Oleh: Bonnie Setiawan
Untuk memahami Globalisasi dan mekanisme dunia sekarang, orang perlu memahami Neo-
Liberalisme. Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini sedang jaya-jayanya, terutama
slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut Margaret Thatcher. Semenjak 1970-an
hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek negara-
negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF dan
WTO. Neo-Liberal tidak lain adalah antitesa welfare state, antitesa neo-klasik, dan antitesa
Keynesian. Dengan kata lain antitesa kaum liberal sendiri, yaitu Liberal Baru atau kaum
Kanan Baru (New-Rightist).
Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak terjang badan-
badan multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan domestik di negara-
negara maju; kita dapat memahami mengapa terjadi krisis moneter dan ekonomi yang tidak
berkesudahan; kita dapat memahami mengapa Indonesia didikte dan ditekan terus oleh
IMF; kita dapat memahami mengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami
mengapa BUMN didorong untuk di-privatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air,
BBM, dan pajak naik; kita dapat memahami mengapa impor beras dan bahan pangan lain
masuk deras ke Indonesia; kita dapat memahami mengapa ada BPPN, Paris Club, Debt
Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yang membingungkan dan
memperdayai publik.
Nama dari program Neo-Liberal yang terkenal dan dipraktekkan dimana-mana adalah SAP
(Structural Adjustment Program). Program penyesuaian struktural merupakan program
utama dari Bank Dunia dan IMF, termasuk juga WTO dengan nama lain. WTO memakai
istilah-istilah seperti fast-track, progressive liberalization, harmonization dan lain-lain. Intinya
tetap sama. Di balik nama sopan "penyesuaian struktural", adalah "penghancuran dan
pendobrakan radikal" terhadap struktur dan sistem lama yang tidak bersesuaian dengan
mekanisme pasar bebas murni. Neo-Liberal adalah ideologinya, dan SAP adalah praktek
atau implementasinya. Sementara tujuannya adalah ekspansi sistem kapitalisme global.
NEO-LIBERAL ATAU KANAN BARU
Sejarah Neo-Liberal bisa dirunut jauh ke masa-masa tahun 1930-an. Adalah Friedrich von
Hayek (1899-1992) yang bisa disebut sebagai Bapak Neo-Liberal. Hayek terkenal juga
dengan julukan ultra-liberal. Muridnya yang utama adalah Milton Friedman, pencetus
monetarisme.
Kala itu adalah masa kejayaan Keynesianisme, sebuah aliran ilmu ekonomi oleh John
Maynard Keynes. Keynesian dianggap berjasa dalam memecahkan masalah Depresi besar
tahun 1929-1930. Terutama setelah diadopsi oleh Presiden Roosevelt dengan program
"New-Deal" maupun Marshall Plan untuk membangun kembali Eropa setelah Perang Dunia
ke-II, maka Keynesian resmi menjadi mainstream ekonomi. Bahkan Bank Dunia dan IMF
kala itu terkenal sebagai si kembar Keynesianis, karena mempraktekkan semua resep
Keynesian. Dasar pokok dari ajaran Keynes adalah kepercayaannya pada intervensi negara
ke dalam kehidupan ekonomi. Menurutnya, kebijakan ekonomi haruslah mengikis
pengangguran sehingga tercipta tenaga kerja penuh (full employment) serta adanya
pemerataan yang lebih besar. Dalam bukunya yang terkenal di tahun 1926 berjudul “The
* Direktur Eksekutif Institute for Global Justice (IGJ)
End of Laissez-Faire”, Keynes menyatakan ketidakpercayaannya terhadap kepentingan
individual yang selalu tidak sejalan dengan kepentingan umum. Katanya, “Sama sekali tidak
akurat untuk menarik kesimpulan dari prinsip-prinsip ekonomi politik, bahwa kepentingan
perorangan yang paling pintar sekalipun akan selalu bersesuaian dengan kepentingan
umum”. Keynesianisme masih tetap menjadi dominant economy sampai tahun 1970-an.
Sementara itu neo-liberal belum lagi bernama. Akan tetapi Hayek dan kawan-kawan sudah
merasa gelisah dengan mekarnya paham Keynes ini. Pada masa itu pandangan semacam
neo-liberal sama sekali tidak populer. Meskipun begitu mereka membangun basis di tiga
universitas utama: London School of Economics (LSE), Universitas Chicago, dan Institut
Universitaire de Hautes Etudes Internasionales (IUHEI) di Jenewa. Para ekonom kanan
inilah yang kemudian setelah PD-II mendirikan lembaga pencetus neo-Liberal, yaitu Societe
du Mont-Pelerin, Pertemuan mereka yang pertama di bulan April 1947 dihadiri oleh 36 orang
dan didanai oleh bankir-bankir Swiss. Termasuk hadir adalah Karl Popper dan Maurice
Allais, serta tiga penerbitan terkemuka, Fortune, Newsweek dan Reader's Digest. Lembaga
ini merupakan "semacam freemansory neo-liberal, sangat terorganisir baik dan berkehendak
untuk menyebarluaskan kredo kaum neo-liberal, lewat pertemuan-pertemuan internasional
secara reguler".
Pandangan Neo-Liberal dapat diamati dari pikiran Hayek. Bukunya yang terkenal adalah
"The Road to Serfdom" (Jalan ke Perbudakan) yang menyerang keras Keynes. Buku
tersebut kemudian menjadi kitab suci kaum kanan dan diterbitkan di Reader’s Digest di
tahun 1945. Ada kalimat di dalam buku tersebut: "Pada masa lalu, penundukan manusia
kepada kekuatan impersonal pasar, merupakan jalan bagi berkembangnya peradaban,
sesuatu yang tidak mungkin terjadi tanpa itu. Dengan melalui ketertundukan itu maka kita
bisa ikut serta setiap harinya dalam membangun sesuatu yang lebih besar dari apa yang
belum sepenuhnya kita pahami". Neo-liberal menginginkan suatu sistem ekonomi yang
sama dengan kapitalisme abad-19, di mana kebebasan individu berjalan sepenuhnya dan
campur tangan sesedikit mungkin dari pemerintah dalam kehidupan ekonomi. Regulator
utama dalam kehidupan ekonomi adalah mekanisme pasar, bukan pemerintah. Mekanisme
pasar akan diatur oleh persepsi individu, dan pengetahuan para individu akan dapat
memecahkan kompleksitas dan ketidakpastian ekonomi, sehingga mekanisme pasar dapat
menjadi alat juga untuk memecahkan masalah sosial. Menurut mereka, pengetahuan para
individu untuk memecahkan persoalan masyarakat tidak perlu ditransmisikan melalui
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Dalam arti ini maka Neo-liberal juga tidak percaya pada
Serikat Buruh atau organisasi masyarakat lainnya.
