misalnya soal berdirinya partai-partai politik.
Multi Partai sangat membutuhkan kedewasaan politik dan kemampuan berdemokrasi dari semua pihak. Bila tidak, sejarah lama kehidupan politik Indonesia akan terulang kembali.
4. Mahasiswa dan Aktor-Aktor Politik
babak pertama panggung politik nasional adalah mahasiswa, namun pada babak kedua justru didominasi para politisi. Sepertinya ini sesuatu yang wajar, namun belajar dari sejarah, seharusnya setting pemain tidak selalu harus demikian.
Sejak awal gerakannya 'moral force dan intellectual force' menjadi konstituen mahasiswa. Ketika sasaran besar tercapai, muncul berbagai pandangan yang menarik mereka turun dari panggung. Pertama, pandangan bahwa babak berikutnya sudah di luar jangkauan mahasiswa, sehingga harus diserahkan kepada pihak lain. Kedua, pandangan yang ingin memelihara moral force di tengah-tengah setting yang penuh kepentingan politik atau tepatnya politik kepentingan.
Pandangan ini menarik mahasiswa dari panggung dan juga mengarahkan sikap politiknya terhadap transisi kekuasaan yang terjadi. Tuntutan terhadap SI mencerminkan kehendak mereka menegakkan konstitusi. Ketika ini sudah sangat politis, mahasiswa terjebak pada komitmen moral yang tidak boleh menyeret mereka kepada kepentingan elit politik tertentu. Ini sebenarnya persoalan orientasi, pemahaman dan kemampuan sikap politik mahasiswa. Umumnya, kalangan mahasiswa mengalami disorientasi agenda aksi perjuangan. Ini terlihat ketika mereka tidak mampu sepenuhnya membaca peta politik di lapangan. Bila kondisi ini terus terjadi, mereka bisa terjebak dalam keadaan yang lebih buruk dari Angkatan _66.
Ada dua peran strategis mahasiswa sekarang ini, yaitu pelaku perubahan (agent of change) dan pengarah perubahan (director of change). Yang dibutuhkan sekarang adalah director of change. Dengan konstituen moralnya, mahasiswa bisa berdiri di atas kepentingan rakyat dan berbicara kepada setiap unsur elit politik. Maka repositioning kekuatan mahasiswa kepada posisi sebagai kekuatan penyeimbang (balancing power). Posisi ini selaras dengan konstituen moral-intelektual.. Dalam posisi ini, mahasiswa membangun konsensus bersama mengenai Format Indonesia Masa Depan dan proses reformasi ke arah sana. Ini semacam visi besar mahasiswa yang ditegaskan ke seluruh pelaku politik sebagai lapangan besar bermain mereka. Dalam main-frame inilah, mahasiswa bisa menjalankan fungsi social-controlnya dengan instrumen mass power dan institutional power yang dimiliki.
Membangun konsensus di tengah kemajemukan mahasiswa memang bukan hal mudah, apalagi;; mengarah kepada fragmentasi yang bersifat pemikiran sampai ideologis. Dalam situasi ini yang dibutuhkan adalah membangun mainstream kekuatan mahasiswa. Arus utama inilah yang bisa membangun konsensus dan kemudian secara de facto, merepresentasikan gerakan mahasiswa. Dalam posisi dan agenda besar inilah, mahasiswa harus menampilkan kembali kekuatannya sebagai wujud tanggung-jawab moral yang berpihak kepada kebaikan rakyat. Keberpihakan ini berorientasi kepada kebutuhan mendasar mayoritas rakyat Indonesia yang sekarang ini sekarat dalam aspek ekonomi. Untuk itu, mahasiswa harus mampu bersikap politis-pragmatis dalam mensikapi berbagai polemik politik yang dikedepankan berbagai kalangan politisi.
5. Konstelasi Kekuatan Elit Politik
Unsur-unsur kekuatan politik di lapangan sangat beragam sampai pada polarisasi idelogisnya. Peta pertama adalah kekuatan status quo. Golkar dengan jalur ABRI, Birokrasi dan Golkar memang mengalami krisis soliditas organisasi. Namun demikian, Soeharto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar dan juga ABRI yang membutuhkan pijakan politik akan tetap berupaya menjaga eksistensi Golkar. Isu tentang Dewan Caretaker dan rencana Munaslub yang kepanitiaannya dikuasai pendukung Soeharto menunjukkan hal ini. Hal yang masih dimiliki Soeharto adalah kekuatan uang - sesuatu yang semakin sulit bagi Golkar sekarang ini.
Hal paling signifikan dalam memperhitungkan Golkar adalah militer. Fragmentasi dan friksi di kalangan sipil bisa menjadi celah bagi masuknya militer dalam arena politik. Cara pandang lama, bahwa sipil tidak mampu menjalankan pemerintahan akan muncul lagi - sesuatu yang menjadi justifikasi berperannya ABRI dalam bidang sosial-politik di awal Orde Baru. Meskipun begitu, perubahan-perubahan lingkungan strategis menyulitkan militer untuk menjadi aktor kekuasaan. Namun mereka sangat mungkin menjadi _the invisible hand_ dari kekuatan sipil, sebagaimana yang terjadi di beberapa negara lain.
Peta kedua, kekuatan Soekarnois di bawah bendera Megawati yang bisa membesar manakala terjadi aliansi strategis dengan kekuatan-kekuatan sosialis-komunis. Konvergensi antar kekuatan ini sangat dimungkinkan karena beberapa hal. Pertama, kedekatan ideologis antara warisan pemikiran politik Soekarno dengan pemikiran sosialisme-komunisme. Kedua, ikatan historis yang terbangun dalam nuansa gerakan perlawanan terhadap rezim Soeharto, dimana Megawati sempat dijadikan simbol perlawanan. Ketiga, eskalasi politik yang dibutuhkan unsur-unsur kekuatan baru yang akan menggunakan PDI Megawati sebagai batu loncatannya (milestone). Ini berkaitan dengan aspek legal-formal, popularitas dan akseptabilitas politik yang dimiliki Megawati.
Peta ketiga, kekuatan Sosialis-Komunis. Arus besar kekuatan sosialis-komunis ditandai dua simpul generasi. Pertama, generasi tua dari kalangan eks Tapol PKI dan tokoh-tokoh sosialis yang sepanjang perjalanan Orde Baru berhasil membangun akses politik yang kuat. Kedua, angkatan muda dari generasi lapis kedua eks Tapol PKI dan orang-orang muda yang memiliki orientasi pemikiran Neo-Marxisme. Mereka relatif menjadi organized power, bahkan memiliki jaringan kerja internasional.
Peta keempat, kekuatan Kristen. Sepuluh tahun terakhir terpinggirkan secara politis, kekuatan Kristen sangat mungkin mengkonsolidasikan kekuatannya dengan topangan barat, khususnya jaringan Katolik internasional. Kelebihan mereka adalah lengkapnya infrastruktur yang dibutuhkan bagi sebuah kekuatan politik formal. Salah satu; kunci kekuatannya adalah akses ke militer yang relatif masih kuat. Polarisasi ideologi yang berkembang - pertarungan Islam vs Kristen - menjadi motif kuat kalangan Kristen untuk mengedepankan agenda politik dan membuka aliansi dengan kekuatan-kekuatan non-Islam lainnya. Instrumen status quo - Golkar dan Militer - akan tetap dijadikan pijakan alternatif dalam rangka penguaan politik (political reinforcement).
Peta kelima, kekuatan pro demokrasi. Unsur ini secara riil kecil, namun mereka dibesarkan oleh agenda demokrasi. Sampai saat ini, mereka belum mengkristal menjadi kekuatan sistematis. Sebagai kekuatan pragmatis, mereka tidak memiliki warna ideologi yang kental, sehingga kemungkinan mereka akan terseret untuk beraliansi dengan unsur kekuatan lain yang lebih dominan. Satu hal yang bisa menjadi nilai positif,; mereka bisa menawarkan gagasan-gagasan alternatif sebagai jalan tengah, manakala terjadi friksi politik yang kuat.

