Krisis Kapitalisme Finansial; Tantangan Bagi Kaum Kiri

Yayasan Rosa Luxemburg
Dunia baru neoliberalisme yang begitu percaya diri kini tergeletak di tengah reruntuhan. Kekayaannya rupanya ditopang oleh perampokan, kebohongan dan penipuan. Kaum kiri berada dalam situasi yang baru. Tanpa mentransformasi dirinya dan mengembangkan kapasitasnya untuk melakukan aksi yang tepat dalam masa-masa ini, ia akan menyia-nyiakan untuk jangka waktu yang panjang segala kesempatan untuk menjadi suatu kekuatan sosial, ekologis, demokratik dan perdamaian yang mengedepankan transformasi sosial yang melampaui kapitalisme. Kertas ini, yang dipresentasikan di sini dalam format yang singkat, bertujuan untuk berkontribusi dalam diskusi tentang strategi Kiri yang memperbaharui dirinya dalam krisis neoliberalisme.
Neoliberalisme dalam Krisis

Komunitas yang menderita penindasan, rasa tak aman, dan dijarah; diharuskan membayar tagihan dari tigapuluh-tahun lebih pesta pora redistribusi kekayaan dari bawah ke atas, dari publik ke swasta. Jutaan pekerja bukan hanya kehilangan pekerjaannya, tapi juga rumah dan pensiunnya. Krisis finansial terkait erat dengan siklus krisis ekonomi dan habisnya lahan pertumbuhan bagi masyarakat yang egois, serta bagi revolusi teknologi informasi. Pada saat bersamaan, pemanasan global mengakibatkan meledaknya biaya dan dirampasnya fondasi kehidupan ratusan juta manusia. Krisis-krisis ekonomi yang saling kait mengait satu dengan lainnya memberikan ancaman berupa penguatan jerat-jerat represi dan kompetisi serta memfasilitasi penyempurnaan sistem eksploitasi neo-kolonial.

Respon Neoliberal terhadap Krisis Akumulasi-Berlebih (Over-Accumulation)
Krisis kapitalisme finansial neoliberal pecah di pusatnya dan memiliki penyebab yang sistemik: ia dipicu oleh kekuasaan bidang finansial yang memerintah dirinya sendiri sehubungan dengan bidang-bidang ekonomi lainnya, dan oleh penyertaan semua bidang sosial ke dalam bisnis spekulatif finansial yang berada di luar jangkauan yang dimungkinkan oleh organisasi sosial atau negara.
Secara fundamental, di hadapan hubungan-hubungan kekuatan riil, berbagai macam cara untuk mengatasi krisis ekonomi saat ini masih dapat dirumuskan dan sedapat mungkin perlu dilihat dari perspektif historis. Tiap-tiap jalan ini memiliki karakter politik dan tidak muncul secara spontan dari ekonomi. Mereka mengharuskan dimensi negara yang aktif. Akan menjadi bencana bila krisis ekonomi berpasangan dengan keruntuhan dimensi negara yang seperti itu.

Surplus kapital dapat diupayakan untuk dialirkan ke area-area investasi yang baru. Kemungkinan saat ini yang sama sekali tak bisa dilupakan adalah juga kebijakan inflasi yang dihubungkan dengan ketegangan sosial dan internasional yang ekstrim. Keduanya - pembukaan ladang akumulasi baru atau devaluasi kapital - dapat berjalan berdampingan. Bila kecenderungan akumulasi kapital berlebih saat ini tidak dihentikan, semakin menumpuklah bahan peledak yang akan menciptakan krisis finansial, ekonomi dan sosial.
Krisis Sosial Kapitalisme Finansial dan Kebutuhan Akan Alternatif
Apakah krisis saat ini akan menjadi krisis sistemik merupakan pertanyaan yang belum terjawab. Sebagai krisis struktural kapitalisme, walau demikian, ia dalam banyak hal merupakan krisis sosial kapitalisme.

Pertama: berkat krisis terhadap cara-cara radikal dalam meregulasi pasar, yang berwujud menjadi krisis finansial; ideologi neoliberalisme telah terguncang.
Kedua: neoliberalisme telah mengedepankan stuktur yang tak mampu bertahan. Barang-barang yang sangat dibutuhkan untuk kehidupan bermartabat bagi manusia, diproduksi secara sangat tidak memuaskan. Krisis saat ini mendorong sebagian besar masyarakat global menuju keadaan yang semakin tak aman dan berujung pada pemberontakan oleh mereka yang paling menderita dalam wilayah pinggiran di dalam maupun luar negeri. Protes dan perlawanan terbentuk di semua tingkat, masih terfragmentasi dan banyak yang tak memiliki arah yang jelas, namun bertumbuh besar.
Ketiga: bentuk-bentuk pemerintahan demokratik telah diterapkan di banyak negara dalam dua puluh tahun terakhir. Pada saat bersamaan, basis sosial, ekonomi dan budaya dari demokrasi mengalami pengikisan.
Keempat: kapitalisme neoliberal juga telah menyia-nyiakan legitimasinya dalam wilayah keamanan domestik dan luar negeri. Dalam perang Irak, klaim kaum imperialis yang hendak menstrukturkan tatanan di tiap wilayah di dunia menurut paradigma Barat dengan kekerasan militer ketika metode lainnya tidak memungkinkan, kini terbukti gagal. Pembelanjaan untuk persenjataan dan perang membuat hilangnya pendanaan untuk pembangunan negara-negara Selatan dan layanan publik bahkan di negeri-negeri kaya.
Orientasi Baru Kekuatan-kekuatan Sosial

Berbagai macam kekuatan kini sedang melakukan proyek-proyek, tendensi-tendensi, dan skenario bagi pendirian kembali dan/atau pembangunan dominasi kapitalis borjuis. Seperti halnya krisis Fordisme dari tahun 1968 dan setelahnya, berbagai krisis saling bertemu dalam satu momentum yang disambut dengan intensifikasi mekanisme regulasi yang lama, meskipun sesuatu yang baru telah mulai muncul. Demikian pula tendensi-tendensi yang disebutkan di bawah ini; mereka dapat ditemukan dalam neoliberalisme, namun pada saat bersamaan perkembangannya mengarah ke bentuk yang lebih jauh dari pada itu.
(A) Intervensionisme Baru oleh Negara
Para penguasa bereaksi terhadap krisis dengan secara mendadak dan cepat mengubah kebenciannya terhadap negara - yang puluhan tahun lamanya - menjadi intervensi negara yang massif. Padahal dalam kenyataannya, negara secara reguler berperan aktif dalam kapitalisme neoliberal.
Tindakan penyelamatan negara juga menyertakan unsur-unsur konsensus - meskipun sangat terbatas - untuk mengamankan dukungan kelompok sosial yang berpendapatan rendah, seperti dibatasinya pendapatan kelas manajer dan bahkan mempertimbangkan partisipasi negara dalam perusahaan-perusahaan industri. Paket penyelamatan bank disusul dengan perangkat program-program anti-siklus oleh negara. Dalam Uni Eropa, strategi Lisbon, dengan segala permasalahannya, masih dipertahankan.
(B) Regulasi Pasar Finansial dan Perjuangan untuk Bretton Woods Baru
Kini masa depan sistem finansial global menjadi pusat perdebatan antara, di satu sisi, kekuatan-kekuatan restoratif yang hendak menggunakan negara dan keuangannya untuk mendirikan kembali tatanan lama, serta para "penjudi krisis" yang mencoba mengambil keuntungan dari krisis; sementara di sisi lain terdapat inisiatif reformis yang jelas hendak melangkah meninggalkan status quo. Penyudahan riil terhadap neoliberalisme, walau demikian, belumlah terlihat.
(C) Kebijakan 'New Deal' yang Baru
Dengan diperbaharui dan dibangunnya wilayah publik melalui program-program investasi dalam infrastruktur publik, pendidikan dan sistem kesehatan serta penciptaan lapangan kerja di cabang-cabang tersebut, kelompok tertentu seputar Presiden Obama mencoba untuk menebus kejatuhan ekonomi AS dan menangani krisis reproduksi dan pekerjaan serta memberikan tawaran konsensus baru kepada kelompok-kelompok sosial bawah. Kebijakan 'New Deal' yang baru dimaksudkan memberikan pengkondisian baru terhadap kondisi umum reproduksi kapital.
(D) Kebijakan 'New Deal' Hijau
Kebijakan 'New Deal' yang hijau menyertakan inisiatif dan subsidi yang massif oleh negara untuk transisi (transformasi) menuju corak produksi 'ekologis' yang membuka lahan-lahan baru bagi akumulasi kapital dan mencari kesempatan-kesempatan investasi (komodifikasi lebih lanjut terhadap sumber daya alam di bidang keragaman hayati atau teknologi genetika; teknologi ekologis untuk meningkatkan efesiensi produksi dan penghematan energi). Investasi dan kemungkinan spekulasi yang baru membuka pasar-pasar baru dalam sertifikasi atau perdagangan emisi dan konsumsi ekologis. Perlindungan alam dan lingkungan hidup menjadi komoditas tersendiri, yang membatasi kemungkinan penuntasan krisis ekologis. Kebijakan 'New Deal' hijau dengan begitu bukanlah solusi terhadap krisis ekologi; melainkan suatu upaya untuk mengelaborasikannya dalam pengertian membangun kembali perluasan akumulasi dan hegemoni yang menyertakan kelompok-kelompok oposisi progresif dan kepentingan arus bawah.
(E) Tujuan-tujuan Milenium dan Perjuangan untuk Tatanan Dunia yang lebih adil
Bencana global atau kerjasama global - tendensi menuju kerjasama kapitalisme global semakin diintensifkan di bawah tekanan-tekanan alternatif ini.
Pertanda besar tentang kerjasama pengurangan kemiskinan di wilayah luas di dunia adalah keputusan 8 Tujuan Milenium dalam KTT Milenium di PBB pada September 2000. Langkah-langkah pelengkap disepakati sebelum dan setelah konferensi tersebut. Namun, realitasnya dalam negeri berkembang menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam kerjasama melawan kemiskinan.
Tendensi-tendensi menuju kerjasama internasional berdampak pada politik lingkungan hidup global. Dalam menit-menit terakhir negosiasi, AS, yang masih di bawah kepresidenan Bush, merasa dipaksa menyetujui usulan kompromis dalam konferensi di Bali pada Desember 2007, yang membuka jalan bagi pengawasan terhadap tindak lanjut Kyoto. Komponen ekologi dalam rangkaian program Obama mengonfirmasi hal itu.
(F) Munculnya beragam luas variasi dan kompetisi pembangunan paska-neoliberal
Konsensus Washington telah terdeligitimasi sebelum krisis; setelah krisis ia akan sepenuhnya lenyap. Baik AS maupun Eropa sudah tidak bisa menentukan aturan mainnya sendiri, konsensus transnasional pun sudah tak terlihat lagi.
Di Amerika Selatan, gerakan sosial yang kuat telah menjengkelkan pemerintahan; pemerintahan kiri-tengah telah berkuasa; pendekatan politik dan ekonomi partisipatif yang berdasarkan solidaritas telah didirikan; dan gerakan-gerakan penduduk asli telah mendesakkan cara-cara baru dalam menangani persoalan representasi, kehidupan publik dan hak milik.
Juga di India, gerakan yang kuat telah terbentuk, di antara kaum tani, kaum tak bertanah, "kaum sudra" dan jaringan-jaringan yang kritis terhadap globalisasi.
Bahkan lebih jelas lagi, kapitalisme negara di Tiongkok atau kebijakan investasi Negara-negara Teluk berupaya - walau atas inisiatif penguasa - untuk meletakkan dinamika kapitalis dan pembangunan yang dikendalikan negara, dengan dibarengi pembukaan selektif, ke dalam hubungan yang berbeda, dengan begitu menentukan secara (lebih) independen masa depan negeri-negeri mereka.
Di Skandinavia, meskipun terdapat hegemoni neoliberal, elemen-elemen jenis kapitalisme lainnya masih dipertahankan.
Secara internasional, di dalam WTO terbentuk G20+ sebagai kumpulan longgar negeri-negeri "dunia Selatan" untuk menghadapi kekuatan negosiasi Eropa, AS, dan Jepang serta untuk memperkuat posisi "dunia Selatan." Apakah perkembangan ini akan mengarah pada pembentukan blok kapitalis baru dengan ambisi-ambisi hegemonik politik atau imperialnya tersendiri, hal ini belum jelas.
Sebagai penyeimbang terhadap institusi-institusi transnasional seperti IMF, World Bank atau WTO, dikedepankan proyek-proyek integrasi regional yang melangkah lebih jauh seperti Mercosur atau ALBA di Amerika Latin; kerjasama antara Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan atau negara-negara ASEAN secara perlahan diperdalam; dan bank pembangunan regional seperti Banco del Sur telah didirikan.
Meski demikian, hal ini biar bagaimana pun tidak boleh luput dari perhatian: rakyat Afrika semakin terperosok dan secara massif berhadapan dengan tuntutan-tuntutan perdagangan bebas. Tujuan-tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals belum tercapai.
(G) Otoriterianisme Baru
Selama bertahun-tahun, semakin terlihat pergeseran kelompok-kelompok sosial tertentu ke arah kanan. Memburuknya kondisi lapangan kerja dan kehidupan sehari-hari, serta menipisnya lapisan masyarakat yang disebut kelas menengah, berhubungan dengan menguatnya batas-batas antara mereka yang terpinggirkan dan mereka yang diistimewakan, antara pandangan pendidikan dan pelayanan yang otoriter maupun intensifikasi politik dan keterpinggiran migrasi. Dengan direbutnya kekuasaan negara oleh pemerintahan-pemerintahan yang jelas-jelas sayap kanan, terdapat upaya membentuk konsensus sosial di balik tabir sentimen nasionalistik antara lapisan masyarakat atas dan bawah.
Dalam politik luar negeri, kebijakan imperialis, perang melawan teror ditekankan sebagai budaya perang dan dihubungkan sebagai intensifikasi politik keamanan dan pengendalian. Politik pengungsi dan migrasi di Uni Eropa diarahkan untuk keuntungan ekonomi dan memperlakukan manusia sebagai "resiko keamanan". Tindakan-tindakan represif diterapkan secara intensif untuk melawan posisi-posisi oposisi dan juga dalam kebijakan sosial: penguatan dan perluasan polisi dan "hukuman bagi rakyat miskin" diupayakan untuk menjamin asimilasi mereka dan mencegah perlawanan mereka.
Untuk proyek hegemonik mereka, otoriterianisme tentunya tidak memadai, karena daya tariknya dan potensi ekonominya tetap terbatas. Seperti halnya tindakan-tindakan kediktatoran hanya dapat digambarkan sebagai tendensi dalam suatu proyek hegemonik lainnya atau dalam ruang yang tertentu dan terbatas, maka otoriterianisme dan bahkan unsur-unsur politik yang menyerupai fasisme hanya dapat memberikan dampaknya sebagai penyokong proyek lainnya, sebagai pendukungnya.
Apa yang harus dilakukan? Politik Kiri di Masa Krisis
Kedalaman krisis saat ini tidak akan menghasilkan penerapan solusi yang berkesinambungan dalam jangka pendek ini. Dominasi kekuatan neoliberal dari kapitalisme pasar finansial masih belum terputus dan menghambat alternatif-alternatif fundamental. Terdapat konstelasi keterbukaan dan transisi yang mungkin bertahan selama satu dekade. Namun karena banyaknya problem fundamental yang tidak ditangani secara substansial, ancaman krisis yang lebih parah di bidang finansial, ekonomi, ekologi dan sosial terus membesar.
Para penguasa sedang terpecah. Konflik kepentingan sehubungan ini, perdebatan-perdebatan, pencarian kompromi, serta konsekuensi langkah-langkah parsial baru, memberikan peluang bagi terwujudnya posisi-posisi yang dikehendaki.
Namun, dalam sebagian besar masyarakat Jerman, baik Partai Kiri, serikat buruh, maupun sebagian besar gerakan sosial tidak memiliki kapasitas untuk membangun masa depan. Di Eropa, bukan kaum Kiri yang menentukan agenda. Secara global pun, posisi sebagaimana yang dikembangkan dalam proses Forum Sosial Dunia (World Social Forum) tentunya cukup kuat untuk menggugat legitimasi neoliberalisme dan pencarian solusi saat ini yang berasal dari atas, namun ia masih terlampau lemah untuk secara langsung mengintervensi jalannya peristiwa.
Tugas-tugas utama dari Kiri yang telah diperbaharui adalah:
- menghubungkan gerakan-gerakan yang melawan pemindahan konsekuensi krisis ke pundak pekerja, kaum yang secara sosial lebih lemah, dan dunia Selatan dengan mengembangkan perspektif yang berorientasi pada nilai-nilai solidaritas global, pengorganisiran perjuangan sosial dan pembangunan jaringan
- menciptakan ruang untuk kerja-kerja kolaboratif dan pengorganisiran diri aktor-aktor sosial yang siap mengembangkan dan menjalankan hidup alternatif
- dengan tegas menentang tindakan-tindakan reaksioner berupa penyitaan, pengikisan demokrasi dan pembukaan perang baru
- mendukung bentuk-bentuk intervensi negara yang progresif, pembaharuan wilayah publik, dan transformasi sosio-ekologis serta pembangunan global yang berlandaskan solidaritas
- dan dalam hal ini, mengembangkan pendekatan transformasi yang melampaui kapitalisme, maupun memperkenalkan dan mewujudkan langkah-langkah menuju transformasi sosio-ekologis dan menerapkan unsur-unsur masyarakat yang berlandaskan solidaritas.
Ini membutuhkan proses-proses transformatif dalam gerakan kiri itu sendiri, transformasi hubungan antara mereka dan gaya hidup yang diwakilkan oleh mereka.
Segitiga Strategis Politik Kiri
Kaum Kiri dapat mengintervensi secara simultan dalam tiga tingkat: dengan protes, kritik dan pendidikan; dengan pertarungan dalam memaknai krisis dan pembangunan bentuk-bentuk elaborasi yang didasarkan pada solidaritas, maupun dengan mengintervensi dalam proses-proses yang menentukan dan organisasi yang praktis. Dalam segitiga strategis politik pembelajaran sosial, kaum kiri harus membuktikan dirinya lewat politik koalisi yang lebar dan transformasi kepemilikan sosial serta hubungan kekuasaan.
Pendidikan dan Pengembangan Posisi Alternatif Bersama Yang Efektif dalam Wilayah Publik
Pendidikan emansipatoris di serikat-serikat buruh, gerakan sosial, inisiatif warga, perusahaan, sekolah, universitas, partai politik dan gereja maupun dalam media dan parlemen adalah syarat untuk menaklukan hegemoni budaya neoliberalisme dan prinsip-prinsipnya, seperti masyarakat berbasis pasar, negara yang otoriter dan rakyat sebagai pengusaha yang menjual tenaga kerjanya dan mengupayakan layanan sosialnya sendiri. Pendidikan dalam latar belakang ini memiliki makna penciptaan landasan bagi aksi-aksi solidaritas bersama dan penggalakkan pengorganisiran-diri oleh aktor-aktor sosial yang berminat menciptakan alternatif dari tingkat lokal hingga global.
Kaum Kiri dalam konteks parlementer dan juga ekstra parlementer harus mengajukan proposal yang menyertakan dan mendorong lebih jauh aspek-aspek penentu dari agenda ini (rekonstruksi sistem keamanan sosial, reformasi pajak, intervensi negara terhadap kepemilikan swasta, regulasi terhadap kapital, transformasi ekologis, rangkaian program, kebijakan keamanan, dsb.).
Dalam kondisi krisis ekonomi, perjuangan ini harus ditambatkan dengan internasionalisme baru.
Propaganda massa tentang contoh-contoh kongkrit yang menunjukkan bahwa situasi bisa dirubah, dengan mengangkat bentuk-bentuk pertukaran pengalaman di mana pengalaman individu dapat menjadi milik bersama, adalah bentuk-bentuk pembelajaran dan pendidikan yang penting dalam situasi ini. Bentuk-bentuk seperti pertanggung-jawaban sosial dari bawah atau pengawasan kebijakan anggaran juga termasuk dalam hal ini, sebagai bentuk-bentuk yang mengupayakan pendidikan melalui transparansi.
Konfrontasi dengan penyebab dan konsekuensi krisis ekonomi harus mengalir dari budaya perlawanan yang ada, yang menghadapi ketidak-amanan dan ancaman. Tepatnya dalam periode krisis ini, gerakan-gerakan sayap kiri butuh memahami dirinya sebagai suatu jaringan di mana solidaritas dapat hidup dan rasa aman dapat ditemukan.
Meletakkan Proyek Alternatif Konkrit ke dalam Agenda
Gerakan Kiri harus harus bekerja di wilayah-wilayah di mana mereka kuat - dan itu di atas segalanya adalah pada tingkat lokal dan kotapraja/kabupaten serta di tempat-tempat kerja. Aksi-aksi politik yang perlu dikedepankan secara bersamaan bertujuan untuk menerapkan bentuk-bentuk regulasi sosial yang demokratik dan menentang tekanan-tekanan dari akibat krisis yang dibebankan ke masyarakat
Perjuangan melawan Kemiskinan: 2010 di Uni Eropa seharusnya menjadi tahun melawan kemiskinan. Persiapan dan realisasinya yang efektif tidak seharusnya dinomorduakan karena "krisis".
Redistribusi dari atas ke bawah dan dari swasta ke publik: akumulasi kekayaan di tangan beberapa orang dan kelompok sosial yang jumlahnya semakin menyusut, menyebabkan mimpi buruk bagi masyarakat. Termasuk dalam dimensi ini, di atas segalanya, adalah merebut kembali wilayah pengamanan sosial (social security) dari genggaman pasar finansial dan pembaharuan sistem pengamanan sosial berlandaskan demokrasi dan solidaritas.
Sosialisasi Sektor Finansial: sistem finansial dalam totalitasnya harus diletakkan di bawah kendali publik. Ia harus diarahkan untuk kepentingan pembangunan kotapraja dan regional, untuk mendukung proyek integrasi dan kerjasama supra-nasional berdasarkan solidaritas.
Pertama, harus ada jaminan bahwa bank-bank koperasi dan simpanan kotapraja tetap dipertahankan dan didemokratiskan. Kedua, harus ada penyusunan organisasi yang fundamental dan baru terhadap model bisnis bank-bank publik. Bank Sentral Eropa (ECB) harus dilibatkan dalam dialog tentang strategi ekonomi Eropa bersama-sama dengan Dewan dan Parlemen Eropa. Harus ada pilar yang lebih jauh: sebuah dewan atau jajaran pimpinan yang terdiri dari aktor-aktor masyarakat.
Demokrasi ekonomi: semua perusahaan dan tempat kerja perlu diharuskan untuk menerapkan pengambilan keputusan bersama. Ekonomi seharusnya tidak lagi menjadi ruang yang tak ada demokrasi. Ini merupakan kasus pengembangan model ekonomi alternatif dalam konteks pengambilan-keputusan bersama dalam perusahaan dan tempat kerja maupun di luar itu. Yang sentral dalam konteks krisis saat ini adalah persoalan masa depan industri mobil dan produksi persenjataan, dan juga sektor-sektor yang kini dipromosikan dalam konteks modernisasi ekologi. Dukungan publik harus diikuti dengan partisipasi langsung tangan-tangan publik dalam perusahaan, dan dihubungkan dengan perluasan hak-hak pengambilan keputusan bersama, termasuk pengambilan keputusan bersama jenis baru dengan organisasi-organisasi di wilayah tersebut maupun organisasi ekologi dan konsumen, disertai pula keharusan untuk mengorientasikan diri kepada transformasi sosio-ekologi. Ini juga di saat bersamaan menjadi fondasi bagi dukungan luas terhadap perusahaan kecil dan menengah.
Mendemokratiskan demokrasi: kerjasama demokratik dan radikalisasi demokrasi merupakan bentuk-bentuk penting dalam mempelajari politik, hubungan kekuasaan, ruang-ruang manuver dan batasan-batasan masyarakat. Hal-hal tersebut melegitimasi alternatif dan perlawanan, dan dapat digunakan untuk memberikan ruang bagi aksi solidaritas. Ini menuntut demokratisasi kebijakan anggaran melalui analisa anggaran publik dan anggaran partisipatoris maupun dukungan terhadap inisiatif remunisipalisasi, untuk mendelegitimasi pengintegrasian keuangan kotapraja dan kepemilikan publik dalam bisnis-bisnis spekulatif maupun konsep-konsep yang dipertanyakan seperti konsolidasi anggaran.
Politik Untuk Memperjuangkan Kesempatan Kerja Penuh dan Pekerjaan Layak: sudah saatnya mengambil pemikiran tentang sektor lapangan kerja publik yang kini diarahkan untuk pemulihan agar didorong menuju ekonomi politik yang baru, aktif dan demokratik yang mendukung struktur sosial. Sektor-sektor lapangan kerja publik harus dipahami sebagai suatu proses penciptaan ruang-ruang baru bagi budaya dan pelayanan sosial, pengorganisasian diri dan inisiatif dari bawah, integrasi solidaritas dan dengan begitu suatu basis bagi jalan baru ekonomi solidaritas maupun pengembangan ekonomi dan bisnis yang berkesinambungan secara sosial.
Sistem Pendidikan Berbasiskan Solidaritas dan Pembaharuan Ruang-ruang Publik untuk Demokrasi dan Budaya: transformasi sosial hanya mungkin bila akses pendidikan, kerjasama demokratik, seni dan budaya mengalami transformasi yang menentukan, serta seleksi sosial dalam sistem pendidikan diakhiri. Di sini kita membutuhkan reorganisasi yang fundamental terhadap sistem pendidikan, dimulai dari perluasan bantuan integratif untuk kanak-kanak; pengenalan sekolah komunitas sebagai "sekolah untuk semua" dan tempat untuk berkumpul dan bersolidaritas, untuk memberikan kehidupan masa kanak-kanak dan masa muda yang bermakna, dengan interelasi antara pembelajaran, bermain, saling menolong, musyawarah demokratik, pengembangan diri dan proyek-proyek sosial yang praktis.
Pembaharuan dan Demokratisasi Ekonomi Kotapraja/Kabupaten: sebagai poros sentral inisiatif ekonomi politik dengan fokus penyediaan energi, layanan kesehatan, transportasi. Sejalan dengan itu adalah menjamin kualifikasi kerja-kerja para perwakilan kotapraja dalam badan-badan pengawasan dalam makna komunalisasi partisipatif layanan-layanan publik yang meninggalkan pola lama ekonomi patronase dan layanan kesejahteraan yang paternalistik. Ekonomi kotapraja harus menjadi titik tolak regionalisasi siklus ekonomi secara sosial dan ekologis.
Untuk Sistem Transportasi Publik Gratis: langkah esensial transformasi sosial dan ekologis adalah menerapkan transisi sistem transportasi publik yang memudahkan penggunanya dan menjamin tingkat mobilitas individual yang tinggi bagi kelompok-kelompok sosial yang lemah.
Politik Perdamaian dan Komitmen Pada Solidaritas Pembangunan Global: Kita perlu mewujudkan kapasitas untuk membangun masa depan di sebagian besar wilayah di dunia sebagai persyaratan bagi pembangunan berkesinambungan di dunia secara umum: strategi politik keamanan dan pertahanan dan prinsip-prinsip Uni Eropa dan negara anggotanya harus dimoratoriumkan. Perdebatan luas dalam semua tingkat politik perlu mengklarifikasikan apa yang dimaksud dengan "keamanan dalam dunia yang terglobalisasi".
Demi Masyarakat Solidaritas
Masa-masa ketiadaan alternatif telah usai. Bila penguasa terpaksa menangani dampak-dampak sistemik, maka kemungkinan intervensi dari Kiri dan bawah terbuka. Tapi bagaimana ini bisa dibuka dan digunakan?
Saatnya meletakkan perspektif transformasi yang meninggalkan kapitalisme dalam agenda kita, dengan tujuan masyarakat solidaritas.
Sosialisasi kerugian dapat dan harus ditentang oleh tuntutan sosialisasi kontrol kepemilikan. Bantuan kepada industri-industri dari epoh bahan bakar fosil harus digantikan dengan pengalihan pada sumber energi surya. Kaum Kiri harus merespon proklamasi kembalinya ekonomi pasar "sosial" yang telah gagal dengan tuntutan untuk melangkah lebih jauh menuju masyarakat solidaritas dengan ekonomi campuran yang teregulasi secara sosial dan ekologis, dengan sektor publik and ekonomi bersama yang kuat sebagai langkah awal menuju transformasi sosio-ekologis. Kelanjutan politik perdagangan dunia dan pembangunan yang berdasarkan kepentingan negeri-negeri Utara dapat ditentang dengan konsep kerjasama yang setara berlandaskan solidaritas.
Bila keyakinan ini meluas sehingga hanya menjadi persoalan memberikan informasi yang benar kepada individu pribadi yang egois, Homo Oeconomicus, dan lebih eksplisit dalam mengambil tanggung jawab, maka kaum Kiri harus menegakan citra manusia lainnya - yakni manusia yang menentukan nasibnya sendiri, yang melihat permasalahan secara bersolidaritas dan memperjuangkan kesejateraan seluruh kehidupan.
Konsep masyarakat solidaritas adalah konsep perebutan kembali tenaga-tenaga produktif dengan tujuan menghapuskan tendensi-tendensi menghancurkan dari dekade sebelumnya dan membangkitkan kesadaran diri massa akan kekuatan mereka sendiri dalam memecahkan permasalahan di dunia secara bersama-sama. Ini melibatkan semua tingkat - lokal, regional dan global. Dunia lain, dunia solidaritas, bukan saja dibutuhkan - lebih dari sebelumya, ia kini mungkin.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari www.socialistproject.ca
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dunia Ketiga Harus Bersatu Atau Mati
Fidel Castro
Pengelompokan negeri-negeri dunia ketiga di Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah Kelompok-77 (G77), yang dibentuk tahun 1964 dan kini berjumlah 133 negeri. Pada pertengahan April tahun 2000, bangsa-bangsa yang mewakili mayoritas rakyat sedunia ini bertemu di Havana, Kuba, dan mengeluarkan proklamasi yang sangat kritis terhadap kebijakan Bank Dunia (WB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Pidato berikut oleh Presiden Kuba saat itu Fidel Castro disambut dengan tepukan tangan yang menggeluruh pada saat KTT G77, tapi pers di AS tidak meliput pidato Castro maupun kritik lainnya yang berasal dari G77.
Belum pernah umat manusia memiliki potensi ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian hebatnya dengan kapasitas yang luar biasa untuk menghasilkan kekayaan dan kesejahteraan, namun belum pernah pula terdapat kesenjangan dan ketaksetaraan yang begitu mendalam di dunia.
Keajaiban teknologi yang telah menyusutkan planet ini dalam hal komunikasi dan jarak, kini hadir bersamaan dengan jurang yang semakin lebar memisahkan kekayaan dan kemiskinan, pembangunan dan ketertinggalan.
Globalisasi adalah realitas obyektif yang menggarisbawahi kenyataan bahwa kita semua adalah penumpang dalam kapal yang sama - planet ini di mana kita semua bertempat tinggal. Tapi penumpang kapal ini melakukan perjalanan dalam kondisi yang sangat berbeda.
Sejumlah kecil minoritas melakukan perjalanan dalam kabin mewah yang dilengkapi dengan internet, telepon seluler dan akses terhadap jaringan komunikasi global. Mereka menikmati makanan yang bergizi, berlimpah dan seimbang berikut persediaan air bersih. Mereka memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan yang canggih dan seni budaya.
Sejumlah besar mayoritas yang menderita melakukan perjalanan dalam keadaan yang menyerupai perdagangan budak yang menakutkan dari Afrika ke Amerika dalam masa kolonial kami yang lalu. Jadi, 85 persen penumpang kapal ini disesakan ke dalam lambung kapal yang kotor, menderita kelaparan, penyakit, dan tak mendapat pertolongan.
Tentunya, kapal ini mengangkut terlalu banyak ketidak-adilan sehingga tidak akan terus mengapung, mengejar rute yang begitu tak rasional dan tak masuk akal sehingga tidak akan selamat sampai di pelabuhan. Kapal ini tampak ditakdirkan untuk karam menabrak bongkah es. Bila itu terjadi, kita semua akan tenggelam di dalamnya.
Para kepala negara dan pemerintahan yang bertemu di sini, yang mewakili mayoritas besar manusia yang mengalami penderitaan, tidak saja berhak tapi juga berkewajiban mengambil kepemimpinan dan mengoreksi arah perjalanan yang menuju bencana. Adalah tugas kita untuk mengambil tempat kita yang selayaknya sebagai pemimpin kapal dan menjamin bahwa semua penumpang dapat melakukan perjalanan dalam kondisi solidaritas, setara dan adil.
Dogma Pasar Bebas
Selama dua dekade, Negeri Dunia Ketiga telah berulangkali mendengarkan diskursus tunggal yang simplistik, sementara hanya terdapat satu kebijakan tunggal. Kita telah diberitahu bahwa pasar yang terderegulasi, privatisasi maksimum dan penarikan-diri negara dari aktivitas ekonomi merupakan prinsip-prinsip terampuh yang kondusif terhadap pembangunan ekonomi dan sosial.
Dalam dua dekade terakhir, segaris dengan ini, negeri-negeri maju, terutama Amerika Serikat, perusahaan transnasional besar yang diuntungkan oleh kebijakan di atas dan Dana Moneter Internasional (IMF) telah merancang tatanan ekonomi dunia yang paling merugikan kemajuan negeri-negeri kita dan paling tidak berkesinambungan dalam melindungi masyarakat dan lingkungan hidup.
Globalisasi telah dicengkram erat oleh pola-pola neoliberalisme; maka, bukanlah pembangunan yang menjadi global melainkan kemiskinan; bukanlah saling menghormati kedaulatan nasional negara-negara kita tapi pelanggaran sikap saling menghormati tersebut; bukannya solidaritas antara rakyat tapi sauve-qui-peut [masing-masing orang memikirkan dirinya sendiri] dalam kompetisi tak adil yang berlangsung di pasar.
Dua dekade dari apa yang disebut dengan penyesuaian struktural neoliberal telah memberikan kita kegagalan ekonomi dan bencana sosial. Adalah tugas para politikus yang bertanggung-jawab untuk menghadapi situasi yang menyulitkan ini dengan mengambil keputusan yang tak dapat dihindarkan dan kondusif untuk menyelamatkan Dunia Ketiga dari gang buntu.
Kegagalan ekonomi sudah terbukti. Di bawah kebijakan neoliberal, ekonomi dunia mengalami pertumbuhan global antara 1975 dan 1998 yang besarnya tidak mencapai setengah tingkat pertumbuhan yang diraih antara tahun 1945 dan 1975 dengan kebijakan regulasi pasar Keynesian dan partisipasi aktif negara dalam ekonomi.
Di Amerika Latin, di mana neoliberalisme diterapkan dengan ketat menurut doktrinnya, pertumbuhan ekonomi dalam tahap neoliberal lebih rendah daripada yang dicapai dalam kebijakan pembangunan negara sebelumnya. Setelah Perang Dunia II, Amerika Latin tidak memiliki utang tapi sekarang kita berutang sebesar hampir $1 trilyun. Inilah jumlah utang per kapita terbesar di dunia. Kesenjangan pendapatan antara miskin dan kaya di wilayah ini adalah yang terbesar di dunia. Terdapat lebih banyak rakyat miskin, menganggur, dan lapar di Amerika Latin pada saat ini dibandingkan pada saat mana pun dalam sejarahnya.
Di bawah neoliberalisme, ekonomi dunia tidaklah berkembang lebih cepat dalam hal-hal yang riil; justru terjadi lebih banyak ketakstabilan, spekulasi, utang luar negeri dan pertukaran yang tidak adil. Begitu juga, terdapat kecenderungan lebih besar bagi lebih sering terjadinya krisis finansial, sementara kemiskinan, ketaksamaan dan jurang antara negeri Utara yang kaya dan negeri Selatan yang jadi korban penjarahan terus melebar.
Krisis, ketakstabilan, gejolak dan ketakpastian merupakan kata-kata yang paling umum digunakan dalam dua tahun terakhir untuk menggambarkan tatanan ekonomi dunia.
Deregulasi yang menyertai neoliberalisme dan liberalisasi rekening kapital memberikan dampak negatif yang mendalam terhadap ekonomi dunia di mana berkembang subur spekulasi mata-uang asing dan pasar derivativ; sementara transaksi harian yang kebanyakan spekulatif, besarnya tak kurang dari 3 trilyun dolar AS.
Negeri-negeri kita dituntut untuk lebih transparan dalam informasi dan lebih efektif dalam pengawasan bank tapi institusi finansial seperti hedge funds tidak perlu membuka informasi tentang aktivitasnya, dan sepenuhnya tak teregulasi dan menjalankan operasi yang melebihi semua cadangan devisa yang dimiliki oleh negeri-negeri Selatan.
Dalam atmosfir spekulasi yang tak terkendali, pergerakan kapital jangka-pendek membuat negeri-negeri Selatan rentan terhadap ancaman di masa depan. Dunia Ketiga dipaksa untuk menahan sumber daya finansialnya dan semakin banyak berhutang untuk mempertahankan cadangan devisa mata uang asing dengan harapan dapat digunakan untuk bertahan dari serangan spekulator. Sebesar 20% pemasukan kapital dalam beberapa tahun belakangan ditahan sebagai cadangan devisa tapi mereka tidak cukup untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan tersebut sebagaimana dibuktikan dalam krisis finansial baru-baru ini di Asia Tenggara.
Saat ini, cadangan devisa Bank-bank Sentral di dunia sebesar 727 milyar dolar AS berada di Amerika Serikat. Ini menciptakan paradoks bahwa dengan cadangan devisanya, negeri-negeri miskin memberikan pendanaan murah berjangka-panjang kepada negeri terkaya dan terkuat di dunia, padahal cadangan devisa tersebut dapat diinvestasikan dalam pembangunan ekonomi dan sosial.
Tuntut Pembubaran IMF
Bila Kuba berhasil menjalankan pendidikan, layanan kesehatan, budaya, ilmu pengetahuan, olah-raga dan program-program lainnya dengan sukses, yang mana hal ini tidak lagi dipertanyakan oleh dunia, meskipun selama empat dekade diblokade ekonomi, dan melakukan revaluasi mata uangnya terhadap dolar AS sebanyak tujuh kali dalam lima tahun terakhir, itu berkat posisi istimewanya sebagai non-anggota Dana Moneter Internasional (IMF).
Suatu sistem finansial yang dengan paksa menahan mobilisasi sumber daya yang demikian besar, yang amat dibutuhkan oleh negeri-negeri itu untuk melindungi diri dari ketakstabilan yang diakibatkan oleh sistem tersebut, yang menyebabkan rakyat miskin mendanai kaum kaya - itu harus dihapuskan.
Dana Moneter Internasional adalah organisasi yang melambangkan sistem moneter saat ini dan Amerika Serikat menikmati hak veto terhadap segala keputusannya. Terkait krisis finansial terakhir, IMF menunjukkan ketidakmampuan dalam membayangkan apa yang akan terjadi dan telah menangani situasi dengan ceroboh. Ia menerapkan klausa persyaratan yang melumpuhkan kebijakan pembangunan sosial pemerintah sehingga menciptakan bencana domestik yang serius dan menghalangi akses terhadap sumber daya yang penting justru ketika mereka sedang paling dibutuhkan.
Sudah saatnya negeri-negeri Dunia Ketiga menuntut keras pembubaran institusi yang tidak memberikan stabilitas kepada ekonomi dunia maupun berfungsi memberikan dana pencegahan kepada peminjamnya untuk menghindari krisis likuiditas; sebaliknya, ia justru melindungi dan menolong para pemberi pinjaman.
Di manakah letak kerasionalan dan etika dari suatu tatanan moneter internasional yang memungkinkan segelintir teknokrat, yang posisinya bergantung pada dukungan Amerika, untuk merancang di Washington program-program ekonomi yang identik untuk diterapkan ke dalam beragam negeri untuk menghadapi problem-problem spesifik Dunia Ketiga?
Siapa yang bertanggung-jawab ketika program-program penyesuaian menghadirkan kekacauan sosial, sehingga melumpuhkan dan mendestabilisasi bangsa-bangsa yang memiliki sumber daya manusia dan alam yang besar, seperti kasus Indonesia dan Ekuador?
Adalah suatu keharusan yang krusial bagi negeri-negeri Dunia Ketiga untuk mengupayakan pembubaran institusi sinister tersebut, dan filosofi yang dipertahankannya, untuk digantikan dengan badan regulasi finansial internasional yang akan beroperasi atas landasan demokratik di mana tak satu pun memilik kekuasaan veto; sebuah institusi yang tak hanya mempertahankan para kreditor kaya dan menerapkan syarat-syarat yang mengintervensi, tapi akan memungkinkan penerapan regulasi pasar finansial untuk menghentikan spekulasi liar.
Cara yang mungkin untuk ini adalah menerapkan - bukannya pajak sebesar 0,1 persen terhadap transaksi finansial spekulatif sebagaimana diusulkan dengan brilian oleh Mr Tobin - tapi pajak sebesar minimum 1 persen yang akan memungkinkan pembentukan dana yang besar, yang melebihi $1 trilyun pertahunnya untuk menggalakkan pembangunan yang berkelanjutan dan komprehensif di Dunia Ketiga.
Utang Dunia Ketiga Sudah Dilunasi
Utang-utang luar negeri dari negeri kurang berkembang telah melebihi $2,5 trilyun dan dalam tahun 1990an itu telah bertambah dengan lebih berbahaya dibandingkan tahun 1970an. Sebagian besar dari utang baru tersebut dapat dengan mudah berpindah tangan dalam pasar sekunder; ia saat ini lebih tersebar luas dan lebih susah untuk dijadwal ulang.
Sebagaimana telah kami katakan sejak 1985: Utang tersebut sudah dilunasi, bila kita memperhatikan cara pembayarannya, peningkatan yang cepat dan semena-mena terhadap tingkat suku bunganya dalam dolar AS pada tahun 1980an dan penurunan harga komoditas dasar - suatu sumber pendapatan fundamental bagi negeri-negeri berkembang. Utang tersebut terus memakan dirinya sendiri dalam suatu lingkaran setan di mana uang dipinjam untuk membayar bunga dari utang lama.
Saat ini, terlihat lebih jelas bahwa utang bukanlah persoalan ekonomi tapi politik, oleh karena itu, ia membutuhkan solusi politik. Tidaklah mungkin menutup mata dari kenyataan bahwa solusi terhadap problem ini harus berasal dari mereka yang memiliki sumber daya dan kekuasaan, yakni, negeri-negeri kaya.
Inisiatif Pengurangan Utang Negeri-negeri Miskin (Heavily Indebted Poor Countries Debt Reduction Initiative - HIPC) menunjukkan nama yang besar tapi hasil yang kecil. Ia hanya dapat digambarkan sebagai upaya konyol untuk menghapus 8,3 persen total utang negeri-negeri Selatan. Hampir empat tahun setelah penerapannya hanya empat di antara tiga-puluh-tiga negeri termiskin telah menyusuri proses yang rumit hanya untuk menghapus angka yang tak seberapa sebesar $2,7 milyar, yakni sepertiga dari jumlah uang yang dibelanjakan Amerika Serikat untuk kosmetik tiap tahunnya.
Saat ini, utang luar negeri adalah rintangan terbesar bagi pembangunan dan bom waktu yang siap meledakkan fondasi ekonomi dunia saat krisis ekonomi.
Sumber daya yang dibutuhkan sebagai solusi yang mengarah pada akar permasalahan ini tidaklah besar bila dibandingkan dengan kekayaan dan pembelanjaan negeri-negeri kreditor. Tiap tahun $800 milyar digunakan untuk membiayai persenjataan dan pasukan, bahkan setelah usai Perang Dingin, sementara tak kurang dari $400 milyar dihabiskan untuk narkotika, dan milyaran lainnya untuk publisitas komersial yang menciptakan alienasi yang sebanding dengan narkotika.
Sebagaimana telah kami katakan sebelumnya, pada kenyataannya, utang luar negeri Dunia Ketiga adalah tak dapat dibayarkan dan tak dapat dipungut.
Perdagangan Dunia
Di tangan negeri-negeri kaya, perdagangan dunia adalah alat dominasi. Di bawah globalisasi neoliberal, perdagangan telah memelihara ketimpangan dan menjadi ruang penyelesaian sengketa antara negeri-negeri maju dalam upaya mereka mengontrol pasar pada saat ini maupun masa depan.
Diskursus neoliberal menyarankan liberalisasi komersial sebagai formula terbaik dan satu-satunya bagi efisiensi dan perkembangan. Sementara neoliberalisme terus menerus mengulangi diskursusnya tentang peluang yang diciptakan oleh pembukaan perdagangan, partisipasi negeri-negeri miskin dalam ekspor dunia menurun pada tahun 1998 dibandingkan tahun 1953. Brasil dengan area 3,2 juta mil persegi, penduduk sebesar 168 juta dan nilai ekspor sebesar $51,1 milyar pada 1998, ekspornya lebih sedikit dibandingkan Belanda yang berarea 12.978 mil persegi, dengan populasi 15,7 juta dan nilai ekspor sebesar $198,7 pada tahun yang sama.
Liberalisasi perdagangan pada intinya terdiri atas penyingkiran instrumen proteksi negeri-negeri Selatan secara sepihak (unilateral). Sementara, negeri-negeri berkembang tidak bisa melakukan hal yang serupa untuk membolehkan ekspor-ekspor Dunia Ketiga memasuki pasar mereka.
Bangsa-bangsa yang kaya telah membangun liberalisasi dalam sektor-sektor strategis yang diasosiasikan dengan teknologi maju - jasa, teknologi informasi, bioteknologi, dan telekomunikasi - di mana mereka menikmati keuntungan besar yang semakin meningkat dengan deregulasi pasar.
Di sisi lain, pertanian dan tekstil, dua sektor yang secara khusus signifikan bagi negeri-negeri kita, tidak mampu menyingkirkan rintangan yang telah disetujui dalam Putaran Uruguay karena ini bukanlah kepentingan negeri-negeri maju.
Dalam OECD [Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi], kelompok negeri-negeri terkaya, tarif rata-rata yang diterapkan pada ekspor manufaktur dari negeri-negeri kurang berkembang adalah empat kali lebih tinggi daripada yang diterapkan pada negeri anggota kelompok tersebut. Tembok penghalang antara tarif dan non-tarif sesungguhnya telah ditegakkan untuk menyingkirkan produk-produk negeri Selatan.
Komoditas dasar tetaplah rantai terlemah perdagangan dunia. Bagi 67 negeri Selatan, komoditas semacam itu berjumlah setidaknya lima puluh persen pendapatan ekspornya. Gelombang neoliberal telah menyapu skema pertahanan yang termuat dalam panduan (terms of reference) komoditas dasar. Diktum supremasi pasar tak dapat mentolerasi distorsi apa pun, dengan demikian Kesepakatan Komoditas Dasar (Basic Commodities Agreements) dan formula lainnya yang membahas ketimpangan pertukaran (unequal exchange) ditinggalkan begitu saja. Atas alasan inilah maka kini daya beli komoditas seperti gula, kokoa, kopi dan lainnya hanya dua puluh persen dari angka sebelumnya pada 1960; akibatnya, pendapatan penjualan bahkan tidak menutupi biaya produksi.
Perlakuan khusus dan berbeda bagi negeri-negeri miskin telah dipandang sebagai, bukannya tindakan adil dan kebutuhan yang tak dapat diabaikan, melainkan tindakan kemurahan hati yang hanya sementara. Sesungguhnya, perlakuan berbeda bagi negeri-negeri miskin bukan saja merupakan pengakuan terhadap perbedaan besar dalam perkembangan tiap negeri, sehingga mencegah digunakannya penggaris yang sama bagi negeri kaya dan miskin, tapi juga menyadari masa lalu kolonial yang menuntut kompensasi.
Signifikansi Perlawanan di Seattle
Kegagalan pertemuan WTO di Seattle menunjukkan bahwa kebijakan neoliberal menciptakan oposisi yang semakin intensif di antara semakin banyak rakyat, baik di negeri Selatan dan Utara. Amerika Serikat mempresentasikan Putaran Negosiasi Perdagangan yang seharusnya dimulai di Seattle sebagai langkah liberalisasi perdagangan yang lebih maju, padahal negeri itu masih memberlakukan Akta Perdagangan Asing-nya sendiri yang agresif dan diskriminatif. Akta tersebut menyertakan peraturan seperti "Super 301", sebuah pertunjukkan diskriminasi dan ancaman yang sesungguhnya dalam menerapkan sangsi bagi negeri-negeri lainnya atas alasan yang berkisar dari asumsi bahwa suatu negeri menerapkan rintangan untuk menolak produk-produk Amerika, hingga penilaian yang sewenang-wenang dan sering kali sinis oleh pemerintah AS terkait situasi hak asasi manusia di negeri-negeri lainnya.
Di Seattle, terjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Preseden terkininya adalah penolakan terhadap penerapan Multilateral Agreement on Investments (MAI). Ini menunjukkan bahwa fundamentalisme pasar yang agresif, yang telah mengakibatkan kerusakan besar terhadap negeri-negeri kami, menghadapi penolakan sedunia yang keras dan sudah sepantasnya.
Jurang Teknologi
Dalam sebuah ekonomi global di mana pengetahuan adalah kunci bagi pembangunan, jurang teknologi antara Utara dan Selatan cenderung melebar dengan meningkatnya privatisasi penelitian ilmiah dan hasil-hasilnya.
Negeri-negeri maju di mana berdiam lima belas persen penduduk dunia, pada saat ini mengonsentrasikan delapanpuluh-delapan persen pengguna Internet. Terdapat lebih banyak komputer di Amerika Serikat dibandingkan dengan gabungan seluruh jumlah komputer di negeri lainnya di dunia. Negeri-negeri kaya mengontrol sembilanpuluh-tujuh persen hak paten secara global dan menerima lebih dari sembilan-puluh persen hak lisensi internasional, sementara bagi banyak negeri-negeri Selatan penerapan hak milik intelektual tidaklah eksis.
Dalam riset swasta, elemen lukratif (keuntungan besar) mendahului pertimbangan kebutuhan; hak milik intelektual menjadikan pengetahuan berada di luar jangkauan negeri-negeri kurang berkembang, dan legislasi tentang hak paten tidak mengakui transfer pengetahuan atau pun sistem kepemilikan tradisional yang begitu penting di Selatan. Penelitian oleh swasta berfokus pada kebutuhan konsumen yang kaya.
Vaksin telah menjadi teknologi yang paling efisien untuk mempertahankan pembelanjaan kesehatan yang rendah karena dapat mencegah penyakit dengan hanya menggunakan satu dosis. Walau begitu, karena itu memberikan profit yang rendah, vaksin dikesampingkan untuk mengutamakan pengobatan yang membutuhkan dosis berulang kali dan memberikan keuntungan finansial yang lebih tinggi.
Pengobatan baru, bibit terbaik, dan, pada umumnya, teknologi terbaik telah menjadi komoditas yang harganya hanya dapat dijangkau oleh negeri-negeri kaya.
Akibat sosial yang suram dari perlombaan neoliberal menuju bencana ini sudah ada di depan mata. Dalam seratus negeri, pendapat perkapita lebih rendah dibandingkan lima belas tahun lalu. Pada saat ini, 1,6 milyar orang bernasib lebih buruk dibandingkan pada awal 1980an.
Lebih dari 820 juta orang kekurangan gizi dan 790 juta di antaranya hidup di Dunia Ketiga. Diperkirakan 507 milyar orang yang hidup di Selatan saat ini tidak akan menyaksikan ulang-tahunnya yang ke-40.
Dalam negeri-negeri Dunia Ketiga yang terwakili di sini, dua dari lima anak menderita hambatan pertumbuhan dan satu dari tiga menderita kekurangan berat badan; 30.000 anak yang dapat diselamatkan, tiap harinya menderita sekarat; 2 juta anak perempuan terpaksa menjalani prostitusi; 130 juta anak tidak memiliki akses terhadap pendidikan dasar dan 250 juta anak di bawah 15 tahun terpaksa bekerja. Tatanan ekonomi dunia berfungsi baik bagi dua puluh persen penduduknya tapi mengabaikan, memojokkan dan memperburuk delapan puluh persen sisanya.
Kita tak dapat begitu saja memasuki abad baru dalam barisan akhir yang terbelakang, miskin, dan tereksploitasi; korban rasisme dan xenofobia dihalangi dari akses pengetahuan, dan menderita alienasi budaya kita akibat pesan-pesan asing berorientasi-konsumerisme yang diglobalisasikan oleh media.
Bagi Kelompok 77, ini bukanlah saat untuk mengemis dari negeri-negeri maju atau untuk patuh, mengalah, atau saling menghancurkan. Inilah saatnya untuk mengembalikan semangat berlawan kita, kesatuan dan kohesi kita dalam mempertahankan tuntutan kita.
Lima puluh tahun lalu kita diberikan janji bahwa suatu hari nanti tidak akan ada lagi jurang antara negeri-negeri maju dan kurang-berkembang. Kita dijanjikan roti dan keadilan; tapi hari ini kita memiliki semakin sedikit roti dan semakin banyak ketidakadilan.
Dunia dapat diglobalisasi di bawah kekuasaan neoliberalisme, tapi tidaklah mungkin menguasai milyaran lebih orang yang lapar akan roti dan haus akan keadilan. Gambaran ibu-ibu dan anak-anak di bawah derita kekeringan dan bencana lainnya di seluruh wilayah Afrika mengingatkan kita akan kamp konsentrasi di Jerman Nazi; mereka mengembalikan memori tentang tumpukan mayat dan orang sekarat, perempuan, dan anak-anak.
Perlu digelar semacam Nuremberg untuk mengadili tatanan ekonomi yang dipaksakan ke kita: sebuah sistem yang dengan menggunakan kelaparan dan penyakit yang tersembuhkan telah membunuh lelaki, perempuan, dan anak-anak tiap tiga tahun dalam jumlah yang melebihi korban jiwa Perang Dunia II yang berlangsung enam tahun.
Di Kuba kami biasa berkata: "Merdekalah Tanah Air atau Mati!" Pada KTT Dunia Ketiga ini kita akan harus berkata: "Bersatulah dan Bangun Kerjasama Erat, atau kita mati!"
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dan disunting dari berbagai sumber, di antaranya adalah Thirdworldtraveler.com
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
Menyelamatkan Asia: Saatnya Bertindak Radikal
Paul Krugman
Rencana IMF Bukan Saja Gagal Menghidupkan Kembali Ekonomi Asia Yang Bermasalah, Tapi Justru Memperburuk Situasi. Kini Saatnya Menelan Pil Pahit.
7 September 1998
Apa pun yang akan terjadi kemudian, Kejatuhan Besar Asia sudah tercatat dalam buku rekor. Dalam sejarah peristiwa ekonomi, belum pernah ada - tidak pula pada tahun-tahun permulaan the Depression - bagian ekonomi dunia yang demikian besar mengalami kejatuhan yang begitu dahsyat dari masa kejayaannya. Amerika Latin yang pernah menjadi kampiun dalam hal ketidakstabilan ekonomi, kini telah kehilangan gelarnya. Dibandingkan dengan kehancuran Asia, krisis tequila pada 1995 kini tampak seperti ayunan yang tak begitu berarti; dan krisis utang yang pernah begitu menakutkan pada tahun 1980an jadi seperti peristiwa yang biasa-biasa saja.
Lebih lagi, kejatuhan Asia belum mencapai dasarnya: Meskipun mata uang wilayah tersebut tampak berhenti merosot pada saat ini, ekonomi riilnya semakin lemah, bukannya menguat. Hong Kong baru mengumumkan bahwa ekonominya menyusut 2,8% dalam kuartal pertama 1998, resesi terbesarnya sejak Perang Dunia II. Para ekonom memprediksikan bahwa PDB Indonesia akan jatuh ke angka menggemparkan sebesar 15,1% pada tahun ini. Bandingkanlah dengan tahun resesi terburuk di Amerika paska perang - 1982 - ketika ekonomi menyusut sebesar 2,1%. Dan rupanya utang buruk (bad debt) bank Jepang bukanlah $550 milyar, seperti dilaporkan sebelumnya, tapi angkanya lebih telak lagi: $1 trilyun. Dampak negatif dari berita-berita buruk ini baru belakangan saja terasa, salah satu yang tak terlalu parah adalah kecemasan pasar modal AS.
Sudah terdapat banyak tuduhan tentang siapa yang harus disalahkan atas bencana ini. Apakah ini hukuman terhadap dosa-dosa Asia ataukah ulah nakal spekulator jahat? Apakah IMF melakukan yang terbaik dalam situasi yang buruk ataukah ia sesungguhnya menyiram bensin ke api? Argumen-argumen ini memiliki beberapa kebenaran: Mencari tahu siapa yang salah menangani Asia dapat membantu dunia mencegah krisis ini, atau krisis berikutnya, agar tidak semakin meluas. Tapi pertanyaan yang benar-benar penting adalah, Kini apa yang harus dilakukan? Apakah kita - dalam arti IMF, Departemen Bendahara AS, dan negeri-negeri yang sedang kesulitan - tetap berpegang pada Rencana A, strategi yang telah kita jalankan sejauh ini? Ataukah saatnya mencoba Rencana B? Dan lagipula apakah Rencana B itu?
Jawaban singkatnya adalah sudah saatnya mempertimbangkan Rencana B dengan serius. Dan Rencana B sudah cukup jelas - hanya saja tidak seorang pun, termasuk pengritik terbesar Rencana A, hendak membicarakannya secara terbuka. Tapi sebelum kita menuju ke sana, marilah kita mengingat kembali bagaimana kita bisa sampai di sini.
ASIA: APANYA YANG SALAH
Kini, garis besar tentang bagaimana Asia jatuh berantakan sudah cukup banyak diketahui. Setidaknya sebagian, kejatuhan wilayah tersebut adalah hukuman terhadap dosa-dosanya. Kita kini mengetahui hal yang seharusnya telah kita sadari saat masa-masa peningkatan pesat: bahwa ada sisi gelap dari "nilai-nilai Asia", bahwa kesuksesan para pebisnis Asia lebih bergantung bukan pada pengetahuan mereka melainkan kenalan mereka. Kapitalisme kroni secara khusus berarti bahwa investasi yang meragukan (blok kantor yang tak dibutuhkan di luar Bangkok, diversifikasi yang dikendalikan oleh ego para chaebol Korea Selatan) disambut gembira dengan kucuran dana bank lokal, selama peminjamnya memiliki koneksi yang pas ke pemerintah. Cepat atau lambat ini akan mendapat ganjarannya. Bahkan sebelum krisis, ketika bank-bank asing masih memberikan pinjaman dan utang Indonesia diberikan peringkat Baa, tabir yang indah mulai robek: perusahaan Raksasa Korea bermasalah; perusahaan finansial Thailand mulai gulung tikar.
Tapi ekses finansial yang digenjot oleh pengaruh politik dan kekacauan sehabis pesta ini bukan hanya terdapat di Asia - ingat peristiwa simpan-pinjam di Texas? (Texas thrifts) Aspek unik dari ganjaran Asia bukanlah kejahatannya yang serius melainkan hukumannya yang begitu kejam. Yang membuat situasi finansial dari buruk menjadi bencana adalah proses berubahnya kehilangan kepercayaan menjadi kepanikan yang dibesar-besarkan sendiri (self-reinforcing panic). Pada 1996 arus modal yang memasuki negeri Asia yang sedang berkembang berada pada tingkat $100 milyar per tahun; pada paruh kedua tahun 1997 modal tersebut mengalir keluar dengan tingkat yang sama. Tak terhindarkan lagi, dengan pembalikan seperti itu aset pasar di Asia jatuh bebas, ekonominya memasuki resesi, dan kemudian keadaan akan semakin memburuk. Kesimpulannya - yah, marilah kita mengutip laporan Bank for International Settlements pada bulan Juni, sebuah organisasi yang bermarkas di Basel, Swiss, dan yang biasanya tidak berbasa-basi: "Dampak penurunan ekonomi, kejatuhan harga aset, dan krisis perbankan cenderung memperburuk satu sama lainnya karena pemotongan kredit bank mengakibatkan depresi terhadap harga aset dan lebih jauh lagi memperdalam resesi. Ini kemudian menciptakan problem-problem tambahan bagi bank yang dipaksa untuk semakin mengetatkan diri. 'Lingkaran setan' adalah istilah yang sudah terlalu banyak digunakan, tapi itu begitu tepat menggambarkan krisis Asia."
JADI APA YANG MESTI DILAKUKAN?
Pada awal krisis Asia, Stanley Fischer -- seorang ekonom yang murni ahli ekonomi dan juga pejabat tertinggi nomor dua di IMF, memperingatkan dalam sebuah audiensi di Hong Kong tentang "kemungkinan bahwa serangan [spekulatif] akan menjadi ramalan yang diwujudkan sendiri (self-fulfilling prophecies). Ia menguatirkan, contohnya, bahwa serangan yang memaksa devaluasi dan tingkat suku bunga yang lebih tinggi justru akan melemahkan sistem perbankan. Dengan kata lain, Anda tak dapat menuduh IMF berlaku naif: Para pejabat di sana memahami sejak dari awal bahwa lingkaran setan yang digambarkan oleh BIS dengan sangat baik adalah suatu kemungkinan, dan mereka berupaya sebisa mungkin untuk mencegahnya.
Bekerjasama erat dengan Departemen Bendahara AS (yang orang nomor duanya, tentunya, adalah Lawrence Summers, lagi-lagi seorang ekonom kelas berat), IMF mengambil strategi yang dapat dijelaskan seperti ini:
1. Pinjamkan uang kepada negeri-negeri yang dalam kesulitan untuk membantu mengangkat mereka dari krisis
2. Sebagai syarat pinjaman, tuntutlah agar mereka mereformasi ekonominya, menghapuskan ekses terburuk dari kapitalisme kroni.
3. Desak mereka mempertahankan suku bunga tinggi untuk menarik kapital agar menetap di dalam negeri.
4. Menanti kembalinya kepercayaan dan berubahnya lingkaran setan menjadi lingkaran kebaikan.
Bahkan secara restropeksi, ini sama sekali bukan strategi yang bodoh. Bayangkan sejenak bila AS tidak memiliki asuransi simpanan, dan ketidak-percayaan terhadap pengelolaan sebuah bank yang besar menyebabkan penarikan pinjaman besar-besaran oleh para nasabah bank. Apa yang akan dilakukan oleh Cadangan Federal? Tentu, ia mungkin akan meminjamkan sejumlah kas kepada bank itu untuk memenuhi kebutuhan mendesaknya; sebagai syarat pinjamannya, presiden bank tersebut dituntut untuk memecat keponakannya; dan menyuruh bank itu untuk mempertahankan nasabahnya dengan menawarkan tingkat suku bunga yang tinggi kepada mereka. Maka semua orang akan berdoa dan berharap untuk yang terbaik.
Lebih-lebih lagi, strategi ini berhasil saat diterapkan sebelumnya. Pada 1995, Meksiko mengalami sebuah krisis yang, dalam bulan-bulan awalnya, tampak lebih buruk dari kehancuran Asia. Robert Rubin dan kawan-kawan datang menolong Meksiko dengan saluran kredit yang besar; Meksiko bergerak untuk menyelamatkan bank mereka yang goncang; tingkat suku bunga di Meksiko dibumbungkan jauh ke langit; dan semuanya menahan napas. Itu adalah tahun yang buruk bagi ekonomi Meksiko, tapi akhirnya semua berjalan baik: Uang mulai mengalir kembali, tingkat suku bunga jatuh, dan setelah jatuh 6,2% dalam tahun pertama, Meksiko menunjukan pemulihan yang secara mengesankan berlangsung cepat.
Dengan kata lain, wajar bila mengupayakan Rencana A. Anda bahkan bisa berkata bahwa itu tak bisa dihindarkan: dengan logika situasi politik, bukan sekedar ekonomi, dan dengan kesuksesan strategi serupa di Meksiko hanya dua tahun sebelumnya, bagaimana mungkin IMF dan Departemen Bendahara tidak mencoba mengulang kembali kemenangan mereka sebelumnya?
PARA PENGRITIK
Walaupun respon IMF terhadap krisis Asia sudah dapat diprediksi, itu bukan berarti bahwa mereka tidak menemui penentangan. Sejak awal sudah ada beragam ketidaksetujuan, yang menjadikan citra diri IMF di hadapan publik babak-belur. Dan beberapa pengritik bisa jadi memang ada benarnya - tapi hanya sebagian dari mereka saja, karena terdapat lebih banyak perbedaan pendapat di antara para pengritik, dibandingkan dengan IMF. Kasarnya, setengah dari mereka berasal dari kubu uang-keras (hard-money): orang yang meyakini bahwa IMF menyebabkan krisis dengan mendesak negeri-negeri untuk mendevaluasi di saat mereka seharusnya mempertahankan nilai tukar mata uang yang ditetapkan. Sebagian lainnya dari kubu uang-lunak (soft-money), yang meyakini bahwa IMF menaruh terlalu banyak penekanan pada stabilitas mata uang. Tidak bisa kedua-duanya benar.
Sebenarnya, beberapa dari mereka bisa dipastikan salah. Serangan para uang-keras terhadap Rencana A - serangan yang utamanya dilancarkan melalui lembaran majalah Forbes dan Wall Street Journal, dan oleh kaum konservatif penganut sisi-persediaan (supply-side conservatives) - setara dengan mengatakan bahwa negeri-negeri Asia harus mempertahankan nilai tukar mata uangnya dengan pengorbanan apa pun. Namun, melakukan hal ini di hadapan pelarian kapital besar-besaran, akan berarti secara drastis menurunkan kuantitas uang dalam sirkulasi - menciptakan tingkat suku bunga yang tingginya ekstrim, jauh lebih tinggi dari yang perlu diterapkan oleh negeri-negeri itu. Dan bank sentral yang tak dapat mencetak uang karena harus mempertahankan nilai-mata-uang-tetap tidak dapat bertindak sebagai pemberi pinjaman terakhir, yang menyediakan kas bagi bank-bank lokal yang terancam oleh penarikan besar-besaran. (Argentina, yang 'dewan mata uang'-nya dan kebijakan satu-peso/satu-dolar nya dipuji oleh kaum konservatif, hanya dapat menyaksikan tanpa daya ketika sektor perbankannya mulai berprotolan pada 1995; untungnya Bank Dunia datang menolong.)
Kalau Anda menanyakan pengritik dari kubu uang-keras kenapa mereka meyakini rencana mereka akan berhasil, kenapa itu tidak justru menyebabkan bencana yang lebih buruk, satu-satunya jawaban yang Anda dapatkan adalah jika saja Thailand tidak mendevaluasi, atau jika Indonesia mendirikan 'dewan mata-uang', tingkat kepercayaan akan kembali dan semuanya akan berjalan baik. Ya, mungkin - tapi itu benar-benar argumen yang berputar-putar. Lagipula, rencana ekonomi apa pun bagi Asia akan berhasil bila dalam sekejap berhasil mengembalikan kepercayaan. Kenapa tidak melangkahi saja pembentukan dewan mata uang dan menyuruh orang untuk lebih sering senyum?
Dan bagi mereka yang meyakini bahwa krisis ini tidak akan terjadi bila kita menerapkan emas sebagai standar, ingatlah bahwa terakhir kalinya sebagian besar mata uang utama dipatok ke emas adalah pada tahun 1929...
Pengritik IMF dari kubu uang-lunak, seperti Jeffrey Sachs dari Harvard - yang meyakini bahwa penekanan terhadap stabilitas mata uang seharusnya dikurangi - memiliki alasan yang lebih baik. Mereka berargumen - dengan tepat - bahwa tingkat suku bunga tinggi yang dituntut IMF terhadap negeri-negeri itu akan menyebabkan resesi yang parah dan tekanan finansial, dan sebagai akibatnya bahkan bank dan perusahaan yang sehat pun akan pada akhirnya runtuh. Jadi daripada mendesak agar negeri-negeri itu meningkatkan tingkat suku bunga untuk mempertahankan mata uang mereka, mereka meyakini bahwa IMF seharusnya menyarankan negeri-negeri itu untuk menjaga suku bunga yang rendah dan mencoba untuk menjaga pertumbuhan ekonomi riil mereka.
Saran itu kedengarannya cukup baik, jadi penting untuk memahami kenapa orang-orang pintar seperti Fischer dan Summers tidak menurutinya. Pertama-tama, cara penyampaian saran tersebut - yang dibungkus tuduhan-tuduhan yang kejam bahwa IMF penuh kerahasiaan dan tidak kompeten - tidaklah membantu. Lebih penting lagi, walau begitu, para pengritik dari kubu uang-lunak belum pernah menjelaskan apa yang seharusnya terjadi pada nilai tukar mata uang. Pada akhir 1997, won Korea kehilangan separuh nilainya dalam waktu beberapa minggu. Tidakkah itu akan jatuh lebih jauh lagi, bahkan mungkin jatuh bebas, bila Korea tidak menaikkan tingkat suku bunganya? Tidakkah itu beresiko memutar hiperinflasi - termasuk dengan segera membangkrutkan bank dan perusahaan yang memiliki utang dolar yang besar?
Pertanyaan-pertanyaan ini belum mendapat jawaban yang jelas. Jeff Sachs dalam beberapa kesempatan seolah menyarankan bahwa penurunan tingkat suku bunga akan memperkuat, bukannya melemahkan, mata uang Asia - bahwa walaupun investor akan menerima imbalan lebih kecil dari memegang won atau baht, prospek perbaikan keadaan ekonomi riil akan - Anda bisa tebak - mengembalikan kepercayaan. Dalam lain kesempatan ia tampak sekedar berargumen bahwa meskipun mata uang akan jatuh, mereka tidak akan jatuh begitu jauh, dan kerusakan yang ditimbulkannya kecil. Ya, mungkin - tapi setidaknya dalam musim gugur yang Rencana A memberikan taruhan yang lebih baik daripada itu.
Maka berjalanlah dengan Rencana A. Tapi keadaan tidaklah membaik.
KENAPA RENCANA A TIDAK BERHASIL
Dalam musim gugur kemarin, tidak ada yang menyangka bahwa Tahun Satu dari krisis Asia akan lebih buruk daripada tahun 1995 di Meksiko. Tapi begitulah kenyataannya: Indonesia karam, dan hanya ada sedikit cercahan cahaya bahkan di negeri-negeri klien IMF yang paling patuh. Apa yang salah? Ini sebagian daftarnya:
Kesalahan IMF. IMF jelas melakukan kesalahan dalam melihat detail - dan beberapa detail ini cukup besar. Ia mendesak agar negeri-negeri tersebut memotong pengeluaran dan menaikkan pajak, sebuah kebijakan deflasioner yang tak diharapkan dan telah memperburuk resesi dan situasi.
Terlalu banyak didongkrak (leverage) [dengan utang]. Meksiko mampu melewati satu tahun penuh dengan tingkat suku bunga setinggi 75% dan tetap bertahan. Ekonomi Asia, rupanya, lebih rapuh karena korporasi mereka didongkrak lebih tinggi. Bila utang Anda besarnya empat atau lima kali ekuitas Anda - rasio yang tidak pernah terdengar di Barat namun menjadi praktek standar di Korea Selatan - tidak butuh waktu lama bagi resesi plus tingkat suku bunga tinggi untuk menyapu Anda.
Jepang. Ekonomi terbesar-kedua di dunia - sebuah negeri dengan pemerintah yang stabil, tanpa utang luar negeri, dan tanpa inflasi - seharusnya dapat menjadi lokomotif bagi tetangganya, sebagaimana halnya AS bagi Meksiko. Justru sebaliknya, Jepang sangat sering menjadi bagian dari permasalahan.
Bagi faktor-faktor ini, dan mungkin bagi alasan lainnya yang belum kami pahami, tahun yang lalu nyaris tak terbayangkan buruknya. Memang benar, ayunan mata uang yang menggila di tahun lalu telah surut dan kini nilai mata uang telah cukup stabil sehingga beberapa pemerintah Asia berupaya memotong sedikit tingkat suku bunganya, tapi tingkat suku bunga ini pun tetap sangat tinggi untuk memulai kembali ekonomi mereka yang terobrak-abrik. Pada saat yang sama pencekikan ganda dari tingkat suku bunga dan ekonomi yang tertekan dengan pasti menyeret perusahaan-perusahaan yang bahkan memiliki pengelolaan terbaik menuju kebangkrutan.
Jadi apa yang tersisa dari Rencana A? Ya, Korea dan Thailand berlanjut dengan pembersihan bank menurut garis penyelamatan simpan-pinjam Amerika (savings-and-loan rescue). Ini tentunya hal yang baik - tapi sama sekali belum jelas kenapa itu akan membantu mendorong pemulihan jangka-pendek. (Kecuali - coba Anda tebak lagi - itu mengembalikan kepercayaan.) Tapi, dengan begitu dalamnya tingkat depresi ekonomi negeri-negeri itu, reformasi bank seperti mengejar target yang bergerak: pinjaman yang dinilai baik (good loans) berubah menjadi buruk ketika Anda membaca tulisan ini. Selain dari itu, rencana tersebut seperti ber-degenerasi menjadi menanti Godot: mengulur waktu dengan harapan hal yang baik akan pada akhirnya terjadi.
Dan mungkin saja. Mungkin Perdana Menteri Jepang yang baru akan membuat dunia kagum dengan menjalankan rencana stimulus massif yang akan menyelamatkan bukan saja Jepang, tapi seluruh wilayah tersebut. Mungkin akan terjadi pergeseran spontan dalam sentimen investor, dan uang akan berpindah dari saham Internet menjadi surat-utang Asia. Mungkin - ya, mungkin sudah saatnya mempertimbangkan dengan serius Rencana B.
APA ITU RENCANA B?
Mereka yang dari kubu uang-keras secara mengejutkan cukup membisu dalam menawarkan obat bagi Asia: Mereka terkadang mengeluarkan deklarasi bahwa ini semua tak akan terjadi bila saran mereka dijalankan, tapi mereka sepertinya tidak memberikan saran apa pun tentang apa yang kini harus dilakukan. Para ekonom yang bertipe uang-lunak lebih punya konsep: Seperti biasa, mereka menuntut negeri-negeri Asia harus memotong tingkat suku bunga agar memiliki kesempatan untuk pulih. Dan mereka barangkali benar. Problemnya adalah alasan yang pada awalnya menjadi penolakan terhadap pengurangan tingkat suku bunga kini masih berlaku. Sebagaimana Stan Fischer baru-baru ini menjelaskan, "Saya tak bisa percaya bahwa orang-orang yang serius meyakini bahwa tanpa menaikkan suku bunga untuk sementara waktu, kita dapat menanggulangi problem" kejatuhan mata uang. Pada akhir Juni, Bob Rubin melakukan tur ke Asia mendesak negeri-negeri untuk mempertahankan kebijakan uang-ketat mereka, mungkin kuatir bila mereka tidak melakukan itu, mata uang wilayah tersebut akan jatuh bebas.
Pendeknya, Asia sedang terjepit: Ekonominya tidak bisa kemana-mana, tapi mencoba untuk melakukan sesuatu yang besar untuk menggerakannya beresiko memprovokasi gelombang baru pelarian kapital dan krisis yang lebih buruk. Akibatnya, kebijakan ekonomi wilayah tersebut menjadi sandera ulah nakal para investor. Adakah jalan keluarnya? Ya, ada, tapi solusi ini sangat tidak biasa, sangat terstigmatisasi, sehingga hampir tak ada orang berani menyarankannya. Kata-kata yang tak bisa disebutkan ini adalah "kontrol pertukaran." (exchange controls)
Kontrol pertukaran biasa menjadi respon standar negeri-negeri yang mengalami krisis neraca-pembayaran (balance-of-payment). Detailnya beragam, tapi biasanya mereka berjalan seperti ini: Para eksportir diharuskan menjual pendapatan mata uang asing mereka kepada pemerintah dalam nilai tukar tetap (fixed exchange rate); mata uang tersebut kemudian akan dijual dengan nilai yang sama untuk pembayaran ke luar negeri yang telah disetujui, umumnya untuk impor dan membayar utang. Bila beberapa negeri mencoba menjadikan transaksi pertukaran-uang ilegal, negeri-negeri lainnya membolehkan pasar paralel. Yang mana pun caranya, ketika sistem tersebut diterapkan, sebuah negeri tidak harus menguatirkan bahwa pemotongan tingkat suku bunga akan menyebabkan kejatuhan mata uang. Mungkin itu akan menyebabkan turunnya nilai tukar yang terjadi paralel, tapi tidak akan mempengaruhi harga-harga impor atau neraca perusahaan dan bank.
Bila ini kedengarannya terlalu gampang buat Anda, Anda benar. Kontrol pertukaran memiliki banyak permasalahan dalam prakteknya. Di samping beban berkas-berkas dan birokrasi yang terlibat, ia juga menjadi - kejutan! - sasaran penyelewengan: Para eksportir mendapat insentif untuk menyembunyikan bukti-bukti pertukaran mata uang asing mereka; para importir, insentif untuk memalsukan bukti pembayaran mereka. Tiap negeri yang telah mencoba mempertahankan kontrol pertukaran selama periode yang lama pada akhirnya mendapati bahwa akumulasi distorsinya tidak dapat ditolerir, dan terdapat konsensus virtual di antara para ekonom bahwa kontrol pertukaran tidak dapat berjalan baik.
Tapi ketika Anda menghadapi bencana yang kini terjadi di Asia, pertanyaannya haruslah: tidak berjalan baik dibandingkan apa? Setelah Meksiko menerapkan kontrol pertukaran selama krisis utang tahun 1982, itu berjalan sepanjang lima tahun dengan ekonomi stagnan - suatu hasil yang buruk, tapi bila PDB Anda menyusut hingga 5%, 10%, atau 20%, stagnan terlihat seperti perbaikan yang besar. Dan renungkanlah Tiongkok saat ini; suatu negeri di mana kapitalisme kroni-nya membuat Thailand terlihat seperti Swiss , dan para bankirnya membuat anaknya Suharto terlihat seperti J.P. Morgan. Kenapa Tiongkok tidak sedikit pun terpukul separah tetangganya? Karena ia mampu memotong, bukannya menaikkan, tingkat suku bunga dalam krisis ini, selain mempertahankan nilai tukar tetap; dan alasan dari kenapa ia mampu melakukan itu adalah karena ia memiliki mata uang yang tak dapat dikonversikan, a.k.a. kontrol pertukaran. Kontrol ini seringkali dilangkahi dan menjadi sumber korupsi yang besar, tapi itu masih dapat memberikan Tiongkok keleluasaan kebijakan yang cukup besar yang dengan mati-matian diidam-idamkan oleh negeri Asia lainnya.
Pendeknya, Rencana B perlu melepaskan untuk sementara waktu urusan dan upaya mengembalikan kepercayaan investor internasional dan memaksa pemutusan hubungan antara tingkat suku bunga domestik dan nilai tukar mata uang. Kebebasan kebijakan yang dibutuhkan Asia untuk membangun kembali ekonominya akan jelas-jelas memiliki harganya sendiri, tapi dengan semakin dalamnya kejatuhan, harga tersebut mulai terlihat semakin pantas untuk dibayar.
Anda tak perlu menyetujui bahwa saat ini adalah waktunya mengadopsi Rencana B - atau bahkan bahwa itu akan diterapkan - untuk mengakui bahwa hal seperti itu adalah alternatif yang jelas dibandingkan strategi menunggu-dan-berharap yang berjalan saat ini. Tapi tetap saja sangat susah menemukan seorang pun, bahkan di antara para pengritik IMF, untuk membicarakannya. Bagaimana bisa?
NON-KONSPIRASI BISU
Bukan kejutan bila IMF dan Departemen Bendahara AS belum mengatakan apa pun mengenai alternatif strategi Asia saat ini. Para pemain kuncinya bukannya bodoh atau doktriner, tapi karena ini persoalan politik, maka mereka tentunya harus selalu menyatakan keyakinannya terhadap obat keras apa pun yang mereka anjurkan. Lebih lagi, bahkan sedikit saja menyinggung kemungkinan tentang kontrol pertukaran dapat dengan sendirinya menyebabkan pelarian kapital dan memaksa negeri-negeri Asia untuk menaikkan tingkat suku bunga, bukannya menurunkannya. Dengan kata lain, Rencana B seperti sebuah devaluasi: Pejabat selalu dengan tegas menyangkal bahwa mereka mempertimbangkan kemungkinan semacam itu hingga pada saat mereka melakukannya.
Kebijakan yang persiapannya tidak bisa diketahui publik ini (gag rule) bukan saja berlaku bagi para pejabat tapi juga siapa pun yang diasosiasikan dengan strategi itu: para bankir, institusi investasi besar, dan seterusnya. Ada juga semacam tekanan moral secara pribadi di antara mereka yang tak berperan dalam kebijakan itu tapi walau demikian secara umum simpati dengan pembuat kebijakan dan dilemanya. Contohnya, renungkanlah situasi yang dihadapi oleh seorang profesor ekonomi yang sesekali merangkap jurnalis dan telah mengenal Fischer dan Summer sepanjang masa profesionalnya. Ia mengharapkan hal-hal yang baik bagi mereka, dan memahami kenapa mereka pada awalnya mencoba Rencana A. Sebagaimana Anda bayangkan, ia akan sangat sungkan untuk tampil di depan umum untuk menyatakan keraguannya - katakanlah, dengan menyarankan dalam sebuah majalah bisnis bahwa sudah saatnya untuk Rencana B - kecuali ia cukup benar-benar yakin bahwa Rencana A telah menemui jalan buntu.
Yang mengejutkan adalah baik para pengritik IMF di Barat maupun di Asia sendiri telah bicara banyak tentang bagaimana memotong tingkat suku bunga tanpa menyebabkan mata uang jatuh bebas. Lagi-lagi, beberapa dari mereka sangatlah pintar, dan kebutuhan untuk sementara wkatu beralih ke kontrol pertukaran pastinya pernah terlintas di benak mereka. Kenapa tidak katakan saja? Dicurigai bahwa pertimbangan jiwa dagang mungkin memainkan peran. Memotong tingkat suku bunga terdengar sangat menarik; menerapkan kontrol pertukaran, dengan reputasinya yang sudah sepantasnya tidak mengundang selera, tidaklah demikian; jadi mungkin yang perlu dilakukan adalah menekankan sisi positifnya dan nanti saja menguatirkan akibatnya yang tak mengenakkan.
Dan bagi Asia sendiri, karena nasib baik mereka tiba-tiba dijungkir-balikkan, maka mungkin ini semua terlalu banyak untuk dikunyah sekaligus. Tak sampai setahun lalu mereka adalah ekonomi masa depan; untuk mengakui bahwa mereka harus membalikkan waktu dan menerapkan sejenis tindakan darurat yang diadopsi oleh Amerika Latin pada tahun 1980an mungkin begitu memalukan sehingga belum bisa mereka terima.
Dapatkah Anda benar-benar menyalahkan mereka? Bila bangsa-bangsa Asia benar-benar mengadopsi pertukaran mata uang, maka mereka harus bersiap-siap melakukan perjalanan yang lebih penuh tantangan. Hilanglah kesempatan menarik investasi asing yang baru. Pasar finansial barangkali akan ambruk lagi. Tapi kerusakannya, meskipun menyakitkan, hanya akan sementara. Seiring menurunnya suku bunga, ekonomi lokal pada akhirnya akan pulih, kepercayaan akan kembali lagi (yang sebenarnya!), dan kontrol pertukaran yang mengganggu itu pun bisa dihilangkan - diharapkan untuk selamanya.
Tapi bila Asia tidak bertindak segera, kita dapat menyaksikan skenario Depresi yang sesungguhnya - semacam kejatuhan yang 60 tahun lalu memporak-porandakan masyarakat, mendestabilisasikan pemerintah, dan akhirnya berujung pada perang. Situasi ekstrim menuntut tindakan ekstrim; saatnya membicarakan Rencana B.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Pertama kali diterbitkan oleh Fortune Magazine pada 7 September 1998
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
Krisis Finansial: Catatan Tentang Alternatif
Sam Gindin
Selama abad yang lalu, kaum kiri dalam negeri-negeri maju telah terpinggirkan sebagai kekuatan sosial. "Budaya kemungkinan" bagi alternatif kiri sejalan dengan itu telah menyempit. Tapi perubahan historis, terutama terdiskreditkannya neoliberalisme, akhirnya memberikan potensi bagi dibalikkannya kekalahan yang lalu. Dengan pergolakan finansial yang terus berlanjut dan ekonomi global yang akan memasuki penurunan terburuknya sejak the great depression, kebutuhan yang amat mendesak akan alternatif cukuplah jelas; pertanyaannya adalah apakah kita mampu mengembangkan kapasitas untuk sekali lagi menjadi aktor sosial yang relevan.
Hingga saat ini, kesempatan bagi kaum kiri pada umumnya masih berupa polemik. Tentunya benar bahwa dalam pemilihan umum belakangan ini, kaum politikus - di Kanada dan tak kurang pula di AS - terus mendesakkan pengabdian mereka dalam memperjuangkan pajak yang lebih rendah dan meninggalkan redistribusi yang signifikan terhadap pendapatan, apalagi kekayaan atau kekuasaan. Di AS, penegasan patriotisme Amerika tetap menjadi syarat dalam mengangkat kritik yang bahkan moderat sekali pun terhadap kebijakan luar negeri. Tapi ideologi neoliberal sedang tergulung dan delegitimasi terhadap anggapan bahwa pasar bebas adalah solusi segalanya, sudah membuat kaum kanan lebih defensif dalam persoalan ekonomi dibandingkan generasi sebelumnya. Mereka tak bisa lagi dengan leluasa mengatakan bahwa korporasi dan institusi finansial harus dibebaskan dari regulasi demi 'melepas kreativitas pasar,' atau menolak keterlibatan negara dalam memenuhi kebutuhan sosial.
Lebih-lebih lagi, kedalaman dan meluasnya penurunan ekonomi ini akan menyisakan sedikit pilihan bagi negara kecuali dengan menerapkan pembelanjaan publik yang massif. Keluarga para pekerja, yang mengalami erosi menakutkan terhadap simpanan efektif mereka - pensiun dan harga rumah - telah mulai mengurangi konsumsinya untuk membangun sepenggal keamanan bagi masa depan. Investor swasta, mencium sedikit peluang dan bereaksi dengan hati-hati dan keraguan menuju masa depan, sedang menghentikan investasinya. Dalam jangka pendek ke depannya, baik insentif swasta maupun pasar bebas, baik pemberian kredit gampangan maupun janji akan ekspor yang lebih besar, akan mengakhiri berita perusahaan yang gagal dan peningkatan pengangguran. Hanya investasi publik yang memiliki kesempatan untuk memimpin kebangkitan kembali ekonomi.
Ini semua penting untuk dijadikan pertimbangan: ini mungkin menandakan keakhiran suatu era. Namun, kita harus tetap berkepala dingin melihat sejauh apa dampak krisis ini dan bagaimana respon terhadapnya dengan sendirinya akan menguntungkan kita. Bahkan bila retorika dan beberapa praktek neoliberalisme dimodifikasi, sebagian besar struktur, kekuasaan dan logika dari periode sebelumnya masih tetap ada. Globalisasi dan perdagangan bebas tidak akan hilang begitu saja. Pertemuan G-20 tidak mencapai banyak hal, tapi itu mengkonfirmasikan komitmen di antara negara-negara yang berpartisipasi untuk menghindari 'proteksionisme.' Kecuali terjadi keruntuhan total, sistem finansial pasti akan mengambil bentuk institusional yang baru, namun regulasi yang baru akan berfungsi untuk menghidupkan dan memperkuat peran segelintir bank-bank swasta besar secara domestik maupun internasional.
Begitu pun kompetisi yang intensif dan restrukturisasi yang telah menghancurkan lapangan pekerjaan dan merongrong kepercayaan diri pekerja; itu tidak hilang begitu saja. Tekanan terhadap buruh otomotif, contohnya, akan semakin memburuk dan program penyesuaian struktural di negeri Dunia Ketiga - walaupun itu akan lebih ditentang - akan berlanjut. Dan meskipun krisis perumahan (subprime) bagi beberapa pihak menciptakan dukungan untuk menentang penyitaan rumah, ini pun lingkupnya masih sempit dan terpisahkan dari akar permasalahaan yang ada selama beberapa dekade berupa tekanan gaji, kemiskinan dan penolakan pemerintah dalam menjadikan perumahan sebagai hak, bukannya komoditas.
Bagi pemerintah Amerika, kegemilangan mereka tentunya mulai meredup. Tapi di sini pun, kenyataannya bukanlah berakhirnya imperium Amerika dalam waktu dekat atau pembalikkan peran kepemimpinan paska-perangnya. Sentralitas pemerintah Amerika masih berlanjut: tidak ada negara yang dapat (atau berkehendak) menggantikan AS; krisis ini telah mengkonfirmasikan ketergantungan dunia terhadap sistem finansial AS; dan resolusi dari krisis yang kini mendunia terletak secara fundamental pada tindakan pemerintah Amerika dalam memimpin respon yang lebih-kurang terkoordinasi.
Menggagas Alternatif
Sebagai upaya mencari tahu tentang apa yang perlu dilakukan, yang berguna adalah memulai dengan menyadari keterbatasan kapasitas kita saat ini. Kita dapat menggugat beberapa detail seputar resolusi terhadap krisis finansial, tapi kita tak dapat memainkan peran banyak dalam mengatasi krisis; fokus kita harus diarahkan ke hal yang lain. Seruan abstrak untuk 're-regulasi', dengan asumsi bahwa pemerintah dan pasar saling bertentangan, dapat lebih jauh membingungkan bukannya mempolitisir pihak-pihak yang kita upayakan untuk dimobilisasi. Sebagaimana terang-terangan ditunjukkan oleh intervensi negara baru-baru ini; dengan perimbangan kekuatan sosial yang ada saat ini, regulasi dimaksudkan untuk menemukan cara teknis untuk melindungi pasar dari kerapuhannya, bukan untuk penataan kembali secara fundamental terhadap kekuasaan relatif masyarakat demi memenuhi kebutuhan sosial. Bahkan ketika keterlibatan negara telah membiarkan kejatuhan kapitalis tertentu, muatan dari intervensi negara berkisar seputar rekonstruksi dan dengan demikian menjaga kelangsungan kekuasaan kapitalis finansial sebagai sebuah kelas.
Serupa dengan itu, mencari jawaban dengan jauh berpulang pada masa-masa pra-neoliberal yang lampau dan indah adalah suatu kesalahan dalam memahami koneksi antara dulu dan sekarang. Neoliberalisme merupakan respon dari ketidaksenambungan periode sebelumnya. Krisis tahun 1970an berakar dari tekanan kelas pekerja terhadap profit korporasi, yang menyebabkan para korporasi menurukan investasinya dan mengancam untuk memindahkan kapital ke luar negeri. Pada saat yang sama, beberapa seksi kaum kiri dengan jeli melihat bahwa opsi mereka terpolarisasi: bila tidak terdapat kontrol yang lebih besar terhadap bank dan korporasi, sambil bergerak menuju perencanaan demokratik, maka kaum pekerja akan diinjak-injak untuk mengembalikan kekuasaan korporasi dan profit - sebagaimana yang pada kenyataannya terjadi. Untuk kembali pada periode tersebut berarti hanya akan mengangkat kembali konflik lama, dan mengembalikan pertanyaan yang mendasarinya: apakah kekuasaan korporasi akan dikembalikan untuk mengatasi krisis, atau apakah akan dilakukan perjuangan untuk alternatif demokratik.
Ada faktor lain yang harus diintegrasikan ke dalam pemikiran kita tentang alternatif: sejauh apa kelas pekerja terintegrasikan ke dalam pasar finansial. Setelah tahun 1970an, dengan upah yang ditekan, para pekerja atas desakan kebutuhan beralih ke kredit sebagai bentuk yang mereka gunakan untuk mengakses konsumsi. Begitupun juga mereka memasuki pasar modal yang sedang meningkat untuk menambah dana pensiun mereka, dan mereka yang memiliki rumah bersorak gembira menyambut kenaikan harga rumah karena peningkatan kekayaan mereka menurunkan kebutuhan untuk meningkatkan simpanan dan dengan begitu memungkinkan konsumsi yang lebih besar. Dalam hal formasi kelas, ini semakin memfragmentasi kelas pekerja; sementara perjuangan untuk upah dan jaminan publik bergantung pada pembangunan solidaritas kelas; menyandarkan diri pada kredit (dan pajak yang lebih rendah) untuk mempertahankan kehidupan pribadi mereka akan mengakibatkan suatu kemerosotan kapasitas kolektif. Dalam krisis saat ini, dampak dari hubungan dengan pasar finansial yang seperti itu menjadi begitu jelas: terlepas dari kemarahan rakyat akan bailout di Wall Street, pada akhirnya terdapat penerimaan - meskipun setengah hati - secara umum terhadap dibutuhkannya bailout untuk "menyelamatkan sistem" yang menjadi tempat mereka menggantungkan nasibnya.
Yang tidak kalah pentingnya dalam pelemahan kelas pekerja sebagai kekuatan oposisi adalah stratifikasi yang berkembang selama tiga dekade terakhir di dalam kelas pekerja. Ketidaksamaan internal tersebut cenderung menyebabkan ketidakpuasan dan keterpecahan di antara mereka yang tampaknya cukup bernasib baik dan mereka yang terpinggirkan. Yang pertama lebih mudah diisolasi ketika korporasi menuntut konsensi karena dengan konsensi pun mereka akan masih lebih baik nasibnya dibandingkan pekerja kebanyakan; yang terakhir sering kali dipersalahkan sebagai penyebab peningkatan pajak terhadap mereka yang bekerja keras demi membantu mereka yang tidak.
Pertanyaan strategis yang kini kita hadapi mungkin dapat dinyatakan sebagai berikut. Semua alternatif harus berawal dari kebutuhan rakyat, tapi dapatkah kita juga menstruktur respon kita sehingga mereka memperkuat kapasitas kelas pekerja untuk bertindak secara independen di hadapan logika kapitalisme, sementara juga membatasi (setidaknya dalam batas tertentu) kekuasaan kapital? Dengan asumsi bahwa krisis finansial memang akan menuju ke kestabilan, masih akan terdapat resesi besar dan periode pertumbuhan yang rendah setelah krisis mulai "mereda". Dalam konteks ini, dua pertanyaan akan terangkat dalam politik: siapa yang akan menanggung dalam masa sesudah krisis, dan akan seperti apa bentuk solusi yang bertujuan menghidupkan kembali ekonomi (dan bukan sekedar finansial)?
Tuntutan Mendesak
Dengan dampak krisis perumahan terhadap begitu banyak rakyat Amerika dan luasnya delegitimasi terhadap sektor finansial, cukup mengesankan menemukan bahwa hanya sedikit terjadi perlawanan secara langsung. Tidak ada aksi massa, tidak ada pengambil-alihan rumah-rumah yang disita oleh komunitas, tidak ada penyaluran kefrustrasian dan kemarahan massa. Karena gunung berapi finansial meletus di tengah-tengah kampanye pemilu di AS dan Kanada, dapat diduga bahwa proses elektoral akan menjadi katalisator bagi diskusi meluas tentang alternatif yang demokratik, tapi ini pun juga hebatnya dibisukan. Di Kanada, satu indikator dari malaise politik adalah jumlah pemilih dalam pemilu terakhir merupakan terendah dalam seratus tahun; ini tidak berlaku bagi pemilu Amerika, namun dengan menggantungkan harapan pada kemenangan Obama, para korban penyitaan hanya menanti, bukannya bertindak. Hal penting yang pertama dengan demikian adalah tindakan spesifik apa pun yang mempertahankan capaian kelas pekerja, seperti rumah atau simpanan mereka, pekerjaan atau program sosial, harus secara aktif didorong dan didukung.
Tapi bagaimana dengan tuntutan yang lebih umum yang bisa kita angkat saat momentum yang berpotensi radikalisasi seperti sekarang? Tiga tuntutan semacam itu yang diangkat oleh kaum kiri di Amerika dalam periode sebelum bailout cukup memenuhi aspirasi rakyat dan menyimpan kemungkinan untuk memberikan bobot strategis yang lebih besar: layanan kesehatan universal (saat ini sedang dikikis meskipun masih sangat sah di Kanada), pengembangan sistem pensiun publik, dan pembangunan infrastruktur publik.
Masing-masing tuntutan ini mengurangi ketergantungan kelas pekerja terhadap pasar dan sektor swasta. Di AS, layanan kesehatan universal berarti tidak kehilangan jaminan bila Anda kehilangan pekerjaan dan konsekuensinya adalah mengurangi tekanan internal untuk memperkuat korporasi 'Anda' - bila dibutuhkan melalui konsensi - demi mempertahankan jaminan kesehatan perusahaan terhadap keluarga Anda. Pensiun publik berarti mengurangi ketergantungan dari hasil investasi dana pensiun atau reksa dana yang Anda peroleh dari pertumbuhan pasar modal dan sekuritas, sekaligus melawan kecenderungan korporasi yang hendak menggerus rencana pensiun serikat buruh. Infrastruktur publik, terutama bila menyertakan penanggulangan krisis lingkungan hidup, akan membuka lapangan pekerjaan dan menggeser fokus dari ketergantungan terhadap insentif pasar menjadi pelaksanaan pembangunan yang selayaknya, yakni secara langsung melakukannya.
Tapi lebih dari itu, masing-masing tuntutan di atas mengurangi kontrol swasta terhadap kehidupan kita - apakah perusahaan asuransi kesehatan, pengelola dana institusional, atau korporasi yang dalam keadaan sebaliknya mengharapkan pengerahan stimulus ekonomi melalui pemotongan pajak yang lebih besar dan 'iklim' yang menguntungkan (yang pada umumnya berarti kurang menguntungkan hak-hak rakyat). Dan yang terpenting, karena fokusnya pada hak-hak universal dan kebutuhan kolektif, tuntutan semacam itu cenderung mengatasi perpecahan di antara kelas pekerja dan berkontribusi atas pembangunan persatuan dan solidaritas kelas.
Tuntutan keempat, perumahan publik, mengangkat dimensi krusial lainnya dari hak-hak universal dan menyentuh kontradiksi yang memicu krisis finansial: kebijakan yang mempertahankan kemiskinan, membatasi kemampuan mereka membayar kredit perumahan dan ini tidak bisa disembunyikan selamanya. Jawabannya di sini bukanlah menjauhi pasar sebagai solusi bagi rakyat miskin, tapi mendemonstrasikan potensi lebih luas dari pengawasan publik terhadap berbagai layanan yang ada: dapatkah kita membayangkan suatu tipe perumahan yang selain terjangkau dan inovatif menyertakan juga semangat komunitas dan hubungan dengan kota di sekelilingnya - yakni perumahan yang dapat memberikan contoh tentang potensi intervensi publik?
Mengenai persoalan yang selalu muncul tentang siapa yang akan membiayai, tidak ada tempat lain yang lebih baik untuk memulai selain 'suruh kaum kaya membiayainya', ini semakin relevan mengingat besarnya keuntungan yang diraih dalam perjalanan menuju bencana saat ini. Ini umumnya berfokus pada pajak pendapatan, tapi itu harus menyertakan kekayaan karena di atas segalanya kekayaanlah yang didistribusikan secara mengerikan di Kanada dan (terutama) AS. Tapi membidik kaum kaya tidaklah cukup. Agar efektif, jangkauan dari peningkatan pajak juga harus menyentuh kelas pekerja, dan ini berarti menyaingi sentimen populis anti-pajak yang memperkuat individualisme tipe tertentu yang merusak solidaritas kelas dan visi kebutuhan kolektif (itu juga melemahkan kepentingan pribadi yang dasar karena pemotongan pajak biasanya dijual dengan basis pemberian beberapa ratus dolar kepada pekerja sementara sebagian besar potongan pajak dinikmati kaum kaya, dan pemotongan yang dilakukan untuk membiayai ini biasanya jatuh ke pundak kelas pekerja.)
Tetap saja, redistribusi semata tak akan mengatasi krisis: uang simpanan harus dimobilisasi untuk mendukung program-program infrastruktur yang besar. Ini dapat didanai melalui surat utang pemerintah, sebagaimana halnya surat utang dimobilisasi untuk membiayai Perang Dunia II. Dalam kasus saat ini, dengan komunitas bisnis yang sedang ketakutan berinvestasi dalam apa pun karena ketidakpastian yang ada, pada kenyataannya surat utang pemerintahlah yang dapat memberikan saluran yang aman bagi uang mereka.
Kontradiksi
Karena reformasi semacam itu akan dicobakan ke dalam sebuah masyarakat yang masih kapitalis, maka itu akan menghadapi batasan-batasan yang tidak dapat dihindarkan. Peningkatan program sosial bergantung pada pertumbuhan ekonomi, tapi bila pertumbuhan bergantung pada sektor swasta, bagaimana Anda dapat menentang dan mempertahankan kapital swasta secara bersamaan? Tidakkah mereka akan menolak berinvestasi bila mereka tidak cukup senang atau meninggalkan negeri untuk mencari profit dan kebebasan di tempat lain? Selain mempertanyakan mengapa banyak rakyat yang miskin sejak mulanya, perumahan yang inovatif tidak dapat dipisahkan dari gagasan ruang-ruang perkotaan yang menjadi bagian dari perumahan tersebut (termasuk kebutuhan bagi akses transportasi, terutama bila perumahannya di luar pusat kota).
Bagi kaum sosial demokrat, kontradiksi semacam itu berarti langkah mundur ke tuntutan-tuntutan yang lebih moderat. Ini telah gagal dan pelajarannya bukanlah menurunkan harapan kita tapi perlu berpikir lebih besar dan bersiap untuk melangkah lebih jauh. Bila demokrasi adalah suatu jenis masyarakat dan bukan sekedar suatu bentuk pemerintahan, maka ekonomi - yang begitu fundamental dalam membentuk kehidupan kita - pada akhirnya akan harus didemokratikan. Ini harus melibatkan nasionalisasi bank dan mengubah mereka menjadi kegunaan publik yang dijalankan secara demokratik yang mengawasi sistem finansial lainnya dan mengalokasikan simpanan nasional. Bila kapital domestik atau yang bermarkas di luar negeri mengancam untuk pindah (sebagaimana mereka akan melakukannya lebih awal, bukannya lebih akhir) kita harus siap mencantumkan kontrol kapital dalam agenda. Tapi bila kita hendak menyalurkan simpanan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial - dan ini tentunya alasan utama untuk mengontrol surplus sosial - kontrolnya harus diterapkan pada arus kapital domestik maupun internasional.
Ini pada ujungnya mengangkat persoalan perencanaan. Bila, contohnya, kita memandang serius krisis lingkungan hidup, maka tidaklah cukup dengan menjalankan proyek lingkungan hidup untuk membangun infrastruktur publik. Menghadapi persoalan lingkungan hidup akan berarti mentransformasi segalanya yang kita produksi dan bagaimana kita memproduksinya dan ini tidak dapat berlangsung melalui keputusan pasar yang tak berprinsip dan dilakukan oleh invidivu bisnis, yang hanya digerakkan oleh profit dan tak akan bertindak bila mereka tidak mengetahui ke mana yang lainnya akan pergi. Krisis otomotif memperkuat hal ini. Bailout saja, bahkan bila itu memodifikasi jenis kendaraan yang dibuat, tidak akan mengatasi kenyataan ekses kapasitas. Daripada menutup fasilitas produksi, kenapa tidak mengkonversikannya untuk memproduksi produk-produk yang baru atau termodifikasi yang akan dibutuhkan oleh ekonomi yang sadar lingkungan? Begitu pun juga, dengan terkonsentrasinya otomotif dalam komunitas tertentu, persoalannya bukan saja krisis otomotif sebagai krisis komunitas ini. Di Windsor, contohnya, di mana ribuan buruh otomotif sudah di-PHK sebelum krisis terakhir ini, yang dibutuhkan adalah penghidupan kembali pabrik yang menyertakan otomotif, tapi juga menjangkau infrastruktur publik dan jangkauan layanan sosial yang memberikan arti yang lebih kaya tentang konsep 'komunitas'.
Persoalan perencanaan seperti ini mengangkat beragam persoalan teknis dan demokratik yang tidak bisa diremehkan, tapi isu terpenting yang memaksa kita untuk menghadapinya adalah persoalan kekuasaan. Prakondisi untuk menggagas perubahan sosial adalah bahwa kita membangun kapasitas untuk mentransformasi distribusi kekuasaan di masyarakat kita.
Dalam konteks mengembangkan individu dan kapasitas koletif seperti inilah persoalan jam-kerja, yang sudah memudar dari daftar tuntutan kelas pekerja, harus sedemikian rupa dihidupkan kembali. Gerakan buruh sejak lama mengadvokasikan pengurangan jam kerja sebagai cara membagi pekerjaan tetap yang lebih baik dan dengan demikian membuka lapangan pekerjaan baru, atau setidaknya menjaga yang sudah ada. Ini dapat menjadi sangat penting bagi sektor-sektor tertentu dan juga merupakan prinsip solidaritas yang berharga. Tapi signifikansi terbesarnya terletak pada perspektif kelas pekerja lainnya yang dapat ditelusuri sejak masa-masa awal serikat buruhisme: pengakuan bahwa praktek kewarganegaraan yang utuh dan partisipasi politik menuntut waktu untuk melakukan itu - waktu untuk membaca, berpikir, belajar, menghadiri pertemuan dan acara, perdebatan, dan ambil bagian dalam merancang strategi serta terlibat dalam mengorganisir yang lainnya.
Dari Kebijakan Alternatif hingga Politik Alternatif
Ada tiga hal terakhir yang perlu ditekankan. Pertama, tiga perlawanan mendesak, membangun kebijakan bagi mobilisasi lintas-negeri, dan mengangkat persoalan 'besar' seperti nasionalisasi bank, tidak dapat dipahami sebagai tahapan aktivitas. Yang penting adalah tidak mengambil satu tindakan awal dan tindakan yang lebih radikal di kemudian hari tapi menemukan cara-cara untuk mengupayakan integrasi ketiganya secara simultan. Perlawanan lokal, contohnya, adalah bagian dari semua tahapan; kesuksesannya bergantung pada dan sekaligus menjadi syarat bagi mobilisasi seputar isu-isu nasional yang lebih besar. Begitu pun juga, adalah suatu kesalahan menunda-nunda seruan untuk mentransformasi sistem perbankan swasta menjadi kegunaan publik yang dijalankan secara demokratik "sebelum kita siap". Kita hanya akan siap bila kita menempatkannya sebagai agenda sejak dari awal dan mengintegrasikannya ke dalam tuntutan dan perjuangan lainnya.
Kedua, kontradiksi terbesar yang dihadapi oleh "gerakan" saat ini terletak pada jurang antara gagasan yang bagus dan kapasitas untuk memenuhinya. Halangan utama yang kita hadapi tepatnya bukanlah absennya kebijakan alternatif (walaupun ini masih perlu banyak diisi) melainkan lemahnya politik alternatif kita. Ini bukan sekedar tentang menghimpun kekuatan kita yang beragam. Melainkan, ini melibatkan pengakuan bahwa dengan melihat kesalahan di masa lalu, masa depan yang berbahaya dan potensi kesempatan yang baru, tiap sektor gerakan perlu memikirkan kembali apa yang dilakukannya dan bagaimana melakukan hal itu sebagai prakondisi untuk saling berkumpul dengan cara yang sepenuhnya berbeda.
Ketiga, susah untuk membayangkan suatu politik alternatif yang dapat menyaingi lawan kita tanpa suatu organisasi yang fokusnya adalah membangun hubungan esensial dan kapasitas politik antara sektor gerakan maupun di dalamnya. Contohnya, perlu ada ratusan kalau bukan ribuan pertemuan yang berlangsung tiap minggu di penjuru negeri untuk mendiskusikan apa yang sedang kita hadapi saat ini dan apa yang harus dilakukan untuk menjawabnya. Tapi ini tidak bisa begitu saja terjadi secara spontan. Bagaimana kita membangun kapasitas semacam ini - itulah pada intinya persoalan 'alternatif' tersebut.
Sam Gindin mengajar Ekonomi Politik di York University.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diterbitkan dalam The Bullet no 156, buletin elektronik Socialist Project, 24 November 2008.
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
IMF akan mengambil keuntungan dari krisis ini dengan memberikan pinjaman yang lebih banyak dan lebih besar.
in
• Analisa
• Dunia
• Ekonomi Politik
Eric Toussaint
Wawancara dengan Eric Toussaint oleh Radio France Internationale (RFI), Senin 27 Oktober 2008 pada 13H00
RFI: IMF berkeputusan menolong banyak negeri Eropa seperti Islandia, Ukraina, dan kini, Hungaria, dengan memberikan pinjaman penting kepada mereka. Kenapa khususnya negeri-negeri ini menurut Anda?
Eric Toussaint: Pertama-tama harus dijelaskan terlebih dulu bahwa IMF sendiri sedang mengalami krisis. Ia posisinya sedang sangat dilemahkan. Tahun lalu ia hanya memiliki satu klien saja: Turki. Hanya enam atau tujuh tahun sebelumnya, IMF memberikan pinjaman bertotal lebih dari 100 milyar dolar, sementara sebelum krisis ini, portfolio pinjamannya turun hingga 17 milyar dolar. IMF akan mengambil keuntungan dari krisis ini dengan memberikan lebih banyak pinjaman, karena keberadaannya bergantung pada pinjaman yang diberikannya. IMF sesungguhnya bergantung pada bunga yang dibayar oleh negeri peminjam untuk tetap beraktivitas.
RFI: Jadi IMF akan memilih memberikan pinjaman ke negeri-negeri yang lebih mampu membayar kembali utangnya...
Eric Toussaint: Tapi Anda harus berhati-hati. IMF juga akan menawarkan jasanya ke negeri-negeri Selatan; itu tak diragukan lagi. IMF hendak meraih kembali kekuasaannya setelah masa-masa pelemahannya baru-baru ini vis a vis sejumlah negeri-negeri Selatan. Dalam beberapa tahun belakangan ini banyak negeri di Asia dan Amerika Latin melunasi obligasi berlebihnya (outstanding obligation) lebih awal, yang artinya IMF kehilangan alat untuk menekan negeri-negeri ini. Sangat dimungkinkan IMF akan menawarkan pinjaman ke Afrika, Amerika Latin dan Asia, dengan berpura-pura bahwa negeri-negeri yang lebih miskin memang membutuhkan "uangnya" karena krisis ini. Namun, Anda harus tahu bahwa pinjaman IMF datang dengan lampiran persyaratan yang mengharuskan negeri-ngeri tersebut menerapkan kebijakan spesifik; kebijakan yang telah dengan rutin berdampak merugikan selama 20 tahun terakhir. Kebijakan ini terbukti merugikan karena Dana Moneter Internasional bergandengan tangan dengan Bank Dunia telah mendesakkan ekonomi pasar yang sepenuhnya bebas di negeri-negeri Selatan. Negeri-negeri Afrika dan secara lebih khusus penduduk negeri-negeri Afrika mengetahui bahwa mereka telah terpukul telak oleh krisis pangan.
Di Afrika, bagi kebanyakan orang, kepedulian utama dalam beberapa bulan ini bukanlah krisis finansial bank-bank di Eropa dan Amerika Serikat, melainkan peningkatan harga-harga pangan secara dramatis. Kebijakan yang didikte oleh IMF dan Bank Dunia secara langsung bertanggung-jawab terhadap kenaikan ini (Saya akan kembali ke persoalan ini nanti).
RFI: Apakah Anda, Eric Toussaint, mencoba mengatakan bahwa IMF lebih fleksibel terhadap beberapa negeri dibandingkan lainnya? Terkait persyaratannya?
Eric Toussaint: Ya, itu yang tentunya saya katakan. Tidak akan ia mendesakkan prasayarat yang sama kepada Islandia atau negeri Eropa lainnya. Ijinkan saya menekankan bahwa IMF tidak menuntut pihak berwenang Washington mengambil langkah-langkah konsolidasi anggaran publik, sementara di mana pun ia berurusan dengan pemerintahan negeri-negeri Selatan, ia tanpa variasi mencoba mendesakkan langkah-langkah ekonomi yang dinilainya pantas.
RFI: Jadi, menurut Anda, memang ada standar ganda?
Eric Toussaint: Pasti, tidak diragukan lagi. Dengarkan ini: ada 24 Direktur Eksekutif di IMF. Hanya dua dari mereka berasal dari Afrika. Dua administrator dari Afrika ini masing-masing mewakili lebih dari dua puluh negeri. Ketika mereka memberikan suara pemilihan, kedua ini (digabungkan) mewakili kurang dari 5% jumlah suara. Amerika Serikat saja memiliki 17% suara. Perancis saja memiliki sedikit di bawah 5%. Ini berarti bahwa ketika Perancis memberikan suara, ia bobotnya sama dengan gabungan seluruh negeri Afrika. Jadi ya, tentu ada standar ganda. Ini sangatlah jelas. Ini harus dirubah secepat mungkin. Situasi ini benar-benar tak dapat diterima dan tidak bisa berlangsung lebih lama lagi.
RFI: Apakah kita perlu mereformasi bantuan kepada negeri-negeri yang lebih miskin ketika kita mengetahui bahwa kadang kala permasalahannya adalah negeri yang "dibantu" oleh IMF secara umum dicap sebagai dalam kesulitan sehingga kemudian akhirnya membuat pemberi pinjaman kuatir? Haruskah kita lebih sembunyi-sembunyi dalam memberikan bantuan kepada negeri-negeri yang lebih miskin?
Eric Toussaint: Dengarkan, secara pribadi saya berpikir bahwa, pertama-tama, yang esensial adalah membayar harga yang tepat untuk barang-barang yang diimpor dari negeri-negeri yang dipandang sebagai "miskin" dan berhenti merekomendasikan kebijakan yang merugikan produsen lokal mereka. Inilah yang hendak saya katakan di awal terkait krisis pangan. Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia meyakinkan negeri-negeri Afrika untuk mengurangi produksi pangan domestiknya sementara menjamin mereka kedaulatan pangan, keamanan pangan, terutama dalam sereal. IMF dan Bank Dunia mendorong negeri-negeri ini untuk meningkatkan eksport mereka dalam bentuk teh, pisang, kakao, dsb. dan untuk menggantungkan diri kepada impor gandum dan beras dari Eropa dan Asia untuk memberi makan populasi mereka sendiri. Dan kini di saat harga-harga bahan tersebut secara harafiah meledak, negeri-negeri Afrika menemukan dirinya tak memiliki apa-apa, dan tidak ada lagi produsen lokal yang dapat memenuhi kebutuhan mereka.
Jadi jawaban saya adalah, daripada bicara tentang kemurahan hati terhadap negeri-negeri ini, dan saya tidak yakin dengan apa yang disebut-sebut "kemurahan-hati" ini, yang dibutuhkan negeri-negeri Afrika adalah lebih banyak keadilan.
RFI: Terimakasih Eric Toussaint, Presiden dari Komite Penghapusan Utang Dunia Ketiga, disiarkan langsung dari Brussels dan ijinkan saya mengutip buku terbaru anda Who Owes Who? 60 questions about World Debt, yang sudah diterbitkan dalam bahasa Perancis: 60 Questions/60 Réponses sur la dette, le FMI et la Banque mondiale, CADTM-Syllepse, Liège-Paris, 2008.
NB: Eric Toussaint juga penulis dari: The World Bank: A Critical Primer, Pluto Press / Between the lines / David Philip Publisher, London - Toronto - Cape Town, 2008; World Bank: A Never-Ending Coup d’Etat Editorial VAK (Mumbai-India), 2007.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diterbitkan dalam Situs Komite Penghapusan Utang Dunia Ketiga - Comite pour l'Annulation de la Dette du Tiers Monde (CADTM)
Diterjemahkan dari Bahasa Perancis ke Bahasa Inggris oleh Jinane Prestat dan Elizabeth Anne
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh NEFOS.org
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Semuanya Roboh: Sepuluh Tahun Setelah Krisis Finansial Asia
in
• Analisa
• Asia
• Ekonomi Politik
• Indonesia
• Malaysia
• Tiongkok
Walden Bello
Focus on the Global South, 27 Juli 2007
Sepuluh tahun setelah krisis finansial Asia, ekonomi-ekonomi Pasifik belum sepenuhnyap pulih. Sementara itu, kapital finansial terus menentang segala bentuk regulasi sehingga meningkatkan kecenderungan krisis finansial yang lebih banyak.
Sepuluh tahun setelah kataklismik finansial Asia tahun 1997, ekonomi-ekonomi Rim Barat Pasifik berkembang kembali, meskipun tingkatnya tidak setinggi sebelum krisis. Tidak diragukan bahwa wilayah tersebut menderita luka akibat krisis, indikator kuncinya berupa lebih besarnya kemiskinan, ketimpangan, dan destabilisasi sosial yang sudah ada sebelum krisis. Reformasi yang menyakitkan terhadap pasar tenaga kerja Korea Selatan, contohnya, telah menghasilkan keputus-asaan bisu yang menyebabkan negeri tersebut sebagai salah satu negeri berkembang yang memiliki tingkat bunuh diri tertinggi.
Arsitektur finansial global apa?
Sementara, meskipun banyak dibicarakan tentang "arsitektur finansial global yang baru," hanya sedikit yang telah dilakukan untuk meregulasi pergerakan massif kapital yang meluncur melalui jaringan finansial global dalam kecepatan cyber.
Mereka yang antusias dengan penyerahan-segalanya-ke-pasar mengatakan kepada kita agar tidak kuatir dan dengan yakin menunjukkan bahwa tidak ada krisis besar lainnya sejak kebangkrutan Argentina pada 2002, tapi mereka yang mengetahui lebih banyak, seperti orang dalam Wall Street, Robert Rubin, yang menjabat Sekretaris Departement Bendahara pada masa Bill Clinton, sangat kuatir bahkan meskipun mereka menentang regulasi: "Krisis finansial di masa depan hampir pasti tak terhindarkan dan bahkan dapat lebih parah. Pasar semakin besar, informasi bergerak lebih cepat, arus semakin membesar, dan perdagangan dan kapital terus berintegrasi...Penting juga menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat memprediksi dalam area apa - real estate, pasar berkembang, atau apa pun - krisis berikutnya muncul." Penelitian baru-baru ini oleh Institusi Brookings mengonfirmasikan ketakutan Rubin: Terdapat lebih dari seratus krisis finansial selama tiga puluh tahun terakhir.
Kekuasaan kapital finansial
Jumlah kapital spekulatif yang membanjiri sirkuit finansial global benar-benar membuat pusing kepala. Menurut Institut Global McKinsey, saham global dari "aset finansial inti" (core financial assets) berada pada angka $140 trilyun pada 2005. Bank-bank komersial tradisional memegang jumlah signifikan dari aset-aset finansial global, tapi operator finansial non-bank, yang telah menjadi perantara yang penting antara penyimpan dan investor, mengambil jumlah $46 trilyun pada 2005, hedge funds $1,6 trilyun, dan investor ekuitas swasta (private equity investors) sekitar $600 milyar. Angka-angka ini dan data lainnya yang tak masuk akal tentang peningkatan dan skala dari kapital finansial global dipresentasikan oleh ekonom C.P. Chandrasekhar pada konferensi "Satu Dekade Setelahnya: Pemulihan dan Penyesuaian sejak Krisis Asia Timur" yang diselenggarakan pada 12-14 Juli di Bangkok, pusat gempa finansial 1997.
Pertumbuhan eksplosif kapital finansial dipandang oleh beberapa analis bersumber dari kapasitas-berlebih (overcapacity) yang menjangkiti ekonomi global. Ini mengakibatkan penurunan investasi yang mencolok dalam bagian utama ekonomi global, dengan pengecualian tertentu seperti Tiongkok dan AS. Dengan adanya stagnasi, para kapitalis semakin tidak termotivasi untuk berinvestasi lebih banyak dalam kapasitas produktif dan lebih berinsentif untuk memindahkan uang mereka ke dalam aktivitas spekulatif, yakni, mencoba memeras lebih banyak nilai dari nilai yang sudah diciptakan. Ini diindikasikan oleh kenyataan bahwa rasio aset finansial global dan keluaran tahunan sedunia (annual world output) meningkat dari 109 persen pada 1980 hingga 316 persen pada 2005, menurut angka dari Institut McKinsey sebagaimana dikutip oleh kolumnis Financial Times, Martin Wolf.
Aktivitas spekulatif sebagai pola meraih-profit juga telah melampaui perdagangan, dengan volume harian transaksi pertukaran mata uang asing di pasar internasional berada pada $1,9 trilyun per hari, bandingkan dengan nilai tahunan $9,1 trilyun dalam perdagangan barang dan jasa -- maka, aktivitas spekulatif dalam satu hari sebanding dengan 20 persen nilai tahunan perdagangan global! Martin Wolf, salah seorang tim sorak pendukung globalisasi, menangkap hubungan kekuasaan saat ini antara fraksi-fraksi kapital global ketika ia menulis: "Kapitalisme finansial baru mewakili kemenangan pedagang aset terhadap produsen jangka panjang."
Sepuluh tahun setelah IMF dan AS menyalahkan krisis pada tuduhan non-transparansi transaksi finansial di negeri-negeri Asia, kekeruhan adalah sesuatu yang wajar dalam finansial global, seiring pergerakan dan mutasi kapital finansial yang melampaui kapasitas nasional dan otoritas regulator multilateral. Selain kredit, saham, dan surat utang yang tradisional, instrumen finansial esoterik baru seperti derivativ telah meledak dalam lapangan finansial. Derivativ mewakili finansialisasi atau jual-beli resiko suatu aset yang mendasarinya tanpa memperdagangkan aset itu sendiri. Kini, resiko apa pun dapat difinansialisasi dan diperdagangkan, dari percepatan perdagangan karbon (carbon trading) hingga tingkat koneksi internet broadband hingga prakiraan cuaca.
Paralel dengan kemunculan instrumen yang lebih kompleks adalah kebangkitan hedge funds dan private equity funds sebagai pemain paling dinamik dalam kasino global. Hedge funds, yang dikatakan sebagai penjahat kunci dalam krisis finansial Asia, kini semakin merambah bebas. Kini berjumlah melebihi 9500, hedge funds mengambil posisi pendek (short) dan panjang (long) dalam beragam investasi, dengan tujuan meminimalkan resiko secara keseluruhan dan memaksimalkan profit. Private equity funds membidik firma-firma dengan tujuan mengontrol mereka, merestrukturisasi mereka, kemudian menjualnya untuk mendapatkan keuntungan.
Mengakumulasi cadangan sebagai strategi defensif
Dengan absennya regulasi finansial global dalam menjinakkan angin puyuh finansial global, negeri-negeri Asia telah mengambil langkah-langkah pertahanan diri dari volatilitas spekulator global yang meruntuhkan ekonomi mereka dengan menarik $100 milyar karena panik dari wilayah tersebut dalam beberapa minggu yang menentukan dalam bulan Juli dan Agustus 1997. Negeri-negeri ASEAN telah bergandengan tangan dengan Tiongkok, Korea Selatan dan Jepang untuk membentuk kelompok finansial "ASEAN Plus Tiga" yang akan memungkinkan negeri-negeri anggotanya berbagi cadangan bila mata uang mereka menjadi target spekulator, seperti pada 1997.
Yang lebih penting lagi, mereka telah menimbun cadangan finansial yang besar dengan menjalankan surplus perdagangan yang massif, suatu tujuan yang telah dicapai dengan mempertahankan mata uang mereka bernilai-kurang (undervaluend). Antara 2001 dan 2005, menurut pemenang Nobel Joseph Stiglitz, delapan negeri Asia Timur - Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Thailand, Indonesia, dan Filipina - telah meningkatkan total cadangan mereka lebih dari dua kali lipat, dari secara kasar $1 trilyun menjadi $2,3 trilyun. Tiongkok, sang pemimpin kawanan itu, diestimasikan kini memiliki lebih dari $900 milyar dalam cadangan mereka, disusul oleh Jepang.
Ini menimbulkan situasi yang amat paradoksikal. Dalam ekonomi global yang ditandai oleh kecenderungan kuat terhadap stagnasi, Tiongkok sebagai produsen dan AS sebagai konsumen adalah mesin ganda yang mempertahankan ekonomi dunia mengapung. Namun mempertahankan berjalannya ekonomi AS membutuhkan aliran kredit secara konstan dari Tiongkok dan negeri-negeri Asia Timur lainnya ke AS untuk mendanai konsumsi kelas menengah terhadap barang dari Tiongkok dan Asia. Pada saat yang sama, negeri-negeri yang benar-benar membutuhkan kapital dari Asia Timur, seperti negeri-negeri di Afrika, mendapatkan bagian yang sangat kecil dari cadangan ini karena mereka tidak dipandang layak-kredit (creditworthy)
Matinya IMF
Penimbunan cadangan devisa besar-besaran oleh negeri-negeri Asia secara langsung berhubungan dengan pengalaman pahit mereka dengan Dana Moneter Internasional. Para pemerintah tersebut mengingat krisis itu sebagai akibat dari pukulan satu-dua-tiga yang dilancarkan oleh IMF. Pertama, IMF, sejalan dengan Departement Bendahara AS, menekan mereka untuk meliberalisasi rekening modal (capital account), yang menyebabkan gampangnya pelarian kapital asing sehingga menjatuhkan mata uang mereka. Kemudian, IMF memberikan mereka pinjaman multi-milyar dolar, bukan untuk menyelamatkan ekonomi mereka tapi untuk menyelamatkan kreditor asing. Maka, ketika ekonomi mereka goyah, IMF menyuruh mereka untuk mengadopsi kebijakan pemotongan-pengeluaran yang pro-siklikal yang mempercepat kemerosotan mereka menuju resesi yang dalam.
"Tidak akan lagi" menjadi slogan sejumlah pemerintah yang terkena dampaknya. Pemerintah Thaksin di Thailand mendeklarasikan "kemerdekaan finansial"-nya dari IMF setelah melunasi utangnya pada 2003, bersumpah tak akan pernah lagi kembali ke Dana tersebut. Indonesia katanya akan melunasi semua utangnya ke IMF pada 2008. Filipina telah menghindari penarikan pinjaman baru dari IMF, sementara Malaysia menolak institusi itu dengan menerapkan kontrol kapital pada saat puncak krisis.
Ironisnya, IMF menjadi salah satu korban utama kekacauan 1997. Institusi arogan ini dengan sekitar 1000 ekonomi elitnya belum mampu pulih dari krisis legitimasi dan kredibilitas parah yang menimpanya - sebuah krisis yang diperdalam oleh kebangkrutan murid kesayangannya Argentina pada 2002. Pada 2006, Brasil dan Argentina, mengikuti apa yang telah dilakukan Thailand, melunasi semua utangnya ke IMF demi mencapai kemerdekaan finansial. Ketika itu Hugo Chavez menjelaskan seluruh duduk permasalahannya dengan mengumumkan bahwa Venezuela akan meninggalkan IMF dan World Bank.
Apa yang praktisnya sebuah boikot oleh para peminjam terbesarnya diterjemahkan menjadi krisis anggaran oleh IMF. Selama dua dekade terakir, operasi IMF sebagian besar didanai dari pembayaran kembali pinjaman oleh klien-klien negeri berkembangnya bukannya kontribusi dari para pemerintah negeri-negeri Utara yang kaya. Tapi dengan penolakan pinjaman baru oleh para peminjam terbesarnya, pembayaran pinjaman menyusut menjadi tetesan. Ujung dari perkembangan ini adalah pembayaran biaya dan bunga menurut proyeksi IMF akan terpotong lebih dari setengahnya, dari $3,19 milyar pada 2005 hingga $1,39 milyar pada 2006 dan setengahnya lagi, menjadi $635 milyar pada 2009. Pengurangan ini telah menciptakan apa yang digambarkan oleh Ngaire Woods, seorang spesialis IMF dari Universitas Oxford, sebagai "penyusutan besar-besaran anggaran organisasi itu."
Rangkaian peristiwa ini menyisakan IMF pengaruh yang sangat kecil di antara negeri-negeri berkembang yang besar sehingga ia meraba-raba peran baru. Tapi tergulungnya otoritas dan kekuasaan IMF bukan saja disebabkan oleh penentangan negeri-negeri berkembang terhadap intervensi IMF lebih jauh. Administrasi Bush sendiri berperan mengikis proses pencarian IMF untuk mendapatkan peran berarti dalam finansial global ketika ia memveto usulan seorang direktur deputi IMF dari Amerika yang berhaluan konservatif, Ann Krueger, untuk membentuk "Sovereign Debt Restructuring Mechanism" (SDRM) [Mekanisme Berdaulat Restrukturisasi Utang] yang akan membolehkan negeri-negeri berkembang menunda (standstill) pembayaran utangnya sambil menegosiasikan ketentuan-ketentuan baru dengan kreditornya. Banyak negeri-negeri berkembang memandang usulan SDRM lemah, dan veto Washington menunjukkan bahwa orang-orang Bush tak akan menoleransi kontrol sekecil apa pun terhadap operasi institusi finansial internasional AS tersebut.
Neoliberalisme ditolak: Thailand
Bukan saja IMF tapi neoliberalisme, ideologi dominan tahun sembilan-puluhan, yang runtuh setelah krisis. Malaysia menerapkan kontrol kapital dan menstabilkan ekonomi, sehingga memungkinkannya menangkal resesi 1998-2000 dengan lebih baik dibanding negeri-negeri lainnya yang bermasalah. Walau begitu, adalah Thailand yang memutuskan hubungan dengan neoliberalisme secara paling dramatis. Setelah tiga tahun yang dipenuhi stagnansi di bawah pemerintahan yang dengan patuh menuruti resep neoliberal IMF, pemerintah yang baru terpilih Thaksin Shinawatra menjalankan kebijakan neo-Keynesian yang kontrasiklikal (countercyclical) dan menstimulasi permintaan untuk mengembalikan ekonomi ke jalan yang benar. Utang pedesaan dibekukan, perawatan kesehatan yang didanai pemerintah diinstitusionalkan, dan tiap desa diberi satu juta baht untuk dibelanjakan ke dalam proyek khusus. Terlepas dari prediksi menakutkan dari para ekonomi neoliberal, langkah-langkah ini berkontribusi dalam memutar ekonomi ke dalam jalur pertumbuhan yang moderat, yang sejak itu dipertahankan oleh pertumbuhan ekspor yang distimulasi oleh ekonomi Tiongkok yang panas membara.
Krisis finansial 1997 yang menyaksikan jatuhnya satu juta rakyat Thai ke bawah garis kemiskinan dalam beberapa minggu yang singkat, mendorong rakyat Thai menentang globalisasi neoliberal. Bahkan ketika pemerintah bengembalikan fokusnya untuk menstimulasi permintaan domestik dengan bantuan-pendapatan bagi kelas bawah di pedesaan dan perkotaan, sentimen rakyat berkembang menentang perdagangan bebas. Pada 8 Januari 2006, ribuan rakyat Thai berupaya menyerbu gedung di Chiang Mai, Thailand, ketika berlangsung negosiasi FTA (free trade agreement - kesepakatan perdagangan bebas) berlangsung antara AS dan Thailand. Negosiasi tersebut dibekukan; sesungguhnya, dukungan Perdana Menteri Thaksin terhadap FTA menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap hilangnya legitimasinya dan akhirnya kejatuhannya dari kekuasaan pada bulan September 2006.
Membusuknya globalisasi berlangsung paralel dengan meningkatnya popularitas paradigma ekonomi yang digalakkan oleh kaum monarki yang populer di negeri itu, Raja Bhumibol. Dengan menamakannya "ekonomi swadaya" (sufficiency economy), itu merupakan strategi memandang-ke-dalam yang menekankan kemandirian di akar rumput dan pembangunan hubungan yang lebih kuat antara jaringan ekonomi domestik. Dengan mengambil keuntungan dari popularitas sang Raja, para kritikus menilai pemerintah dukungan-militer yang menjungkirkan Thaksin telah mempergunakan ekonomi swadaya untuk melegitimasikan kekuasaannya. Apa pun kasusnya, globalisasi adalah kata yang tidak populer di Thailand saat ini.
Neoliberalisme diterapkan: Korea
Bila Thailand memutuskan hubungan dengan neoliberalisme dan IMF, Korea mengikuti hingga hampir sepenuhnya reformasi neoliberal yang dipaksakan oleh IMF ke pemerintah: menjalankan restrukturisasi pasar tenaga kerja secara radikal, liberalisasi perdagangan, dan liberalisasi investasi. Menurut sosiologis Chang Kyung Sup, "merontokkan tenaga kerja adalah tindakan paling krusial dalam menyelamatkan firma-firma Korea Selatan. Bahkan setelah momen-momen yang menegangkan telah berlalu, kebanyakan firma-firma besar terus menjalankan restrukturisasi organisasi dan teknologi dengan cara meminimalisir jumlah pekerja, dengan dengan begitu dilahirkan kembali sebagai eksportir yang kompetitif secara global."
Dipandang sebagai contoh klasik negara pembangunan aktif (classic activist developmental state) yang oleh sebuah laporan dari Perwakilan Dagang AS dikarakterkan sebagai "tempat paling susah di dunia" bagi perusahaan AS untuk melakukan bisnisnya, Korea di bawah pengelolaan IMF telah menjadi ekonomi yang lebih liberal dibandingkan Jepang. Denasionalisasi firma-firma finansial dan industri Korea telah berlangsung dengan "kecepatan yang memprihatinkan," jelas Chang dalam konferensi Bangkok, dengan kepemilikan asing kini menguasai lebih dari 40 persen saham konglomerat finansial dan industrial top di Korea atau chaebol. Samsung kini 47 persen sahamnya dimiliki oleh asing; Posco, perusahaan baja, lebih dari 50 persen; Hyundai Motors 42 persen, dan LG Electronics 35 persen.
IMF telah menyanjung Korea sebagai "kisah sukses." Namun, rakyat Korea membenci IMF dan menunjukkan tingginya biaya sosial dari apa yang dipandang sukses tersebut. Kemiskinan telah meningkat tajam, dari yang angka tiga persen populasi pada 1996 menjadi 11,6 persen pada 2006, dan koefisien Gini yang mengukur ketimpangan melonjak dari 0,27 menjadi 0,34. Solidaritas sosial tergulung, dengan emigrasi, kehancuran keluarga, dan perceraian meningkat dalam tingkat yang menguatirkan, seiring dengan tingkat bunuh diri yang meroket. "Kita menjadi masyarakat besar yang tidak bahagia yang memandang periode pra-krisis sebagai Jaman Keemasan," kata Chang.
Semuanya roboh
Dalam retrospeksi, krisis finansial Asia pada 1997 mungkin telah mengakibatkan kejatuhan IMF, tapi, sebagaimana ditunjukkan oleh ekonom Jayati Ghosh pada pertemuan Bangkok, itu juga ditandai dengan matinya negara pembangunan Asia Timur yang pernah secara berhati-hati mengelola integrasi ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia agar mengalami penguatan, bukannya dipinggirkan oleh kekuatan ekonomi global. Meskipun terdapat perbedaan di antara mereka mengenai jalan yang ditempuh dari krisis sejak 1997, semua ekonomi Asia Timur telah begitu parah terluka dan dilemahkan. Krisis itu menandai akhir dari keberadaan mereka sebagai lini depan perkembangan sebagai model untuk diemulasi. Abad ke-21 yang seharusnya menjadi abad mereka, kini telah lepas dari tangan mereka. Kataklismik tersebut menandai penyerahan obor ke Tiongkok, dan sesungguhnya dengan situasi yang dilemahkan, ekonomi-ekonomi Asia Timur dan Tenggara yang lebih kecil kini semakin bergantung pada dinamika yang disuguhkan oleh tetangga raksasa mereka.
Walden Bello, salah satu tokoh Transnational Institute, adalah profesor sosiologi di University of the Philippines di Diliman dan seorang analis senior di institut riset dan advokasi, Focus on the Global South, yang bermarkas di Bangkok.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari situs Transnational Institute
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
Krisis Finansial dan Sistem Finansial Publik Yang Demokratik
in
• Analisa
• Dunia
• Ekonomi Politik
Leo Panitch
Pertama, mari kita luruskan persoalan kapitalisme - dan beserta itu karakter negara di bawah kapitalisme. Terdapat asumsi umum, barangkali sisa-sisa perang dingin, bahwa sedemikian rupa esensi kapitalisme adalah tentang pasar dan sosialisme esensinya adalah negara. Dalam kenyataannya, fungsi sentral dan historis dari negara dalam masyarakat kapitalis adalah perannya sebagai penjamin kepemilikan pribadi dan, yang terpenting bagi kelancaran beroperasinya pasar finansial, yakni bahwa negara akan selalu menghormati utang-utangnya, yaitu, pinjamannya dari bank-bank swasta.
Karena jaminan ini - janji untuk membayar dengan pemasukan pajak di masa depan - surat utang pemerintah baik yang diterbitkan untuk mendanai perang atau mendanai program kesejahteraan - merupakan bentuk pinjaman yang paling kecil resikonya. Dengan begitu, ini adalah fondasi dari peran pasar finansial dalam mempertahankan kemampuan kaum kapitalis pada umumnya dalam mengakumulasi, yakni terus berinvestasi dan meraih profit. Sentralitas negara bagi akumulasi kapitalis tentunya paling mencolok bila mengacu pada negara-negara dominan, seperti AS yang mata uangnya adalah mata uang internasional utama dan Surat Utang Departemen Bendaharanya merupakan fondasi yang mendasari semua penghitungan nilai dalam kapitalisme global; dan yang memberikan tempat bermukim dan dukungan kepada pusat-pusat utama pasar finansial internasional, seperti New York dan City of London.
Negara dan Pasar Finansial
Memahami peran negara dalam masyarakat kapitalis akan membantu kita melihat mengapa ketika pemerintah memberikan dana talangan kepada kaum kapitalis dengan uang publik, para bankir tidak memandang ini sebagai awal dari sosialisme! Sebaliknya, mereka memandang ini sebagai kewajiban yang dijalankan oleh pemerintah terhadap pasar finansial - yang mana keduanya sama-sama bergantung pada kelancaran pengoperasiannya dan mempertahankannya, dengan menyediakan basis kepercayaan dalam kredibilitas sistem perbankan.
Jadi adalah salah kaprah memandang keterlibatan pemerintah dalam bank-bank - apakah dalam pemberian dana talangan murni seperti program Paulson di AS pada awalnya, atau lewat ekuitas non-kontrol yang dilakukan oleh AS, Inggris dan beberapa pemerintah - sebagai per se suatu pergeseran menjauhi neoliberalisme. Juga tidak tepat melihat neoliberalisme sebagai penarikan peran negara dari pasar - dengan demikian keterlibatan negara saat ini sebagai kekalahan neoliberalisme. Negara di bawah neoliberalisme telah sangat aktif menggalakkan ekspansi pasar finansial besar-besaran dan memfasilitasi pertumbuhannya yang rapuh; dan menjaga sistem finansial beroperasi dari masa chaos ke masa chaos berikutnya, karena kerapuhan ini tanpa terhindarkan lagi berulang kali menimbulkan krisis finansial.
Apakah ini artinya krisis pasar finansial saat ini bukanlah peluang untuk mengangkat perdebatan dan mendesakkan alternatif? Dan di mana kita memulai?
Ini merupakan peluang karena krisis ini jelas-jelas menunjukkan apa yang secara salah-kaprah disebut "pasar bebas" telah gagal dan dipandang gagal, dan juga karena jelaslah bahwa negara telah bertanggung-jawab menggalakkan hal yang kini telah gagal, dan bahwa mereka kini harus menolong bank-bank tersebut. Dan ini mengkonsentrasikan pikiran kebanyakan orang ke problem ini: cek gaji mereka didepositokan di bank, simpanan pensiun mereka diinvestasikan di pasar modal, konsumsi mereka bergantung pada kredit bank, dan begitu pun atap di atas kepala mereka, sebagai pemilik rumah yang dibebani kredit yang berat.
Nasionalisasi: Bank sebagai Kegunaan Publik?
Bisa dicatat dari acuan ini bahwa kembali pada abad yang lalu, seiring beragam gerakan yang muncul untuk memperjuangkan hak pilih rakyat pekerja, selalu terdapat desakan untuk mengontrol sistem finansial, dan bahkan untuk meletakkan bank di bawah kepemilikan publik, mencerminkan suatu akal sehat bahwa sistem finansial harus bertanggung-jawab atau bahkan dimiliki oleh rakyat - bahwa uang harus menjadi sumber daya publik dan bank adalah kegunaan publik. Memang, sistem desakan demokratik ini bukannya tanpa hasil: beberapa regulasi yang diterapkan negara kepada sistem bank setelah krisis di masa lalu juga merupakan respon terhadap tuntutan dari bawah bahwa rakyat tidak boleh dihisap oleh para bankir.
Contohnya, nasionalisasi Bank of England dimaksudkan untuk meletakkan agen pemerintah dalam pasar finansial di bawah kontrol demokratik, tapi kenyataannya Bank of England kini bertindak di dalam pasar sebagai corong the City (pusat perbankan di London) di dalam negara, mewakili kekuasaan kapital finansial.
Pelajaran ini mulai dipahami di awal kebangkitan kiri baru (New Left) dan krisis negara kesejahteraan (welfare state) Keynesian pada tahun 1970an. Mereka mengetahui bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kontradiksi negara kesejahteraan Keynesian secara positif adalah dengan merebut sistem finansial ke tangan kontrol publik. Kaum kiri dalam Partai Buruh Inggris mampu mencantumkan kalimat dalam suatu resolusi konferensi untuk menasionalisasi bank-bank besar dan perusahaan asuransi di City of London, meskipun tanpa efek apa pun terhadap Pemerintah Partai Buruh yang menjalankan salah satu program penyesuaian struktural pertama IMF. Kita masih menanggung kekalahan dari gagasan ini. Kini proposal mereka perlu dibangun kembali dan dibuat relevan dalam kesempatan saat ini. (Contoh tertulis populer terbaik tentang ini yang terbit pada periode awal, dan masih layak dibaca saat ini, adalah karya Richard Minns, Take over the City: The case for public ownership of financial institutions, London, Pluto 1982.)
Skala krisis saat ini memberikan bukaan bagi pembaruan politik radikal yang mengedepankan alternatif sistemik terhadap kapitalisme. Adalah suatu tragedi bila tujuan yang jauh lebih ambisius daripada sekedar membuat kapital finansial lebih berhati-hati (prudent) tidak kembali muncul dalam agenda. Susah membayangkan bagaimana kita bisa serius mengkonversikan ekonomi kita agar memprioritaskan lingkungan hidup, tanpa memahami bahwa kita membutuhkan alat-alat perencanaan demokratik melalui serangkaian institusi publik baru, yang akan memungkinkan kita mengambil keputusan kolektif tentang alokasi sumber daya untuk menentukan apa yang akan kita produksi, dan bagaimana dan di mana kita memproduksi barang-barang yang dibutuhkan untuk mempertahankan kehidupan kita dan hubungan kita terhadap alam. Alasan bahwa perdagangan karbon dapat mengatasi solusi krisis iklim sudahlah buntu dan terbukti kegagalannya oleh krisis finansial ini. Ia melibatkan ketergantungan pada jenis pasar derivativ yang begitu rapuh dan secara inheren sangat memungkinkan manipulasi finansial dan keruntuhan finansial.
Dalam hal reformasi mendesak - dalam situasi di mana utang yang teraman adalah utang publik - ini harus dimulai dengan tuntutan bagi program-program yang luas dalam menyediakan layanan kolektif dan infrastruktur yang tidak hanya menjadi kompensasi bagi mereka yang mengalami atrofi (kemunduran, pen.) tapi memenuhi definisi baru dari kebutuhan dasar manusia dan menyesuaikan diri dengan tantangan ekologis saat ini.
Reformasi semacam itu akan segera berhadapan dengan batasan-batasan yang didirikan oleh reproduksi kapitalisme. Inilah mengapa adalah penting untuk mengangkat bukan sekedar regulasi finansial tapi transformasi dan demokratisasi seluruh sistem finansial. Apa yang pada kenyataannya dibutuhkan adalah merubah seluruh sistem perbankan menjadi kegunaan publik sehingga distribusi kredit dan modal dapat dilakukan sejalan dengan prioritas yang ditetapkan secara demokratik, bukannya sekedar profit jangka pendek. Ini akan harus melibatkan bukan saja kontrol kapital sehubungan dengan finansial internasional tapi juga kontrol terhadap investasi domestik, karena inti dari mengambil kontrol terhadap finansial adalah untuk mentransformasi penggunaannya yang kini dijalankan. Dan itu akan membutuhkan lebih dari ini dalam hal demokratisasi ekonomi yang lebih luas maupun negara.
Tentunya, tanpa membangun kekuatan kelas kerakyatan melalui gerakan dan partai baru ini akan jatuh di lahan kosong. Tapi yang krusial dari pembangunan kembali ini adalah untuk mengajak orang berpikir secara ambisius lagi. Sedalam apa pun krisis, sebingung dan sedemoralisasi apa pun para elit finansial di dalam dan luar negara, dan semeluas apa kemarahan rakyat terhadap mereka, ini membutuhkan kerja keras dan komitmen dari amat banyak aktivis. Kita perlu memusatkan pikiran kita kepada pertanyaan-pertanyaan yang sukar seperti: apa bentuk institusi finansial publik yang demokratik ini nantinya - dan apa tipe gerakan yang dibutuhkan untuk membangunnya.
Leo Panitch ialah penyunting The Socialist Register dan mengajar ekonomi politik di York University.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diterbitkan dalam The Bullet no 157, buletin elektronik Socialist Project, 25 November 2008.
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Respon dari Selatan terhadap Krisis Ekonomi Dunia
in
• Amerika Latin
• Analisa
• Ekonomi Politik
Konferensi Ekonomi Politik Internasional (Caracas, 8-11 Oktober 2008)
16 Oktober 2008, oleh Berbagai Penulis
Konferensi Ekonomi Politik Internasional; Respon dari Selatan terhadap Krisis Ekonomi Dunia berlangsung di Caracas, Venezuela dari 8-11 Oktober, dan diikuti oleh berbagai akademisi dan peneliti dari Argentina, Australia, Belgia, Kanada, Chile, Tiongkok, Korea Selatan, Kuba, Ekuador, Spanyol, Amerika Serikat, Filipina, Inggris, Meksiko, Peru, Uruguay, dan Venezuela.
Konferensi tersebut mempromosikan perdebatan luas tentang situasi ekonomi dan finansial di dunia saat ini, dan tentang perspektif dan tantangan baru pemerintah rakyat selatan di hadapan krisis internasional.
Situasi telah semakin parah dalam beberapa minggu terakhir. Krisis pasar finansial yang berulangkali terjadi di negeri-negeri pusat, kini dengan cepat berubah menjadi krisis internasional dengan proporsi sangat besar. Ini menempatkan negeri-negeri Selatan ke dalam posisi yang terkompromikan.
Krisis ini mengancam ekonomi riil. Bila tidak secepat mungkin diambil tindakan yang enerjetik dan efektif, ini dapat menjadi hukuman yang luar biasa bagi rakyat dunia, terutama sektor-sektor yang sudah paling rentan dan tertinggal.
Kini, kerentanan mata uang, ketakseimbangan finansial, dan resesi yang parah mengungkap mitos neoliberal tentang manfaat deregulasi pasar dan kesolidan serta kepercayaan terhadap institusi finansial yang ada, dan ini dengan serius mempertanyakan fondasi sistem kapitalis .
Berbagai kontribusi yang dipresentasikan dalam konferensi ini telah memberikan perspektif terhadap proses krisis sebagaimana berjalan sejak Agustus 2007, berikut kegagalan konsesi, paket dana talangan, dan penyuapan melalui intervensi negara di negeri-negeri kapitalis maju, langkah-langkah yang bertujuan untuk menyelamatkan sisa-sisa sistem finansial dunia yang sudah terdislokasi.
Kami mengutuk kepura-puraan yang membebankan pada pundak kami biaya paket dana talangan (bailout) finansial dalam sistem dunia kolektif, yang akan memperparah situasi kemiskinan, pengangguran, dan eksploitasi pekerja dan rakyat dunia.
Baik intervensi negara besar-besaran yang kami cermati dalam beberapa minggu terakhir yang berupaya menyelematkan entitas terdisartikulasi yang dikosongkan oleh spekulasi, maupun peningkatan utang publik secara massif bukanlah alternatif yang tepat untuk menyelesaikan krisis. Dinamika saat ini menuntut suatu putaran baru konsentrasi kapital, dan bila tidak terdapat oposisi yang kuat oleh rakyat, restrukturisasi keliru yang hanya menyelematkan sektor-sektor yang diistimewakan akan semakin jauh ditekankan.
Ini juga dapat menghadirkan kembali kecenderungan otoriter yang berbahaya dalam penjalanan fungsi kapitalisme, suatu pertanda regresif yang sudah terlihat dalam meningkatnya diskriminasi dan rasisme terhadap penduduk imigran dari negeri-negeri selatan di negeri-negeri di Utara.
Bila kita mempertahankan kebijakan restrukturisasi sistem kapitalis yang berjalan saat ini, akan terdapat begitu besar kerugian produktif dan sosial yang dapat mengancam keberlangsungan lingkungan hidup dan bahkan lebih dari itu.
Kebutuhan untuk merekonstruksi arsitektur ekonomi dan finansial internasional tidak dapat dihindarkan lagi pada saat ini. Dengan perspektif ini, kebutuhan akan saluran paska-kapitalis telah terbukti, dan Venezuela telah menamakannya Sosialisme Abad Keduapuluh-satu.
Dalam momen krisis seperti sekarang, kebijakan nasional dan regional harus memprioritaskan pembelanjaan sosial dan perlindungan sumber daya alam dan sumber daya produktif. Pemerintah harus mulai menerapkan langkah-langkah regulasi finansial mendesak untuk melindungi simpanan, menstimulasi produksi, dan memberlakukan sesegera mungkin kontrol pertukaran mata uang dan pergerakan kapital.
Dengan pertimbangan ini, akan semakin krusial-lah pembangunan komplementasi regional (regional complementation) [kerjasama penurunan tarif untuk organisasi produksi bersama yang lebih efisien antara sejumlah negeri] dan integrasi komersial yang berimbang, perbaikan kapasitas industrial, pertanian, energi, dan infrastruktur. Inisiatif seperti [Alternatif Bolivarian untuk Amerika] ALBA dan Bank Selatan harus memperluas radius aksinya dan mengkonsolidasikan perspektif mereka.
Kita harus bergerak menuju integrasi alternatif yang melibatkan mata uang bersama, sebuah arsitektur keuangan dunia yang baru yang memungkinkan masuknya negeri-negeri Selatan ke dalam pembagian kerja internasional.
Dalam konteks ini, kita harus mementingkan proposal-proposal bagi ekonomi sosial yang menggalakkan kerja-kerja yang bermartabat dan inisiatif lokal dalam menghadapi dampak krisis.
Dalam skala global, kita harus melanjutkan tuntutan kita akan reformasi mendalam terhadap sistem moneter internasional, yang berarti mempertahankan simpanan dan menyalurkan investasi menuju kebutuhan prioritas rakyat. Sistem tersebut harus meninggalkan sistem yang umumnya menguntungkan spekulasi, memperdalam kesenjangan ekonomi, dan menghukum rakyat yang paling rentan.
Dengan jalan ini, kita harus menciptakan fondasi baru bagi institusi ekonomi baru, yang memiliki otoritas untuk bertindak melawan anarki spekulasi. Intervensi negara yang menentang fundamental pasar dan melindungi keuangan rakyat yang terkena dampaknya adalah suatu keharusan.
Krisis ini telah membangkitkan kepentingan bersama rakyat-rakyat berbagai bangsa. Berangkat dari analisa ini, Konferensi Ekonomi Politik Internasional: Respon dari Selatan terhadap Krisis Ekonomi Dunia tiba pada kesimpulan berkut:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kami memulai dengan memberkan karakter situasi ekonomi internasional sebagai berikut:
Kita berada dalam situasi yang tidak ada bandingannya dalam tingkat dunia. Krisis ekonomi dan finansial telah memburuk dan lajunya sangat bertambah cepat dalam hari-hari belakangan. Perkembangannya ke depan bukan saja susah untuk diprediksi tapi juga dapat berubah secara dramatis dari hari ke hari.
Krisis ini awalnya bertititik pusat di Amerika Serikat dan pasar saham, tapi kini telah menjadi krisis dunia yang berdampak pada seluruh sistem finansial dan semakin mengkontaminasi aparatus produktif. Krisis ini memiliki dampak khusus di Eropa Timur dan Barat.
Terlepas dari harapan awal bahwa Amerka Latin memiliki baju lapis-baja dan mampu berada di luar krisis, kini terdapat indikasi yang menentukan bahwa dampaknya akan dirasakan. Tidak saja kita dapat memperkirakan kemerosotan perdagangan internasional secara berkepanjangan, tapi juga suatu kejutan (shock) finansial yang dahsyat dalam jangka pendek. Semakin internasional suatu sistem perbankan, semakin besar kerapuhannya.
Ketika kami menyusun saran-saran ini, kami sadar akan kenyataan bahwa selalu ada pihak yang menang dan kalah dalam krisis. Niat kami adalah untuk menginstitusikan langkah-langkah yang menjamin kesejahteraan dan hak-hak rakyat kami dan kolektif warga-negara, dan tidak menolong para bankir yang bertanggung-jawab terhadap krisis ini, sebagaimana yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat.
Dalam skenario baru ini, kami berpendapat bahwa rekomendasi berikut adalah keharusan dan perlu diterapkan sesegera mungkin oleh tingkat kekuasaan politik tertinggi.
Dengan tujuan ini, kita harus mempertimbangkan penyelenggaraan pertemuan tingkat-tinggi istimewa seluruh presiden Amerika Latin dan Karibia, atau setidaknya [Uni Bangsa-Bangsa Amerika Selatan] UNASUR, yang dipimpin oleh gerakan kerakyatan yang luas dari rakyat kami.
Sistem Perbankan
Menghadapi keruntuhan sistem finansial internasional, pemerintahan di wilayah ini harus secepatnya melindungi sistem perbankan dengan cara kontrol, intervensi, atau nasionalisasi tanpa ganti rugi, mengikuti prinsip konstitusi baru Ekuador yang melarang nasionalisasi utang swasta (Pasal 290 mengatakan: "nasionalisasi utang swasta adalah dilarang").
Fungsi dari tindakan ini adalah untuk mencegah pelarian modal (capital flight) ke luar negeri, pelarian mata uang, transfer aset bank ke bank asing, dan pembekuan kredit oleh bank yang tidak meminjamkan dana yang mereka terima.
Cabang-cabang luar negeri sistem perbankan dalam tiap negeri haruslah ditutup. Mereka merupakan perisai berbahaya terhadap regulasi fiskal dalam situasi ini, di mana likuiditas yang terbatas akan memprovokasi penghisapan dalam negeri-negeri pinggiran.
Akuntansi bank harus dibuka ke publik untuk memperkuat pengawasan bank dan menegakkan mekanisme regulasi ketat yang membuat situasi perbankan nasional yang riil jadi lebih transparan. Sistem ini harus berkarakter pelayanan publik, sebagai tempat penyimpanan bagi uang simpanan penduduk.
Tindakan-tindakan tersebut harus menjamin investasi nasional minimum atas aset-aset likuiditas dari sistem yang ada.
Kita harus menggalakan promosi investasi non-profit dalam pembangunan lokal pada wilayah tempat berlokasinya entitas perbankan tersebut, dengan dikelola oleh penduduk lokal.
Dalam kasus intervensi, negara harus memulihkan biaya dana talangan dengan menggunakan aset-aset bank, dan negara harus memiliki hak untuk meregulasi aset para pemegang saham dan administrator.
Arsitektur Finansial Baru
Absennya kebijakan moneter yang terkoordinasi menghasilkan perang "devaluasi kompetitif" yang memperparah krisis dan membangkitkan persaingan di antara ekonomi-ekonomi kita, sehingga merintangi respon regional yang terkoordinasi. Itu secara struktur mengancam inisiatif integrasi seperti UNASUR.
Karena itu, kita harus memberi pertanda jelas berupa kesepakatan moneter Amerika Latin yang segera membuka kemungkinan lebih banyak agar memperkuat makro-ekonomi kita.
Dengan mendefinisikan sistem pembayaran kompensasi berdasarkan sejumlah mata uang Amerika Latin, kita akan memberikan kepada tiap negeri instrumen likuiditas tambahan yang akan memungkinkan kita berdivestasi dari logika dolar dalam krisis.
Dalam konteks membangun institusi bagi penguatan ekonomi kita, kita perlu meningkatkan komunikasi di antara bank-bank sentral, mengatasi dogmatisme neo-liberal dengan pengelolaan yang lebih efisien dan menguntungkan bagi cadangan devisa kita.
Sehubungan dengan ini, pentinglah untuk memajukan proposal Dana Bersama Selatan sebagai alternatif terhadap [Dana Moneter Internasional - International Monetary Fund] IMF, yang menyediakan dana pencegahan dalam darurat fiskal.
Dengan memanfaatkan cadangan surplus tiap negeri, yang dihadirkan oleh penciptaan sumber-sumber baru bagi pinjaman, likuiditas, dan sirkulasi uang regional, dan dengan keberadaan Dana Bersama Selatan, kita akan mampu memobilisasi sumber daya untuk segera dioperasikan oleh Bank Selatan, menjamin pengelolaannya yang demokratik dan tidak mereproduksi logika kredit multilateral dan organisasi keuangan.
Bank ini harus menjadi jantung dari transformasi jaringan yang saat ini ada dalam bank-bank investasi Amerika Latin, yang diorientasikan menuju rekonstruksi aparatus produktif berdasarkan hak-hak asasi manusia yang fundamental.
Kami memahami bahwa ini semua sejalan dengan Deklarasi Menteri-Menteri di Quito pada 3 Mei 2008 yang menyatakan: "Rakyat memberikan mandat kepada pemerintahnya untuk melengkapi wilayah ini dengan instrumen integrasi dan pengembangan yang baru yang harus berdasarkan demokrasi, transparansi, partisipasi, dan tanggung-jawab terhadap para pemilih mereka."
Agar demokratik, Bank Selatan harus menjamin prinsip satu negeri satu suara.
Adalah suatu keharusan untuk meratifikasi kontrol pertukaran mata uang di negeri-negeri yang telah menerapkannya dan melakukan hal tersebut di negeri-negeri yang tidak menerapkannya, dengan tujuan melindungi cadangan dan mencegah pelarian kapital yang akan terjadi.
Dalam konteks penghentian jalur kredit yang diakibatkan oleh krisis finansial internasional, negeri-negeri di wilayah ini terpaksa mempertimbangkan penghentian pembayaran utang publik. Langkah ini bertujuan untuk dengan sementara melindungi sumber daya berdaulat yang terancam oleh krisis dan menghindari pengosongan kas negara.
Amerika Latin dan Karibia harus belajar dari apa yang terjadi di Eropa, di mana tiap negeri berupaya menyelesaikan krisis sendiri-sendiri. Ini mengharuskan kita memberdayakan mekanisme integrasi alternatif dan pembangunan wilayah.
Darurat Sosial
Kami mengusulkan pembentukan Dana Regional untuk Darurat Sosial agar dapat segera menjamin kedaulatan pangan dan energi, dan juga untuk menangani problem yang parah dalam hal migrasi dan pengurangan kiriman uang. Dana ini dapat berfungsi sebagai bagian dari Bank Selatan atau Bank ALBA.
Dengan menaati prinsip tidak membantu para bankir yang bertanggung jawab atas krisis ini, dan justru membantu rakyat kita, pembelanjaan sosial harus dipertahankan dan diantisipasi dalam anggaran publik, dan ditingkatkan di tengah-tengah dampak segera dari krisis internasional terhadap rakyat kita. Prioritasnya seharusnya adalah: Jaminan kerja, pemasukan universal, kesehatan dan pendidikan publik, dan perumahan.
Kita harus mendirikan mekanisme anti-inflasioner, termasuk kontrol harga, yang melestarikan, meningkatkan dan meredistribusi pemasukan dan kekayaan.
Institusi Finansial Internasional
Krisis finansial internasional telah menghadirkan bukti-bukti perkomplotan IMF, World Bank, dan Bank Pembangunan Antar Amerika (IADB) dengan para bankir transnasional yang telah memprovokasi keruntuhan saat ini berikut konsekuensi sosialnya yang mengerikan.
Telah jelas bahwa organisme-organisme ini telah didiskreditkan. Inilah peluang bagi negeri-negeri di wilayah ini untuk melakukan apa yang telah dicontohkan oleh Bolivia, yakni menarik diri dari [Dewan Arbitrasi Investasi Internasional] CIADI, dan melakukan apa yang telah dicontohkan Venezuela yakni menarik diri dari IMF dan World Bank, dan mulai membantu pembangunan arsitektur finansial internasional.
Kami menyerukan untuk kembali bertemu dalam Konferensi Ekonomi Politik Internasional Kedua: Respon dari Selatan terhadap Krisis Ekonomi Dunia, yang akan dilangsungkan di Caracas dalam kuartal pertama tahun 2009.
11 Oktober 2008.
Kata Pengantar "A Brief History of Neoliberalism"
in
• Analisa
• Dunia
• Ekonomi Politik
David Harvey
Pakar sejarah mungkin akan memandang tahun 1978-80 sebagai titik-balik yang revolusioner dalam sejarah sosial dan ekonomi. Pada 1978, Deng Xiaoping mengambil langkah menentukan pertama menuju liberalisasi, terhadap ekonomi yang dikuasai komunis dalam sebuah negeri yang menampung seperlima penduduk dunia. Jalan yang didefinisikan oleh Deng adalah mentransformasi Tiongkok selama dua dekade dari keterpencilan tertutup menuju pusat dinamika kapitalis yang terbuka dengan tingkat pertumbuhan tetap yang tak ada bandingannya dalam sejarah manusia. Di sisi seberang Pasifik, dan dalam keadaan yang cukup berbeda, seorang tokoh yang relatif tak dikenal (tapi kini terkenal) bernama Paul Volcker mengambil komando Cadangan Federal AS pada Juli 1979, dan dalam beberapa bulan mengubah kebijakan moneter secara dramatis. Sejak itu The Fed mengambil kepemimpinan dalam melawan inflasi tak peduli apa pun konsekuensinya (terutama yang menyangkut lapangan kerja). Di seberang Laut Atlantik, Margaret Thatcher telah dipilih menjadi Perdana Menteri Inggris pada Mei 1979, dengan mandat menekan kekuatan serikat buruh dan mengakhiri stagnasi inflasioner yang menyengsarakan dan meliputi negeri tersebut dalam dekade-dekade sebelumnya. Kemudian, pada 1980, Ronald Reagan dipilih menjadi Presiden Amerika Serikat dan, dengan bekal keramahan dan karisma pribadi, mengarahkan AS untuk merevitalisasi ekonominya dengan mendukung langkah Volcker di the Fed dan menambahkan campuran kebijakannya yang khas untuk menekan kekuatan buruh, menderegulasi industri, pertanian, dan ekstrasi sumber daya alam, dan membebaskan kekuasaan finansial, baik secara internal maupun di panggung dunia. Dari beberapa titik pusat ini, desakan yang revolusioner seakan menyebar dan bergema untuk membentuk dunia di sekitar kita menjadi suatu gambaran yang sama sekali berbeda.
Transformasi dengan jangkauan dan kedalaman seperti ini tidak terjadi tanpa disengaja. Maka pantaslah dilakukan penyelidikan tentang sarana dan jalan apa yang dipetik oleh konfigurasi ekonomi baru ini (yang sering dimasukan ke dalam istilah 'globalisasi') dari serpihan lamanya. Volcker, Reagan, Thatcher, dan Deng Xiaoping semuanya mengambil argumen kelompok minoritas yang telah lama beredar dan menjadikannya mayoritas (walau bukan tanpa pertarungan berkepanjangan). Reagan menghidupkan tradisi minoritas yang dalam Partai Republikan dapat ditelusuri hingga Barry Goldwater di awal 1960an. Deng menyaksikan arus pasang kekayaan dan pengaruh di Jepang, Taiwan, Hong Kong, Singapura, dan Korea Selatan dan berupaya memobilisasi sosialisme pasar daripada perencanaan terpusat untuk melindungi dan memajukan kepentingan negara Tiongkok. Dari bayangan yang relatif samar-samar, Volcker dan Thatcher keduanya memetik doktrin tertentu yang mengambil nama 'neoliberalisme' dan mentransformasikannya menjadi prinsip utama yang memandu pemikiran ekonomi dan manajemen. Adalah doktrin itu - beserta asal-usul, kebangkitan, dan dampaknya - yang menjadi perhatian utama saya di sini.[1]
Neoliberalisme pertama-tama adalah teori tentang praktek ekonomi politik yang meyakini bahwa kesejahteraan umat manusia dapat ditingkatkan sebaik mungkin dengan membebaskan kemerdekaan berusaha dan keahlian individu dalam kerangka institusional yang bercirikan hak milik pribadi yang kuat, pasar bebas, dan perdagangan bebas. Peran negara adalah menciptakan dan melindungi kerangka institusional yang tepat untuk praktek tersebut. Negara harus menjamin, contohnya, kualitas dan integritas uang. Ia juga harus mendirikan struktur dan fungsi militer, pertahanan, polisi dan hukum yang dibutuhkan untuk mengamankan hak milik pribadi dan menjamin, bila perlu menggunakan kekerasan, agar pasar berfungsi dengan baik. Lebih jauh lagi, bila tidak ada pasar (dalam area-area seperti tanah, air, pendidikan, layanan kesehatan, jaminan sosial, atau polusi lingkungan hidup) maka ia harus diciptakan, bila perlu menggunakan kebijakan negara. Tapi di luar tugas-tugas ini, negara tidak perlu ikut campur. Intervensi negara dalam pasar (bila dilakukan) harus dijaga seminimum mungkin karena, berdasarkan teorinya, negara tidak mungkin memiliki cukup informasi untuk memperkirakan tanda-tanda pasar (harga) dan karena berbagai kelompok kepentingan besar pasti akan mendistorsi dan mengarahkan intervensi negara (terutama dalam demokrasi) untuk keuntungan mereka.
Di mana-mana terdapat pergeseran nyata menuju neoliberalisme dalam praktek dan pemikiran ekonomi politik sejak tahun 1970an. Deregulasi, privatisasi, dan pengurangan peran negara dalam banyak area pelayanan sosial telah menjadi sangat biasa. Hampir semua negara, dari yang masih baru berdiri setelah keruntuhan Uni Soviet hingga demokrasi-demokrasi sosial gaya lama dan negara kesejahteraan seperti Selandia Baru dan Swedia, telah memeluk - sering dengan sukarela dan dalam kasus lain sebagai respon atas tekanan koersif - berbagai versi teori neoliberal serta menyesuaikan setidaknya beberapa kebijakan dan prakteknya menurut teori tersebut. Afrika Selatan paska apartheid dengan cepat memeluk neoliberalisme, dan bahkan Tiongkok kontemporer, sebagaimana akan kita lihat, tampaknya mengarah ke haluan ini. Lebih jauh lagi, para pembela jalan neoliberal kini menempati posisi-posisi yang berpengaruh besar dalam pendidikan (berbagai universitas dan banyak 'think tanks'), dalam media, dalam ruang-ruang pimpinan korporasi dan institusi finansial, dalam institusi kunci negara (departemen keungan, bank sentral), dan juga dalam institusi-institusi internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, dan Organisasi Dagang Dunia (WTO) yang meregulasi keuangan dan perdagangan global. Neoliberalisme, pendeknya, telah menjadi hegemonik sebagai mode diskursus. Dampaknya begitu luas mempengaruhi cara berpikir hingga ke titik di mana ia telah menyatu dalam pandangan-umum yang oleh sebagian besar di antara kita merupakan jalan untuk menginterpretasikan, menjalani kehidupan, dan memahami dunia.
Proses neoliberalisasi, meski demikian, telah melibatkan banyak 'penghancuran kreatif', bukan saja dalam hal kerangka institusional dan kekuasaan sebelumnya (bahkan menjadi tantangan bagi bentuk-bentuk tradisional kedaulatan negara) tapi juga dalam hal pembagian kerja, hubungan sosial, penyediaan kesejahteraan, percampuran teknologi, gaya hidup dan cara berpikir, aktivitas reproduktif, kemelekatan terhadap tanah dan pola kebiasaan. Selama neoliberalisme menilai pertukaran pasar sebagai 'suatu etika tersendiri, yang mampu berperan sebagai pemandu semua tindakan manusia, dan mensubstitusi semua keyakinan etis yang dipegang sebelumnya', ia menekankan pentingnya hubungan kontraktual dalam pasar.[2] Ia meyakini bahwa barang sosial akan termaksimalkan dengan memaksimalkan jangkauan dan frekuensi transaksi pasar, dan ia berupaya meletakkan semua tindakan manusia ke dalam wilayah kekuasaan pasar. Ini membutuhkan teknologi untuk menciptakan informasi dan kapasitas untuk mengakumulasi, mentransfer, menganalisa, dan menggunakan gudang data (databases) untuk memandu keputusan-keputusan dalam pasar global. Dari sinilah asal-usul ketertarikan neoliberalisme yang begitu intens dalam mengejar teknologi informasi (sehingga beberapa pihak memproklamirkan kemunculan jenis baru 'masyarakat informasi'). Teknologi-teknologi ini mengkompresi kepadatan transaksi pasar yang terus bertambah dalam ruang dan waktu. Mereka memproduksi suatu desakan khas dan intens yang di kesempatan lain saya sebut 'kompresi ruang-waktu'. Semakin besar jangkauan geografisnya (inilah asal usul penekanan pada 'globalisasi') dan semakin pendek jangka waktu kontraknya berarti semakin baik. Kecenderungan pada yang terakhir ini paralel dengan deskripsi terkenal oleh Lyotard tentang kondisi paska-modern sebagai kondisi di mana 'kontrak sementara' menggantikan 'institusi permanen dalam lingkup profesional, emosional, seksual, budaya, keluarga dan internasional, maupun urusan politik'. Konsekuensi budaya dari dominasi etika pasar seperti itu sangatlah besar, sebagaimana saya tunjukkan sebelumnya dalam The Condition of Postmodernity.[3]
---------
David Harvey ialah seorang Geographer ternama yang mengajar di City University of New York
Catatan Akhir
[1] S. George 'A Short History of Neoliberalism: Twenty Years of Elite Economics and Emerging Opportunities for Structural Change', in W. Bello, N. Bullard, and K. Malhotra (eds.), Global Finance: New Thinking on Regulating Capital Markets (London: Zed Books, 2000) 27-35; G. Dumenil and D Levy, Capital Resurgent: Roots of the Neoliberal Revolution (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 2004); J. Peck, 'Geography and Public Policy: Constructions of Neoliberalism', Progress in Human Geography 28/3 (2004), 392-405; J. Peck and A. Tickell, 'Neoliberalizing Space', Antipode, 34/3 (2002), 380-404; P. Treanor, 'Neoliberalism: Origins, THeory, Definition', http://web.inter.nl.net/users/Paul.Treanor/neoliberalism.html.
[2] Treanor, 'Neoliberalism'.
[3] D. Harvey, The Condition of Postmodernity (Oxford: Basil Blackwell, 1989); J.-F. Lyotard, The Postmodern Condition (Manchester: Manchester University Press, 1984), 66.
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Cuplikan Kata Pengantar dari Harvey, D; A Brief History of Neoliberalism, 2005
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
Sebuah Pengantar Tentang Ambruknya Wall Street
in
• Analisa
• Dunia
• Ekonomi Politik
Walden Bello
September 25, 2008 -- Ambruknya Wall Street tidak hanya disebabkan oleh keserakahan dan ketiadaaan regulasi pemerintah terhadap sektor yang hiperaktif. Ia berasal dari krisis produksi-berlebih (overproduction) yang telah menjangkiti kapitalisme global sejak pertengahan dekade tujuh-puluhan.
Banyak pihak di Wall Street masih berupaya mencerna peristiwa bersejarah tersebut selama sepuluh hari ini:
• + US$ 1-3 trilyun aset finansial terhapuskan
• + Wall Street secara efektif dinasionalisasi, dengan Federal Reserve dan Treasury Department membuat semua keputusan strategis besar dalam sektor finansial dan, dengan menyelematkan American International Group (AIG), pemerintahan AS kini menjalankan perusahaan asuransi terbesar di dunia.
• + Dana talangan terbesar sejak the Great Depression, dengan $700 milyar dengan putus-asa digalang untuk menyelamatkan sistem finansial global.
Penjelasan yang biasa tak lagi memadai. Peristiwa luar biasa membutuhkan penjelasan luar biasa. Tapi pertama-tama...
Apakah yang terburuk sudah berlalu?
Tidak, satu-satunya kejelasan yang terlihat dari langkah kontradiktif minggu lalu - membiarkan Lehman Brothers runtuh sementara mengambil-alih AIG, dan merekayasa pengambil-alihan Bank of America oleh Merrill Lynch - adalah tidak adanya strategi untuk menghadapi krisis; yang ada hanyalah respon-respon taktis, seperti respon pemadam kebakaran dalam suatu kebakaran besar.
Membeli sekuritas-sekuritas buruk sebesar $700 milyar yang berada di tangan bank dan berdasarkan kredit pemilikan rumah (KPR) bukanlah suatu strategi, tapi pada intinya sebuah upaya putus-asa untuk meningkatkan kepercayaan terhadap sistem yang ada, untuk mencegah erosi kepercayaan terhadap bank dan institusi finansial lainnya dan mencegah penarikan simpanan bank secara besar-besaran seperti yang memicu the Great Depression pada 1929.
Apa penyebab keruntuhan pusat syaraf kapitalisme global? Apakah keserakahan?
Keserakahan yang sudah kita kenal sejak lama memang berperan. Inilah yang dimaksudkan oleh Klaus Schwab, penyelenggara Forum Ekonomi Dunia, jambore tahunan bagi para elit global di pegunungan Alpen Swiss, ketika ia memberitahukan para kliennya di Davos awal tahun ini: "Kita harus menebus dosa-dosa kita di masa lalu."
Apakah ini kasus Wall Street memanipulasi dirinya sendiri?
Pasti. Spekulator finansial memanipulasi diri mereka sendiri dengan membuat kontrak-kontrak finansial yang semakin kompleks seperti derivatif [produk finansial turunan, pen.] yang akan memanfaatkan segala bentuk resiko menjadi sekuritas [surat berharga, pen.] dan uang - termasuk instrumen kontrak-kontrak berjangka (futures) yang dijadikan "peralihan kegagalan kredit" (credit default swaps) yang memungkinkan investor untuk melakukan taruhan terhadap kemungkinan bahwa perusahaan-perusahaan yang diberikan pinjaman oleh banknya sendiri tidak akan mampu membayar hutang-hutang mereka! Inilah perdagangan tak-teregulasi yang bervolume multitrilyun dolar dan menjatuhkan AIG.
Pada 17 Desember, 2005, ketika International Financing Review (IFR) mengumumkan Penghargaan Tahunannya untuk 2005 - salah satu program penghargaan paling bergengsi dalam industri sekuritas - ia menyatakan begini: "[Lehman Brothers] tidak hanya mempertahankan keberadaan pasarnya secara keseluruhan, tapi juga memimpin jalan menuju ruang pilihan dengan ... mengembangkan produk-produk baru dan menyesuaikan transaksi untuk memenuhi kebutuhan peminjam...Lehman Brothers adalah yang paling inovatif dalam ruang pilihan, dengan melakukan hal-hal yang tak pernah Anda lihat di mana-mana."
Tidak ada komentar.
Apakah ini karena tak adanya regulasi?
Ya, semua orang mengakui bahwa kini kapasitas Wall Street untuk berinovasi dan menciptakan instrumen-instrumen finansial yang semakin canggih telah melampaui kemampuan regulatoris pemerintah, bukan karena pemerintah tidak mampu meregulasinya namun karena sikap neoliberal, laissez-faire yang mendominasi telah mencegah pemerintah menggunakan mekanisme efektif untuk meregulasinya.
Tapi bukankah ada sesuatu lebih besar yang terjadi? Sesuatu yang sistemik?
Ya, George Soros, yang telah memperkirakan ini, mengatakan bahwa yang sedang kita lalui adalah krisis sistem finansial, krisis "sistem sirkulasi raksasa" dari "sistem kapitalis global yang ... semakin hancur lebur."
Untuk mengelaborasikan keterangan sang spekulator-besar ini, apa yang kita saksikan adalah intensifikasi dari suatu krisis sentral atau kontradiksi kapitalisme global yakni krisis produksi-berlebih yang juga dikenal sebagai akumulasi-berlebih atau kapasitas-berlebih.
Inilah kecenderungan kapitalisme untuk membangun kapasitas produktif yang sangat besar sehingga melampaui kapasitas konsumsi penduduk akibat ketimpangan sosial yang membatasi daya beli rakyat, sehingga mengikis keuntungan.
Tapi apa hubungan krisis produksi-berlebih dengan peristiwa baru-baru ini?
Banyak. Tapi untuk memahami hubungan tersebut, kita harus kembali ke masa yang dikenal sebagai "jaman keemasan" kapitalisme kontemporer, periode dari 1945 hingga 1975.
Ini adalah periode pertumbuhan pesat baik di ekonomi pusat dan di ekonomi kurang berkembang - yang sebagian dipicu oleh rekonstruksi massif di Eropa dan Asia Timur setelah kehancuran akibat Perang Dunia Kedua, dan sebagian oleh tatanan sosio-ekonomi yang diinstitusionalisasikan di bawah negara Keynesian yang baru. Yang menjadi kunci dalam hal yang terakhir adalah kendali kuat negara atas aktivitas pasar, penggunaan kebijakan fiskal dan moneter yang agresif untuk meminimalkan inflasi dan resesi, dan sebuah rejim dengan tingkat upah yang relatif tinggi untuk menstimulasi dan mempertahankan permintaan.
Jadi apa yang salah?
Ya, periode pertumbuhan tinggi ini berakhir di akhir pertengahan tujuhpuluhan, ketika ekonomi-ekonomi pusat menderita stagflasi, dalam arti ko-eksistensi antara pertumbuhan yang rendah dengan inflasi yang tinggi, yang seharusnya tak terjadi di bawah ekonomi neoklasik.
Namun demikian, stagflasi hanyalah gejala dari penyebab yang lebih mendalam: rekonstruksi Jerman dan Jepang dan pesatnya pertumbuhan ekonomi-ekonomi yang menjalankan industrialisasi seperti Brasil, Taiwan dan Korea Selatan menambah kapasitas produktif baru yang sangat besar dan meningkatkan kompetisi global, sementara kesenjangan sosial di dalam negeri dan antar negeri secara global membatasi pertumbuhan daya beli dan permintaan, sehingga mengikis keuntungan. Ini diperparah dengan kenaikan harga minyak yang massif di tahun tujuh-puluhan
Bagaimana kapitalisme mencoba mengatasi krisis produksi-berlebih?
Kapital mencoba menempuh tiga jalan keluar dari teka-teki produksi-berlebih: restrukturisasi neoliberal, globalisasi dan finansialisasi.
Apa itu restrukturisasi neoliberal
Restrukturisasi neoliberal mengambil bentuk Reaganisme dan Thatcherisme di Utara dan penyesuaian struktural di Selatan. Tujuannya adalah menggalakkan akumulasi kapital, dan ini dilakukan dengan 1) menghapuskan hambatan-hambatan yang didirikan negara terhadap pertumbuhan, penggunaan dan arus kapital dan kekayaan; dan 2) meredistribusikan penghasilan dari kaum miskin dan kelas menengah kepada kaum kaya dengan teori bahwa kaum kaya akan kemudian termotivasi untuk berinvestasi dan memicu kembali pertumbuhan ekonomi.
Yang menjadi problem dari formula ini adalah dengan meredistribusikan penghasilan kaum kaya, Anda mengeruk penghasilan kaum miskin dan kelas menengah, sehingga membatasi permintaan, sementara kaum kaya tidak selalu terdorong untuk berinvestasi lebih banyak dalam produksi.
Kenyataannya, restrukturisasi neoliberal yang menjadi umum di Utara dan Selatan selama dekade delapanpuluhan dan sembilanpuluhan, memiliki catatan yang buruk dalam hal pertumbuhan: pertumbuhan global rata-rata 1,1 persen pada tahun sembilan-puluhan dan 1,4 persen di tahun delapan-puluhan, sementara rata-rata tahun 1960an adalah 3,5 persen dan tahun 1970an 2,4 persen, ketika kebijakan intervensionis negara masih dominan. Restrukturisasi neoliberal tidak dapat menghilangkan stagnasi.
Bagaimana globalisasi bisa menjadi jawaban terhadap krisis?
Jalan keluar kapital global yang kedua untuk melawan stagnasi adalah "akumulasi ekstensif" atau globalisasi, atau integrasi pesat wilayah-wilayah semi-kapitalis, non-kapitalis atau pra-kapitalis ke dalam ekonomi pasar global. Rosa Luxemburg, ekonom revolusioner Jerman yang terkenal, melihat hal ini jauh di masa lalu sebagai suatu keharusan untuk menaikkan tingkat profit (rate of profit) di ekonomi-ekonomi metropolitan. Bagaimana? Dengan membuka akses terhadap buruh murah; dengan memperoleh pasar-pasar yang baru, meskipun terbatas; dengan memperoleh sumber-sumber produk pertanian dan bahan baku yang baru, dan dengan menciptakan wilayah-wilayah baru untuk investasi di bidang infrastruktur. Integrasi dijalankan via liberalisasi perdagangan, dengan menyingkirkan halangan-halangan terhadap mobilitas kapital global dan menghapuskan halangan terhadap investasi asing.
Tiongkok, tentunya, adalah kasus terdepan tentang wilayah non-kapitalis yang terintegrasikan ke dalam ekonomi kapitalis global selama 25 tahun terakhir.
Untuk melawan penurunan profit, sejumlah besar dari 500 perusahaan Fortune telah memindahkan sebagian besar operasinya ke Tiongkok untuk mengambil keuntungan dari apa yang disebut sebagai "Harga Tiongkok" - yakni keuntungan biaya yang didapatkan dari buruh murah di Tiongkok yang seakan tak ada habisnya. Pada pertengahan dekade pertama abad ke-21, kira-kira 40 hingga 50 persen keuntungan korporasi AS berasal dari operasi dan penjualan mereka di luar negeri, terutama Tiongkok.
Mengapa globalisasi tidak menuntaskan krisis?
Problem dari jalan keluar stagnasi yang satu ini adalah ia memperparah problem produksi-berlebih karena menambah kapasitas produktif. Besar sekali peningkatan jumlah kapasitas manufaktur Tiongkok dalam 25 tahun terakhir, dan ini menyebabkan dampak yang menekan harga dan keuntungan. Tidaklah mengejutkan ketika sekitar 1997 keuntungan korporasi-korporasi AS berhenti berkembang. Menurut sebuah indeks, tingkat keuntungan 500 perusahaan Fortune menurun dari 7.15 pada 1960-69 menjadi 5,30 pada 1980-90 hingga 2,29 pada 1990-99 dan 1,32 pada 2000-2002.
Bagaimana dengan finansialisasi?
Karena terbatasnya kemajuan yang didapat dalam melawan dampak depresif produksi-berlebih via restrukturisasi neoliberal dan globalisasi, jalan keluar ketiga menjadi sangat kritis untuk mempertahankan dan meningkatkan keuntungan: finansialisasi.
Dalam dunia ekonomi neoklasik yang ideal, sistem finansial adalah mekanisme di mana pihak yang menyimpan atau mereka yang memiliki dana surplus bergabung dengan para pengusaha yang membutuhkan dana untuk diinvestasikan dalam produksi. Dalam dunia kapitalisme akhir yang sesungguhnya, dengan tingkat profit yang rendah dalam investasi industri dan pertanian akibat kapasitas berlebih, sejumlah besar dana surplus bersirkulasi dan diinvestasikan terus menerus dalam sektor finansial - dengan demikian sektor finansial memutar dirinya sendiri.
Akibatnya adalah pemisahan (bifurkasi) yang semakin mendalam antara ekonomi finansial yang hiperaktif dan ekonomi sesungguhnya yang stagnan. Sebagaimana dicatat oleh seorang eksekutif finansial, "terdapat hubungan yang terputus antara ekonomi riil dan finansial dalam beberapa tahun terakhir. Ekonomi yang riil berkembang ... tapi tidak ada apa-apanya dibandingkan ekonomi finansial - hingga ia kemudian meletus."
Yang tidak diceritakan oleh pengamat ini adalah hubungan yang terputus antara ekonomi riil dan finansial bukanlah suatu kesalahan - sehingga ekonomi finansial meledak tepatnya untuk menyesuaikan diri dengan stagnansi yang diakibatkan oleh produksi-berlebih dalam ekonomi riil.
Apa problem dari finansialisasi sebagai jalan keluar?
Problem dari investasi dalam operasi sektor finansial adalah hal itu sepadan dengan memeras nilai dari nilai yang telah diciptakan. Ia mungkin menciptakan keuntungan, ya, tapi ia tidak menciptakan nilai baru - hanya industri, pertanian, perdagangan dan jasa yang menciptakan nilai baru. Karena keuntungan tidak didasarkan atas nilai yang diciptakan, operasi investasi dapat menjadi sangat rentan dan harga-harga saham, surat hutang, dan bentuk investasi lainnya dapat dengan sangat radikal menjauhi nilai riilnya - contohnya, saham untuk memulai perusahaan Internet (startups) yang nilainya terus meningkat karena didorong terutamanya oleh penilaian finansial yang meroket, dan kemudian jatuh. Dengan begitu, profit bergantung dari pengambilan keuntungan terhadap harga yang menanjak menjauhi nilai komoditasnya, kemudian penjualan dalam kenyataannya akan memaksakan 'koreksi', yakni kejatuhan kembali ke nilai riil. Peningkatan harga aset yang secara radikal menjauhi nilai aslinya adalah apa yang disebut dengan pembentukan gelembung.
Kenapa finansialisasi begitu rapuh?
Karena keuntungan sangat bergantung pada aksi-aksi spekulatif, maka tidaklah mengejutkan bila sektor finansial hinggap dari satu gelembung ke gelembung lainnya, atau dari satu mania spekulatif ke mania lainnya. Karena dikendalikan oleh mania spekulatif, kapitalisme yang dikendalikan finansial mengalami serangkaian krisis finansial sejak pasar modal dideregulasi dan diliberalisasi pada tahun 1980an.
Sebelum kejatuhan Wall Street saat ini, peristiwa paling eksplosif semacam ini adalah krisis finansial Meksiko pada 1994-95, krisis finansial Asia 1997-1998, krisis finansial Rusia 1996, keruntuhan pasar modal Wall Street pada 2001 dan keruntuhan finansial Argentina pada 2002.
Sekretaris Bendahara Bill Clinton yang juga seorang pelaku di Wall Street, Robert Rubin, memprediksi lima tahun yang lalu bahwa "krisis finansial di masa depan hampir pasti tidak dapat dihindari dan bahkan bisa lebih parah".
Bagaimana gelembung terbentuk, membesar dan meletus?
Sebagai contoh, marilah kita ambil krisis finansial Asia 1997-1998.
• + Pertama, liberalisasi rekening modal dan finansial atas desakan IMF dan Dept Bendahara AS;
• + Kemudian, masuknya dana asing yang mencari keuntungan yang cepat dan tinggi, yang artinya mereka memasuki real estate dan pasar modal;
• + Investasi berlebih, menyebabkan jatuhnya saham dan harga real estate, menyebabkan penarikan dana yang panik - pada 1997, $100 milyar meninggalkan ekonomi Asia Timur dalam waktu beberapa minggu;
• + Spekulator asing mendapat dana talangan (bailout) oleh IMF;
• + Keruntuhan ekonomi riil - resesi di seluruh Asia Timur pada 1998;
• + Meskipun terdapat destabilisasi secara massal, upaya untuk menerapkan regulasi sistem finansial nasional dan global ditolak atas alasan ideologis.
Marilah kembali ke gelembung saat ini. Bagaimana itu terbentuk?
Keruntuhan Wall Street saat ini berakar dari gelembung teknologi di akhir 1990an, ketika meroketnya harga saham untuk memulai perusahaan internet, kemudian runtuh, menyebabkan kerugian aset senilai $7 trilyun dan resesi tahun 2001-2002.
Kebijakan uang longgar (loose money policies) oleh Fed di bawah Alan Greenspan telah mendorong gelembung teknologi. Dan ketika itu runtuh menjadi resesi, Greenspan pada bulan Juni 2003 memotong tingkat prima menjadi 1 persen - tingkat terendah selama 45 tahun - dan mempertahankannya selama satu tahun untuk menghindari resesi yang panjang. Ini berdampak mendorong gelembung lainnya - gelembung real estate.
Sudah sejak 2002, pakar ekonomi progresif seperti Dean Baker dari Pusat Riset Kebijakan Ekonomi (Center for Economic Policy Research) telah memperingatkan tentang gelembung real estate. Namun, sudah sejak 2005, Ben Bernanke, yang saat itu menjabat sebagai ketua Dewan Penasehat Ekonomi dan kini ketua Pimpinan Cadangan Federal menghubungkan kenaikkan harga perumahan di AS sebagai "dasar-dasar ekonomik yang kuat" (strong economic fundamentals) bukannya aktivitas spekulatif. Apakah mengherankan bila ia benar-benar tidak siap ketika Krisis Subprima pecah pada musim panas 2007?
Dan bagaimana itu membesar?
Mari kita dengar sendiri dari pelaku pasar yang terkemuka, George Soros: "Institusi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) mendorong pemegang KPR untuk mendanai kembali kredit mereka dan menarik kelebihan saham mereka. Mereka menurunkan standar peminjaman dan memperkenalkan produk-produk baru, seperti KPR yang dapat disesuaikan (adjustable rate mortgages - ARMs), KPR "hanya suku bunga", dan tingkat suku bunga rendah untuk promosi. Ini memarakkan spekulasi pada unit-unit perumahan residensial. Harga rumah mulai menanjak hingga laju dua digit. Ini berakibat memperkuat spekulasi, dan kenaikan harga rumah membuat pemiliknya merasa berpunya; akibatnya adalah ledakan konsumsi yang telah mempertahankan ekonomi ini dalam beberapa tahun terakhir."
Dengan melihat prosesnya secara lebih seksama, krisis KPR sub-prima bukanlah kasus persediaan melebihi permintaan riil. "Permintaannya" sebagian besar direkayasa oleh mania spekulatif di pihak pengembang dan pemberi dana (financiers) yang hendak membuat profit besar dari akses mereka terhadap uang dari luar negeri yang membanjiri AS dalam dekade terakhir. Tiket KPR bernilai besar secara agresif dijual kepada jutaan orang yang biasanya tak mampu membelinya, dengan menawarkan tingkat suku bunga "menarik" yang kemudian dapat disesuaikan untuk meningkatkan pembayaran oleh pemilik rumah baru.
Tapi bagaimana KPR sub-prima yang membusuk berubah menjadi problem besar seperti sekarang ini?
Karena aset-aset ini kemudian "disekuritaskan" (securitised) dengan aset-aset lain menjadi produk-produk derivatif yang kompleks disebut "obligasi beragun aset" (collateralised debt obligations - CDOs) oleh pihak yang menerbitkan KPR, yang bekerja dengan beragam lapis perantara yang meremehkan resikonya agar bisa melepaskannya secepat mungkin ke bank lainnya dan investor institusional. Institusi-institusi ini kemudian melepas sekuritas ini ke bank-bank lain dan institusi finansial asing lainnya.
Ketika diterapkan peningkatan suku bunga terhadap pinjaman sub-prima, KPR yang dapat disesuaikan, dan pinjaman perumahan lainnya, maka permainan pun berakhir. Soros mengestimasikan terdapat sekitar enam juta KPR sub-prima yang tidak dilunasi, 40 persen di antaranya sepertinya akan dihapus (default) dalam dua tahun ke depan. Dan dalam beberapa tahun ke depan akan terjadi penghapusan terhadap lima juta KPR yang dapat disesuaikan dan "pinjaman fleksibel" lainnya. Tapi sekuritas, yang nilainya mencapai trilyunan dolar, terlanjur disuntikkan seperti virus ke dalam sistem finansial global. Sistem sirkulasi raksasa kapitalisme global telah begitu terjangkiti olehnya sehingga efeknya mematikan.
Tapi bagaimana bisa para raksasa Wall Street beruntuhan seperti rumah kartu?
Bagi Lehman Brothers, Merrill Lynch, Fannie Mae, Freddie Mac dan Bear Stearns, kerugian yang diwakili oleh sekuritas-sekuritas beracun ini pada dasarnya menghancurkan cadangan mereka dan memperpuruk posisi mereka. Dan sepertinya akan lebih banyak perusahaan yang terpuruk ketika pembukuan mereka (karena banyak dari kepemilikan ini dicatat "di luar neraca pembukuan") dikoreksi untuk mencerminkan kepemilikan aset mereka yang sesungguhnya. Dan akan banyak lagi lainnya yang bergabung dengan melumpuhnya operasi spekulatif lainnya seperti kartu kredit dan berbagai macam asuransi resiko (risk insurance). American International Group (AIG) jatuh akibat keterlibatannya secara langsung dalam wilayah yang tak diregulasi: peralihan kegagalan kredit (credit default swaps), derivatif yang memungkinkan investor untuk melakukan taruhan pada kemungkinan bahwa suatu perusahaan akan gagal dalam membayar pinjamannya. Taruhan terhadap penghapusan kredit seperti itu kini menjadi suatu pasar tersendiri yang seluruhnya tak diregulasi dan mencapai volume $45 trilyun. Itu sebanding dengan lima kali lipat total volume pasar surat-hutang pemerintah AS. Begitu besarnya asset yang akan hancur bila AIG runtuh sehingga Washington berubah pikiran untuk menyelamatkannya setelah membiarkan Lehman Brothers runtuh.
Apa yang akan terjadi sekarang?
Kita bisa cukup pasti menyatakan bahwa akan ada lebih banyak kebangkrutan dan pengambil-alihan oleh pemerintah, dengan bank-bank dan institusi asing menyusul rekan-rekannya di AS; bahwa keruntuhan Wall Street akan semakin dalam dan memperpanjang resesi AS; dan bahwa di Asia dan wilayah lainnya, resesi AS akan diterjemahkan menjadi resesi, atau bahkan lebih buruk lagi. Alasan bagi yang terakhir adalah pasar asing utama bagi Tiongkok adalah AS dan sebaliknya Tiongkok mengimpor bahan baku dan barang setengah jadi yang digunakannya untuk ekspor ke AS dari Jepang, Korea dan Asia Tenggara. Globalisasi telah membuat 'keterpisahan ekonomi' (decoupling) tidak dimungkinkan lagi. AS, Tiongkok dan Asia Timur seperti tiga tahanan yang saling terikat oleh rantai pengekang.
Singkatnya...?
Kejatuhan Wall Street tidak saja disebabkan oleh keserakahan dan absennya regulasi pemerintah terhadap sektor yang hiperaktif. Keruntuhan Wall Street pada akhirnya bersumber dari krisis produksi-berlebih yang menjangkiti kapitalisme global sejak pertengahan tahun tujuh-puluhan.
Finansialisasi aktivitas investasi telah menjadi salah satu jalan keluar dari stagnasi, dua lainnya adalah restrukturisasi neoliberal dan globalisasi. Dengan terbatasnya pertolongan yang diberikan oleh restrukturisasi neoliberal dan globalisasi, finansialisasi menjadi diminati sebagai mekanisme untuk menggenjot keuntungan. Tapi finansialisasi terbukti merupakan jalan yang berbahaya, yang menyebabkan gelembung spekulatif yang berujung pada kekayaan sementara bagi segelintir pihak tapi yang pada akhirnya akan berakhir pada keruntuhan korporasi dan resesi dalam ekonomi riil.
Yang menjadi pertanyaan kunci adalah: Seberapa dalam dan panjang resesi ini jadinya? Apakah ekonomi AS membutuhkan gelembung spekulatif lain lagi untuk menyeretnya keluar dari resesi ini. Dan bila demikian, kapankah gelembung berikutnya terbentuk? Beberapa orang mengatakan bahwa kompleks industrial-militer atau "kompleks kapitalisme bencana" (disaster capitalism complex) yang dituliskan oleh Naomi Klein merupakan gelembung berikutnya, tapi itu cerita lain lagi.
[Walden Bello, tergabung dalam Transnational Institute, adalah professor sosiologi di Universitas Filipina, presiden dari Freedom from Debt Coalition and analis senior di Focus on the Global South.]
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari Links; International Journal of Socialist Renewal
Diterjemahkan oleh NEFOS.org
Faktor Kirchner
in
• Analisa
• Argentina
• Demokrasi
Andres Gaudin
Ketika pada bulan Mei 2003 Nestor Kirchner memenangkan kursi kepresidenan di Argentina dengan suara hanya sebesar 22%, tak banyak orang membayangkan bahwa tingkat pengakuannya (approval rating) akan mencapai 90% dalam hanya beberapa minggu kemudian, jauh lebih sedikit dukungan seperti itu bertahan. Setelah hampir 20 bulan menjabat, ia berhasil mempertahankan dukungan rakyat yang besarnya merupakan suatu rekor tersendiri. Selama menjabat, Kirchner telah menyalurkan spektrum luas protes rakyat untuk keuntungannya; ia telah mempertahankan panji sebagai politikus progresif dan ia telah berhasil menetralisir oposisi yang keras kepala di antara orang-orang lama di partainya, Partai Justicialista (PJ) yang Peronis. Ia juga mengandalkan posisi mayoritas partainya di kedua rumah Kongres. Sebagai testamen popularitas Kirchner, mayoritas kepemimpinan partainya yakin akan kepastian terpilih kembalinya ia dan oleh karena itu memberikan dukungan, meskipun kontesnya masih hampir dua tahun lagi.
Kirchner memenangkan kursi kepresidenan setelah tiga masa jabatan berturut-turut sebagai gubernur provinsi selatan Santa Cruz, distrik elektoral kedua terkecil di negeri itu yang hanya menyumbangkan 1% jumlah suara dalam pemilu nasional. Meskipun ia tidak begitu terkenal di tingkat nasional, pencalonannya diuntungkan oleh perpecahan internal dalam partai – untuk pertama kali dalam sejarah, PJ mengajukan lebih dari satu calon. Dukungan Presiden Eduardo Duhalde yang saat itu menjabat sebagai interim juga membantu Kirchner. Duhalde menginginkan agar kaum Peronis mengajukan seorang politikus baru, yang tak berpengaruh kuat di dalam partai dan tanpa basis elektoral, dan yang akan menuruti perintah-perintahnya, sehingga memungkinkannya menjadi kekuatan riil di balik tahta. Yang juga memotivasi sang Presiden interim adalah keinginan kuatnya untuk mencegah Presiden ultra-neoliberal yang telah menjabat dua masa jabatan, Carlos Menem (1989-99), mengambil kembali kursi kepresidenan. Duhalde dan Menem sejak dulu hingga kini tetap menjadi antagonis yang tak terdamaikan yang dengan sengit mengincar kepemimpinan partai. Jadi, dukungan Duhalde terhadap Kirchner pada dasarnya berdasarkan kepentingan sementara. Sesungguhnya, mereka tak pernah memiliki hubungan politik yang saling mempercayai, dan telah saling berdebat sengit di dalam PJ mengenai isu-isu kunci – privatisasi BUMN, contohnya.
Untuk memperoleh ruang gerak (maneuverability) dalam menjalankan langkah-langkah independen dalam konteks yang demikian partisan, Kirchner berinisiatif menciptakan basis dukungannya sendiri. Terbagi-bagi menjadi faksi-faksi, PJ tak memiliki ruang untuk seorang caudillo (orang kuat, pen.) lagi. Pilihan di luar PJ menyertakan kelompok dan partai yang menjalankan politik dari spektrum kanan hingga kiri. Dengan kemenangan elektoralnya yang tipis dan dukungan Duhalde yang bersyarat, Kirchner melakukan pendekatan terhadap beragam sektor masyarakat yang merasa tak diwakili oleh semua partai yang ada.
Menurut sekretaris persnya, Kirchner dan istrinya, Senator Cristina Fernandez – juga salah seorang penasehat politik utama Presiden – secara pribadi mengakui bahwa hanya dengan memenangkan simpati sektor-sektor sosial yang tak dicemari kebejatan partai-partai besar maka mereka akan mampu menghadapi kaum kanan. “Kaum kanan” yang mereka maksud adalah Menem dan Ricardo Lopez Murphy dari Partai Re-kreasi yang sama-sama neoliberal. Pada pemilu April 2003 di mana Kirchner hanya mengumpulkan 22% suara, Menem mendapat 24,4% dan Lopez Murphy 16,3%. Dengan semakin dekatnya pemilu susulan antara Menem dan Kirchner, kekalahan Menem semakin dipastikan. Ia mengundurkan diri dari persaingan itu di tengah dirinya yang semakin terisolasi dari PJ dan rangkaian investigasi korupsi terhadap pemerintahan sebelumnya.
Kirchner tak membuang waktu. Sebelum memulai konfrontasi verbalnya dengan International Monetary Fund dan kreditor swasta tentang pembayaran hutang yang berjumlah lebih dari $165 milyar, ia berinisiatif menggalang dukungan dengan menguasai sektor-sektor sosial yang terbengkalai. Ia bertemu muka dengan kelompok-kelompok HAM, menjadikannya presiden pertama selama dua dekade demokrasi yang melakukan hal tersebut. Ia menyatakan tidak dapat diterapkannya batasan hukuman terhadap kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa kediktatoran militer yang terakhir (1976-83) dan mengubah sebuah bangunan yang simbolik akan masa kediktatoran menjadi Museum Memori.
Dalam gerakan buruh ia berfokus pada Sentral Buruh Argentina (CTA) yang independen. CTA merupakan kelompok yang menarik karena berseteru dengan Konfederasi Buruh Umum (CGT) yang secara historik bertindak sebagai tangan serikat buruh Peronisme. Kirchner menjanjikan CTA bahwa ia akan menerapkan Konvensi 87 dari International Labor Organization, yang menjamin kebebasan berkelompok dan hak untuk mengorganisir. Pada intinya, ini akan secara resmi memungkinkan CTA yang independen untuk menegosiasikan upah yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik pada tingkat yang setara dengan CGT.
Ia menarik kaum progresif dan intelektual dengan menghentikan kenaikan biaya pelayanan umum yang diprivatisasi pada tahun 1990an, dan dengan menghentikan hak-hak istimewa yang dinikmati perusahaan air minum dan kereta api sejak masa Menem. Tindakan lain dalam sektor ini termasuk menghentikan konsesi Sistem Pos Argentina untuk secara efektif mengembalikannya ke kekuasaan negara, dan pembentukan perusahaan pemegang saham yang dijalankan negara di bidang penerbangan dan energi. Upaya awal Kirchner yang paling populer adalah renovasi mendalam terhadap sistem kejaksaan dan, khususnya, Mahkamah Agung, yang selalu menjadi sumber korupsi dalam pemerintahan Menem.
Terhadap majelis-majelis kerakyatan yang lahir dari krisis 2001 dan kaum piquetero (gerakan pengangguran yang terorganisir, pen.) yang lebih militan dan petarung, Kirchner mengambil taktik melindungi mereka sambil menantikan disintegrasinya secara alamiah; ia secara tegas menentang tindakan-tindakan kekerasan terhadap aksi-aksi piquetero.
Majelis-majelis rakyat yang menguasai pojok-pojok jalanan dan ruang-ruang publik lainnya terutama di Buenos Aires setelah krisis Desember 2001 sudah memudar ketika Kirchner menjabat. Mereka adalah “korban” dari asal usul kelas menengah mereka dan terkooptasi oleh kelompok-kelompok Trotskyis – terutama Partai Peburuh – yang militansinya, meskipun jumlahnya kecil, telah mengisolasi majelis-majelis itu dari masyarakat lainnya. Filsuf Ricardo Forster meyakini bahwa majelis-majelis tersebut dan kerusuhan 2001 “haurs diinterpretasikan seperti Mei 1968 di Perancis. Kelihatannya mereka kalah, mereka terkalahkan, tapi di bawah itu mereka menciptakan sesuatu yang tak dapat dibalikkan lagi.” Forster menambahkan, “Bila aksi-aksi protes tahun 2001 tidak berhasil menggebrak partai-partai politik – tujuan ini dinyatakan dalam diskursus mereka – setidaknya mereka berhasil menciptakan suatu lingkungan programatik budaya-politik yang berbeda....Mereka menciptakan suatu sensitivitas yang berbeda.”
Aktivisme sosial yang mengalir sejak kerusuhan Desember 2001 ini menyebabkan kelompok-kelompok kelas menengah - yang berjuang mendapatkan akses ke rekening bank mereka yang dibekukan – sementara waktu bersimpati dengan gerakan piquetero. Pada awal 2002, contohnya, para anggota majelis rakyat mengekspresikan solidaritasnya dengan para piqueteros dan menyambut mereka sebagai pahlawan ketika mereka hendak memasuki kota Buenos Aires. Saat itu musim panas benar-benar sangat terik dan anggota-anggota majelis menyambut para piqueteros dengan roti sandwich dan makanan ringan. Mereka bahkan mengibarkan bendera dan menabur kertas warna warni (confetti) dari balkon ketika para piqueteros berbaris. Tapi ketika para piqueteros meneruskan aksi-aksi mereka yang memblokade jalanan dan jalan raya, mereka pun kehilangan restu kelas menengah, yang secara historik condong ke kanan. Kenyataannya, kelas menengah mulai menyerukan represi terhadap piqueteros karena telah merubah ritme kehidupan sehari-hari mereka dengan blokade-blokade.
Kelompok-kelompok piqutero juga mulai terfragmentasi karena upaya-upaya kelompok sayap kiri dalam mengkapitulasi gerakan, sehingga menyebabkan perpecahan internal. Dan platform tuntutan mereka terus menerus berubah: satu hari mereka menuntut subsidi, di kemudian harinya mereka menuntut benih untuk kebun-kebun komunitas atau perlengkapan sekolah untuk anak-anak mereka. Ketika mulai muncul ketidak-toleransian kelas menengah terhadap aktivisme kelas bawah, Kirchner menolak tuntutan untuk meresponnya secara agresif. Ia berkeyakinan bahwa piqueteros memiliki keluhan-keluhan yang sah dan ia melindungi hak protes mereka hingga mereka kelelahan sendiri dan melemah. Ia dengan jitu bertaruh bahwa mereka pada akhirnya akan terfragmentasi, dan kini beberapa kelompok pecahan mereka merupakan sekutu penting pemerintahannya.
Piqueteros lahir pada tahun 1990an di tengah-tengah pedalaman negeri itu, sebagai produk pengangguran massal yang diciptakan oleh fleksibilitas tenaga kerja dari perusahaan-perusahaan negara yang baru diprivatisasi - terutama industri petroleum. Secara perlahan piqueteros menjadi fenomena perkotaan. Kini piqueteros kebanyakan tidak dapat lagi ditemukan di pedalaman negeri; mereka hampir seluruhnya bertempat di Buenos Aires dan daerah sekitarnya. Sepertinya halnya majelis-majelis, mereka menjadi korban dari partai-partai kecil yang berakar trotskyis, yang menyebabkan mereka teratomisasi. Karena kini terdapat lebih dari 30 kelompok piqueteros mengarahkan aksi-aksi protes, mobilisasi pun semakin banyak, namun kekuatan mereka melemah dan mereka semakin tidak populer, terutama di benak para portenos (warga Buenos Aires) yang merasa tak nyaman.
Yang paling aktif dan didiskreditkan di antara kelompok-kelompok ini adalah Gerakan Independen Pekerja Pengangguran dan Pensiunan pimpinan Raul Castells, yang kini dalam masa hukuman percobaan (on parole) setelah baru-baru ini menghabiskan waktu dua bulan di penjara. Ia dikenai tuduhan pemerasan yang melibatkan pemilik kasino di suatu provinsi di utara, Chaco. Saat ditahan, ia pertama-tama berterimakasih pada Lopez Murphy dan Menem atas solidaritas yang disampaikan mereka saat ia ditahan, dan kemudian (seolah-olah pengadilan masih jadi kaki tangan kekuasaan politik) ia berkata dengan marah: "Kediktatoran militer masih lebih jujur dari Kirchner. Kalau pun mereka tidak membunuh tahanan, setidaknya mereka memberitahukanmu bahwa kamu ditahan karena mereka tidak suka dengan pemikiranmu. Tapi Kirchner tak mau mengakui bahwa ia menahanku karena tidak menyukai pemikiranku." Kelompok-kelompok HAM bersama-sama mengecam komentarnya itu, demikian pula beberapa tokoh nasional yang dihormati termasuk Adolfo Perez Esquivel, pemenang Nobel Perdamaian tahun 1980 dari Argentina. Beragam kelompok masyarakat sipil mengeluarkan pernyataan bersama. "Pemerintah yang meraih kekuasaan secara tak sah tidak ada yg lebih baik dari pemerintahan yang dipilih oleh rakyatnya....Castell akhirnya membuka keyakinan politiknya dan masyarakat kini tahu apa yang dapat diharapkan darinya," demikian kesimpulan dokumen tersebut.
Kirchner tak perlu merespon tuduhan Castell. Kelompok-kelompok piquetero adalah yang pertama membela Presiden, dengan menyebut Castell sebagai "pengkhianat." Jorge Cevallos, yang memimpin kelompok piquetero Pemukiman di Atas Kaki Sendiri, bahkan mempertanyakan, "Siapa di belakang Castell? Siapa yang membayarnya untuk mencoba mendestabilisasi pemerintahan?"
Daya tarik Kirchner yang luas membuat beberapa analis bertanya-tanya apakah ia hendak mengambil jarak dengan PJ, atau mungkin membangun partainya sendiri. Tapi ia tak pernah mengatakan berencana meninggalkan Peronisme. Walaupun ia merupakan Peronis pada umumnya, ia tidak terikat pada institusi partai atau dongeng-dongeng rakyatnya. Tapi ia pun tidak mengindikasikan bahwa ia mengejar proyek ambisius dengan membangun basis politiknya sendiri. Meski begitu, corong-corong media menciptakan suatu istilah untuk menggambarkan pendekatannya kepada sektor-sektor sosial yang paling dinamik. Mereka meyakini bahwa Presiden berniat mengkonsolidasikan suatu gerakan yang "melintasi" (transverses) semua sektor masyarakat; untuk menyingkat konsep tersebut, media telah mulai menyinggung tentang "lintasan Kichneris." (Kichnerist transversality)
Dengan menggemakan ide ini, pada September 2004, beberapa pemimpin yang berakar peronis tapi menjaga jarak dari struktur partai meluncurkan pembentukan Badan Koordinasi untuk Proyek Nasional Baru. Wartawan kiri terkenal Miguel Bonasso mengumukan pembentukannya. Bonasso membentuk Partai Revolusi Demokratik (PRD) di Argentina dan memenangkan kursi legislatif pada 2003. Ia meminjam nama itu dari partai politik dengan nama sama di Meksiko, tempat ia mengungsi saat kediktatoran Argentina terakhir. Tergabung dengan Bonasso adalah sesama wakil kongres Francisco Gutierrez, seorang pimpinan serikat buruh metalurgi yang dihormati, dan Eduardo Luis Duhalde (tak ada hubungan apa pun dengan sang mantan Presiden interim), yang merupakan Sekretaris HAM Kirchner dan pendiri Partai Memori dan Mobilisasi. Badan ini akan bertindak sebagai penghubung (nexus) antara masyarakat luas dan Kirchner, sejalan dengan strategi lintasannya, tapi dalam kenyataannya ia tidak lebih dari sekedar manuver hubungan masyarakat. Bahkan beberapa pembentuknya mengakui bahwa proyek itu ditakdirkan untuk mati secara perlahan. Mereka menyadari bahwa itu akan menjadi tak relevan ketika para dedengkot Peronis berbaris di belakang Kirchner. Bahkan mantan presiden interim Eduardo Duhalde mengakui, "Bila Kirchner terus seperti ini, Peronisme akan mendukung pemilihannya kembali pada 2007."
Lebih cepat dari yang dibayangkan oleh siapa pun, sang Presiden telah menanggalkan mandatnya yang sempit dan kini menikmati besarnya dukungan rakyat. Dan yang penting, ia telah menjadi pemimpin yang dihormati dengan bobot politiknya sendiri dan berhasil mengambil keuntungan dari realitas sosial yang kompleks yang telah ada sejak ia naik jabatan pada Mei 2003.
"Sederhananya, kesempatan untuk perubahan selalu disertai resiko kekacauan (chaos)," kata sosiologis Nicolas Casullo dalam menganalisa fenomena Kirchner. "Siapa pun yang menduduki pemerintahan di Argentina [pada saat pemilu] menghadapi tugas berat mentransformasi aksi-aksi protes menjadi politik, untuk sedemikian rupa menginstitusionalkan mobilisasi sosial yang anti-institusional." Banyak pakar politik dan sarjana lainnya setuju dengan Casullo ketika ia mengomentari Kirchner: "Ia mampu mempertahankan satu kakinya di dalam dan satunya lagi di luar Peronisme sambil mencoba mencapai hal yang lain, karena tak diragukan lagi kita diserahi proyek politik yang mengembalikan dan melegitimasi aksi-aksi protes."
Pada Oktober 2005, Argentina menggelar pemilu legislatif yang mana 128 dari 257 kursi rumah bawah (lower house) dan 24 dari 72 kursi senatorial dikonteskan. Dua setengah tahun setelah memenangkan kepresidenan dengan hanya 22% suara - kebanyakan berasal dari pendukung mentornya (Duhalde) - Kirchner mencatat kemenangan besar. Ia memenangkan 49% suara, mencapai suara mayoritas absolut di rumah bawah dalam Kongres dan mayoritas di Senat. Yang membuat kemenangan elektoral ini begitu penting adalah ia dimenangkan tanpa dukungan mesin elektoral Peronis: Kirchner telah dengan pasti berpisah dengan Duhalde dan berkonfrontasi dengan orang-orang kuat lama Peronis dengan membentuk partai politiknya sendiri - Front untuk Kemenangan. Ia memang berhasil menyolidkan basis politiknya, memutuskan ketergantungan politik yang dipaksakan kepadanya oleh Duhalde dan mengalahkan Menem dan Lopez Murphy, musuh besarnya dari sayap kanan.
Beberapa hari setelah kemenangan ini, Presiden merombak kabinetnya. Banyak dari perubahan tersebut telah diperkirakan, tapi sedikit analis mengantisipasi penggantian Menteri Ekonomi, Roberto Lavagna. Menteri tersebut telah menerapkan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan penurunan angka kemiskinan dan pengangguran yang paling drastis dalam beberapa tahun terakhir. Perubahan kabinet dipandang sebagai upaya untuk memuaskan basis elektoral barunya - sektor-sektor sosial dan politik yang dikecewakan oleh struktur lama yang partisan. Kirchner berharap tim barunya ini akan berjasa memenuhi landasan (platform) ambisius yang dijabarkannya di awal jabatannya. Menteri luar negerinya adalah seorang - diakuinya sendiri - musuh dari Area Perdagangan Bebas Amerika (FTAA) yang disponsori AS dan sekutu Presiden Venezuela Hugo Chavez; menteri pertahanannya adalah seorang militan kiri lama dan pendukung vokal HAM. Dan Felisa Miceli yang menggantikan Lavagna, telah secara umum menolak resep-resep IMF, mengkritik pengelolaan pelayanan umum oleh korporasi swasta dan pernah mengatakan bahwa ia akan menangani luasnya ketaksamaan ekonomi (economic inequality) di negeri itu. Tampaknya sang Presiden berharap agar hidup baru yang dihembuskan ke kabinetnya akan menjangkau juga negeri tersebut.
--------------------
Andres Gaudin adalah seorang wartawan Uruguay yang melarikan diri ke Argentina pada 1972. Ia tinggal di Buenos Aires dan menulis artikel, antara lainnya untuk Latinamerica Press.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diterjemahkan dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Inggris oleh Teo Ballvé
Sumber: Gaudin A, "The Kirchner Factor", NACLA Report on the Americas; Jan/Feb2005, Vol. 38 Issue 4, p16-18
Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia oleh NEFOS.org
Refleksi terhadap Sosialisme Abad Duapuluh-Satu
in
• Analisa
• Dunia
• Dunia Baru
James Petras
Untuk mengeksplorasi perspektif sosialisme abad ke-21, kita perlu mengambil beberapa postulat dasar yang memberikan informasi tentang proyek sosialis. Sebagai tambahannya, adalah penting untuk mengambil beberapa kemajuan mendasar yang dicapai dalam rejim-rejim sosialis abad ke-20 dan juga secara kritis melakukan refleksi terhadap stuktur-strukturnya yang terdistorsi dan berbagai kebijakannya yang gagal.
Dalam pengertiannya yang paling dasar adalah penting untuk mengingat bahwa sosialisme adalah suatu cara bagi kehidupan material yang lebih baik dibandingkan di bawah kapitalisme: standar hidup yang lebih tinggi, kebebasan politik yang lebih besar, kondisi-kondisi persamaan sosial, dan keamanan internal dan eksternal. Kehormatan, harkat-martabat dan solidaritas hanya dapat dipahami sebagai hal-hal yang menyertai tujuan-tujuan material dasar tersebut, bukan sebagai substitusinya. Kehormatan dan harkat-martabat tidak dapat dikejar di hadapan kondisi kekurangan dalam jangka-panjang dan besar-besaran, pengorbanan dan pemenuhan perbaikan material yang tertunda. Pemerintah yang mengklaim sebagai sosialis namun mengidealiskan pengorbanan standar kehidupan material atas nama prinsip-prinsip keadilan yang abstrak adalah lebih dekat dengan sosialisme spiritual suatu ordo relijius bukannya suatu pemerintahan sosialis modern yang dinamis.
Transformasi sosial dan digantikannya kaum pemilik kapitalis oleh negara sosialis hanya dapat dibenarkan bila tatanan yang baru dapat memperbaiki efisiensi, kondisi kerja dan responsifitas terhadap konsumen perusahaan-perusahaan sosialis. Contohnya, di beberapa rejim sosialis, di bawah kedok ofensif revolusioner, negara mengintervensi dan menghapus ribuan perusahaan eceran di perkotaan yang berskala kecil dan menengah atas nama penghapusan kaum kapitalis. Akibatnya adalah bencana: toko-toko tetap tutup; negara tak mampu mengorganisir usaha-usaha kecil yang berserakan dan mayoritas besar kaum pekerja kehilangan berbagai layanan vital.
Negara-negara sosialis abad duapuluh membangun sistem-sistem medis, pendidikan dan keamanan yang efektif dan sukses melayani mayoritas rakyat pekerja. Mayoritas negara-negara sosialis menghapus penguasaan dan eksploitasi sumber daya alam oleh asing dan dalam beberapa kasus mengembangkan ekonomi industrial yang terdiversifikasi. Secara keseluruhan standar kehidupan meningkat, kriminalitas menurun, lapangan kerja, dana pensiun dan dana kesejahteraan berhasil diraih. Walau demikian sosialisme abad ke-20 terpecah oleh kontradiksi yang dalam yang menyebabkan krisis sistemik yang mendalam. Sentralisme birokrasi merampas kebebasan di tempat kerja dan membatasi perdebatan publik dan pemerintahan kerakyatan. Kaum berwenang publik terlalu membesar-besarkan inovasi di bidang keamanan, usaha, ilmu pengetahuan dan inisiatif kerakyatan sehingga menciptakan stagnasi teknologi dan massa yang pasif. Pemberian hak-hak istimewa dan materi berdasarkan jabatan politik kaum elit menyebabkan ketimpangan mendalam sehingga menurunlah kepercayaan rakyat terhadap prinsip-prinsip sosialis dan mengakibatkan penyebaran nilai-nilai kapitalis
Kapitalisme tumbuh subur dalam ketimpangan sosial, sosialisme semakin mendalam melalui kesetaraan yang semakin besar. Baik kapitalisme maupun sosialisme bergantung pada kaum pekerja yang efisien, produktif dan inovatif: Bagi kapitalisme ini digunakan untuk memaksimalkan profit; bagi yang terakhir, untuk memperluas negara kesejahteraan.
Pelajaran abad ke-20 untuk kaum sosialis abad ke-21
Kaum sosialis abad ke-21 dapat belajar dari keberhasilan dan kegagalan sosialisme abad ke-20
Pertama: Kebijakan harus diarahkan untuk memperbaiki kehidupan maupun kondisi kerja rakyat. Ini berarti investasi massal dalam peningkatan kualitas perumahan, perangkat rumah-tangga, transportasi publik, kepedulian lingkungan hidup dan infrastruktur. Solidaritas dan misi-misi di luar negeri janganlah dijadikan prioritas yang menomorduakan investasi skala-besar dan jangka panjang untuk memperluas dan memperdalam perbaikan material bagi basis kelas internal utama dalam rejim sosialis. Solidaritas dimulai dari rumah sendiri.
Kedua: Kebijakan pembangunan harus berfokus untuk mendiversifikasi ekonomi dengan suatu fokus khusus yang mengindustrialisasikan bahan-bahan baku, melakukan investasi besar dalam industri-industri yang memproduksi barang-barang berkualitas untuk konsumsi massa (pakaian, sepatu, dan lainnya) dan dalam pertanian, terutama untuk swasembada dalam bahan pangan pokok. Dalam kondisi apapun ekonomi sosialis tidak boleh menggantungkan penghasilannya pada suatu produk tunggal (gula, turisme, migas, nikel), yang sangat tidak stabil.
Sebuah pemerintahan yang sosialis harus mendanai kebijakan pendidikan, mata-pencaharian dan infrastruktur yang sesuai dengan tingginya prioritas terhadap ekonomi, sosial dan budaya; ini berarti mendidik para agronomis dan pekerja pertanian yang terampil, pekerja konstruksi yang terampil (ahli pipa, listrik, cat) dan insinyur sipil, pekerja transportasi dan perencana perumahan publik di perkotaan dan pedesaan untuk mendesentralisasi kota-kota raksasa (mega-cities) dan menggantikan transportasi pribadi dengan publik. Mereka harus mendirikan dewan-dewan lingkungan hidup dan konsumen yang dipilih oleh rakyat untuk mengawasi kualitas udara, air dan kebisingan, serta ketersediaan, harga, dan kualitas pangan.
Pemerintahan sosialis abad duapluh seringkali mengalienasi kaum pekerjanya dengan mengalihkan bantuan yang berjumlah besar kepada rejim-rejim di luar negeri (yang banyak di antaranya bahkan tidak progresif!). Akibatnya, kebutuhan lokal terbengkalai atas nama solidaritas internasional. Prioritas utama sosialisme abad ke-21 adalah solidaritas di rumah sendiri. Kaum sosialis abad duapuluh menekankan kesejahteraan dari atas, pemerintah sebagai pemberi dan massa sebagai penerima, menekan tindakan-tindakan lokal dan mendorong kepasifan. Sosialisme abad duapuluh-satu harus menggalakkan tindakan kelas yang mandiri untuk mengimbangi hak-hak istimewa para menteri dan fungsionaris sosialis borjuis yang menggunakan jabatannya untuk menimbun dan menjaga kekayaan pribadi dengan menggunakan kekuatan publik. Organisasi kerakyatan yang mandiri dapat mengungkap kemunafikan menteri-menteri kaya yang menyerang dan menuduh kaum pekerja industri bergaji tinggi sebagai pihak yang diistimewakan padahal mereka sendiri menggunakan Mercedes berikut supirnya dan menikmati apartemen-apartemen mewah, memiliki dua dan tiga rumah-rumah peristirahatan dan mengirim anak-anak mereka ke sekolah-sekolah swasta yang mahal dan eksklusif di dalam dan luar negeri.
Di atas segalanya sosialisme adalah tentang persamaan sosial: persamaan dalam pendapatan, sekolah dan rumah sakit; persamaan antara kelas masyarakat dan dalam kelas masyarakat. Tanpa persamaan sosial, semua omongan tentang keragaman, harkat-martabat, dan kehormatan tidaklah berarti apa-apa. Para kapitalis juga mendukung keragaman sejauh tidak mengancam keuntungan dan kekayaannya. Kaum sosialis mendukung persamaan pendapatan dan kepemilikan yang secara efektif meredistribusi kekayaan dan kepemilikan kepada seluruh kaum pekerja, hitam dan putih, petani Indian dan pekerja perkotaan, lelaki dan perempuan, dan tua dan muda. Tidak ada harkat-martabat dalam menjadi miskin dan tereksploitasi; harkat-martabat berasal dari perjuangan dan pencapaian tujuan-tujuan sosialis berupa persamaan sosial dan standar kehidupan yang lebih tinggi.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Diambil dari mailing list marxism@lists.econ.utah.edu pada 17 Agustus 2008
Diterjemahkan oleh NEFOS.org

No comments:

Post a Comment