Dengan demikian Neo-liberal secara politik terus terang membela politik otoriter. Ini
ditunjukkan oleh Hayek ketika mengomentari rejim Pinochet di Chili, "Seorang diktator dapat
saja berkuasa secara liberal, sama seperti mungkinnya demokrasi berkuasa tanpa
liberalisme. Preferensi personal saya adalah memilih sebuah kediktatoran liberal ketimbang
memilih pemerintahan demokratis yang tidak punya liberalisme". Demokrasi politik, menurut
neo-Liberal, dengan demikian adalah sistem politik yang menjamin terlaksananya
kebebasan individu dalam melakukan pilihan dalam transaksi pasar, bukan sistem politik
yang menjamin aspirasi yang pluralistik serta partisipasi luas anggota masyarakat. Bahkan
salah seorang pentolan neo-Liberal, William Niskanen, menyatakan bahwa suatu
pemerintah yang terlampau banyak mengutamakan kepentingan rakyat banyak adalah
pemerintah yang tidak diinginkan dan tidak akan stabil. Bila terjadi konflik antara demokrasi
dengan pengembangan usaha yang kapitalistis, maka mereka memilih untuk mengorbankan
demokrasi.
Salah satu benteng neo-liberal adalah Universitas Chicago, di mana Hayek mengajar di situ
antara tahun 1950 sampai 1961, dan Friedman menghabiskan seluruh karir akademisnya.
Karena itu mereka juga terkenal sebagai "Chicago School". Buku Friedman adalah "The
Counter Revolution in Monetary Theory", yang menurutnya telah dapat menyingkap hukum
moneter yang telah diamatinya dalam berabad-abad dan dapat dibandingkan dengan hukum
ilmu alam. Friedman percaya pada freedom of choice (kebebasan memilih) individual yang
ekstrim. Dengan demikian, neo-Liberal tidak mempersoalkan adanya ketimpangan distribusi
pendapatan di dalam masyarakat. Pertumbuhan konglomerasi dan bentuk-bentuk unit usaha
besar lainnya semata-mata dianggap sebagai manifestasi dari kegiatan individu atas dasar
kebebasan memilih dan persaingan bebas. Efek sosial yang ditimbulkan oleh kekuasaan
ekonomi pada segelintir kelompok kuat tidak dipersoalkan oleh neo-Liberal. Karenanya
demokrasi ekonomi tidak ada di dalam agenda kaum neo-Liberal.1
Pandangan kaum neo-Liberal pada dasarnya tidak populer di masyarakat Barat. Mereka anti
terhadap welfare state (negara kesejahteraan) dan mereka juga anti demokrasi. Tetapi
mengapa mereka bisa berjaya sekarang? Susan George menjawabnya, bahwa mereka
berasal dari sebuah kelompok kecil rahasia dan mereka sangat percaya pada doktrin
tersebut, yang kemudian dengan bantuan para pendananya, membangun jaringan yayasan-
yayasan internasional yang besar, lembaga-lembaga, pusat-pusat riset, berbagai publikasi,
para akademisi, para penulis, serta humas yang mengembangkan, mengemas dan
mempromosikan ide dan doktrin tersebut tanpa henti. Kata Susan, “mereka membangun
kader-kader ideologis yang luar biasa efisiennya karena mereka memahami apa yang
disampaikan oleh pemikir marxis Itali Antonio Gramsci ketika ia berbicara tentang konsep
hegemoni kultural. Bila kamu dapat menguasai kepala orang, maka hati dan tangan mereka
akan ikut”.2 Salah seorang yang menjadi ujung tombaknya adalah Anthony Fisher, seorang
pengusaha sukses yang kemudian mendirikan Institute of Economic Affairs (IEA) pada
tahun 1955 dengan bantuan dana dari kaum indutrialis lainnya. Tujuan lembaga ini adalah
“menyebarkan pemikiran ekonomi yang kuat di berbagai universitas dan berbagai lembaga
pendidikan mapan lainnya”. IEA inilah yang kemudian memberi pengaruh besar kepada
Margaret Thatcher, seperti dikatakan Milton Friedman, “Tanpa adanya IEA, maka saya
meragukan akan bisa terjadi revolusi Thatcherite”. Salah satu koran yang menjadi corong
neo-Liberal di Inggeris adalah The Daily Telegraph. Lembaga lain juga didirikan, yaitu
Centre for Policy Studies (CPS) di tahun 1974 yang sangat berpengaruh kepada para politisi
di Inggeris. IEA kemudian melahirkan Adam Smith Institute (ASI) di tahun 1976. Kerjasama
mereka dengan Heritage Foundation, didirikan di Washington tahun 1973 oleh lulusan LSE
“guna membuat hal yang sama bagi politik Amerika yang dilakukan oleh CPS kepada politik
Inggeris”. Anthony Fisher kemudian menjadi presiden pertama dari lembaga Fraser Institute
di Kanada di tahun 1974. Di tahun 1977, ia mendirikan International Centre for Economic
Policy Studies di New York, di mana salah satu pendirinya adalah Bill Casey, yang
kemudian menjadi Direktur CIA. Tahun 1979, Fisher mendirikan Institute for Public Policy di
San Francisco. Fisher juga terlibat dalam mendirikan Centre for International Studies (CIS)
di Australia, di mana Direkturnya Greg Lindsay merupakan kontibutor penting
berkembangnya ide pasar bebas di politik Australia. Dalam rangka memudahkan mengelola
berbagai lembaga tersebut, Fisher mendirikan Atlas Economic Research Foundation yang
menyediakan struktur kelembagaan pusat, yang di tahun 1991 mengklaim membantu,
mendirikan, membiayai sekitar 78 lembaga serta mempunyai hubungan dengan 81 lembaga
lainnya, di 51 negara. Ketika tembok Berlin rubuh, maka banyak personelnya yang pindah
ke Eropa Timur guna “merubah ekonomi-ekonomi yang sakit menjadi kapitalisme”.3
1 Lihat dalam Eric Toussaint, Your Money or Your Life: The Tiranny of Global Finance, Pluto Press,
1999, hlm. 178-182; dan Sritua Arief, Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, CIDES, 1998, hlm. 36-
39.
2 Susan George, “A Short History of Neoliberalism”, dalam Walden Bello, Nicola Bullard, Kamal
Malhotra (ed.), Global Finance: New Thinking on Regulating Speculative Capital Markets, Zed Books,
2000, hlm. 28-29.
3 Ted Wheelwright, “How neo-Liberal Ideology Triumphed”, Third World Resurgence, No. 99/1998,
hlm. 11-12.
Para ekonom neo-Liberal di tahun 1970-an berhasil menembus dominasi ilmu ekonomi. Di
tahun 1974, Hayek dianugerahi Nobel Ekonomi. Sesudahnya Friedman mendapat Nobel
Ekonomi di tahun 1976. Juga Maurice Allais, seorang anggota Mont-Pelerin Society,
mendapat Nobel Ekonomi di tahun 1988. Sejak tahun 1970-an, neo-Liberal mulai berkibar.
Sejak itu pulalah seluruh paradigma ekonomi secara perlahan masuk ke dalam cara berpikir
neo-Liberal, termasuk ke dalam badan-badan multilateral, Bank Dunia, IMF dan GATT
(kemudian menjadi WTO).
Dengan demikian Margaret Thatcher menjadi pengikut dari Hayek, sedangkan murid dari
Friedman adalah Ronald Reagan. Inilah yang menghantar neo-Liberal menjadi ekonomi
mainstream di tahun 1980-an lewat Thatcherism dan Reaganomics. Thatcher sebenarnya
adalah seorang social-darwinist, sampai akhirnya ia menemukan buku Hayek, dan
kemudian menjadi salah satu pengikutnya. Doktrin pokok dari Thatcher adalah paham
kompetisi – kompetisi di antara negara, di antara wilayah, di antara perusahaan-
perusahaan, dan tentunya di antara individu. Kompetisi adalah keutamaan, dan karena itu
hasilnya tidak mungkin jelek. Karena itu kompetisi dalam pasar bebas pasti baik dan
bijaksana. Kata thatcher suatu kali, “Adalah tugas kita untuk terus mempercayai
ketidakmerataan, dan melihat bahwa bakat dan kemampuan diberikan jalan keluar dan
ekspresi bagi kemanfaatan kita bersama”. Artinya, tidak perlu khawatir ada yang tertinggal
dalam persaingan kompetitif, karena ketidaksamaan adalah sesuatu yang alamiah. Akan
tetapi ini baik karena berarti yang terhebat, terpandai, terkuat yang akan memberi manfaat
pada semua orang. Hasilnya, di Inggeris sebelum Thatcher, satu dari sepuluh orang
dianggap hidup di bawah kemiskinan. Kini, satu dari empat orang dianggap miskin; dan satu
anak dari tiga anak dianggap miskin. Thatcher juga menggunakan privatisasi untuk
memperlemah kekuatan Serikat Buruh. Dengan privatisasi atas sektor publik, maka
Thatcher sekaligus memperlemah Serikat-Serikat Buruh di BUMN yang merupakan terkuat
di Inggeris. Dari tahun 1979 sampai 1994, maka jumlah pekerja dikurangi dari 7 juta orang
menjadi 5 juta orang (pengurangan sebesar 29%). Pemerintah juga menggunakan uang
masyarakat (para pembayar pajak) untuk menghapus hutang dan merekapitalisasi BUMN
sebelum dilempar ke pasar. Contohnya Perusahaan Air Minum (PAM) mendapat
pengurangan hutang 5 milyar pounds ditambah 1,6 milyar pounds dana untuk membuatnya
menarik sebelum dibeli pihak swasta. Demikian pula di Amerika, kebijakan neo-Liberal
Reagan telah membawa Amerika menjadi masyarakat yang sangat timpang. Selama
dekade 1980an, 10% teratas meningkat pendapatannya 16%; 5% teratas meningkat
pendapatannya 23%; dan 1% teratas meningkat pendapatannya sebesar 50%. Ini
berkebalikan dengan 80% terbawah yang kehilangan pendapatan; terutama 10% terbawah,
jatuh ke titik nadir, kehilangan pendapatan15%.4
Sejak 1980-an pula, bersamaan dengan krisis hutang Dunia Ketiga, maka paham neo-
Liberal menjadi paham kebijakan badan-badan dunia multilateral Bank Dunia, IMF dan
WTO. Tiga poin dasar neo-Liberal dalam multilateral ini adalah: pasar bebas dalam barang
dan jasa; perputaran modal yang bebas; dan kebebasan investasi. Sejak itu Kredo neo-
Liberal telah memenuhi pola pikir para ekonom di negara-negara tersebut. Kini para ekonom
selalu memakai pikiran yang standard dari neo-Liberal, yaitu deregulasi, liberalisasi,
privatisasi dan segala jampi-jampi lainnya. Kaum mafia Berkeley UI yang dulu neo-klasik,
kini juga berpindah paham menjadi neo-liberal.
4 Susan George, Ibid., hlm. 29-31.
NEO-LIBERAL DALAM MULTILATERALISME
Poin-poin pokok neo-Liberal dapat disarikan sebagai berikut:5
1. ATURAN PASAR. Membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap
keterikatan yang dipaksakan pemerintah. Keterbukaan sebesar-besarnya atas
perdagangan internasional dan investasi. Mengurangi upah buruh lewat pelemahan
serikat buruh dan penghapusan hak-hak buruh. Tidak ada lagi kontrol harga.
Sepenuhnya kebebasan total dari gerak modal, barang dan jasa.
2. MEMOTONG PENGELUARAN PUBLIK DALAM HAL PELAYANAN SOSIAL. Ini seperti
terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, pengurangan anggaran untuk ‘jaring
pengaman’ untuk orang miskin, dan sering juga pengurangan anggaran untuk
infrastruktur publik, seperti jalan, jembatan, air bersih – ini juga guna mengurangi peran
pemerintah. Di lain pihak mereka tidak menentang adanya subsidi dan manfaat pajak
(tax benefits) untuk kalangan bisnis.
3. DEREGULASI. Mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah yang bisa mengurangi
keuntungan pengusaha.
4. PRIVATISASI. Menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor
swasta. Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik, sekolah,
rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi efisiensi yang lebih
besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke dalam sedikit orang dan
membuat publik membayar lebih banyak.
5. MENGHAPUS KONSEP BARANG-BARANG PUBLIK (PUBLIC GOODS) ATAU
KOMUNITAS. Menggantinya dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekan rakyat
miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan kesehatan,
pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka atas kemalasannya.
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan program di Bank Dunia dan IMF ini, maka program
neo-Liberal, mengambil bentuk sebagai berikut:6
1. Paket kebijakan Structural Adjustment (Penyesuaian Struktural), terdiri dari komponen-
komponen: (a) Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas; (b)
Devaluasi; (c) Kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk: pembatasan kredit,
peningkatan suku bunga kredit, penghapusan subsidi, peningkatan pajak, kenaikan
harga public utilities, dan penekanan untuk tidak menaikkan upah dan gaji.