V.I. LENIN
MARXISME DAN PEMBERONTAKAN
SURAT UNTUK KOMITE SENTRAL PBSDR (B)

Satu hal yang paling busuk dan mungkin sebuah penyimpangan yang paling luas atas Marxisme yang dilakukan oleh partai-partai “sosialis” yang dominan adalah kebohongan kaum oportunis yang mengatakan bahwa persiapan pemberontakan, dan secara umum memperlakukan pemberontakan sebagai seni adalah “Blanquisme”. [ 7 ]
Bernstein sebagai pemimpin kaum oportunis segera mendapatkan dirinya tak diuntungkan dengan menuduh Marxisme sebagai Blanquisme, dan ketika kaum oportunis sekarang ini meratapi Blanquisme, mereka tidak mengembangkan atau “memperkaya“ "ide-ide" sempit dari Bernstein sedikitpun.
Kaum Marxist dituduh sebagai Blanquisme karena memperlakukan pemberontakan sebagai suatu seni! Tidakkah dapat dikatakan ini sebagai suatu pemutarbalikan kebenaran secara keji, ketika tidak ada seorang Marxistpun yang akan menolak bahwa Marx sendirilah yang mengungkapkan hal ini dengan cara yang paling jelas, tepat dan kategorial, yang mengacu pemberontakan secara khusus sebagai seni. Mengatakan bahwa pemberontakan harus diperlakukan sebagai seni, maka kita harus memenangkan suatu keberhasilan pertama kali dan kemudian dilanjutkan dari satu proses ke proses lainnya, jangan pernah menghentikan penyerangan terhadap para musuh, mengambil keuntungan atas kebingungan mereka, dan lain-lain ?
Agar dapat berhasil, pemberontakan harus tidak disandarkan pada suatu konspirasi dan tidak atas satu Partai, namun harus disandarkan pada suatu klas yang maju. Inilah point pertama. Pemberontakan harus disandarkan pada suhu revolusioner rakyat. Itulah point yang kedua. Pemberontakan harus disandarkan pada “satu titik penentu” dalam sejarah pertumbuhan revolusi ketika aktivitas kalangan maju dari rakyat berada pada puncaknya, dan ketika ada keragu-keraguan dalam kalangan musuh dan dalam kalangan kaum lemah, kaum setengah hati dan kawan-kawan peragu dari revolusi telah kuat. Itulah point ketiga. Dan ketiga kondisi ini memunculkan pertanyaan tentang pemberontakan apakah yang membedakan Marxisme dengan Blanquisme.
Bagaimanapun, ketika kondisi-kondisi itu ada, menolak untuk memperlakukan pemberontakan sebagai suatu seni merupakan pengkianatan terhadap Marxisme dan pengkianatan terhadap revolusi.
Untuk menunjukkan kapan saat yang tepat bagi Partai harus mengenali seluruh rangkaian peristiwa sehingga dapat melakukan pemberontakan secara obyektif pada hari yang tepat, dan bahwa pemberontakan harus diperlakukan sebagai seni, maka akan lebih baik dengan menggunakan metode perbandingan, dan menggambarkan kesejajaran antara hari-hari 3-4 Juli [8] dengan September.
Tanggal 3-4 Juli tidak diargumentasikan, kecuali meremukkan kebenaran, bahwa hal paling tepat untuk dilakukan adalah merebut kekuasaan, musuh-musuh kita sendiri berulangkali telah menuduh kita memberontak dan secara keji memperlakukan kita sebagai pemberontak. Namun, pada saat itu memutuskan mengambil-alih kekuasaan dengan hitungan itu adalah salah, karena kondisi obyektif untuk memenangkan pemberontakan tidaklah ada.
Kita kekurangan dukungan dari klas yang merupakan vanguard dari revolusi.
Kita belum jadi mayoritas diantara kaum pekerja dan prajurit Petograd dan Moskow. Sekarang kita memiliki mayoritas dalam kedua Soviet tersebut. Hal itu tercipta semata-mata oleh sejarah bulan Juli dan Agustus, oleh pengalaman dari “perlakuan brutal” yang ditujukan pada kaum Bolshevik, dan oleh pengalaman pada pemberontakan Kornilov.
Saat itu tidak ada suhu revolusioner yang meluas di seluruh wilayah. Sekarang sudah, setelah pemberontakan Kornilov;[9] situasi di berbagai propinsi dan perkiraan kekuatan Soviet di berbagai lokasi menunjukkan hal tersebut.
Pada waktu itu tidak terjadi kegoyahan dalam skala politik yang serius diantara musuh-musuh kita dan diantara kaum borjuis kecil peragu. Saat ini kegoyahan tersebut sangat besar. Musuh utama kita, Sekutu dan imperialis dunia (dimana imperlisme didunia dipimpin oleh "Sekutu"), telah mulai ragu-ragu antara meneruskan perang sampai kemenangan akhir atau secara terpisah berdamai dengan Rusia. Kaum borjuis kecil demokrat, telah secara jelas kehilangan dukungan mayoritas diantara rakyat, telah mulai goyah secara dasyat, dan telah menolak untuk membuat satu blok, misalnya suatu koalisi dengan kaum kaum Kadet.[10]
Karena itulah, suatu pemberontakan pada tanggal 3-4 Juli merupakan satu kesalahan; kita tidak akan dapat mengambil-alih kekuasaan baik secara fisik maupun secara politik. Kita tidak dapat mengambil-alih kekuasaan secara fisik meskipun pada saat itu Petograd berada di tangan kita, karena pada saat itu kaum pekerja dan kaum prajurit kita tidak akan mau bertempur dan mati untuk Petograd. Saat itu tidak ada “kebuasaan” atau luapan kebencian baik kepada kaum Kerensky dan kepada kaum Tseretelis dan Chernov. Rakyat kita masih belum marah oleh pengalaman atas penghukuman terhadap kaum Bolshevik dimana kaum Socialis-Revolusioner dan manshevik terlibat.

Kita tidak dapat mengambil-alih kekuasaan secara politik pada 3-4 Juli karena, sebelum pemberontakan Kornilov, tentara dan propinsi-propinsi dapat dan akan telah bergerak menyerang Petograd.
Saat ini gambarannya secara keseluruhan berbeda.
Kita memiliki mayoritas dari satu klas yaitu vanguard dari revolusi, vanguard dari rakyat, yang mampu menggiring massa dengan vanguard itu.
Kita memiliki mayoritas rakyat, karena pengunduran diri Chernov, meskipun bukan satu-satunya gejala, mengakibatkan banyaknya pemogokan dan gejala yang nyata bahwa kaum tani tidak akan menerima tanah dari blok Sosialis-revolusioner (atau dari kaum Sosialis-Revolusioner itu sendiri) . Dan itulah yang menjadi penyebab utama dari watak popular dari revolusi.
Kita ada dalam posisi yang maju dari satu partai yang tahu secara pasti, jalan mana yang harus ditempuh pada suatu saat ketika imperialisme secara keseluruhan dan kaum Menshevik dan Sosialis-Revolusioner secara keseluruhan sedang goyah.
Kemenangan kita telah pasti, ketika rakyat telah sangat putus asa, dan kita menunjukkan pada seluruh rakyat jalan keluar yang meyakinkan; kita demonstrasikan pada seluruh rakyat sepanjang “peristiwa Kornilov” nilai dari kepemimpinan kita, dan kemudian kita usulkan kepada politikus dari blok suatu kompromi, yang mereka tolak, meskipun tiada jalan keluar dari kegoyahan mereka.
Merupakan kesalahan besar jika berpikir bahwa tawaran kita untuk kompromi belumlah ditolak, dan bahwa Konferensi Demokratik mungkin akan menerima itu. Kompromi tersebut ditawarkan oleh satu partai kepada partai-partai; Kompromi itu tidak akan ditawarkan dalam jalan lain. Kompromi itu telah ditolak oleh partai-partai. Konferensi Demokratik adalah tidak lebih dari sekedar konferensi. Satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu, bahwa mayoritas dari rakyat revolusioner, kaum miskin, petani yang sengsara, tidaklah terwakili dalam Konferensi itu. Konferensi tersebut merupakan satu konferensi dari minoritas rakyat - kebenaran nyata ini harus tak boleh dilupakan. Merupakan suatu kesalahan besar, menempatkan kekerdilan parlementeris sebagai bagian kita, jika kita menganggap Konferensi Demokratik sebagai parlemen; bahkan jika Konferensi itu memproklamasikan dirinya sebagai parlemen yang permanen dan berdaulat dari revolusi, meskipun demikian tak akan memutuskan apapun. Kekuasaan untuk memutuskan terletak di luar parlemen berada di kumpulan kelas pekerja Petograd dan Moskow.
Seluruh kondisi obyektif untuk keberhasilan suatu pemberontakan telah ada. Kita memiliki keuntungan lain dari suatu situasi dalam mana hanya kemenangan pemberontakan kita yang akan mengakhiri segala penderitaan di dunia, kegoncangan, yang menimpa rakyat; dimana hanya kemenangan kita dalam pemberontakan yang akan segera memberikan tanah kepada kaum tani; suatu situasi dimana hanya kemenangan pemberontakan kitalah yang dapat menggagalkan permainan perdamaian sepihak yang ditujukan untuk menentang revolusi – menggagalkannya dengan secara publik, membuat perdamaian yang penuh, adil dan tepat waktu, suatu perdamaian yang akan memberikan keuntungan bagi revolusi.
Akhirnya, partai kami sendiri dapat , berkat kegemilangan pemberontakan, menyelamatkan Petrograd; karena jika proposal perdamaian kita ditolak, jika kita tidak dapat mengamankan diri dengan gencatan senjata, kemudian kita akan menjadi "defencists", kita akan menempatkan diri kita sendiri pada komando dari pertempuran partai (the head of the war parties), Kita harus menjadi partai perang utama (war party par excellence), dan kita akan memimpin peperangan dengan cara-cara revolusioner yang tepat. Kita akan mengambil seluruh roti dan sepatu dari kaum kapitalis. Kita hanya akan meninggalkan bagi mereka kulit yang keras (crusts) dan mengenakan mereka pakaian yang buruk. Kita akan menjual seluruh roti dan sepatu ke garis depan pertempuran.
Dan kemudian kita harus selamatkan Petrograd.
Sumberdaya, baik material dan spiritual, untuk suatu perang revolusioner yang sesungguhnya di Rusia masih sangat banyak; kesempatannya seratus banding satu sampai Jerman menawarkan gencatan senjata. Dan saat ini untuk mengamankan suatu gencatan senjata berarti dengan sendirinya kita harus memenangkan seluruh dunia.
* * *
Setelah melihat kondisi nyata yang dibutuhkan untuk sebuah pemberontakan dari kaum buruh Petrograd dan Moskow dalam rangka untuk menyelamatkan revolusi dan menyelamatkan Rusia dari "pemisah-misahan" bagian oleh kaum imperialis dari kedua grup, kita pertama kali harus menyesuaikan taktik-taktik politik kita di konferensi dengan kondisi-kondisi perkembangan pemberontakan. Kedua, kita harus menunjukkan bahwa pemberontakan bukan hanya dalam kata-kata dimana kita menerima ide-ide Marx melainkan pemberontakan harus diperlakukan sebagai sebuah seni.
Di konferensi kita harus segera manyatukan kelompok-kelompok Bolshevik, berapapun hitungannya, dan tanpa takut untuk meninggalkan mereka yang ragu-ragu di tempatnya. Mereka sangat berguna untuk menjadikan revolusi disana daripada didalam kumpulan kaum pejuang yang tangguh dan setia.
Kita harus memunculkan satu deklarasi yang singkat dan jelas dari kaum Bolshevik, menghindari cara orasi yang panjang tidak relevan dan “orasi” secara umum, kebutuhan mendesak yang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan revolusi, kebutuhan mutlak untuk sepenuhnya berpisah dengan kaum borjuis, untuk mengganti pemerintahan sekarang, secara total, perpisahan yang penuh dengan para imperialis Anglo-Perancis, yang menyiapkan satu bagian (partition) “terpisah” dengan Rusia, dan pengalihan segera seluruh kekuasaan kepada para demokrat revolusioner yang dipimpin oleh proletarial revolusioner.
Deklarasi kita harus memberikan formulasi yang paling jelas dan tajam atas kesimpulan ini yang berkaitan dengan program usulan perdamaian bagi rakyat, tanah untuk kaum tani, penyitaan atas harta hasil kolusi, dan satu pemeriksaan atas skandal sabotase produksi oleh kaum kapitalis.
Semakin jelas dan tajam deklarasi itu, semakin baik. Hanya saja dua hal penting yang harus diperhatikan dari hasil deklarasi itu adalah massa rakyat akan mengalami kegoncangan, bahwa mereka telah disuapi dengan pepesan-kosong oleh kaum Sosialis-Revolusioner dan Menshevik; dan bahwa karena itulah kita secara terang-terangan memisahkan diri dari partai-partai itu karena telah berkhianat pada revolusi.
Dan satu hal lain. Dengan segera mengusulkan satu perdamaian tanpa aneksasi, dengan segera memisahkan diri dengan kaum imperialis sekutu dan dengan seluruh kaum imperialis, baik dengan mendapatkan gencatan senjata, atau seluruh kaum proletariat revolusioner akan berhimpun untuk mempertahankan negerinya, dan keadilan sejati, perang revolusioner sejati akan dgerakkan oleh kaum demokrat-revolusioner dibawah kepimpinan kaum proletariat.
Sesudah membaca deklarasi ini, dan sesudah menuntut suatu keputusan dan tidak hanya sekedar bicara, untuk suatu tindakan dan bukan hanya sekedar resolusi tertulis, kita harus mengirimkan seluruh kelompok kita ke pabrik-pabrik dan barak-barak. Tempat mereka ada di sana, denyut kehidupan ada disana, disanalah sumber penyelamat revolusi kita, dan disanalah kekuatan pendorong dari Konferensi Demokratik.
Disana, dengan pidato-pidato yang berapi-api dan kuat, kita harus menjelaskan program kita dan mememberikan pilihan: apakah konferensi akan mengambil jalan ini sepenuhnya ataukah dengan jalan pemberontakan lainnya. Tidak ada jalan tengah. Menundanya tidak mungkin. Revolusi sedang sekarat.
Dengan mengajukan pertanyaan seperti ini, dengan mengkonsentrasikan seluruh kelompok kita di pabrik-pabrik dan barak-barak, kita dapat menentukan saat yang tepat untuk memulai pemberontakan.
Dalam rangka untuk memperlakukan pemberontakan dalam satu cara Marxist, misalnya sebagai satu seni, kita harus pada saat yang sama, tanpa kehilangan satu moment, mengorganisasi satu markas besar untuk mengirimkan kaum pejuang, mendistribusikan kekuatan kita, menggerakkan resimen yang ada ke tempat yang paling penting, di sekitar Teater Alexander, menduduki Benteng Peter dan Paul, [11] menahan Staf Jendral dan pemerintahan, dan bergerak melawan perwira cadet dan Divisi Biadab[12] yang rela mati daripada membiarkan musuh mendekati tempat strategis di kota. Kita harus memobilisir kaum pekerja bersenjata dan menyerukan mereka untuk bertempur sampai titik darah penghabisan untuk mengambil-alih kantor telegrap dan sentral telepon, dan memindahkan markas besar pemberontakan kita ke sentral telepon itu dan menghubungkannya dengan jalur telepon ke seluruh pabrik, resimen, seluruh tempat pasukan bersenjata, dan seterusnya.
Tentu saja, ini semua hanya contoh belaka, hanya untuk menggambarkan fakta bahwa pada saat ini adalah tidak mungkin kita tetap setia pada Marxisme, tetap setia pada revolusi kecuali memperlakukan pemberontakan sebagai suatu seni.

N. Lenin
13-14 (26-27) September 1917


CATATAN:
[7] Blanquisme – adalah suatu aliran dalam gerakan sosialis Perancis yang dipimpin oleh Louis Auguste Blanqui (1805-1881), satu komunis utopis terkemuka. “Blanquisme menduga bahwa umat manusia akan dibebaskan dari perbudakan upah, tidak oleh perjuangan kelas proletarian, namun melalui satu konspirasi yang dilakukan oleh satu minoritas kecil dari kaum intelektual”. Aliran ini gagal untuk menghitung dengan situasi kongkrit, yang harus dipakai dalam perhitungan kapan satu pemberontakan akan berhasil, dan menolak untuk menciptakan ikatan dengan massa. [h.22].

[8] Apa yang ada di pikiran Lenin adalah demonstrasi massa yang bertempat di Petograd pad tanggal 3-4 (16-17) Juli 1917. Itu adalah gerakan para prajurit, pelaut dan pekerja, yang marah pada Pemerintahan Sementara karena mengirimkan pasukan ke penyerangan tanpa harapan yang membuktikan satu kegagalan. Itu dimulai pada tanggal 3 (16) Juli dengan satu demonstrasi oleh Resimen Senjata Mesin Pertama di Distrik Vyborg, dan mengancam akan berkembang menjadi satu pemberontakan bersenjata melawan Pemerintahan Sementara. Partai Bolshevik menentang untuk melakukan pemberontakan pada saat itu karena percaya bahwa krisis revolusioner belumlah sampai pada puncaknya. Rapat Komite Sentral pada jam 4 p.m. tanggal 3 (16) Juli memutuskan agar menahan diri untuk melakukan tindakan, dan keputusan yang serupa diputuskan oleh Konferensi Bolshevik Kota Petograd Kedua yang dilakukan segera. Para delegasi pergi ke pabrik-pabrik dan distrik-distrik untuk menghentikan massa pergi melakukan aksi, namun gerakan terlanjur terjadi dan tiada suatupun yang dapat dilakukan untuk menghentikannya.
Pada larut malam, Komite Sentral, bersama dengan Komite Petograd dan Organisasi Militer menghitung gejolak massa dan memutuskan untuk turut serta dalam demonstrasi untuk memimpinnya dalam satu karakter damai dan terorganisir. Lenin sedang dalam liburan pendek setelah kerja yang melelahkan. Setelah diinformasikan atas peristiwa itu, dia kembali ke Petograd di pagi hari tanggal 4 (17) Juli dan mengambil kepemimpinan.
Lebih dari 500.000 orang terlibat dalam demonstrasi pada 4 (17) Juli. Para demonstran membawa slogan-slogan Bolshevik, seperti “Seluruh Kekuasaan untuk Soviet” dan menuntut bahwa Komite Sentral Eksekutif Soviet Seluruh Rusia harus mengambil kekuasaan. Namun pemimpin kaum Sosialis-Revolusioner dan Menshevik menolak untuk melakukan hal tersebut. Pemerintahan Sementara, dengan sepengetahuan dan persetujuan Komite Sentral Eksekutif yang didominasi oleh kaum Menshevik dam Sosialis-Revolusioner mengirim pasukan yang terdiri kaum Cadet dan Cossak untuk menyerang dan menembaki para pelaku demontrasi damai. Pasukan kontra-revolusi ditarik dari garis depan untuk mematahkan demonstasi.
Malam itu, Lenin memimpin satu pertemuan para anggota Komite Sentral dan Komite Petograd, yang mengambil satu keputusan untuk menghentikan demontrasi dengan cara organisisional. Hal ini merupakan langkah yang bijak, yang menyelematkan kekuatan revolusioner utama dari kekalahan. Kaum Menshevik dan Sosialis-Revolusioner bertindak dengan satu cara yang menolong kaum kontra-revolusioner; mereka bergabung dengan kaum borjuis untuk menyerang Partai Bolsehevik. Koran Bolshevik, Pravda, Soldatskaya Pavda (Prajurit Kebenaran) dan lain-lainnya ditutup oleh Pemerintahan Sementara. Sementara Rumah Percetakan Trud yang dioperasikan dengan dana yang disumbangkan oleh kaum pekerja dihancurkan. Kaum pekerja dilucuti dan ditangkap, pencarian dan penghukuman pun dimulai. Unit-unit revolusioner dari garnisun Petograd dipindahkan dari ibukota dan dikirimkan ke garis-depan.
Setelah peristiwa Juli, kekuasaan di daerah pindah ketangan Pemerintah Sementara yang kontra-revolusioner. Periode kekuasaan kembar berakhir, dan demikian pula dengan tahap revolusi damai. Kaum Bolshevik menghadapi tugas untuk mempersiapkan pemberontakan bersenjata untuk menggulingkan Pemerintahan Sementara.

[9] Pemberontakan kontra-revolusi oleh kaum borjuis dan pemilik tanah pada bulan Agustus 1917 dipimpin oleh Panglima Angkatan Darat, Jendral Kornilov, pendukung tsar. Para pelaku plot merencanakan untuk mengambil-alih Petograd, menghancurkan Partai Bolshevik, menggantikan Soviet-soviet dan membentuk tatanan diktator militer dengan maksud merestorasi kerajaan. Kerensky, pimpinan Pemerintahan Sementara, terlibat dalam plot tersebut. Namun ketika pemberontakan sedang berjalan, dia menyadari bahwa dia dengan Kornilov akan disikat dan dia mencuci-tangan atas seluruh urusan itu: diumumkan bahwa pemberontakan itu ditujukan melawan Pemerintahan Sementara.
Pemberontakan berakhir pada 25 Agustus (7 September), ketika Kornilov mengirimkan Korp Kaveleri Ketiga ke Petograd, dimana organisasi-organisasi kontra-revolusioner gatal untuk melakukan aksi.
Perjuangan massa melawan Kornilov dipimpin oleh Partai Bolshevik, yang diteruskan sebagaiman diinginkan oleh Lenin untuk menelanjangi kesalahan Pemerintahan Sementara dan kaki-tangannya kaum Sosialis-Revolusioner dan Menshevik. Komite Sentral Partai Bolshevik menghimpun kaum pekerja Petograd dan prajurit dan pelaut revolusioner untuk berjuang melawan kaum pemberontak. Para pekerja Petograd dengan cepat mengorganisasi unit-unit Tentara Merah. Komite-komite revolusiener dibentuk diberbagai tempat. Pergerakan pasukan Kornilov terhenti dan moral mereka diturunkan oleh para agitator Bolshevik.
Pemberontakan Kornilov dihancurkan oleh para pekerja dan petani yang dipimpin oleh Partai Bolshevik. Di bawah tekanan massa, Pemerintahan Sementara terpaksa memberikan perintah penangkapan dan penuntutan atas Kornilov dan kaki-tangannya dengan tuduhan menyusun suatu pemberontakan.

[10] Cadets (Partai konstitusional Demokrat) – partai terbesar dari kaum borjuis kerajaan yang liberal di Rusia, didirikan pada Oktober 1905. Keanggotaannya terdiri dari kaum kapitalis, pemilik tanah yang begerak pada dewan-dewan lokal dan kaum intelektual borjuis. Anggota termuka mereka diantaranya PN. Milyukov, SA. Muromtsev, VA. Maklakov, AI. Shingaruyov dan PB Struve. Kaum Cadet pada akhirnya berkembang menjadi satu partai borjuis-imperialis. Selama Perang Dunia Pertama, mereka mendukung secara aktif kebijakan luar-negeri Pemerintahan Tsar mengenai agresi. Selama revolusi borjuis-demokratis di bulan Februari 1917, mereka mencoba menyelamatkan kerajaan; memainkan satu peranan penting dalam Pemerintahan Sementara yang borjuis, mereka melakukan suatu kebijakan kontra-revolusi melawan kepentingan rakyat.
Setelah Revolusi Sosialis Oktober yang Agung, mereka menjadi menjadi lawan yang fanatik dari kekuasaan Soviet dan terlibat dalam segala operasi militer kontra-revolusioner dan kampanye-kampanye kaum intervensionist. Setelah kekalahan kaum intervensionist dan tentara-putih, Kaum Cadet melarikan diri ke luar negeri dan meneruskan aktivitas kontra-revolusioner anti-Soviet mereka. [h.24]
The Alexandrinsky Theatre di Petrograd merupakan suatu tempat dimana Konferensi Demokratik dilangsungkan.
[11] Benteng Peter dan Paul di Neva yang berseberangan dengan Istana Winter berfungsi sebagai penjara negara dari lawan politik Tsar. Sekarang sebagai musium, yang memiliki persenjataan berat dan situasi yang strategis.

[12]Divisi Biadab (The Savage Division), didirikan pada PD I, yang terdiri dari sukarelawan-sukarelawan orang-orang Kaukasia. Jenderal Kornilov menggunakan divisi ini untuk menyerang Kaum Revolusioner Petrograd.

* * *












Apa Partai Komunis Itu
Depagitprop CC P K I (1958)
________________________________________
Dimuat ke HTML oleh anonim di Homepage Mengerti PKI. Diedit supaya sesuai dengan ejaan yang baru oleh Arief Chandra (April 2007)
Ini adalah diktat untuk KPS dan KPSS tentang "Pembangunan Partai" disusun oleh Depagitprop (Departemen Agitasi dan Propaganda) CC PKI, 1958.
________________________________________
PKI ADALAH ANAK ZAMAN
Penanaman kapital di Indonesia pada sejak akhir abad ke-XIX meningkat dengan cepat, yang membawa perubahan besar dalam kehidupan ekonomi dan sosial di Indonesia.
Untuk mengerjakan bahan-bahan mentah, imperialisme Belanda mendirikan pabrik-pabrik, membikin pelabuhan-pelabuhan dan jalan-jalan kereta-api. Tetapi, semuanya itu sekali-kali bukanlah untuk memajukan Indonesia, melainkan untuk mengintensifkan penghisapan kolonial terhadap Rakyat Indonesia.
Dengan demikian pengaruh kapitalisme menjadi merasuk ke dalam masyarakat Indonesia, yang mendorong lahirnya klas-klas baru dalam masyarakat Indonesia, yaitu : Klas proletar, intelektual dan borjuasi Indonesia.
Lahirnya klas proletar mendorong berdirinya organisasi serikat buruh. Di banyak tempat di Indonesia mulai berdiri serikat buruh - serikat buruh, seperti serikat buruh pelabuhan, serikat buruh kereta-api, serikat buruh percetakan dan serikat buruh - serikat buruh di pabrik-pabrik lainnya.
Pada tahun 1905 berdirilah serikat buruh kereta-api yang bernama SS-Bond (Staats-Spoor Bond). Dalam tahun 1908 berdirilah Perkumpulan Pegawai Spoor dan Trem (Vereniging van Spoor en Tram Personeel - VSTP), suatu serikat buruh kereta-api yang militan ketika itu.
Serikat buruh - serikat buruh ini merupakan sekolah-sekolah politik bagi massa kaum buruh. Tetapi, perjuangan serikat buruh adalah perjuangan yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan langsung daripada para anggotanya, untuk perbaikan upah dan syarat-syarat kerja, suatu perjuangan yang terbatas pada soal-soal sosial ekonomi. Kesadaran yang diperoleh lewat aksi-aksi dan pemogokan-pemogokan belumlah mencapai tingkat kesadaran-klas yang sempurna, tetapi baru pada tingkat kesadaran pertentangan antara mereka sebagai buruh-upahan terhadap majikannya itu sendiri yang memeras tenaganya, tingkat kesadaran yang elementer, kesadaran yang masih terbatas untuk memperjuangkan nasibnya sendiri, nasib golongannya.
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan gerakan buruh, kesadaran politik dan orgarisasi klas buruh pun meningkat pula. Klas buruh menghendaki suatu organisasi yang tidak hanya membatasi diri pada perjuangan serikat buruh, sebab hanya dengan organisasi serikat buruh, sistim kapitalisme, yang merupakan sumber kemiskinan dan kesengsaraan bagi seluruh massa pekerja, tidaklah dapat diitumbangkan. Untuk menumbangkan sistim kapitalisme, klas buruh harus menjalankan perjuangan politik yang revolusioner, klas buruh harus mempunyai partai politik.
Tingkat kesadaran klas buruh inilah yang mendorong berdirinya suatu partai politik, yang merupakan alat untuk memperjuangkan cita-cita dan politik daripada klas buruh. Partai politik klas buruh ini tidaklah hanya untuk memimpin perjuangan klas buruh guna perbaikan upah dan syarat-syarat kerja kaum buruh, akan tetapi sampai dengan untuk merombak susunan masyarakat yang memaksa seseorang yang tidak bermilik harus menjual tenaganya kepada kaum kapitalis.
Pada bulan Mei tahun 1914 di Semarang telah berdiri Perkumpulan Sosial-Demokratis Indonesia (Indiskhe Sociaal Democratiskhe Vereniging -- ISDV), suatu organisasi politik yang menghimpun intelektual-intelektual revolusioner bangsa Indonesia dan Belanda. Tujuannya ialah untuk menyebarkan Marxisme di kalangan kaum buruh dan Rakyat Indonesia. Perkumpulan Sosial-Demokratis Indonesia inilah yang pada tanggal 23 Mei tahun 1920 berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Lahirnya PKI merupakan peristiwa yang sangat penting bagi perjuangan kemerdekaan Rakyat Indonesia. Pemberontakan kaum tani yang tidak teratur dan bersifat perjuangan sedaerah atau sesuku dalam melawan imperialisme Belanda, yang terus menerus mengalami kegagalan, sejak PKI berdiri, menjadi diganti dengan perjuangan proletariat yang terorganisasi dan yang memimpin perjuangan kaum tani dan gerakan revolusioner lainnya.
Pecahnya Revolusi Oktober di Rusia tahun 1917 sangat berpengaruh pada proletariat Indonesia. Lahirnya PKI dan perkembangannya tidaklah dapat dipisahkan dari pengaruh kemenangan Revolusi Oktober itu.
Kemenangan Revolusi Oktober Besar di Rusia itu telah membangkitkan kesadaran Rakyat-Rakyat jajahan. Revolusi Oktober, memberi keyakinan kepada Rakyat Indonesia, bahwa imperialisme Belanda pasti dapat digulingkan, dan Rakyat Indonesia akan dapat mendirikan negara Indonesia yang bebas dan merdeka.
Jadi Partai Komunis Indonesia lahir dalam zaman imperialisme, sesudah di Indonesia ada klas buruh, sesudah di Indonesia berdiri serikatburuh-serikatburuh dan Perkumpulan Sosial Demokratis Indonesia, yaitu organisasi politik yang pertama daripada kaum Marxis Indonesia, sesudah Revolusi Oktober tahun 1917.
Lahirnya PKI bukanlah suatu hal yang kebetulan, melainkan suatu hal yang sesuai dengan perkembangan sejarah, suatu hal yang wajar. PKI adalah anak zaman yang lahir pada waktunya.

IDEOLOGI PARTAI KOMUNIS
Apakah ideologi itu?

Ideologi adalah cita-cita dan pandangan-pandangan yang menyatakan kepentingan-kepentingan suatu klas.
Di dalam masyarakat modern, masyarakat kapitalis, pada pokoknya terdapat dua klas. Klas kapitalis, yaitu mereka yang memiliki alat-alat produksi, yang tidak bekerja dan hidup dari menghisap kerja kaum buruh. Klas buruh, yaitu mereka yang tidak memiliki alat-alat produksi, bekerja keras pada kapitalis, tetapi tidak mendapat hasil yang cukup untuk hidup yang layak.
Bagaimana ideologi klas kapitalis?
Klas kapitalis hidup dari menghisap kerja kaum buruh. Adanya klas kapitalis karena adanya klas buruh yang dihisap. Untuk mendapat laba yang lebih banyak, kapitalis yang satu harus bersaing melawan kapitalis-kapitalis lainnya. Dalam persaingan ini banyak kapitalis-kapitalis kecil jatuh bangkrut.
Dengan menghisap kerja kaum buruh, dan dengan bersaing, di dalam klasnya sendiri, itulah yang merupakan syarat-syarat pokok bagi perkembangan kapitalisme. Oleh karena itu kebahagiaan kapitalis didasarkan atas penderitaan dari berjuta-juta massa Rakyat pekerja.
Jadi kepentingan kapitalis ialah menghisap klas buruh, dan membangkrutkan kapitalis-kapitalis lainnya. Semuanya ini ditujukan untuk mempertahankan sistim penghisapan. Oleh karena itu, semua cita-cita dan pandangan-pandangan yang ditujukan untuk mewujudkan kepentingan mengeduk laba sebanyak-banyaknya, kepentingan untuk mempertahankan sistim penghisapan, adalah merupakan ideologi daripada klas kapitalis.
Bagaimana ideologi klas buruh?
Klas buruh tidak memiliki alat-alat produksi. Klas buruh bekerja di dalam pabrik-pabrik, bekerjasama dan mengadakan pembagian pekerjaan dengan mempunyai tanggungjawab perseorangan menurut pembagian pekerjaan masing-masing, dan menjalankan produksi secara kolektif. Dalam produksi yang maju di pabrik-pabrik, terpeliharalah kebiasaan kaum buruh untuk bersatu, untuk saling membantu, berorganisasi dan berdisiplin.
Untuk perkembangan diri klas buruh sendiri, klas buruh harus bersatu dengan massa Rakyat pekerja lainnya. Hanya dengan persatuan di kalangan klas buruh dan massa Rakyat pekerja lainnya itulah, klas buruh dapat membebaskan dirinya dan selanjutnya membebaskan seluruh massa Rakyat pekerja dari penghisapan kapitalisme.
Klas buruh menaruh perhatian pada perjuangan-perjuangan untuk pembebasan Rakyat pekerja sedunia, pada kemenangan-kemenangan dan kekalahan-kekalahannya. Mereka mengerti, bahwa setiap kemenangan atau kekalahan Rakyat pekerja dimana saja adalah berarti kemenangan atau kekalahan mereka sendiri.
Jadi kepentingan klas buruh ialah pembebasan semua Rakyat pekerja dari kapitalisme. Semua cita-cita dan pandangan-pandangan yang diwujudkan dalam perbuatan untuk mencapai kepentingan klas buruh merupakan ideologi klas buruh.
Partai Komunis adalah Partainya klas buruh. Karena itu ideologi Partai Komunis adalah ideologi klas buruh. Setiap anggota Partai Komunis harus memiliki ideologi klas buruh ini.
DASAR2 ORGANISASI PARTAI KOMUNIS
Klas buruh mempunyai bermacam-macam organisasi perlawanan. Ada serikat buruh yang saban hari terlibat dalam pertempuran-pertempuran terhadap kapital. Ada organisasi koperasi kaum buruh yang dengan usaha sendiri meringankan beban dari anggota-anggotanya. Ada pula perkumpulan-perkumpulan pendidikan, organisasi-organisasi pemuda, dan lain-lain sebagainya. Semua organisasi adalah organisasi klas buruh yang meninggikan kesadaran klas buruh.
Akan tetapi kesadaran yang diperoleh buruh lewat perjuangan organisasi-organisasi ini, dan kecerdasan politik yang didapatnya dari organisasi-organisasi ini, tidaklah sampai membikin klas proletar cukup kuat dan bersatu untuk melawan sistem kapitalisme. Untuk itu harus ada partai politik dari klas proletar, artinya harus ada teori perjuangan yang diinjeksikan ke dalam gerakan buruh itu. Teori itu adalah teori Marxisme-Leninisme. Hanya dengan adanya teori yang revolusioner, yaitu Marxisme-Leninisme terdapat suatu partai yang revolusioner, Partai Komunis, partainya klas proletar. Hanya partai yang semacam itulah yang mempersatukan semua organisasi-organisasi klas buruh lainnya dan memimpinnya, yang membikin terang sasaran perjuangannya dan bisa menyusun taktik-taktik perjuangannya.
Sebab itu, Partai Komunis itu adalah barisan depan yang terorganisasi, adalah bentuk organisasi yang tertinggi yang paling berdisiplin. Tetapi untuk bisa menjadi barisan terdepan, menjadi organisasi yang tertinggi, untuk dapat memenuhi tugasnya, maka Partai klas buruh harus mempunyai dasar-dasar organisasi sebagai berikut :
a. DASAR SENTRALISME-DEMOKRATIS
Partai itu harus merupakan satu kesatuan politik dan kesatuan organisasi. Kebulatan dalam politik dan kebulatan dalam organisasi adalah syarat mutlak bagi Partai Komunis.
Untuk memperoleh kebulatan dalam organisasi, Partai Komunis disusun berdasarkan prinsip sentralisme-demokratis. Sentralisme-demokratis adalah prinsip organisasi Partai Komunis yang mengatur pemberian kekuasaan yang perlu pada badan-badan pimpinan Partai, dan sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi yang tertinggi di dalam Partai.
Ini berarti, bahwa sentralisme dalam Partai itu dibangun atas dasar demokrasi, dan demokrasi dalam Partai itu di bawah pimpinan yang dipusatkan.
Syarat-syarat pokok untuk dapat melaksanakan prinsip sentralisme-demokratis dalam organisasi ialah:
a. Bahwa semua badan pimpinan Partai dari bawah sampai ke atas harus dipilih oleh anggota secara demokratis;
b. Bahwa semua badan pimpinan Partai harus memberi laporan pada waktu tertentu kepada organisasi Partai yang memilihnya;
c. Bahwa setiap anggota Partai harus tunduk kepada putusan-putusan organisasi Partai dimana ia tergabung; jumlah tersedikit harus tunduk kepada jumlah terbanyak; organisasi Partai bawahan harus tunduk kepada organisasi Partai diatasnya dan segenap bagian daripada organisasi Partai harus tunduk kepada CC;
d. Bahwa disiplin Partai harus dijalankan dengan sungguh-sungguh dan putusan-putusan Partai harus dilaksanakan dengan tanpa syarat.
Segi sentralisme akan menjamin adanya satu pimpin yang memusat. Dengan begitu Partai merupakan satu kekuatan yang bulat, yang memberi pimpinan dengan baik kepada anggota dan massa Rakyat. Ini akan memperbesar kepercayaan massa anggota dan massa Rakyat kepada Partai, dan ini merupakan syarat untuk mencapai kemenangan-kemenangan di dalam setiap aksi.
Segi demokrasi akan mendorong anggota Partai aktif memperbincangkan persoalan-persoalan yang dihadapi sehari-hari. Segi demokrasi akan mengembangkan inisiatif dan daya-cipta anggota Partai.
Jadi sentralisme dan demokrasi di dalam Partai adalah merupakan satu kesatuan dari dua segi yang satu sama lain berjalinan. Satu sama lain tak dapat terpisahkan. Sentralisme tanpa demokrasi dapat menjurus kesewenang-wenangaan dan menekan daya-cipta anggota, tetapi demokrasi tanpa sentralisme, tanpa pimpinan yang memusat berarti ultra-demokrasi, yaitu demokrasi yang berlebih-lebihan, demokrasi yang tidak terpimpin. Demokrasi semacam ini sama dengan liberalisme (semau-maunya).
Prinsip sentralisme-demokratis ini harus dipahami dan harus dilaksanakan dalam kehidupan Partai sehari-hari oleh setiap anggota di semua tingkat organisasi Partai, di semua lapangan pekerjaan. Dengan susunan organisasi Partai yang berdasarkan prinsip sentralisme-demokratis, maka terjaminlah persatuan antara pimpinan Partai dengan anggota dan antara Partai dengan massa Rakyat.
b. TENTANG DISIPLIN
Partai Komunis itu harus mempersatukan semua kekuatan dan organisasi-organisasi klas proletar, harus selalu berhubungan erat dengan semua klas-klas pekerja lainnya, dan harus bisa memimpin perjuangan Rakyat. Oleh sebab itu, disamping kesatuan politik dan kesatuan organisasi, Partai mempunyai kesatuan disiplin. Artinya, di dalam Partai hanya ada satu macam disiplin yang berlaku bagi semua anggota, dari calon-anggota sampai fungsionaris-fungsionaris yang tertinggi. Hanya dengan adanya kesatuan disiplin yang kuat ini Partai bisa tetap memelihara sifat memimpin, bisa tetap mempertahankan sifat berdiri sendiri dalam politik dan organisasi, dan bisa tetap memelihara hubungan yang erat dengan massa Rakyat lainnya.
Dari mana sumber disiplin yang kuat di dalam Partai Komunis? Kehidupan sehari-hari dari kaum buruh menjadi dasar daripada disiplin itu. Klas borjuis dengan peraturan-peraturan yang berat di pabrik-pabrik mengajarkan disiplin pada kaum buruh. Akan tetapi kekerasan disiplin borjuis itu bersifat mengancam dan menakut-nakuti. Sebaliknya kaum buruh mengambil pelajaran yang berguna bagi perjuangannya dari peraturan-peraturan yang keras itu yaitu, bahwa dengan mentaati aturan-aturan pabrik terdapat cara kerja dan pembagian kerja yang effektif, terdapat hasil-hasil yang berkualitas tinggi dan pengaturan waktu yang rasional dan kerjasama yang harmonis. Hal-hal inilah yang dipelajari kaum buruh dan ditinggikan menjadi suatu, disiplin sukarela, yang tidak bersifat menakut-nakuti, tidak bersifat mengancam, melainkan bersifat mendorong, dan mempersatukan serta, mempertinggi mutu dari pekerjaan.
c. KRITIK DAN SELFKRITIK
Konstitusi Partai menegaskan sebagai berikut : "PKI harus terus menerus memeriksa kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangannya dengan jalan mengadakan kritik dan selfkritik yang tajam. Dengan demikian dapatlah dikoreksi pada waktunya semua kesalahan dan kekurangan-kekurangan dan dapat mendidik anggota dan kader Partai. PKI menentang sikap sombong, sikap yang tidak mau mengakui kesalahan-kesalahan dan takut kritik dan selfkritik".
Mengapa kritik dan selfkritik perlu?
Dalam perjuangan ada kalanya perhitungan kita tidak cocok dengan keadaan objektif. Maka timbullah kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan dalam pekerjaan.
Untuk mengatasi kekurangan dan kesalahan, kita harus selalu mengadakan tinjauan pada pekerjaan kita. Dengan menggunakan kritik dan selfkritik dalam meninjau pekerjaan itu, kita membetulkan kesalahan dan mengikis kekurangan-kekurangan. Dengan demikian pekerjaan kita menjadi terus maju.
Kritik dan selfkritik perlu untuk memajukan Partai kita, untuk memelihara kemurnian ideologi proletar, untuk memegang teguh garis politik dan organisasi, untuk mendidik anggota supaya dengan belajar dari kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan itu, pekerjaan yang akan datang lebih baik.
Dengan kritik dan selfkritik, ideologi kita makin hari makin tergembleng. Ibarat kita membersihkan rumah kita setiap hari, demikian pula hendaknya kita membersihkan pikiran-pikiran kita dan membetulkan ideologi kita setiap waktu.
Bagaimana caranya menjalankan kritik dan selfkritik?
Untuk menjalankan kritik dan selfkritik dengan tepat, kita harus mengingat beberapa hal sebagai berikut: kesalahan atau kekurangan itu hendaknya dianggap sebagai suatu penyakit yang perlu diobati. Bagi yang mengkritik hendaknya bersifat ingin mengobati "si sakit". Bagi yang dikritik hendaknya suka menerima dengan ikhlas bantuan dari orang yang akan mengobati. "Si sakit" akan bisa segera sembuh, jika ia sungguh-sungguh mengemukakan kesalahannya tepat pada waktunya, atau menjalankan selfkritik tepat pada waktunya.
Oleh karena itu jika dalam menjalankan kritik dan selfkritik timbul saling mencurigai pasti tidak menguntungkan persatuan Partai dan harus ditentang.
Dalam menjalankan kritik dan selfkritik ada kalanya tidak diperhatikan soal-soal pokok, tetapi terlibat pada soal yang kecil. Janganlah dilupakan bahwa tugas terpenting daripada kritik dan selfkritik ialah menunjukkan kesalahan-kesalahan politik, organisasi dan ideologi.
Bagaimana cara mengembangkan kritik dan selfkritik?
Adanya rapat-rapat periodik dan diskusi-diskusi periodik adalah sangat penting untuk senantiasa mengadakan tinjauan dalam pekerjaan dan untuk mengembangkan kritik dan selfkritik.
d. PIMPINAN KOLEKTIF
Jaminan untuk suksesnya pimpinan Partai atas massa ialah adanya cara kerja dan pimpinan kolektif.
Cara pimpinan kolektif dilaksanakan dengan mengumpulkan pendapat-pendapat dari massa untuk disimpulkan, dan setelah menjadi kesimpulan kolektif dijadikan pedoman dalam memberikan pimpinan. Karena itu pimpinan kolektif yang sedemikian itu adalah pimpinan kolektif yang realis, yang objektif.
Cara pimpinan kolektif berlawanan dengan cara pimpinan perseorangan. Cara pimpinan perseorangan mengingkari pendapat-pendapat massa, dan semata-mata menguntungkan pendapat-pendapat perseorangan saja. Karena itu cara pimpinan perseorangan adalah subjektif.
Bagaimana cara melaksanakan pimpinan kolektif?
Cara melaksanakan pimpinan-kolektif yaitu dengan mengadakan rapat-rapat periodik di dalam badan-badan kolektif. Rapat-rapat periodik itu harus teratur. Masing-masing anggota kolektif harus mempersiapkan diri sebelum berapat. Masing-masing anggota kolektif melaporkan apa yang dikerjakan dan bagaimana caranya mengerjakannya.
Apakah cara pimpinan kolektif itu menghilangkan perasaan perseorangan?
Tidak! Partai Komunis menghargai perasaan perseorangan dan selalu berusaha mengembangkan kecakapan perseorangan. Dengan berkembangnya kecakapan perseorangan dari anggota-anggota kolektif itu, maka kualitas kolektif itu meningkat menjadi lebih tinggi.
Cara kerja kolektif tidak berarti meniadakan tanggungjawab perseorangan. Tanpa tanggungjawab perseorangan kita akan terjerumus dalam bencana dimana tidak ada orang yang bertanggungjawab. Dalam setiap organisasi harus ada tanggungjawab perseorangan menurut pembagian kerja, dan harus ada orang yang bertanggungjawab kepada seluruh pekerjaan. Tiap badan kolektif memilih kepala kolektif, yaitu anggota yang paling maju di antara anggota-anggotanya. Selain seorang kepala kolektif dipilih juga seorang atau lebih wakil-wakil kepala supaya dengan begitu periodik dan kolektif bisa selalu berjalan Partai akan lebih terkonsolidasi dan tambah besar pengaruhnya di kalangan massa, jika setiap orang Komunis bekerja berdasarkan cara pimpinan kolektif.
SYARAT-SYARAT KEANGGOTAAN PARTAI
a. ARTI DARI TERIKAT DALAM SALAH SATU ORGANISASI PARTAI
Mengenai penerimaan menjadi anggota Partai, Konstitusi menjelaskan sebagai berikut : "Yang dapat diterima menjadi anggota Partai ialah setiap warganegara yang telah berumur 18 tahun, yang menyetujui Program dan Konstitusi Partai, masuk dan bekerja aktif di salah satu organisasi Partai, taat kepada putusan-putusan Partai, membayar uang pangkal dan iuran Partai, mengunjungi rapat-rapat dan kursus-kursus Partai".
Program dan Konstitusi Partai adalah garis politik organisasi yang terpokok. Persetujuan seseorang pada Program dan Konstitusi Partai adalah persetujuan seseorang kepada garis politik dan organisasi Partai. Syarat ini adalah penting bagi seorang yang mau menjadi anggota Partai, karena persetujuan pada Program dan Konstitusi itu merupakan langkah penting ke arah kesatuan politik dan organisasi di dalam Partai.
Tetapi, persetujuan pada Program dan Konstitusi atau persetujuan pada garis politik dan organisasi saja belum cukup bagi orang yang mau menjadi anggota. Garis politik dan garis organisasi yang benar dan yang telah disetujui itu harus diperjuangkan, harus diwujudkan. Dimana tempat untuk memperjuangkannya? Dengan masuk dan bekerja aktif disalahsatu organisasi Partai, maka seseorang anggota dapat dengan aktif memperjuangkan garis politik dan garis organisasi Partai yang benar.
Setiap anggota Partai harus mentaati putusan Partai. Setiap putusan Partai adalah putusan kolektif, putusan yang diambil dalam organisasi Partai. Dengan mentaati putusan Partai itulah, maka anggota Partai bersikap menghargai dan menjunjung tinggi organisasi Partai. Kaum Komunis itu tidak mempunyai senjata lain kecuali organisasi!
Anggota Partai harus membayar uang-pangkal dan iuran Partai. Ini membuktikan, bahwa seorang anggota Partai juga bersedia menyerahkan kepada Partai sebagian dari penghasilannya.
Akhirnya dengan mengunjungi rapat-rapat dan kursus-kursus serta membaca penerbitan-penerbitan Partai, anggota dapat selalu mengikuti kehidupan intern-Partai, kehidupan politik dan organisasinya, dan dengan begitu terus-menerus berusaha untuk meningkatkan kwalitet keanggotaannya.
Dengan memenuhi syarat-syarat keanggotaan seperti tersebut di atas, setiap anggota Partai Komunis dapat mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada kepentingan Partai dan Rakyat. Karena itu janganlah ada satu saja dari syarat-syarat keanggotaan itu yang dilalaikan.
b. ARTI DARI MASA-PENCALONAN
Sebelum seseorang dapat disahkan menjadi anggota Partai, di dalam Konstitusi Partai ada disebut mengenai masa-pencalonan bagi seseorang.
Apa arti masa-pencalonan itu? Mengapa penerimaan menjadi anggota Partai diatur melalui masa-pencalonan?
Mengapa orang tidak lalu terus diterima menjadi anggota?
Pada pokoknya masa-pencalonan diperlukan untuk memberikan pendidikan permulaan tentang ideologi Komunis kepada calon-anggota, dan juga untuk menjamin pengawasan oleh organisasi-organisasi Partai terhadap kualitas politik calon-anggota tersebut.
Mengenai Program dan Konstitusi Partai pada umum sudah diketahui garis pokoknya oleh calon-anggota, tetapi mengenai hidup berorganisasi dan mengenai ideologi Komunisme ia harus terlebih dulu dilatih.
Lama masa-calon ditentukan oleh kedudukan sosial masing-masing orang. Bagi kaum buruh, buruh-tani dan tani-miskin masa-calonnya lebih pendek daripada bagi tani-sedang, pegawai-kantor dan kaum intelektual atau pekerja-merdeka.
Rol dari para penanggung calon-anggota yang bersangkutan adalah penting sekali, sebab merekalah sebetulnya yang menjadi pelatih pertama dari calon-anggota. Sedikit banyaknya tergantung pada para penanggung inilah jadi tidaknya calon itu menjadi seorang Komunis yang baik.
Dalam pada itu Partai menegaskan bahwa setiap orang yang sudah diterima menjadi calon-anggota, pada saat penerimaan itu ia sudah menjadi anggota klas buruh, sudah menjadi anggota proletariat walaupun kedudukan sosialnya tidak sebagai buruh-upahan.
Kewajiban Partai terhadap para calon-anggota ialah berusaha agar para calon-anggota dapat ditingkatkan menjadi anggota tepat pada waktunya.
c. TENTANG KEWAJIBAN DAN HAK ANGGOTA PARTAI
Untuk menjadi anggota Partai Komunis, dari seseorang hanya diperlukan memenuhi syarat-syarat keanggotaan seperti yang ditetapkan di dalam penerimaan menjadi anggota di atas -- yaitu setiap warganegara yang telah berumur 18 tahun, yang menyetujui Program dan Konstitusi Partai, ….bekerja aktif disalahsatu organisasi Partai, taat kepada putusan-putusan Partai dan membayar uang-pangkal dan iuran Partai, mengunjungi rapat-rapat dan kursus-kursus Partai serta membaca penerbitan-penerbitan Partai. Ini adalah syarat-syarat minimum yang harus dipenuhi oleh setiap anggota Partai.
Tetapi, setiap anggota Partai Komunis, seharusnya tidak menjadi seorang anggota yang hanya memenuhi syarat-syarat minimum saja. Seorang anggota harus tidak merasa puas dengan hanya membatasi diri pada syarat-syarat minimum ini.
Oleh sebab itu mengenai kewajiban anggota Partai, Konstitusi mewajibkan anggota untuk mempertinggi kesadarannya dan memperdalam pengertiannya tentang dasar-dasar daripada teori Marxisme-Leninisme. Ini adalah jalan bagi setiap anggota untuk dapat senantiasa memperbanyak amalnya kepada Rakyat dan kepada revolusi, dan dengan begitu sekaligus meninggikan kualitas keanggotaannya.
Konstitusi juga menekankan tentang kewajiban anggota Partai untuk sungguh-sungguh menjalankan disiplin Partai, ambil bagian yang aktif dalam kehidupan politik intern Partai dan dalam gerakan revolusioner di Indonesia, melaksanakan dengan sungguh-sungguh politik serta putusan-putusan Partai dan menentang segala sesuatu yang membahayakan kepentingan-kepentingan Partai. Tidak dapat disangsikan, bahwa pelaksanaan kewajiban ini akan membikin Partai Komunis menjadi Partai yang kuat dan bulat.
Konstitusi Partai menekankan tentang kewajiban anggota Partai untuk mengembangkan kritik dan selfkritik dari bawah, mengemukakan kekurangan-kekurangan dan mengatasinya, menentang kepuasan diri yang berlebih-lebihan. dan kesombongan karena mendapat hasil-hasil dalam pekerjaan. Tidak dapat disangsikan, bahwa ketentuan ini akan mendorong untuk membuka dan melenyapkan kekurangan-kekurangan dan kesalahan-kesalahan dalam pekerjaan Partai, dan akhirnya akan memajukan Partai.
Dalam Konstitusi ditentukan, bahwa anggota Partai wajib mengabdi kepada Rakyat banyak, mengkonsolidasi hubungan Partai dengan massa, mempelajari dan melaporkan tepat pada waktunya kehendak-kehendak massa kepada Partai serta menjelaskan politik Partai kepada massa. lni mengandung arti bahwa kepentingan-kepentingan Partai Komunis adalah sama dengan kepentingan-kepentingan Rakyat dan bahwa tanggungjawab terhadap Partai adalah sama dengan tanggungjawab terhadap Rakyat. Perwujudan dari kewajiban ini akan menjadikan Partai kita tak terkalahkan, karena Partai tidak terpisah dari massa Rakyat.
Kewajiban lain dari setiap anggota ialah supaya menguasai garis pekerjaannya dan menjadi teladan dalam berbagai lapangan pekerjaan revolusioner. Ketentuan ini mendorong anggota untuk menguasai segi-segi pekerjaan dan mendorong untuk mengetahui hubungan pekerjaan dengan seluruh perjuangan revolusioner.
Mengenai hak-hak anggota Partai, Konstitusi menekankan sebagai berikut:
Ambil bagian dalam diskusi-diskusi yang bebas dan luas tentang pelaksanaan politik Partai;
Memilih dan dipilih di dalam Partai;
Mengajukan usul-usul atau keterangan-keterangan kepada tiap organisasi Partai, sampai kepada CC;
Mengkritik tiap fungsionaris Partai dalam rapat-rapat Partai.
Untuk mengembangkan demokrasi-intern Partai, maka setiap anggota harus menggunakan hak-haknya ini dengan sebaik-baiknya.
ORGANISASI BASIS DARIPADA PARTAI
Organisasi-basis Partai dibangun menurut tempat-tinggi atau kesatuan tempat-kerja, dimana terdapat paling sedikit 3 anggota Partai. Berdasarkan ketentuan ini, maka organisasi-basis bisa mempunyai hanya 3 anggota, tetapi bisa juga mempunyai ratusan anggota.
Organisasi-basis Partai atau Resort Partai merupakan kesatuan Partai yang berhubungan langsung dengan anggota-anggota Partai dan yang bekerja langsung di tengah-tengah massa Rakyat, ia merupakan jembatan yang menghubungkan massa Rakyat dengan badan-badan pimpinan Partai. Oleh karena itu, militansi dari keseluruhan Partai sangat tergantung pada militansi daripada organisasi-basis Partai.
Di dalam Resort Partai dimana terdapat banyak anggota, harus dibentuk Grup-grup yang anggotanya, terdiri dari sebanyak-banyaknya 7 orang anggota. Grup-grup ini merupakan bagian daripada Resort, tetapi bagian yang tidak mempunyai hak untuk menentukan garis atau sikap politik. Grup-grup ini melaksanakan putusan-putusan dari Resort.
Tiap Grup memilih seorang Kepala Grup dan kalau perlu wakil Kepala.
Apa tugas organisasi-basis? Resort Partai harus melakukan pekerjaan propaganda dan organisasi di kalangan Rakyat untuk menjelaskan pendirian politik Partai dan putusan-putusan organisasi Partai atasan. Tugas lain dari Resort ialah untuk mengetahui dengan jelas hal-ihwal daripada anggota-anggotanya, sejarahnya, perasaannya dan tingkat kesadaran politiknya.
Resort Partai berkewajiban membuka kedok musuh-musuh Rakyat yang bersembunyi di tengah-tengah Rakyat, dan membasmi mereka dengan bekerja-sama yang erat dengan Rakyat sekitarnya.
Selanjutnya tugas Resort ialah meninggikan tingkat kebudayaan dari anggota Partai dengan mengadakan pendidikan dan mengorganisasi pelajaran-pelajaran, terutama pelajaran membaca-tulis (PBH) bagi anggota yang buta huruf.
Rapat-rapat anggota Resort dibagi dalam rapat-rapat Grup, dan rapat-rapat Resort dihadiri utusan-utusan yang dipilih oleh rapat Grup. Tetapi rapat Grup itu tidaklah bersifat menentukan politik melainkan mengumpulkan pendapat-pendapat anggota untuk diteruskan pada Recom, atau sebaliknya untuk menyampaikan putusan-putusan Recom supaya dipecahkan pelaksanaan putusan itu. Jadi bagaimanapun juga Grup tidak boleh menggantikan Resort sebagai organisasi-basis Partai, Grup tidak boleh menghalang-halangi hubungan seorang anggota dengan Recom Partai.
Salah satu tugas penting, dari Grup menurut Konstitusi ialah: mempertimbangkan permintaan menjadi anggota dan setelah mengambil keputusan, meneruskannya kepada Recom Partai; setelah masa-calon selesai, mengusulkan pensahan menjadi anggota Partai kepada Recom; menerima dan menyampaikan permintaan berhenti sebagai anggota atau calon-anggota kepada rapat Resort dan memilih utusan untuk menghadiri rapat Resort.
TENTANG GARIS MASSA DARIPADA PARTAI
Apakah garis massa daripada Partai itu?
Garis massa daripada Partai adalah suatu garis klas, yaitu garis massa klas proletar. Ini berarti, bahwa garis politik dan garis organisasi Partai itu harus selaras dengan kepentingan massa Rakyat. Jadi menjalankan garis massa daripada Partai berarti bahwa garis politik dan garis organisasi Partai harus berasal dari massa dan kembali kepada massa.
Salah satu perbedaan yang penting antara Partai Komunis dengan partai-partai burjuis ialah terletak dalam hubungan masing-masing Partai itu dengan massa Rakyat.
Partai-partai borjuis dan tuan tanah berhubungan dengan massa Rakyat untuk mempertahankan penghisapannya terhadap massa. Mereka mencari hubungan-hubungan dengan massa tidak untuk membantu memperjuangkan tuntutan massa melainkan untuk memerintah dan mencari jalan yang sebaik-baiknya guna memenuhi keinginan-keinginan menghisap klas borjuis.
Sedangkan hubungan Partai Komunis dengan massa sudah dicantumkan dalam Konstitusi sebagai berikut "Kaum Komunis Indonesia harus mencurahkan segenap tenaga dan pikirannya untuk mengabdi kepada Rakyat. Kaum Komunis Indonesia harus mengadakan hubungan-hubungan yang luas dengan massa buruh, tani dan semua Rakyat revolusioner lainnya serta terus menerus mencurahkan perhatiannya untuk memperkuat dan meluaskan hubungan-hubungan ini. Tiap anggota Partai harus mengerti, bahwa kepentingan mereka adalah sama dengan kepentingan-kepentingan Rakyat, dan bahwa tanggungjawab terhadap Partai adalah sama dengan tanggungjawab kepada Rakyat".
Garis massa daripada Partai tidak hanya merupakan garis politik dan organisasi bagi Partai, melainkan juga menjadi moral bagi setiap orang Komunis. Bagi orang Komunis, ukuran yang tertinggi untuk semua perkataannya seharusnya ialah, apakah perkataan dan perbuatannya itu sesuai atau tidak dengan kepentingan yang terbesar dari massa Rakyat, dan apakah perkataan serta perbuatannya disokong atau tidak oleh massa Rakyat yang luas.
Setiap massa dapat dibagi atas tiga elemen dilihat dari sudut aktivitasnya. Sebagian yang kecil merupakan elemen maju, yang paling aktif. Sebagian lagi merupakan elemen tengah, yang berdiri di antara aktif dan pasif, sedang bagian yang terbesar terdiri dari elemen yang pasif. Jika dalam suatu persoalan yang dihadapi oleh massa itu, elemen yang pertama saja, atau elemen pertama dan yang kedua saja yang bergerak, itu berarti bahwa bagian terbesar daripada massa belum bergerak, dan tidak akan banyak hasilnya. Oleh sebab itu harus diusahakan supaya massa yang paling belakang itu, yaitu yang merupakan bagian yang terbesar turut bergerak. Jadi melaksanakan garis massa berarti, membantu elemen-elemen yang maju supaya bisa berangsur-angsur melahirkan pemimpin-pemimpin, mendorong elemen tengah hingga menjadi maju, dan selanjutnya mempertinggi kesadaran elemen ketiga atau yang terbelakang hingga melepaskan pasivitasnya dan turut bergerak.

No comments:

Post a Comment