Rupanya sang majikan tidak memesankan makanan untuk pekerjanya itu dan membiarkannya menelan ludah hingga majikan dan kedua anaknya menghabiskan makanan mereka. Kejadian kecil di sebuah rumah makan itu memperlihatkan bahwa PRT belum sepenuhnya diperlakukan secara manusiawi, layaknya pekerja pada umumnya. Anggapan rendah terhadap profesi PRT masih belum sepenuhnya bisa dihilangkan dari benak masyarakat kita, sehingga seringkali masih memunculkan sikap-sikap tidak manusiawi seperti kejadian di rumah makan cepat saji itu.
Memang tak semua masyarakat yang menggunakan jasa PRT melakukan perbuatan tak manusiawi seperti itu. Namun demikian, jaminan nasib PRT sebagai pekerja yang harus diperlakukan secara manusiawi belum sepenuhnya diperoleh, sebab undang-undang yang mengatur PRT hingga saat ini belum terealisasi. Pada peringatan hari PRT se-Indonesia yang jatuh pada 15 Februari lalu, PRT mulai mendapat angin segar. RUU PRT akan dibahas oleh anggota DPR.
Ada lima point yang akan dibahas oleh DPR, yaitu: (1) Usia PRT minimal 15 tahun. Bila majikan mempekerjakan PRT berusia 15-17 tahun, maka PRT hanya bisa bekerja 4 jam/hari. Bila PRT di atas 17 tahun, maka PRT tersebut boleh bekerja maksimal 10 jam/hari; (2) PRT harus mempunyai jatah istirahat baik mingguan maupun tahunan. Istirahat mingguan yaitu 1 hari/minggu untuk tahunan sebanyak 12 hari cuti jika sudah bekerja selama 12 bulan; (3) Majikan wajib membayar PRT sesuai UMR dan wajib memberi THR. Bahkan sistem pengupahan akan diatur sesuai dengan peraturan UU tenaga kerja; (4) Bila warga atau majikan melanggar aturan, maka akan ada sanksi yang akan diatur dalam beleid tersendiri; (5) Penyalur pembantu harus mempunyai izin resmi dari pemerintah.
Kelima point RUU PRT itu sangat menguntungkan pihak PRT, tak ayal para pengguna PRT memiliki reaksi yang beragam ketika wacana RUU PRT itu digelontorkan melalui media cetak, televisi maupun internet. Banyak reaksi yang cenderung kurang menyetujui rancangan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan baru pun kemudian bermunculan di antara orang-orang yang merasa kurang setuju dengan point-pin RUU itu. Mereka menganggap masih banyak PRT yang tak mengerti tentang peraturan ketenagakerjaan. Bila gaji mereka disesuaikan dengan UMR, ada kemungkinan mereka bisa memiliki NPWP. Apakah mereka sanggup mengurus NPWP itu? Belum lagi segala rupa peraturan yang lainnya yang nantinya membelit PRT yang statusnya nanti akan sama seperti pekerja pabrik atau pekerja pada umumnya.
Pertanyaan yang paling besar ialah, apakah PRT sudah mampu diberi 'tanggung jawab' yang besar itu? Di kota-kota besar yang ada di Pulau Jawa, PRT sudah memiliki kemampuan menyelesaikan 'tanggung jawab' yang menyangkut soal kebutuhan dirinya itu. Lantas, bagaimana dengan para PRT di kota-kota yang lainnya, khususnya di Kota Jambi?
Terlepas dari kontroversi RUU PRT itu, RUU PRT itu memang sangat perlu untuk direlisasikan mejadi UU PRT sebagai aturan yang melindungi PRT dan pengguna jasa PRT. Perlindungan itu diharapkan bisa menguntungkan kedua belah pihak, perlindungan dari tindakan sewenang-wenang bagi PRT (penganiayaan, pemerkosaan hingga pembunuhan) dan perlindungan dari tindakan yang merugikan (pencurian,penipuan, bahkan pembunuhan) bagi pengguna jasa PRT.
Alangkah lebih baiknya RUU itu dikaji ulang dengan melihat kondisi pengguna PRT dan PRT itu sendiri, sehingga semua pihak tidak merasa dirugikan. Konflik antara majikan dengan PRT sepertinya tidak akan pernah terselesaikan bila Undang-Undang itu tak memihak kedua belah pihak. Tak semua majikan memiliki sikap sewenang-wenang dan tidak semua PRT memiliki sikap yang baik. Pemberlakuan peraturan yang adillah yang diharapkan untuk menyelesaikan permasalahan PRT ini.
Bila dahulu konflik itu bisa diselesaikan secara kekeluargaan, saat ini penyelesaian itu sudah dianggap tidak relevan lagi. Dengan perkembangan pola pikir manusia yang semakin mengarah pada keterbukaan informasi, manusia cenderung menggunakan jalur lain yang dianggapnya lebih efektif untuk menyelesaikan permasalahan, misalnya jalur hukum. Perkembangan teknologi dan informasi itulah yang kemudian memperlihatkan konflik-konflik itu ke permukaan masyarakat, sehingga menjadi masalah negara yang tak gampang dicari jalan keluarnya.
Tak hanya masalah PRT yang ada di dalam negeri saja, TKI yang sebagian besar mejadi PRT juga perlu penanganan dari pemerintah Indonesia. Masalah itu belum ada titik terangnya hingga saat ini. Berita terakhir yang mencuat ialah tewasnya 748 TKI di Malaysia selama tahun 2009. Bukan main, jumlah itu adalah 68 persen dari keseluruhan TKI yang meninggal di luar negeri. Ini adalah fenomena kekejaman yang sudah tidak bisa ditolerir lagi. Akan tetapi, penanganan masalah itu serasa layaknya langkah siput yang melewati puluhan kilometer jalan.
Sebagai wujud keprihatinan, penulis pernah menggoreskan sebait puisi dalam esai tentang Buletin Rumpun, sebuah buletin yang dibuat oleh perkumpulan PRT yang ada di Yogyakarta.
Kau kendali atas dirimu,
Kuasa gerak jemari dan langkah kakimu,
Goreskanlah pada rumah-rumah yang kau singgahi,
Lukisan kisah-kisah bahagia,
Bukan aniaya berbuntut duka.*
*Penulis adalah lulusan Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta. Salah satu periset buku Seabad Pers Perempuan: Bahasa Ibu, Bahasa Bangsa.
No comments:
Post a Comment