2. Paket kebijakan deregulasi, yaitu: (a) intervensi pemerintah harus dihilangkan atau
diminimumkan karena dianggap telah mendistorsi pasar; (b) privatisasi yang seluas-
luasnya dalam ekonomi sehingga mencakup bidang-bidang yang selama ini dikuasai
negara; (c) liberalisasi seluruh kegiatan ekonomi termasuk penghapusan segala jenis
proteksi; (d) memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan
fasilitas-fasilitas yang lebih luas dan longgar.
3. Paket kebijakan yang direkomendasikan kepada beberapa negara Asia dalam
menghadapi krisis ekonomi akibat anjloknya nilai tukar mata uang terhadap dollar AS,
yang merupakan gabungan dua paket di atas ditambah tuntutan-tuntutan spesifik
disana-sini.
Di Indonesia, paham neo-liberal mulai terasa pengaruhnya di tahun 1980-an, ketika
pemerintah mulai menerapkan kebijakan liberalisasi keuangan dan ekonomi, yang berujud
dalam berbagai paket deregulasi semenjak tahun 1983. Paralel dengan masa itu adalah
terjadinya krisis hutang dunia Ketiga di tahun 1982, ketika Mexico default. Setelah itu Bank
Dunia dan IMF masuk ke dalam perekonomian negara-negara yang terkena krisis hutang
lewat perangkat SAP. Saat itu terutama di negara-negara Amerika Latin dan Afrika.
5 Elizabeth Martinez dan Arnoldo Garcia, “What is Neo-Liberalism?”, Third World Resurgence No.
99/1998, hlm. 7-8.
6 Arief, Op.cit., hlm. 360-367.
Indonesia belumlah terkena krisis, dan karenanya jauh dari hiruk-pikuk SAP. Akan tetapi
sejak itu jelas pola pembangunan Indonesia mulai mengadopsi kebijakan neo-liberal,
khususnya karena keterikatan Indonesia kepada IGGI, Bank Dunia dan IMF. Beberapa
kebijakan pada saat itu, yang membuat Indonesia semakin terbuka kepada kapitalisme
global, secara ringkasnya adalah sebagai berikut:7
1. Di bidang moneter dan keuangan:
Pada bulan Maret 1983, dilakukan devaluasi terhadap rupiah sebesar 28%. Kemudian sejak
Juni 1983, dimulai deregulasi perbankan dengan menghapus kontrol atas suku bunga dan
pagu kredit. Di bulan Oktober 1986, pemerintah menghapus pagu swap pada BI. Tanggal 12
September 1986, dilakukan kembali devaluasi atas rupiah sebesar 31%. Setelahnya,
tanggal 27 Oktober 1988 (terkenal dengan Pakto—paket Oktober) pemerintah memberi
keleluasaan untuk pendirian bank baru, termasuk bank patungan, dengan menurunkan
reserve requirement dari 15% menjadi 2%, dan memperlakukan peraturan lending limit.
Pada Desember 1987, pemerintah memperbaiki fungsi pasar modal Jakarta dan
dibentuknya pasar paralel. Selanjutnya di bulan Desember 1988, diadakan deregulasi pasar
modal dan jasa finansial. Tanggal 25 Maret 1989, follow-up Pakto 1988.
2. Di bidang fiskal:
Di tahun 1984, dimulai reformasi perpajakan dengan pengenaan PPh (pajak penghasilan).
Tahun 1985, diperkenalkan pajak pertambahan nilai. Tahun 1986, digantinya IPEDA dengan
pajak bumi dan bangunan (PBB)
3. Di bidang perdagangan
Pada bulan Maret 1985, diadakan pengurangan tarif dari 0-225% tinggal menjadi 0-60%.
Selanjutnya dikeluarkan Inpres no. 4/1985 yang mengganti peran bea cukai oleh SGS dari
Swiss. Bulan Mei 1986 (dikenal dengan Pakem) dilakukan perbaikan duty drawback dan
upaya agar eksportir mendapatkan input dengan harga internasional. Pada bulan Oktober
1986, dilakukan perubahan dari lisensi impor menjadi impor umum, penghapusan non-trade
barrier (NTB) dan penurunan tarif lebih lanjut. Bulan Januari 1987, kembali beberapa
perubahan lisensi impor menjadi impor umum. Selanjutnya Juli 1987, dilakukan simplifikasi
kuota tekstil. Pada bulan Desember 1987, diadakan deregulasi lebih lanjut tentang sistem
impor dan ekspor serta investasi bagi asing. Di bulan November 1988, penghapusan
monopoli impor (plastik dan baja) dan deregulasi angkutan laut antar pulau. Pada Januari
1989, diperkenalkan ‘Harmonized System of Trade Classification’. Kemudian pada Mei
1990, dilakukan penghapusan NTB lebih lanjut menjadi tarif, deregulasi farmasi dan
peternakan.
4. Di bidang investasi:
Pada bulan Mei 1986, 95% pemilikan asing dimungkinkan untuk melakukan investasi
berorientasi ekspor. Perusahaan yang berorientasi ekspor diizinkan mendistribusikan
produknya di dalam negeri dan perusahaan patungan dapat memperoleh kredit ekspor dari
pemerintah. Kemudian tanggal 23 Oktober 1993 dikeluarkan Pakto 1993, yaitu paket
deregulasi sektor riil, diantaranya izin investasi lansung dapat diurus di tingkat kabupaten
dan kotamadya dan penghapusan berbagai surat dan persetujuan. Setelahnya dikeluarkan
PP 20/1994 tanggal 2 Juni 1994, yang sangat liberal, yaitu dibolehkannya pemilikan modal
asing sampai dengan 95-100%, termasuk penguasaan atas sarana hajat hidup orang
banyak, seperti pelabuhan, tenaga listrik, kereta api, pembangkit tenaga nuklir dan media
massa.
7 Mudrajat Kuncoro, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan, UPP-AMN-YKPN,
Yogya, 1987, hlm.374-376; Panji Anoraga, Perusahaan Multi Nasional dan Penanaman Modal Asing,
Pustaka Jaya, Jakarta, 1995, hlm 157-175.
