Tatanan system pendidikan nasional merupakan suatu hal yang sangat penting bagi keberlanjutan generasi bangsa yang maju dan berkualitas, karena hakekat dari pendidikan adalah untuk menciptakan tenaga-tenaga produktif sehingga mampu mengaplikasikan disiplin ilmunya guna kepentingan rakyat dan tentunya mempunyai orientasi yang jauh lebih maju ketimbang sekedar untuk bekerja dan menjadi skrup-skrup kapitalisme. Desakan imperialisme untuk selalu meliberalisasikan system pendidikan nasional di Indonesia sudah sangat nyata dan sudah mencapai fase yang cukup akut, sehingga tak ayal lagi kalau mayoritas anak negeri ini tidak sanggup mengenyam pendidikan. Beragamnya persoalan disektor pendidikan yang semakin menjadi beban rakyat tidak lepas dari peranan Rezim Boneka Imperialis yang berkuasa di Republik ini, kebijakan demi kebijakan yang dilahirkan disektor pendidikan sejak rezim dictator otoriter orde baru dibawah kepemimpinan Jenderal Soeharto sampai dengan Rezim SBY-JK tetap saja mempunyai satu perspektif sama yang selalu berselingkuh dengan kepentingan Imperialisme.
Karakter ketetertundukan terhadap imperialisme sudah sangat jelas tercermin dalam tindakan Pemerintah Indonesia, karena Indonesia sendiri salah satu negara yang antusias menyambut liberalisasi perdagangan jasa pendidikan Dalam pertemuan di Jenewa, Desember 2004, Indonesia telah melakukan initial request (permintaan pembukaan sektor-sektor jasa di negara lain) dan initial offer (penyerahan sektor-sektor di dalam negeri untuk dibuka atau diperdalam komitmennya bagi pemasok asing) kepada negara-negara anggota WTO lainnya. Ada tiga negara yang menjadi eksportir jasa pendidikan yaitu Amerika Serikat (AS), Inggris dan Australia. Negara-negara inilah yang akan paling diuntungkan dalam liberalisasi jasa pendidikan. Tidak mengherankan jika tiga negara tersebut saat ini sangat agresif menuntut sektor jasa pendidikan melalui WTO dengan beberapa model perdagangan jasa pendidikan yang akan digunakan sesuai dengan kerangka GATS (persetujuan umum mengenai perdagangan jasa) adalah : 1) cross border supply dimana PT asing menawarkan kuliah-kuliah melalui internet dan on-line degree programme, 2) consumption abroard dimana mahasiswa Indonesia belajar di PT luar negeri , 3) commercial presence di mana PT asing membentuk partner, subsidary atau twinning arrangement dengan PT local, 4) Presence of natural persons di mana dosen dari PT asing mengajar di PT lokal.
Rezim Boneka Imperialis yang berkuasa di Republik ini selalu memposisikan dirinya sebagai regulator atas kepentingan imperialisme yang kemudian mendapatkan legalitas atas segala Undang-Undang sebagai instrument penting dalam konteks penjajahan baru saat ini. Bermacam peraturan dan Undang-Undang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan DPR-RI terutama regulasi yang menyangkut kepentingan bisnis sektor jasa pendidikan di Indonesia. Maraknya Undang-Undang, maupun yang masih bersifat rancangan telah tersaji didepan mata sehingga semakin membuat ruwet persoalan didunia pendidikan nasional kita semisal; PP.60 Tahun ‘99 tentang Perguruan Tinggi, PP. 61 Tahun ‘99 tentang Perguruan Tinggi Negeri Sebagai BHMN, UU SISDIKNAS No 20 Tahun 2003, Sangat jelas Undang-Undang Sisdiknas justru hendak menggerakkan pendidikan nasional kita pada arah liberalisasi, Ini terlihat pada Pasal 9 UU Sisdiknas, yang menyatakan bahwa “”masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”, dan Pasal 12 Ayat 2 (b) yang memberi kewajiban terhadap peserta didik untuk ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, terkecuali bagi yang dibebaskan dari kewajibannya sesuai undang-undang yang ada. Belum lagi RUU BHP yang sudah disodorkan oleh pemerintah dan sekarang sedang digodok di DPR-RI, yang kesemuanya itu jelas untuk memfasilitasi kepentingan modal imperialisme. Badan Hukum Pendidikan (BHP) adalah badan hukum perdata yang didirikan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat, berfungsi memberikan pelayanan pendidikan, berprinsip nirlaba, dan otonom”. Kemudian pada Pasal 36 Ayat (1), secara terus terang pemerintah menyatakan bahwa pendanaan awal sebagai investasi pemula untuk pengoperasian Badan Hukum Pendidikan Dasar dan Menengah (BHPDM) berasal dari masyarakat maupun hibah, baik dari dalam atau luar negeri. RUU BHP sebenarnya ingin menjadikan perguruan Tinggi (PT) layaknya seperti Perseroan Terbatas (PT) yang didalamnya juga membuka peluang investasi pihak swasta melalui mekanisme Majelis Wali Amanah (MWA) yang terdiri dari perwakilan pemerintah, perwakilan satuan pendidikan atau rektorat, dan dari masyarakat atau pihak swasta, yang dimaksud dengan perwakilan masyarakat disini adalah investor.
Arahan untuk mematangkan liberalisasi dan privatisasi pendidikan sudah sangat jelas kita lihat, artinya Negara berusaha melepaskan tanggung jawabnya pada sector pendidikan dan secara otomatis tidak memberikan subsidi karena sector pendidikan akan segera diprivatisasi alias menjadi milik swasta, hal ini akan semakin mendapatkan legitimasi ketika RUU BHP sudah disyahkan. Padahal dalam amandemen UUD 1945 yang ke empat telah dinyatakan secara tegas pada Pasal 31 Ayat (2), “setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Hal itu dipertegas di Ayat (4), “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja Negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”. Ketika pemerintah tidak sanggup merealisasikan subsidi pendidikan sebesar 20 %, berarti pemerintah telah mengkhianati konstitusi. Dalam APBN 2007 misalnya, sektor pendidikan hanya mendapatkan alokasi 11.8 %. Jumlah tersebut sangat minim dibandingkan pengeluaran untuk pinjaman luar negeri (utang) yang pada kuartal ketiga tahun 2006 sudah mencapai sebesar 128,369 miliar dollar AS yang terdiri dari utang luar negeri mencapai 77,347 miliar dollar AS dan utang swasta 51, 022 miliar dallar AS, Pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN-P 2006 mencapai 2,510 miliar dollar AS atau 30 % dari total pengeluaran pemerintah. Kenyataan inilah yang membuat hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan gratis semakin terpinggirkan.
Belum lagi menyangkut persoalan mutu pendidikan yang sebenarnya sangat tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, hal itu menandakan bahwa pendidikan kita hanya sebatas berorientasi pada kepentingan modal semata. Ketika berbicara tentang peningkatan kualitas tentunya harus didukung dengan kurikulum yang mencerdaskan dan juga ditunjang fasilitas yang memadai sehingga mampu mendukung sistem belajar mengajar di setiap lini satuan pendidikan. Persoalan minimnya fasilitas belajar sudah menjadi pemandangan sehari-hari yang kita lihat baik di sekolah maupun di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta.
Selain itu akhir-akhir ini banyak fenomena tindakan represifitas yang terjadi di kampus-kampus, dari kasus IKIP Mataram yang mengakibatkan kawan Ridwan meninggal, kebijakan skorsing Mahasiswa ITS Surabaya, Penyerangan kampus UISU yang menimbulkan korban dan mengakibatkan kerugian terhadap Mahasiswa, kebijakan DO terhadap Mahasiswa UAD, pemanggilan Mahasiswa Tri Sakti oleh Komisi Disiplin karena sering melakukan aksi penuntutan fasilitas kampus dan berbuntut pada penangkapan dua orang anggota SMI dikampus Tri Sakti, beberapa minggu yang lalu di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang) tepatnya tanggal 2 Juli 2007 juga terjadi Intimidasi dari Pihak Birokrat UMM Terhadap Aksi Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan (AMPP) yang didalamnya ada SMI dan FMN. Serentetan tindakan represifitas di kampus-kampus tersebut sebenarnya sebagai tahap awal dalam upaya menjalankan praktek BHP sehingga kampus-kampus harus disterilkan dari aktifitas Gerakan Massa Mahasiswa yang suatu saat pasti berkontradiksi dengan praktek pemberlakuan BHP. Upaya represifitas terhadap Mahasiswa dikampus-kampus juga sebenarnya dilegitimasi oleh SK Dirjen Dikti no 26 Tahun 2002 tentang pelarangan Ormass dan partai politik di kampus, sehingga bisa kita maknai bahwa kebijakan pemerintah maupun pihak kampus selalu membelenggu tatanan demokratisasi kampus. Hal ini merupakan sebuah upaya pemerintah maupun pihak birokrasi kampus untuk melakukan depolitisasi terhadap Mahasiswa.
Oleh : Toni Triyanto
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment