Menuju kekuasaan Pasar
Pendahuluan : Hilangya peran Negara disektor pendidikan
Berangkat dari individualisme dan keserakahannya, kaum borjuasi secara terus meneru melakukan epspansi dan eksploitasi mayoritas manusia di berbagai belahan dunia guna memenuhi keinginannya. Sejak sistim kapitalisme berkuasa di dunia, sejak itupula seluruh tatanan kehidupan masyarakat digunakan dan dimanfaatkan sepenuh-penuhnya untuk merih keuntungan yang besar dn lebih besar lagi.
Lahirnya Negara, adalah akibat dari kontradiksi kelas yang tidak terdamaikan. Negara adalah alat kepentingan kelas, artinya peran posisi Negara bergantung pada orientasi atau kepentingan kelas berkuasa, dalam sejarah perkembangan masyarakat telah dibuktikan pada tiap fase sejak terbentuknya kelas-kelas dalam masyarakat mulai dari perbudakan sampai dengan fase kapitalisme. Dalam masyarakat Kapitalisme, Negara menjadi alat kepentingan dari kelas borjuasi/pemodal guna mengamankan proses akumulasi modal.
Perkembangan masyarakat Indonesia yang sudah pada fase masyarakat kapitalisme tentunya Negara (termasuk Indonesia) menjadi subordinasi modal tunduk manut dibawah kekuasaan pasar dibawah payung Neo-liberlisme1. Negara dalam sistem kapitalisme hanyalah sebagai sebuah regulator, penjaga modal yang menghilangkan kepentingan kelas tertindas mayoritas (buruh, tani dll) di bawah nafsu yang tak terhingga dari para kelas pemodal dalam mengambil keuntungan sebesar-besarnya-sejak Indonesia dikuasai oleh modal maka sejak itupula Indonesia bekerja sebagai pelayan modal sehingga pada prinsipnya tidak akan ada keberpihakan penguasa Negara terhadap kepentingan mayoritas rakyat yang notabenenya mengalami ketertindasan ekonomi-politik kecuali minoritas kelas borjuasi, hal inipun tanpa terkecuali berlaku pula pada sektor pendidikan sebagai salah satu sektor strategis dalam perkembangan peradaban masyarakat. Pendidikan merupakan alat untuk memajukan ide atau cara berpikir masyarakat dalam mengintevensi setiap gejala-gejala materi yang berkembang (peran aktif ide terhadap materi), menemukan hukum-hukum materinya sehingga mampu bersikap dan bertindak guna menjawab kebutuhan hidup sekarang dan masa depan singkatnya kemajuan masyarakat. Dalam setiap fase perkembangan masyarakat pendidikan akan berorientasi berbeda-menjadi alat bagi kepentingan kelas yang berkuasa dengan membangun suatu hegemoni untuk mengamini sistem yang berlaku, Indonesia misalnya pada masa colonial (pra kemerdekaan) kehadiran pendidikan melalui politik etis diorientasikan pada kepentingan colonial atas dasar kebutuhan tenaga kerja yang bisa baca tulis dalam kerangka mempercepat proses eksploitasi sumber daya alam Indonesia dengan eksploitasi sumber daya manusia (baca Zaman Bergerak; Takashi Siraesi), akan tetapi prinsipnya kehadiran pendidikan tidaklah hanya menjawab kebutuhan taktis tapi bagaimana peserta didik atau rakyat yang menikmati pendidikan mengamini sistem yang berkuasa (imperialisme belanda) pada masa itu bukanlah proses humanity-memanusiakan manusia seperti yang dikatakan oleh FouloFire bukan pula atas kebaikan hati , moral yang tinggi dari kelas borjuasi.
Begitupula pendidikan Indonesia masa sekarang. Para penguasa dalam hal ini pemerintah diorientasikan sebagai perangkat kenegaraan yang harus menjawab kepentingan pemodal yaitu mendistorsikan tanggungjawab Negara terhadap pendidikan dengan memberikan ruang selebar-lebarnya untuk menjadikan pendidikan sebagai salah satu sumber dari akumulasi modal dengan meliberalisasikan dunia pendidikan. Beberapa kebijkan-kebijakan yang dilahirkan pemerintah telah terbukti menjalankan program-program neoliberal (liberalisasi sektor pendidikan) seperti, UU no 13 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, peraturan pemerintah sampai regulasi yang tebaru UU no 9 taun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan, anggaran pendidikan yang tidak pernah sampai pada besaran 20% walaupun seringkali dikatakan bahwa subsidi pendidikan telah sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu mengharuskan/mewajibkan Negara bertanggungjawab atas anggaran pendidikan sebesar 20%. Persoalan pendidikan Indonesia tentunya bukanlah hanya selesai dalam perdebatan besaran angka dalam suatu alokasi anggaran buat pendidikan akan tetapi secara substansi persoalan orientasi pendidikan atau tujuan hakiki dari pendidikan itu sendiri karena pendidikan di bawah kekuasaan pasar pendidikan pastinya akan diorientasi untuk menjawab kebutuhan pasar di mana output-output pendidikan akan mengabdi pada kepentingan pasar atau sebagai sekrup-sekrup pasar yang akan semakin menguatkan tatanan kapitalisme di Indonesia, maka pendidikan secara idiologis adalah media doktrin dari corak produksi yang kapitalistik sehingga aktivitas penghisapan manusia atas manusia akan diamini alias halal oleh setiap orang yang menikmati pendidikan jika tidak ada suatu counter hegemoni atas doktrin tersebut.
Hilangnya peran Negara dalam dunia pendidikan tentunya melahirkan dampak. Dampak tersebut terlihat pertama; masyarakat tidak akan mampu mengakses pendidikan karena tingginya ongkos/biaya pendidikan. Hasil jajak pendapat Kompas, 29 April 2005, yang secara khusus menyoroti dunia pendidikan di negeri ini. Menyikapi kebijakan privatisasi dalam dunia pendidikan, hampir seluruh responden berpendapat serupa (sekitar 92 persen) bahwa tak mungkin berbagai persoalan pendidikan, baik persoalan pembiayaan, kurikulum, hingga kesejahteraan pengajar sepenuhnya dilepaskan dari peranan dan campur tangan pemerintah. Artinya hilangnya tanggungjawab Negara dalam dunia pendidikan akan semakin meningkatkan beban pembiayaan yang harus ditanggung masyarakat dalam menyekolahkan ana-anaknya (belum lagi masalah kebutuhan masyarakat diluar pendidikan) belum lagi persoalan kualitas pendidikan. Kedua; pendidikan ditangan pemodal akan diorientasikan sesuai dengan kepentingan mereka tergantung siapa yang memiliki modal paling besar, maka tidak berlaku pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa (prinsip awalnya memanusiakan manusia) sebgaimana dalam pembukaan UUD 1945 tapi pendidikan menguntungkan pemilik modal dan menguatkan kekuasaan modal. Lebih jauhnya cita-cita memajukan kehidupan rakyat secara ekonomi-politik akan semakin jauh dari harapan selama modal itu masih berkuasa dan Negara tidk bertanggungjawab atas pendidikan.maka jangan bertanya manakala penghisapan manusia atas manusia masih dan semakin terus berlangsung tanpa mengenal nilai-nilai kemanusiaan apalagi bertanya soal keberpihakan penguasa.
Kapitalisasi Pendidikan
Sejak Indonesia menjadi anggota WTO (World Trade Orgnitation)2 di tahun 1994, Indonesia tentunya mengambil peranan sebagai Negara yang mengesahkan perjanjian-perjanjian di dalam WTO, salah satunya adalah perjanjian General Agreement on Trade in Service, pada bulan mei 2005. dalam lobi-lobi negara maju tersebut, menghasilkan keputusan liberalisasi pada 12 sektor jasa seperti, diantaranya layanan kesehatan, teknologi informasi dan komunikasi, jasa akuntansi, pendidikan tinggi dan pendidikan selama hayat, serta jasa-jasa lainnya. Perjanjian tersebut tentunya mengikat negara-negara anggota WTO dari setiap kesepakatan yang dihasilkan dalam setiap pertemuan termasuk mendesakkan segera meratifikasi undang-undang di negaranya masing-masing. Dalam GATs, 6 negara telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan yakni Australia, Amerika Serikat, Jepang, Cina, Korea dan Selandia Baru. Sub-sektor jasa yang ingin dimasuki adalah pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. Cina bahkan meminta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran Cina. Jelas sekali bukan motif kemanusiaan yang mendorong para provider (penyedia) pendidikan tinggi dari 6 negara tersebut untuk membangun pendidikan tinggi Indonesia ataupun kebaikan hati dari kelas borjuasi. Dalam setiap perkembangan dari kapitalisme kemajuan perkakas produksi pasti akan dikuti oleh kemajuan politiknya artinya setiap kepentingan ekonomi dalam proses akumulasi modal akan tunjang oleh aktivitas politik sebagai bagian dari bangunan atas dari basic struktur-corak produksi3. Liberalisasi sektor jasa-pendidikan tidak terlepas dari watak kapitalisme-ekspansi, eksploitasi dan akumulasi modal, karena pendapatan dari sektor jasa terlihat cukup besar sehingga negara-negara maju seperti, Amerika, Inggris dan Australia berkepentingan untuk mendesakkan liberalisasi sektor jasa pendidikan di negara-negara yang tergabung dalam WTO. Pada tahun 2000 ekspor jasa pendidikan Amerika mencapai US $ 14 Milyar. Inggris sumbangan ekspor pendidikan mencapai 4 % dari total penerimaan sektor jasa negara tersebut. Demikian halnya dengan Australia pada tahun 1993, ekspor jasa pendidikan dan pelatihan telah menghasilkan AUS $ 1,2 Milyar.
WTO telah mengidentifikasi 4 mode penyediaan jasa pendidikan yang akan dilakukan di desakkan menjadi mekanisme kerja awal dari kapitalisasi pendidikan yaitu :
1.Cross-border supply, institusi pendidikan tinggi luar negeri menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree program,
2.Consumption abroad, adalah bentuk penyediaan jasa pendidikan tinggi yang paling dominan, mahasiswa belajar di perguruan tinggi luar negeri,
3.Commercial presence, atau kehadiran perguruan tinggi luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan perguruan tinggi dalam negeri baik swasta maupun negeri,
4.Presence of natural persons, dosen atau pengajar asing mengajar pada lembaga pendidikan dalam negeri.
Sementara kondisi pendidikan Indonesia secara kualitas masih jauh dari negara-negara maju termasuk negar-negara tetangga seperti, malaysia, Brunai Darussalam, akan sangat potensial bagi negara maju atau negara-negara yang maju sektor pendidikannya melakukan ekspor jasa pendidikan dan ekspor modal-investasi disektor pendidikan maupun ekspor modal atas kebutuhan pemerintah ataupun pihak swasta memberikan pinjaman modal karena kenyataannya harus diakui secara jujur tidak cukup kuat mengelola lembaga pendidikan dengan kekuatan modal yang dimiliki (sangat kecil) bila dibandingkan dengan pemodal internasional bahkan investor pun bisa berinvestasi langsung pada lembaga pendidikan yang sudah ada. Setiap investasi adalah didorong oleh profit oriented pendidikan dibangun atas dasar logika ekonomi (Laba-Rugi), maka sudah terang dan jelas dalam sebuah liberlisasi (sektor pendidikan) meniscayakan kepentingan ekonomi kelas borjuasi/pemodal baik pemodal luar negeri maupun pemodal dalam negeri. Tidak hanya itu, kepentingan terselubung lain dibalik kapitalisasi pendidikan adalah persoalan orientasi pendidikan. Pendidikan akan dikendalikan oleh pemegang modal untuk tetap melanggengkan tatanan masyarakat yang kapitalistik.
Kondisi pendidikan kekinian semakin menerangkan ketidakberpihakan, dalam rangcangan APBN 2009-2010 anggaran untuk pendidikan menurun bila dibandingkan dengan alokasi anggaran disektor lain seperti, pertahanan dan keamanan dll, hal ini bertolak belakang dari pandangan dan komitmen pemerintah untuk merealisasikan anggaran pendidikan sebesar 20% (lihat tabel data pokok APBN-2005-2010 dalam lampiran), berbeda dengan negara tetangga spt malaysia, Thailand apalagi dengan negara-negara maju sudah berbicara lebih dari 20% bahkan diThailand sendiri pendidikannya gratis dari tingkat bawah sampai setingkat SMA digratiskan termasuk peralatan/perlengkapan sekolah seperti baju dll, sedangkan peguruan tinggi biayanya murah (perbandingan ini sebatas dari besaran angka anggarannya tidak pada keberpihakan kelasnya). Ironisnya pendidikan Indonesia masuk dalam analisa bisnis dan keuangan kompas dianalisis oleh badan reksa dana bahwa inflasi pendidikan sudah mencapai 200% (baca: kompas,jum’at 31 Agustus 2009), tentu semakin menggambarkan bahwa kapitalisasi pendidikan di Indonesia tidak bisa dipungkiri lagi-mengikuti alur atau mekanisme kerja modal di bawah dominasi kelas borjuasi, sesuai dengan tuntutan agenda-agenda besar Neoliberalisme melalui lembaga perdagangan dunia dalam hal ini WTO.
Pendidikan di Indonesia adalah sebuah pasar bagi negara-negara maju dan kelas borjuasi yang memiliki kesiapan secara material untuk mengambil atau mensentralkan laba dari sektor pendidikan dan tidak berlaku dalam arti menguntungkan bagi negara-negara terbelakang yang masih terganung secara ilmu pengetahuan dan teknologi. Bagaimana tidak setiap tahunnya rakyat Indonesia tidak berhenti menyerahkan anaknya pada lembaga pendidikan yang sudah menjadi ladang basah bagi pemodal karena dari sekian banyak jumlah peserta didik yang mengakses pendidikan dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi akan melahirkan permintaan akan komiditis dan jasa penunjang pembelajaran ataupun non pembelajaran sehingga penawaran akan tetap berkorelasi positif dengan permintaan artinya setiap komoditi yang ditawarkan akan terjual dipasaran termasuk dari lembaga-lembaga pengelola pendidikan (swasta dan negeri). Kondisi ini tidaklah mungkin akan menguntungkan rakyat yang hanya bertugas untuk mensuplai peserta didik malah menambah beban berat lagi akan tetapi kondisi tersebut pastinya akan menguntungkan kelas borjuasi yang memimpin dalam ekonomi-politik. Tidak hanya itu kepentingan kapitalis dalam meliberalkan pendidikan adalah menyiapkan tentara cadangan industri yang nantinya akan siap bekerja ditempat di mana modal menginginkannya dengan paradigma atau kesadaran yang sudah terbangun selama prosesi pendidikan, para tentara tersebut siap dikendalikan menurut arahan, perintah dari modal bukan atas perintah bedil atau pedang ditangan.
Berdasarkan data Chating nasional SMI (baca;dara kuantitatif kampus) semakin menguatkan penjelasan bahwa pendidikan Indonesia tidak lain dan tidak bukan sudah bekerja berdasarkan hukum pasar-untung rugi (profit oriented). Maka sudah terang pendidikan Indonesia sudah terjerumus masuk ke dalam lembah hitam kapitalisme. Sehingga tidak ada alasan bagi SMI untuk tidak segera melakukan perlawanan dengan segala metode yang sesuai dengan khususan masing-masing wilayah, cabang dan kampus.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment