Hari Perempuan Internasional

DI kalangan gerakan perempuan internasional, 8 Maret dirayakan sebagai Hari Perempuan Internasional. Penentuannya berawal dari tahun 1908 saat menjawab tuntutan kaum perempuan, Partai Sosialis Amerika Serikat (AS) mengusulkan hari terakhir bulan Februari dijadikan hari demonstrasi untuk persamaan hak politik (hak untuk memilih dalam pemilu) kaum perempuan. Hari Perempuan Amerika ini (28 Februari 1908) mendapat perhatian amat besar dari kaum feminis dan sosialis seluruh dunia dan mendorong aksi solidaritas yang terorganisasi oleh berbagai kelompok buruh perempuan AS. Pada konferensi kedua perempuan sosialis sedunia di Kopenhagen (1910), Clara Zetkin, aktivis gerakan perempuan dan tokoh sosialis, menentang sikap separatis gerakan perempuan suffragist (menuntut hak pilih dalam pemilu) mengajukan usul untuk menginternasionalkan eksperimen Amerika itu dan menjadikan 8 Maret sebagai Hari Perempuan International, dengan slogan "hak pilih untuk semua orang".
Peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam konteks pasang naik gerakan perempuan di seluruh dunia awal abad ini (di Indonesia muncul Kartini dengan pemikiran dan aksinya). Saat itu kaum perempuan sudah terorganisasi dan gerakannya meluas di Eropa dan Amerika, tercermin dari terbentuknya International Women Suffrage Alliance (1904). Awal abad ini marak dengan diorganisasikannya protes, demonstrasi, pemogokan buruh, dan kampanye persamaan hak dan menentang penindasan terhadap buruh perempuan. Bangkitnya perempuan sebagai buruh yang tertindas merupakan buah dari perubahan sosial itu sendiri, berkembangnya modal di mana sesungguhnya buruh merupakan penggerak perkembangan yang sekaligus diisap olehnya. Usul Clara Zetkin terwujud tahun 1911, saat pecah Perang Dunia I, 8 Maret dirayakan dengan pawai dan demonstrasi perempuan di berbagai negara Eropa. Saat Revolusi Rusia dimulai, hari perempuan internasional ditandai demonstrasi-demonstrasi dan protes menuntut bahan makanan, dilancarkan kaum perempuan, laki-laki dan anak-anak.
Di Inggris, Hari Perempuan Internasional menjadi peringatan tahunan sesudah Perang Dunia II. Di Amerika, peringatan hari perempuan internasional menjadi peringatan tahunan sejak munculnya Gerakan Pembebasan Perempuan yang lahir bersamaan dengan gerakan hak-hak sipil dan gerakan perdamaian antiperang tahun 1960-an, yang terus berkembang dan meluas.

PBB menetapkan tahun 1975 sebagai Tahun Internasional Perempuan, dan tahun 1976-1985 ditetapkan sebagai Dasa Warsa Perempuan. Sesungguhnya pada tahun 1977, Majelis Umum PBB menerima resolusi yang menetapkan suatu hari internasional untuk perempuan. PBB mengajak semua negara anggota untuk memproklamasikan suatu hari sebagai Hari PBB untuk Hak Asasi Perempuan dan Hari Perdamaian Dunia, yang penetapan harinya diserahkan pada masing-masing negara. Kebanyakan negara (tidak termasuk Indonesia) menetapkan 8 Maret, yang sudah dikenal sebagai Hari Perempuan Internasional. PBB sendiri tahun 1978 menetapkan 8 Maret dalam daftar hari libur resmi.
Persoalan perempuan

Kesadaran atas ketertindasan kaum perempuan dan sifat struktural penindasan itu sudah lama muncul di Indonesia. Pada awal abad ini, seiring munculnya kesadaran baru mengenai kolonialisme, muncul RA Kartini, seorang putri bupati Jawa yang melalui tulisan-tulisannya menentang keras poligani, kawin paksa, dan penindasan feodal serta kolonial. Ia berusaha menegakkan hak kaum perempuan untuk bersekolah dengan mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan.
Lalu muncul banyak perempuan yang dengan kesadarannya tentang ketertindasan kaum perempuan, aktif dalam politik pergerakan nasional. Misalnya, Munasiah dan Sukaesih, dua aktivis politik yang dalam suatu kongres perempuan di Semarang tahun 1924 menyerukan perlunya kaum perempuan berjuang agar bisa memajukan hak-haknya dan tidak disisihkan. Munasiah berkata, "Wanita itu menjadi mataharinya rumah tangga, itu dulu! Sekarang, wanita menjadi alat kapitalis. Padahal zaman Mojopahit wanita sudah berjuang... Kini adanya pelacur bukan salahnya wanita, tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme."

Setelah pecah pemberontakan nasional pertama menentang kolonialisme tahun 1926-1927, kedua pejuang ini ditangkap Pemerintah Hindia Belanda dan dibuang ke Digul, Papua Barat, karena terlibat pemberontakan. Kesadaran baru di kalangan perempuan Indonesia akan penindasan kolonialisme dan imperialisme, dengan berbagai bentuknya terus bergerak dan meluas sampai Indonesia merdeka. Pada masa revolusi, berdiri berbegai macam organisasi perempuan, termasuk partai politik khusus perempuan (Partai Politik Wanita, didirikan Nyi Sarmidi Mangunsarkoro; SK Trimurti menentang pembentukan partai ini dan mengusulkan agar perempuan bergabung dengan partai politik yang ada, tidak perlu membentuk partai sendiri). Kaum perempuan tidak hanya aktif di garis belakang sebagai anggota palang merah atau petugas dapur umum. Mereka juga menjadi anggota satuan-satuan laskar maupun tentara reguler yang aktif bertempur di garis depan melawan penjajah yang hendak kembali menjajah Indonesia. Inilah yang "dikritik" lagu patriotik yang patriarkis, Melati di Tapal Batas, yang hendak mengerangkeng perempuan dalam tirani domestik.

Pada masa revolusi, organisasi-organisasi perempuan seperti Perwari, Wanita Indonesia, Pemuda Putri Indonesia, Aisyiah, Gerwis (Gerakan Wanita Sedar), dan sebagainya membentuk federasi organisasi perempuan (bukan wadah tunggal perempuan) yang dinamai Kowani (Konggres Wanita Indonesia). Meski persoalan utama bangsa kita saat itu adalah perjuangan mengusir penjajah, gerakan sosial politik tidak didominasi pandangan nasionalisme sempit yang chauvinistik atau malah xenophobic. Watak internasionalis dilambangkan dalam Mukadimah UUD 1945, "Kemerdekaan adalah hak segala bangsa..."

Kowani sendiri pada masa itu terlihat amat sadar mengenai tempat, peran, dan tanggung jawabnya sebagai warga dunia. Dalam pernyataan-pernyataannya dikemukakan seruan-seruan untuk ikut menegakkan perdamaian dunia.
Sebagian dari organisasi-organisasi perempuan menyadari adanya penindasan perempuan, dan karena itu perjuangan kaum perempuan bukan terbatas di Indonesia saja. Di negeri-negeri lain (termasuk negeri-negeri kapitalis industri maju) kaum perempuan mengalami berbagai bentuk penindasan baik yang bersifat kelas, maupun seksual seperti perkosaan, perdagangan perempuan, kekerasan terhadap perempuan. Demikian pula di negeri-negeri Dunia Ketiga. Selain itu mereka kian menyadari sifat struktural dari penindasan itu sehingga sebagian dari mereka sekaligus menginginkan penghapusan patriarkhi dan pelenyapan neo-kolonialisme dan neo-liberalisme.
Pada titik inilah kemudian Hari Perempuan Internasional 8 Maret menjadi penting. Pada tahun 1960, oleh organisasi-organisasi yang menjadi anggota Kowani diperkenalkan Hari Perempuan Internasional dan Deklarasi Kopenhagen yang keduanya merupakan hasil Kongres Perempuan Internasional 1910 di Kota Kopenhagen, Denmark. Deklarasi ini menyerukan, "Bersatulah kaum perempuan sedunia untuk memperjuangkan persamaan hak perempuan dan anak-anak, untuk pembebasan nasional, dan perdamaian". Pada waktu itu dalam tubuh Kowani tidak tercapai kesepakatan ketika organisasi anggotanya mengusulkan agar Hari Perempuan Internasional diperingati di sini. Meski demikian pada tahun itu di beberapa kota berlangsung perayaan Hari Perempuan Internasional.
Lintas negara
Pada saat ini terjadi kemunduran perasaan internasionalis. Hari-hari internasional amat jarang diperingati penduduk Indonesia, apalagi secara resmi. Ini sedikit banyak berkait dengan kenyataan telah merosotnya kekuatan organisasi-organisasi masyarakat di satu pihak dan di lain pihak berhasilnya organisasi-organisasi masyarakat dikooptasi langsung maupun tidak langsung. Sementara itu tidak sedikit oragnisasi-organisasi masyarakat hanya berkutat ke dalam.
Kenyataan bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi mayoritas rakyat Indonesia juga merupakan persoalan yang dihadapi rakyat miskin di seluruh dunia menjadi terabaikan. Selain itu oleh satu dan lain sebab, masalah internasional kini hanya menjadi urusan negara.

Pada tahap perkembangan perekonomian, kini dunia telah disatukan dalam suatu pasar besar di mana kaum perempuan dunia mau tidak mau terseret ke dalamnya. Hal itu muncul dalam persoalan seperti eksploitasi tenaga buruh perempuan dalam konteks pembagian kerja internasional baru, pengiriman pekerja migran perempuan, jaringan perdagangan perempuan, perusakan lingkungan dan berbagai persoalan yang melintas batas batas suatu negeri.

Pada Hari Perempuan Internasional ini, kita memikirkan kembali hakikat dan jangkauan persoalan penindasan perempuan dan kembali dalam genggaman segala persoalan kita.

* ITA F NADIA Anggota Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan, peneliti Sejarah Sosial dan Pekerja Kemanusiaan.

No comments:

Post a Comment