Liberalisasi di masa Orde Baru tersebut, meski demikian, merupakan juga alat bagi kroni-
kroni Suharto dan keluarganya untuk menguasai perekonomian. Dengan demikian
liberalisasi tersebut pada dasarnya mengukuhkan struktur konglomerasi yang mampu
menguasai berbagai sektor ekonomi dari hulu sampai hilir di tangan segelintir kelompok
pengusaha. Bagi neo-Liberalisme, dalam hal ini Bank Dunia dan IMF, hal ini tidaklah
mengganggu. Kapitalisme dapat bersesuaian dengan otoriterisme, dan malahan
merupakan pilihan terbaik, sebagaimana resep kaum neo-Liberal. Karena itulah Indonesia
selalu mendapat puja-puji dari para pejabat Bank Dunia dan IMF. Indonesia dianggap
sebagai contoh keberhasilan, sebagai “good-boy”, dinaikkan derajadnya menjadi kelompok
negara berpenghasilan menengah-bawah, dan digolongkan sebagai NICs (New
Industrialized Country) baru, sebagai ‘Macan Asia’ bersama-sama Thailand, Malaysia dan
Filipina. Bahkan laporan Bank Dunia di awal tahun 1997, masih memuja-muji ekonomi
Indonesia dan menyatakannya sebagai contoh yang paling baik dengan fundamental
ekonomi yang bagus pula.
Tidak dinyana terjadilah krisis moneter Juli 1997, yang dimulai dari Thailand. Kini mulailah
Indonesia masuk ke dalam krisis berkepanjangan yang tidak berkesudahan hingga kini.
Sejak itu dimulailah babak baru ekonomi politik pembangunan Indonesia, yaitu Indonesia
masuk ke dalam skema SAP dari Bank Dunia dan IMF. SAP bertujuan: (1) menurunkan
inflasi; (2) menurunkan defisit anggaran; (3) memacu ekspor; dan (4) membuat jadual
pembayaran hutang luar negeri lancar. Untuk itu, pemerintah harus melakukan hal-hal
sebagai berikut: (a) devaluasi mata uang; (b) deregulasi sektor keuangan; (c) pemotongan
subsidi; (d) menjual perusahaan publik, yaitu privatisasi BUMN; (e) memotong anggaran
sosial dan tenaga kerja; (f) liberalisasi sektor perdagangan; dan (g) penurunan upah.
Dengan melihat lingkup bidang SAP, maka hampir seluruh sektor penting harus
direstrukturisasi. Ini nampak sekali di dalam isi Letter of Intent dan Memorandum yang
menyertainya, yang mengatur hampir seluruh sektor yang ada, mulai dari sektor perbankan,
sektor pengairan, sektor utilities (listrik, air dan energi) dan banyak lainnya. Sebenarnya
skema SAP di Indonesia sudah mirip dengan ESAF (Enhanced Structural Adjustment
Facility – kemudian berubah menjadi PRGF – Poverty Reduction Growth Facility), sebuah
skema SAP bagi negara-negara LDC (miskin). Mengingat Indonesia masih tidak bisa
dikategorikan miskin, maka diadakan modifikasi. Sementara itu Bank Dunia mulai
memasukkan komponen pinjamannya dengan SAP, yaitu lewat SSNAL (Social Safety-Net
Adjustment Loan) dan PRSL (Policy Reform Structural Loan). Selain itu Bank Dunia juga
memberikan pinjaman secara sektoral, yaitu lewat Sectoral Adjustment Loan (SECAL), yaitu
program SAP untuk sektor-sektor tertentu. Ini merupakan program baru dari Bank Dunia
yang diturunkan bila suatu negara dianggap tidak layak secara ekonomi dan politik. SECAL
di Indonesia diberikan pada sektor pengairan (WATSAL-Water Sectoral Adjustment Loan)
dan dalam waktu dekat untuk sektor pertanian, dan kemudian menyusul pada sektor
perdagangan, industri dan energi. Sementara ADB memberikan SECAL untuk sektor-sektor
listrik, kesehatan dan gizi, komunitas, pemerintahan daerah, deregulasi usaha menengah,
dan pemberantasan korupsi di BUMN.
Seluruh skema SAP yang disodorkan Bank Dunia-IMF kini telah merubah Indonesia menjadi
hamba sahaya saja dari badan-badan tersebut. Terutama skema dari IMF, dipandang
merupakan pendiktean luar biasa kepada pemerintah Indonesia. Kini nakhoda kapal
Indonesia sudah disetir oleh IMF. Segala hal harus melalui ijin dan sepengetahuan IMF, dan
IMF punya kewenangan untuk menolaknya. Contoh-contoh tersebut misalnya pada Undang-
Undang bank Indonesia dan penggantian Gubernur Bank Indonesia, di mana pemerintah
sampai mengiba-iba untuk mendapat ijin dari IMF. Begitupun IMF tetap ngotot dan keras
agar Indonesia tetap pada rejim devisa bebas dan rejim nilai tukar mengambang-bebas.
Segala hal yang mengarah pada dua hal tersebut akan selalu di-veto oleh IMF. Padahal
masalah paling dasar dari krisis Indonesia adalah tidak terkendalinya nilai tukar Rupiah,
hanya karena sensitivitas pasar pada kejadian sehari-hari. Kehidupan rakyat Indonesia telah
dikurbankan untuk kepentingan mekanisme pasar dan spekulan-spekulan mata uang.
KEGAGALAN DAN KEJAHATAN IMF
Dalam hal ini patut diketengahkan peran dari IMF. IMF kiranya dapat digambarkan sebagai
Kopasus-nya globalisasi. IMF disebut juga sebagai ‘Advance-Guard’ (pasukan garis depan)
WTO. Mengapa? Karena WTO dan IMF mempunyai tujuan yang sama, yaitu perdagangan
bebas. Untuk itu IMF akan selalu bergerak cepat mendahului perjanjian-perjanjian yang
diatur WTO. Ini nampak dalam isi Letter of Intent yang memintakan diadakannya liberalisasi
perdagangan lebih cepat dan penurunan tarif drastis ketimbang yang dituntut di WTO.
Seluruh liberalisasi yang tercakup di dalam LoI, mendahului komitmen di dalam WTO.
Paket kebijakan yang disodorkan IMF kepada Indonesia adalah paket standard yang
diberlakukan di berbagai negara lainnya yang mendapatkan SAP. Paket tersebut terdiri dari
komponen-komponen berikut ini:8
1. Mengembalikan mekanisme pasar bebas sebagai penentu pembentukan harga barang
dan jasa dan sebagai proses pengalokasian sumber-sumber ekonomi ke tingkat yang
optimal, atau disebut allocative efficiency.
2. Swastanisasi seluas-luasnya dalam ekonomi. Ini berarti penguasaan pemerintah dalam
aset ekonomi dan keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi, termasuk
pembangunan prasarana publik, akan diminimumkan.
3. Pelaksanaan kebijakan moneter dan fiskal yang kontraktif dengan tujuan mencegah
meningkatnya inflasi. Kebijakan moneter yang kontraktif berbentuk pengetatan kredit
dan pengenaan tingkat bunga yang relatif tinggi sebagai akibat liberalisasi keuangan.
Kebijakan fiskal yang kontraktif mengambil bentuk pengurangan atau penghapusan
subsidi.
4. Segala bentuk proteksi dihapuskan dan liberalisasi impor dilaksanakan demi
menimbulkan daya saing dan efisiensi unit-unit ekonomi domestik. Liberalisasi impor
dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan Putaran Uruguay.
5. Memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing dengan fasilitas yang lebih
luas dan liberal ke seluruh sektor ekonomi dalam berbagai skala investasi (kecil,
menengah dan besar). Ketentuan-ketentuan yang membatasi pemilikan asing
dihapuskan sehingga dominasi pihak asing dalam pemilikan sosial unit-unit ekonomi,
baik di sektor swasta maupun di sektor publik harus dibenarkan atas dasar landasan
ideologi globalisasi modal, pertukaran dan produksi (internationalization of capital,
exchange and production).
6. Butir-butir lain-lain, yang sudah lama direkomendasikan oleh orang Indonesia sendiri,
seperti pembubaran BPPC, penghapusan larangan membeli dan menyewa kapal-kapal
bekas (terutama untuk pencarian ikan), penghapusan monopoli BULOG dalam komoditi-
komoditi tertentu, penghapusan paksaan kepada petani untuk menanam tebu,
pencabutan fasilitas pajak maupun jaminan kredit untuk proyek Mobnas, dan
penghapusan dukungan pemerintah untuk proyek IPTN.
Sritua Arief menyatakan bahwa ini adalah standar neo-liberal yang berlawanan dengan
kepentingan rakyat Indonesia. Pertama, Allocative efficiency, di tengah kepincangan yang
menyolok dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, maka mekanisme pasar akan
mengakomodasikan preferensi orang-orang kaya. Ini artinya sumber-sumber ekonomi akan
dialokasikan untuk memproduksi barang-barang mewah atas korban produksi barang-
barang kebutuhan pokok. Kedua, apa yang disebut privatisasi, menurut Sritua, mengandung
unsur ideologis yang sangat berbahaya, karena dimaksudkan terjadi perubahan distribusi
8 Sritua Arief, Op.cit., hlm. 374-379
kekayaan dan kekuasaan politik untuk memperkuat posisi kelompok kaya, kalangan bisnis
besar dan para penghisap dan pemupuk rente ekonomi atas korban masyarakat bawah.
Terjadi situasi self-reinforcing antara jaringan kekuasaan ekonomi dengan jaringan
kekuasaan politik. Masuknya unsur-unsur asing berkolaborasi dengan para kompradornya di
Indonesia akan menjerumuskan Indonesia kembali menjadi negeri koloni asing. Ketiga,
kebijakan moneter yang bertujuan untuk mencegah peningkatan inflasi seolah terdapat
“excess demand” dalam ekonomi Indonesia menjadi paradoksal dengan kebijakan fiskal
yang justru mendorong inflasi melalui kenaikan biaya. Keempat, dalam hal liberalisasi
impor, IMF pura-pura tidak tahu bahwa negara-negara di dunia ini ada yang kuat dan yang
lemah. Yang kuat menjadi price maker, dan yang lemah menjadi price taker. Contohnya,
produk-produk pertanian asing yang masuk ke negara-negara berkembang diproduksi
dalam skala besar sehingga menimbulkan manfaat skala ekonomi yang tinggi, sementara
produk pertanian di negara-negara berkembang masih diproduksi secara kecil-kecilan
sehingga belum meraih manfaat skala ekonomi. Tentu saja dalam situasi ini, produk-produk
pertanian domestik akan kalah bersaing dengan produk-produk dari negara maju. Apalagi di
negara maju mereka masih terus memperoleh subsidi secara terselubung. Kelima, dalam
hal arus masuk investasi asing, maka Indonesia tidak bisa melarang jika orang asing
memperkuli pengukir-pengukir perabot Jepara, memperkuli penenun-penenun tenunan Bali,
dan memperbudak pembuat-pembuat keramik gabah di Kasongan. Permintaan IMF untuk
menghapus larangan investor asing memasarkan sendiri produk-produknya, akan berarti
mempersempit kesempatan kalangan domestik dalam kegiatan jasa distribusi. Sritua juga
melihat ada butir-butir IMF yang mengenai program-program pemerataan dan pengentasan
kemiskinan. Akan tetapi pengalaman pelaksanaan paket IMF di seluruh negara berkembang
menunjukkan bahwa pelaksanaan program-program ini sangat tidak efektif, karena tetap
berdasar pada strategi redistribution from growth. Hal ini tidak untuk memecah tembok-
tembok struktur monopoli dan oligopoli, melainkan malahan akan memperkokoh dan
memperluas struktur tersebut selama unsur-unsur asing diikutsertakan secara substansial.
Demikianlah kritik tajam dari Sritua.9
Di lain pihak, dana pinjaman yang diorganisir IMF sebesar US$ 43 milyar, disebutkan
sebagian besar akan digunakan untuk membiayai defisit perkiraan berjalan dalam neraca
pembayaran. Ini artinya, menurut Sritua, sebagian besar akan digunakan untuk membiayai
kepentingan asing dalam impor, repatriasi keuntungan investasi asing, bunga hutang luar
negeri, dan jasa-jasa asing lainnya. Jadi hutang ini kembali dinikmati oleh pihak asing dan
bebannya ditanggung rakyat Indonesia. Ini sama dengan penggunaan pinjaman dari ADB
untuk Indonesia sebesar US$ 1,5 milyar, di mana sebesar US$ 1,4 milyar harus digunakan
untuk impor. Kata Sritua, “Sungguh ketololan luar biasa jikalau pemerintah Indonesia
mengucapkan ‘matur nuwun’ atau ‘hatur nuhun’ kepada IMF”. Demikian pula keadaan yang
sama berlaku untuk pinjaman CGI. Adalah naif pernyataan yang menyatakan bahwa seluruh
pinjaman akan masuk menjadi penerimaan dalam APBN dan akan dikonversikan ke Rupiah
sehingga Rupiah membanjir. Sebagaimana diketahui ada tiga komponen pokok dalam
pinjaman CGI, yaitu pinjaman program, technical assistance dan pinjaman untuk
memperkuat cadangan devisa. Pinjaman program terdiri dari nilai barang-barang keperluan
proyek yang diimpor dari negara kreditor, di mana nilai sebenarnya kita tidak tahu. Technical
assistance adalah nilai jasa-jasa asing, yaitu para konsultan asing yang bergentayangan di
Indonesia dan pembayaran atas jasa-jasa para birokrat asing yang mengelola pinjaman.
Sedangkan pinjaman untuk memperkuat cadangan devisa masuk menjadi cadangan
pinjaman (borrowed reserve) di Bank Indonesia dan terbenam di sana. Arti ini semua,
katanya, adalah Indonesia kembali di bawah kekuasaan asing!10
9 Sritua Arief, Ibid.
10 Sritua Arief, Ibid., hlm. 383-384.
Dengan memahami kritik Sritua atas IMF, makin jelas bahwa IMF mempunyai
kepentingannya sendiri atas Indonesia, dengan justifikasi SAP-LoI yang seolah-olah mau
menyelamatkan Indonesia dari krisis, nyatanya mau melakukan rekolonialisasi. Dalam
kenyataannya reputasi dan legitimasi IMF sebenarnya sudah turun rendah sekali. IMF sudah
lama dikritik, sejak developmentalisme, dan kini dengan neo-liberalismenya. Kritik tersebut
disampaikan bukan saja dari kalangan negara berkembang, akan tetapi bahkan dari
kalangan masyarakat di negara maju sendiri. Menurut catatan Development GAP pada
tahun 1998, sebuah Ornop yang berbasis di Washington, sejak 20 tahun terakhir IMF telah
merawat pasien-pasiennya sebanyak 83 negara dengan program SAP. Hasilnya malah
menimbulkan banyak masalah. Pengangguran meningkat, ekonomi semakin tidak merata,
kemiskinan meningkat, harga-harga naik, produksi pangan per-kapita turun, hutang
meningkat, pajak mencekik, subsidi untuk orang miskin dihapuskan, dan negara tidak lagi
melayani rakyatnya, karena BUMN-BUMN strategis diswastanisasi. Jadi Indonesia adalah
pasiennya yang terakhir yang kini sedang sekarat, justru karena mendapat perawatan.
Indonesia adalah negara terbesar kedua yang mendapat paket penyelamatan ekonomi IMF
setelah Rusia. Dan kedua negara ini sekarang menjadi contoh jelas dari kegagalan operasi
penyelamatan IMF yang tidak berkesudahan hingga kini.
Contoh paling jelas dari tidak becusnya IMF sebenarnya datang langsung dari kritik Kongres
Amerika sendiri, yaitu lewat Komisi Meltzer (dipimpin oleh ekonom Alan Meltzer) yang di
tahun 1998 telah mengkritik kecerobohan IMF dalam menjalankan peran penyelamatnya di
dalam krisis Asia. Kongres Amerika telah mengkritik adanya peran IMF yang mengakibatkan
terjadinya krisis utang tersebut. Malahan beberapa anggota Kongres mempertanyakan
kembali perlu tidaknya keberadaan IMF. Bahkan studi internal di dalam tubuh IMF sendiri
telah mengkritik keras kebijakan IMF karena penanganannya yang salah atas krisis di
Meksiko dan Indonesia. Studi ini tidak pernah dikeluarkan kepada publik oleh IMF, bahkan
juga tidak kepada Kongres Amerika.
Kritik pedas bahkan datang dari seorang kepala ekonomi Bank Dunia yang sekaligus juga
pernah sebagai kepala penasehat ekonomi presiden Clinton, yaitu Joseph Stiglitz. Secara
terbuka Stiglitz dalam sebuah majalah konservatif The New Republic menyerang kebijakan
IMF dalam menangani krisis, yang dikatakannya hanya memakai resep yang itu-itu juga
dalam menangani krisis Asia. Bahkan secara sinis, Stiglitz menyebut mereka memakai cara
“copy” dan “paste” saja dalam membuat kebijakannya, yaitu mengambil saja mentah-mentah
resep di negara lain untuk dipaksakan digunakan di negara lainnya lagi. Bahkan karena
kesalnya ia pada orang-orang IMF yang keras kepala dan tidak mau dinasehati, ia menyebut
mereka sebagai para ekonom kelas dua atau tiga yang lebih bodoh dari para ekonom
pemerintahan yang ditanganinya. Pantas Stiglitz kini sangat tidak disukai oleh IMF dan
kemudian dikeluarkan dari Bank Dunia karena menggoncang status-quo multilateralisme.
Akan tetapi ternyata bukan hanya Stiglitz saja yang punya pandangan demikian. Kini bahkan
ekonom terkemuka dari Universitas Columbia, Jagdish Bhagwati, seorang penyeru pasar
bebas yang utama, bahkan ikut menyatakan keberatannya terhadap IMF. Kontrol modal
yang selalu menjadi benteng kebijakan IMF kini dikritik oleh Bhagwati, yang menyatakan
bahwa krisis Asia tidak bisa lepas dari hilangnya kemampuan negara-negara tersebut dalam
mengontrol pinjaman-pinjaman jangka pendek yang luar biasa besarnya. Krisis Asia
terutama karena tiadanya kontrol modal, katanya.
Kritik bertubi-tubi terhadap IMF, juga datang tidak lain dari sebuah universitas kondang di
Amerika, Harvard Institute of International Development, yaitu lewat dedengkotnya, Jeffrey
Sachs dan Steve Radelet. Mereka juga menyatakan kritik yang serupa. Bahkan Sahcs
sangat tajam mengkritik IMF dengan kata-katanya, “penyakit typhus yang membawa resesi
dari satu negara ke negara lain” Bahkan kini serangan paling tajam datang langsung dari
ekonom pengemuka globalisasi itu sendiri, yaitu Paul Krugman, yang kemudian menulis di
majalah Fortune tentang perlunya kembali ke restriksi (kekangan) atas nilai tukar, yang
kemudian diadopsi oleh Malaysia.
Bukti apalagi yang dibutuhkan oleh IMF mengenai kegagalannya? Bukti yang paling nyata
adalah apa yang kini terjadi antara IMF dengan Indonesia. Kasus Indonesia sebenarnya
merupakan kasus kuat dari begitu serampangnya dan begitu tidak bertanggungjawabnya
IMF terhadap sebuah negara. Theo Toemion dari Fraksi PDIP telah lama menyerang
kegagalan IMF ini, yang sayangnya kurang didengar oleh para ekonom dan politisi kita.
Khususnya geng mafia Berkeley dari Universitas Indonesia yang sangat pro-IMF lewat Sadli
dan Emil Salim. Begitu pula kini dilanjutkan oleh generasi mudanya, ekonom-ekonom UI
seperti Sri Mulyani yang adalah ‘darling’nya IMF (istilah dari Bung Hartojo Wignjowijoto)
serta Faisal Basri yang penganut neo-liberal. Merekalah penjaga-penjaga kepentingan IMF
di Indonesia. Apalagi setelah pemerintahan Gus Dur tidak lagi memakai mereka karena
perbedaan visi.
Kritik paling pedas buat IMF datang dari HMT Oppusunggu, lewat gugatannya kepada IMF
di bukunya “Berhentilah Bicara, Seruan Bagi Ekonom Indonesia”.11 Ia bahkan telah
membawa IMF ke pengadilan internasional (International Court of Justice) di Den Hague,
Belanda. Menurutnya IMF telah melakukan kejahatan moneter dan malpraktek moneter
terhadap Indonesia. IMF ditudingnya telah menyetir berbagai tindakan Bank Indonesia yang
justru memicu krisis yang tidak berkesudahan di Indonesia. IMF adalah aktor intelektual dari
kejahatan moneter Bank Indonesia. Oppusunggu menduga, justru ada udang di balik batu
dari semua tindakan IMF tersebut, yaitu menjalankan “beggar-thy-neighbour policy”, yaitu
kebijakan yang menjerat suatu negara kepada kemiskinan terus menerus sehingga
tergantung kepadanya.
Hal ini sama dengan apa yang ditulis oleh Jeffrey Winters di Kompas (14 April 2001).
Winters justru menduga ada sesuatu yang mencurigakan dari operasi IMF di Indonesia. Dia
menyatakan adanya otokritik Dewan Eksekutif IMF bulan lalu terhadap pendekatan yang
dilakukan IMF dalam menerapkan conditionalities (persyaratan-persyaratan). Akan tetapi
petunjuk tersebut tidak berlaku untuk Indonesia. Mengapa? Winters menjawab, karena IMF
khawatir terbongkarnya segala kebobrokan yang terjadi di Bank Indonesia dapat berakibat
negatif bagi kewibawaan IMF. Ini adalah jawaban yang jelas dari kekisruhan yang terus
terjadi di BI. Oppusunggu dan Winters bisa mencium adanya skandal di BI yang dibekingi
IMF, yang sebenarnya juga skandal politik Golkar. Karena itulah pemerintahan Gus Dur
diserang lebih dulu, dan Sayhril Sabirin dijadikan seolah-olah sebagai pahlawan.
Runyamnya IMF adalah juga karena runyamnya politik Indonesia. Kemacetan Undang-
Undang Bank Sentral tidak lain karena IMF tidak rela cengkeramannya terhadap BI
dikurangi.
Sebenarnya itulah pula sebabnya sejak September 2000 lalu IMF tidak juga mau
mencairkan dananya yang 400 juta dollar, karena IMF terus menekankan kepentingannya
atas Bank Indonesia, yang merupakan kunci juga bagi kontrol modal. Tidak salah kalau
pemerintah Indonesia masih terus berdebat agar pemerintah punya kuasa atas BI. Rizal
Ramli juga menyatakan agar IMF tak lagi mengulangi kesalahan masa lalunya di tahun
1997, yaitu dengan terapi moneter yang salah (Kompas, 15 April 2001). Nampaknya
pemerintah sedang mencoba bertahan dari berbagai manuver IMF yang terus mau
menancapkan kukunya di Indonesia.
Kini saatnya orang-orang Indonesia menyadari bahwa IMF-lah yang sesungguhnya
merupakan biang keladi krisis Indonesia. Sejak Oktober 1997 (terbitnya Letter of Intent)
11 HMT Oppusunggu, Berhentilah Bicara! Seruan bagi Ekonom Indonesia, Penerbit Djambatan,
Jakarta, 2000
hingga April 2001 IMF tidak juga mendatangkan kesembuhan. Artinya IMF sebenarnya
sudah gagal. Percuma menyandarkan pada IMF. Alih-alih menyembuhkan, nyatanya IMF
telah memotong-motong badan pasiennya, hingga kita sekarat luar biasa. Utang yang
bertambah US$ 43 milyar tidak jatuh ke rakyat Indonesia, tapi untuk membayar kreditor
asing dan utang kroni-kroni Suharto untuk menjadi beban rakyat Indonesia. Sayangnya
orang Indonesia selalu dikibuli oleh ekonom-ekonom kesayangan IMF yang terus menerus
bilang supaya patuh pada IMF dan kehendak pasar; kalau tidak ada IMF, maka matilah
ekonomi kita. Jadi seperti budak saja, sudah diinjak kepalanya masih merasa bersyukur.
Nampaknya kita sebagai bangsa Melayu sudah kalah harga diri ketimbang Malaysia, yang
dengan penuh martabat menolak bantuan IMF dan terbukti berhasil keluar dari krisis.
APA SELANJUTNYA?
Setelah memahami dan mengetahui ideologi dan praktek jahat neo-liberalisme dan Bank
Dunia-IMF, maka apa yang kiranya perlu dilakukan. Bagi saya, pemahaman tersebut akan
membawa kita untuk mencari jawaban alternatif lain. Masih banyak berbagai pemikiran yang
bisa kita ambil untuk mencari jawaban dari persoalan yang dibawa oleh neo-liberalisme.
Selain itu, kita juga mulai berupaya untuk mendekonstruksi Bank Dunia dan IMF, menggugat
keberadaan mereka, dan mengenyahkan mereka karena ketidakbecusannya, arogansinya,
dan neo-kolonialismenya. Jangan pernah berpikir sedetikpun bahwa mereka adalah
penyelamat dan mau memberikan bantuan. Pikiran yang menggantungkan pada Bank Dunia
dan IMF adalah pikiran seorang budak atau pengemis, biarpun dia mengaku sebagai
ekonom kelas wahid atau pemikir hebat. Pikiran kita harus dicurahkan untuk membuat
strategi jangka pendek, menengah dan panjang untuk melepaskan diri dari cenkeraman
badan-badan dunia tersebut. Selain itu masyarakat harus terus digugah dan dididik untuk
mulai menjalankan pembangunan dari kemampuan diri sendiri. Indonesia juga harus belajar
banyak pada negara-negara yang sanggup berdikari, seperti dengan Jepang, RRC, Iran,
Libya, Kuba dan lain-lain. Selanjutnya juga mendorong solidaritas antar negara-negara
Dunia Ketiga untuk menghadapi hegemoni negara-negara maju. Untuk itu, saya ingat sikap
juang Bung Karno. Ketika di tahun 1960-an, Bank Dunia dan IMF mau masuk ke Indonesia
dan mulai minta macam-macam, maka Bung Karno menjadi kesal. Itulah akhirnya yang
membuatnya mengucapkan kata-kata: Go to Hell with your Aid! Setidaknya Bung Karno
benar, tidak mau ada penjajahan kedua kalinya. Kita juga tidak! ***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment