Perbedaan Perempuan-Laki-laki

SEBUAH TINJAUAN EKONOMI1
Maureen Mackintosh

Semua masyarakat menerapkan pembagian kerja secara seksual. Artinya, ada tugas-tugas yang terutama atau bahkan hanya diberikan kepada perempuan, ada pula tugas yang hanya untuk pria, sedangkan beberapa tugas lain bisa dikerjakan baik oleh pria maupun perempuan. Sejalan dengan perubahan ekonomi yang dialami masyarakat tersebut, sifat pekerjaan berubah, dan demikian juga pembagiannya di antara pria dan perempuan. Dan pada titik tertentu dalam sejarah, tentunya pembagian pekerjaan ini berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Tetapi adanya pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin, pembagian kegiatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, merupakan fakta yang selalu ada dalam masyarakat manusia.
Kaum feminis sudah lama tertarik perhatiannya oleh fakta yang selalu muncul ini, dan menyatakan bahwa pemahaman akan pembagian keria secara seksual penting untuk setiap usaha untuk memahami, dan mengubah, posisi perempuan dalam masyarakat secara keseluruhan. Saya mempunyai dua tujuan dengan mengemukakan argumen-argumen kaum feminis di atas dalam artikel ini. Pertama, saya mencoba meneliti alasan-alasan mengapa pembagian kerja secara seksual merupakan masalah penting bagi analisa kaum feminis, serta kesulitan-kesulitan teoritis yang muncul dari upaya-upaya untuk menjelaskan terciptanya pembagian secara seksual itu. Dan kedua, saya bermaksud menggunakan pembahasan ini untuk menyinggung masalah yang lebih umum, yaitu hubungan antara posisi ekonomi perempuan--yakni jenis pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan dalam hubungan yang bagaimana mereka melakukannya--dan subordinasi yang lebih luas terhadap perempuan di dalam masyarakat.
Walaupun artikel ini memperkenalkan sejumlah tema yang akan diangkat lagi dalam artikel lain dalam buku ini, pusat pembicaraan tetap pada aspek ekonomi dalam subordinasi perempuan. Karena itu, aspek-aspek sosial dan kultural dari subordinasi, yang dibahas secara rinci dalam artikel lain dalam buku ini. tidak saya singgung di sini.

SUBORDINASI DAN PEMBAGIAN SECARA SEKSUAL


Ada dua soal definisi yang mula-mula harus dibahas. Pertama adalah pembedaan antara 'gender' dan 'sex'. Penulis-penulis feminis2 telah dengan taiam membedakan antara jenis kelamin biologis (sex), dan kategori jenis kelamin yang dibentuk oleh masyarakat (gender). Walaupun frase yang telah mapan seperti 'pembagian kerja secara seksual' tetap saya gunakan, untuk lebih menaJamkan artinya, yang saya maksud di sini adalah pembagian kerja sepanjang garis gender. Karena itu pembahasan dalam artikel ini menggunakan konsep 'gender.' dan 'hubungan-hubungari antar gender' dalam membicarakan kegiatan-kegiatan dan hubungan-hubungan antara laki-laki dan perempuan, dan tidak berasumsi bahwa pembagian yang dipelajari di sini dapat ditelusuri asalnya dari perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara jenis kelamin biologis.3
Konsep kedua yang perlu didefinisikan adalah 'subordinasi'. Saya menggunakan konsep subordinasi perempuan-- subordinasi posisi perempuan terhadap laki-laki--sebagai fokus analisa saya sebab konsep ini memusatkan perhatian pada apa yang dapat disebut sebagai problematik feminis: hubungan natara perempuan dan laki-laki di dalam proses sosial secara keseluruhan, dan bagaimana hubungan ini berlangsung sehingga merendahkan posisi perempuan.4 Jika kita mengambil masalah subordinasi perempuan ini sebagai masalah utama, kita akan dapat menganalisa hubungan subordinasi yang berwatak gender ini dengan penderitaan perempuan lainnya, seperti eksploitasi ekonomi, taripa mencampur-adukkannya dengan masalah-masalah politik maupun konseptual.
Dengan demikian, kaum feminis tertarik untuk membicarakan pembagian kerja secara seksual sebab pembagian kerja ini tampak mengungkapkan, mencakup, dan lebih jauh lagi, melestarikan subordinasi perempuan. Contoh untuk hal ini dengan mudah dapat ditemukan. Di bidang-bidang pekerjaan yang dilakukan baik oleh perempuan maupun oleh laki-laki, buruh perempuan cenderung disisihkan ke dalam sektor-sektor industri tertentu, dan ke dalam jenis jenis pekerjaan tertentu pula dalam sektor tersebut. Dan dalam pekerjaan-pekerjaan itu, buruh perempuan biasanya mendapat upah lebih rendah, dianggap kurang memiliki ketrampilan, ditempatkan dalam urutan yang lebih rendah dalam jajaran kekuasaan serta menjalani kondisi kerja yang relatif buruk. Dokumentasi untuk keadaan seperti ini di negara-negara industri maju telah cukup banyak didokumentasikan,5 dan telah terdapat pula bukti-bukti yang cukup kuat tentang keadaan ini di negara-negara Dunia Ketiga.6 Selain itu, eukup mengejutkan bila dilihat bagaimana cepatnya, sejalan dengan berdirinya pabrik-pabrik dan perkebunan-perkebunan baru, kategori-kategori baru 'pekerjaan perempuan' dibentuk, dengan upah dan kondisi kerja yang relatif kurang itienguntungkan.7 Dengan cara inilah pembagian kerja secara seksual tercipta dan diciptakan kembali sejalan dengan berkembangnya pasaran kerja upahan, dan satu bentuk subordinasi perempuan dilestarikan.
Adanya pembagian kerja secara seksual ini tentu saja tidak hanya terbatas pada bidang kerja upahan saja. Dalam kerja-kerja tanpa upah, baik dalam pertanian, dalam perdagangan atau industri kecil (yang lebih banyak melibatkan keluarga sendiri), atau dalam tugas-tugas 'rumah tangga' seperti menyiapkan makanan untuk keluarga dan mengasuh anak, pembagian kerja secara seksual juga merupakan fakta yang selalu ada, dan secara tetap pula semakin merugikan perempuan. Dalam kegiatan-kegiatan yang berkisar pada kerja-kerja rumah tangga--baik dalam pertanian maupun non-pertanian--perempuan bekerja sebagai buruh tanpa upah, dengan bagian keuntungan yang seringkali sangat kecil. Di daerah-daerah pertanian yang miskin, berkembangnya tanaman komoditi dan metode-metode baru penanaman, serta berpindahnya tempat mengolah makanan ke luar rumah, telah membawa perubahan pada pembagian kerja secara seksual, menciptakan kegiatan yang secara finansial menguntungkan laki-laki, dan menyisihkan perempuan ke dalam kegiatan-kegiatan yang kurang produktif.8 Dan terakhir, di kebanyakan masyarakat, pembagian kerja berdasarkan gender sangat jelas terlihat dalam pekerjaan-pekerjaan yang telah saya sebutkan di atas sebagai pekerjaan 'rumah tangga'. Dalam masyarakat di mana perempuan mengerjakan semua tugas rumah tangga, pekerjaan ini sudah pasti akan dinilai rendah. serta sangat membatasi kemampuan perempuan untuk ikut berperan dalam kegiatan-kegiatan yang menghasilkan uang. Di banyak tempat di dunia ini, pembagian kerja secara seksual di dalam rumah memaksa perempuan untuk bekerja dengan waktu yang lebih panjang daripada waktu kerja laki-laki, dan setelah seharian bekerja memperoleh standar hidup yang lebih rendah.
Subordinasi perempuan, dengan demikian, berpangkal pada pembagian kerja secara seksual. Seperti telah diperlihatkan di atas, pembagian kerja secara seksual, yang kembali diorganisir dan seringkali diperkuat sejalan dengan menyebarkan ekonomi uang, cenderung untuk semakin merugikan kaum perempuan. Karena itu, analisa kaum feminis terhadap pembagian kerja secara seksual itu berangkat dari premis bahwa hal itu bukan sesuatu yang alamiah, bahwa pembagian itu tidak hanya mencakup peran yang saling melengkapi antara perempuan dan pria. Tapi kita dapat membalikkan proposisi seperti itu: hanya dalam suatu masyarakat di mana laki-laki dan perempuan merupakan jenis kelamin (gender) yang berbeda terdapat alasan mengapa perbedaan jenis kelamin harus dianggap sebagai prinsip pengorganisasian yang penting bagi pembagian kerja dalam masyrakat, dengan pengecualian pada proses fisik kehamilan dan melahirkan. Sebab kenyataan bahwa perempuan hamil dan melahirkan anak tidak dengan sendirinya berarti bahwa mereka sendirilah yang harus mengasuhnya selama masa kecil anaknya; dan tidak pula berarti bahwa perempuan harus menyiapkan makanan dan mengurus segala keperluan anggota keluarga yang telah dewasa, merawat yang sakit, melakukan tugas-tugas pertanian tertentu ataupun bekerja di pabrik-pabrik elektronik. Suatu masyarakat yang tidak membedakan gender akan merupakan suatu masyarakat di mana kenyataan adanya perbedaan jenis kelamin (yang terjadi diluar kemauan manusia) tidak dengan sendirinya menggariskan kemungkinan dan keterbatasan kegiatan ekonomi suatu individu.
Bukti di atas, dengan demikian, eukup kuat untuk menyatakan adanya hubungan yang erat antara pembagian kerja secara seksual dengan subordinasi perempuan. Tapi bagaimana pula caranya menjelaskan terciptanya dan lestarinya pembagian kerja secara seksual ini? Di bawah ini saya mencoba menelusuri beberapa jenis penjelasan teoritis yang telah dikemukakan, dan masalah-masalah yang muncul dari penjelasan itu. Pembahasan tersebut bukan dimasudkan sebagai kesimpulan yang adil terhadap pandangan-pandangan yang berbeda itu, tapi lebih sebagai pengujian pendukung terhadap beberapa kesulitan yang tereakup, yang memusatkan perhatian pada kesulitan untuk menyatukan analisa ekonomi dan gender ke dalam sebuah teori perkembangan kategori pekerjaan perempuan.

KEUNTUNGAN-KEUNTUNGAN KERJA PEREMPUAN BAGI KAPITAL/MODAL


Untuk memahami pembagian kerja secara seksual di berbagai masyarakat kita perlu lebih dahulu memahami, bukan saja kerja-keria yang dilakukan oleh perempuan dan pria, tapi juga dalam hubungan yang seperti apa mereka melakukannya. Banyak yang telah dijelaskan dalam bagian terdahulu, dan tampak bahwa implikasi pembagian kerja secara seksual bagi perempuan tergantung pada fakta apakah mereka bekerja sebagai pekerja upahan, sebagai anggota keluarga yang bekerja tanpa bayaran, sebagai pedagang yang dipekerjakan oleh dan untuk diri sendiri; dengan kata lain, tergantung dalam hubungan produksi sosial yang bagaimana pekerjaan itu dijalankan. Konsep hubungan produksi sosial ini, serta pentingnya hal ini bagi pemahaman terhadap pembagian kerja dalam masyarakat, adalah salah satu paham yang sangat berguna yang dibawa teori ekonomi Marxis untuk memahami pembagian seksual.
Paham ini diterapkan dalam satu bidang literatur tentang pembagian kerja secara seksual, yang pendekatannya adalah dengan bertanya, apakah keuntungan kerja yang dilakukan perempuan bagi modal? Penulis-penulis yang yang memakai pendekatan ini, yang berdasarkan pada analisa ekonomi Marxis, telah mempelajari berbagai 'kerja perempuan'--kerja upahan, misalnya, atau bertani secara keeil-keeilan, atau kerja rumahtangga--dart telah mempertanyakan bagaimana, dengan caranya masing-masing, setiap kategori kerja itu menguntungkan pemilik modal (yakni, menguntungkan mereka yang memiliki dan menjalankan perusahaan swasta dalam ekonomi campuran). Asumsi implisit yang muncul dari pendekatan demikian adalah bahwa jika kita dapat memper lihatkan bahwa modal, yang merupakan kekuatan ekonomi yang dominan dalam ekonomi non-sosialis. menarik keuntungan dari pembagian kerja secara seksual dan dari subordinasi perempuan dalam bidang ekonomi yang diakibatkannya, maka kita paling tidak akari memperoleh sebagian penjelasan tentang adanya subordinasi itu serta upaya-upaya pelestariannya setelah subordinasi itu ada.
Metode argumen dari pendekatan adalah dengan mencoba memperlihatkan bahwa, karena adanya pembagian kerja secara seksual, modal dapat menarik keuntungan lebih besar dari angkatan kerjanya daripada jika pembagian itu tidak ada. Dalam bidang kerja upahan, misalnya, sudah lama perempuan menjadi tenaga keria murah, dibayar lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas mereka dari pada pria. Akibatnya, keuntungan meningkat, baik di negara-negara industri kapitalis maju maupun di negara-negara Dunia Ketiga.9 Telah pula diisaratkan bahwa modal diuntungkan dengan menggunakan perempuari sebagai 'angkatan cadangan' tenaga kerja: suplai tenaga keria fleksibel yang dapat diserap di masa ekspansi, dan ditendang ke luar -bukan hanya dari pekerjaannya tapi juga dari angkatan keria, kembali kepada ketergantungan dalam rumahtangga--ketika datang masa krisis.10 Kaum perempuan membentuk salah satu bagian dari angkatan kerja upahan yang paling Murah dan paling rapuh, dan karena itu terbuka bagi penindasan tingkat tinggi. Lebih jauh lagi, pembagian material yang muncul dalam angkatan kerja antara laki dan perempuan--perbedaan dalam pengupahan, persaingan untuk mendapatkan kerja dalam situasi-situasi berkurangnya pekerjaan--melemahkan kekuatan buruh secara keseluruhan, memberikan kesempatan kepada modal untuk memecah belah dan berkuasa dan dengan demikian meningkatkan keuntungan dengan mengorbankan upah.
Garis argumen yang sama telah pula diterapkan kepada kerja-kerja yang dilakukan perempuan di luar angkatan kerjaupahan, seperti kerja tanpa bayaran di dalam rumahtangga. Di Eropa dan Amerika Utara, debat mutakhir tentang analisa kerja rumahtangga (domestik), terfokus pada keuntungan kerja-kerja itu bagi modal. Kerja rumahtangga adalah pekerjaan yang dilakukan di dalam rumah, yang menghasilkan barang-barang untuk dikonsumsi di dalam rumah tangga tersebut (makanan yang sudah matang, pakaian bersih, pemeliharaan anak). Lalu bagaimanakah, begitu dipertanyakan, proses akumulasi modal dibantu oleh massa tenaga kerja tak dibayar ini?11 Kerja tanpa upah dalam rumah, yang hampir seluruhnya dikerjakan oleh perempuan, meningkatkan standar hidup kelas buruh dari standar yang disediakan oleh upah saja, serta menyediakan jasa pengasuhan dan sosialisasi anak-anak, yang berarti angkatan kerja untuk masa mendatang. Jasa-jasa ini, sebaliknya, hanya dapat disediakan oleh negara dengan efektifitas yang kurang dan dengan biaya tinggi bagi modal.
Selain itu, masih dalam pembicaraan tentang kerja rumahtangga, terdapat perdebatan yang tak kunjung selesai mengenai efek kerja rumahtangga yang dikerjakan perempuan terhadap tingkat upah rata-rata yang dibayarkan oleh modal.12 Dengan berbagai cara, telah pula dikemukakan bahwa dijalankannya kerja rumahtangga telah menurunkan upah di bawah tingkat yang seharusnya, yakni dengan jalan menyediakan barang-barang yang, jika tidak disediakan di rumah, akan harus dibeli dengan upah, dan bahwa dikerjakannya pekerjaan ini oleh perempuan yang tersingkir dari pasaran keria cenderung akan menaikkan upah mereka yang bekerja (khususnya, upah kaum pria), dengan cara membuat mereka dapat berjuang untuk mendapatkan 'upah keluarga' untuk menutupi kebutuhan konsumsi anggota keluarga yang masih tergantung pada kepala keluarga.13 Perdebatan ini masih terus berlangsung dan belum dapat diselesaikan dalam tingkat teori sekalipun. Terdapat banyak pengaruh-pengaruh yang saling bertentangan terhadap tingkat upah secara umum di daerah geografis manapun atau di kurun sejarah yang manapun, dan hubungan antara kerja rumahtangga dan tingkat upah dapat merupakan pertanyaan yang harus dijawab baik oleh sejarah ekonomi maupun oleb teori umum.
Semua analisa di atas berusaha menunjukkan bahwa kerja yang dilakukan perempuan, sebagai buruh murah ataupun sebagai istri yang mengurus rumahtarigga, menguntungkan modal. Kritik yang diajukan terhadap pendekatan pada pembagian keria secara seksual ini umumnya berpendapat bahwa pendekatan ini bukan tidak benar, melainkan tidak cukup sebagai suatu penjelasan. Sebab pendekatan ini tidak menjelaskan mengapa perempuan yang mengerjakan tugastugas itu. Masalah ini menjadi jelas jika kita keluar dari negara-negara kapitalis maju. Berangkat dari sini, Bennholdt-Thomson14 mengambil garis argumentasi bahwa kerja rumahtangga merendahkan nilai tenaga kerja, dan melanjutkan argumentasi ini sampai pada kesimpulan logisnya. Yakni, karena sifat kerja rumahtangga yang tidak dibayar inilah yang penting, kita dapat pula menggunakan kerangka analisa yang sama bagi kegiatan produktif lain seperti produksi pertanian subsisten yang dikerjakan baik oleh laki-laki maupun perempuan, dan ikut menyumbang bagi standar hidup angkatan kerja kapitalis.15 Karena itu, jika kita hanya menganalisa keuntungan jenis kerja seperti ini bagi modal tidaklah cukup untuk menjelaskan mengapa perempuan banyak terdapat di bidang-bidang pekerjaan khusus seperti itu.

Catatan:
1. Diterjemahkan dari sebagian artikel berjudul "Gender and Economics: The Sexual Division of Labour and the Subordination of Women", dalam Kate Young dkk. , (eds. ) Of Mariage and the Market: Women's Subordination Internationally and its Lessons, Routledge & Kegan Paul, cetakan kedua 1984.
2. Lihat misalnya Oakley, A (1972), Sex, Gender and Society. London, Temple Smith; Rubin, G (1975),---TheTraffic in Women," dalam R. Reiter (ed.) (1975), Toward an Anthropology of Women, New York, Monthly Review Press.
3. Untuk soal ini, lihat pula tulisan Elson, Diane dan Ruth Pearson, "The Subordination of Women and the Internationalisation of Factory Production, " dalam buku ini (Of Mariage and the Market: ..).
4. Untuk pembahasan yang lebih dalam tentang hal ini, lihat Whitehead, A (1979), "Some Preliminary Notes on the Subordination of Women," IDS Bulletin, Vol. 10, No. 3.
5. Lihat Phillips, A dan B. Taylor (1980), "Sex and Skill. Notes Towards a Feminist Economics," Feminist Review, No. 6.; dan makalah-makalah dalam Amsden, A (1980), The Economics of Women and Work, Harmondsworth, Penguin.
6. Elson, Diane dan Ruth Pearson, "The Subordination of Women and the Internationalisation of Factory Production," artikel dalam buku ini; Blake, M dan C. Moonstan (1981), "Women and Transnational Corporations (The Electronics Industry) Thailand," Honolulu, Working Paper of East-West Culture Learning Institute.; Grossman, R. (1979), "Women's Place in the Integrated Circuit," Southeast Asian Chronicle, No. 66 (Penerbitan bersama dengan Pacific Research Vol. 9, No. 5-6).; Heyzer, N. (1981), "International Production and Social Change in Singapore," dalam P. Chen (ed.), Development Politics and Trends in Singapore, Hamburg, Oxford University Press.; Stoler, A. (akan terbit), "The Company's Women: Labour Control in Sumatra Agribusiness," dalam K. Young (ed. ) (akan terbit), Serving Two Masters, London, Routledge Kegan Paul.; Banerjee, N., (akan terbit), "Fruits of Development: Prickly Pears for Women," dalam K. Young (ed.), Serving Two Masters, London, Routledge Kegan Paul.
7. Lihat misalnya MacKintosh. M., (akan terbit), "Sexual Contradiction and Labour Conflict on a West African Estate Farm," dalam K. Young (ed.) (akan terbit), Serving Two Masters, London, Routledge Kegan Paul.; Pearson, R., (akan terbit), "Women Workers in Mexico's Border Industries," dalam K. Young (ed.) (akan terbit), Serving Two Masters, London, Routledge Kegan Paul.
8. Rogers, B. (1980), The Domestication of Women: Discrimination in Developing Societies, London, Tavistock.; Bukh, J. (1979), The Village Woman in Ghana, Scandinavian Institute for African Studies, Uppsala, Centre for Development Research Publications No. l.; Palmer, 1. (1977), "Rural Women and Basic Needs," lnternational Labour Review, Vol. 115, No. 1. dan Palmer, 1, (1978), Issues and Policy Implications related to Women and Agrarian Reform, Rome, F.A.O.; Roberts, P. (1979), "The Integration of Women into Development Process: Some Conceptual Problems," IDS Bulletin, Vol. 10, No. 3. dan Roberts, P. (akan terbit), "The Sexual Politics of Labour in Western Nigeria and Hausa Niger," dalam K. Young (ed.) (akan terbit), Serving Two Masters, London. Routledge Kegan Paul.; Boserup, E. (1970), Women's Role in Economic Development, London, George Allen and Unwin.
9. Lihat "Introduction" yang ditulis Sally Alexander untuk M. Herzog (1980), From Hand to Mouth: Women and Piecework, Harmondsworth, Penguin.; dan Elson dan Pearson, loc.cit.
10. Lihat Bruegel, 1. (1979), "Women as a Reserve Army of Labour: a Note on Recent British Experience," Feminist Review, No. 3., untuk pengujian hipotesa ini dalam konteks pengalaman mutakhir Inggris.
11. Untuk ringkasan perdebatan tesebut serta bahan acuannya lihat, Himmel weit, S. and S. Mohun (1977), "Domestic Labour and Capital," Cambridge Journal of Economics, Vol. 1.
12. Untuk satu masukan bagi perdebatan ini libat, Beechey, V. (1977), "Some Notes on Female Wage Labour in Capitalist Production," Capital and Class, No. 3.
13. Untuk argumentasi yang terakhir, lihat llumphries, J. (1977), 'Mass Struggle and the Persistence of the Working Class Family," Cambridge Journal of.Economics, Vol. 1, No. 3.; untuk kritik tentang hal ini, lihat Barrett, M. dan McIntosh, M. (1980), "The Family Wage, Some Problems for Socialists and Feminists," Capital and Class, No. 11.
14. Bennholdt-Thomson, Veronika, "Subsitence Production and Extended Reproduction,'' artikel dalam buku ini (Of Marriage and the Market:..).
15. Meillasoux, C. (1981), Maidens, Meal and Money, Cambridge, Cambridge University Press., mengemukakan argumen yang secara analitis serupa.

No comments:

Post a Comment