Semenjak berkobarnya revolusi di Amerika Latin yang dipimpin oleh rakyat Venezuela, ide sosialisme mulai bangkit lagi dari tidurnya. “Sosialisme Abad ke 21” begitu bunyinya, sebuah frase yang dipopulerkan oleh Presiden Chavez sebagai sosialisme yang bebas dari distorsi Stalinisme. Bagi rakyat banyak, Sosialisme abad ke 21 merupakan simbol penolakan terhadap kapitalisme. Ia merupakan suatu hardikan kepada Francis Fukuyama yang mengklaim akhir sejarah dan kemenangan mutlak kapitalisme. Tetapi lebih dari itu, konsep Sosialisme Abad ke 21 sangatlah longgar. Apakah ini adalah sosialisme yang benar-benar baru? Para intelektual kiri dan kanan dan aktivis-aktivis berlomba-lomba menulis buku mengenai sosialisme ini; untuk menuangkan isi yang baru. Tetapi apakah sebenarnya isi baru dari Sosialisme Abad ke 21 ini?
Ada yang mengatakan bahwa Sosialisme Abad ke 21 ini adalah pembenaran untuk jalan parlementer menuju sosialisme; tentu saja ini berarti kita harus menutup mata kita terhadap aksi-aksi massa yang telah berulang kali menyelamatkan revolusi Bolivarian. Ada juga yang mengatakan bahwa Sosialisme Abad ke 21 ini adalah sosialisme ala Amerika Latin yang bernuansakan tradisi penduduk asli Amerika Latin, bahwa sosialisme ini tidak diimpor dari Eropa (baca Marx dan Engels) dan maka dari itu bebas dari kecongkakan orang putih.
Dari semua tafsiran akan apa sosialisme ini, yang paling keras diteriakkan oleh para intelektual adalah bahwa Sosialisme Abad Ke 21 merupakan sebuah sosialisme dimana semua kelas di dalam masyarakat dapat bekerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama: buruh, tani, pedagang kecil, ….DAN para bos-bos besar! Yang dibutuhkan adalah sebuah sistem sosialisme yang berdampingan dengan sistem kapitalisme. Sedikit demi sedikit kapitalisme direformasi hingga kita mencapai tahapan sosialisme (kasarnya, mulai 90% kapitalisme, 10% sosialisme; lalu 80% kapitalisme 20% sosialisme, dan seterusnya hingga kita mencapai 100% sosialisme). Dibungkus dengan jargon-jargon baru dan radikal, para intelektual ini, yang diwakili oleh Heinz Dieterich[1], bersorak sorai: “Kita telah menemukan sebuah formulasi sosialisme yang baru. Ide-ide Marx dan Engels dari abad 19 sudah usang dan tidak cocok dengan abad sekarang, mari kita campakkan mereka dan bersama-sama menuju ke era yang baru: Sosialisme Abad ke 21!”.
Sosialisme yang baru?
Tetapi, apakah formulasi mereka ini merupakan sesuatu yang baru? Bila kita teliti lebih seksama, ternyata ide sosialisme abad ke 21 tersebut hanyalah ide-ide tua yang sudah berulang kali dijawab dan dihancurkan oleh Marx dan Engels. Engels di dalam bukunya Anti-Duhring (1878) menghancurkan ide Herr Eugen Dühring yang mengklaim bahwa dia telah menemukan satu filosofi yang baru, satu sistem sosialisme yang baru. Kemudian, Rosa Luxemburg di dalam karya monumentalnya Reform or Revolution (1908) kembali harus menjawab Eduard Bernstein yang mengklaim bahwa abad ke 20 telah membuka jalan bagi sosialisme yang baru (baca Sosialisme Abad ke 20), yang dapat diraih dengan jalan reformasi semata.
100 tahun kemudian, dengan judul yang mirip, Alan Woods[2] menerbitkan buku (Reformism or Revolution: Marxism and Socialism of 21st Century, a reply to Heinz Dieterich[3]) untuk menjawab Heinz Dieterich yang mengklaim telah menemukan konsep sosialisme yang baru, sosialisme abad ke 21. Kutipan dari buku Alan:
“Mengenai ide sosialisme abad ke 21 yang ‘baru dan orisinil’ ini, saya hanya akan mengatakan ini: bahwa sampai hari ini, saya belum menemukan satu ide baru pun dari kumpulan tulisan-tulisan Dieterich dan kawan-kawannya. Yang saya temui adalah ide-ide tua dan antik yang telah diangkat dari tong sampah sejarah, yakni ide-ide yang tidak ilmiah dan utopis yang sudah dijawab oleh Marx, Engels, dan Lenin. Ini adalah ide-ide yang seharusnya ditinggalkan di zaman pra-sejarah gerakan buruh. Ide-ide sosialisme utopis ini dibersihkan dari debu-debunya dan disajikan sebagai Sosialisme Abad ke 21. Dan ada orang-orang naif yang menanggapinya dengan serius”
Heinz Dieterich tampil di arena internasional sebagai kawan Revolusi Bolivarian yang memberikan nasihat kepada aktivis-aktivis Venezuela yang jujur. Dan inilah mengapa Alan merasa perlu untuk menulis satu buku (yang sangat tebal, 400 halaman tebalnya) untuk menjawab satu per satu ‘nasehat-nasehat’ Heinz Dieterich dan mengeksposnya. Artikel ini terlalu pendek untuk bisa menguraikan satu-per-satu poin-poin Heinz Dieterich dan konternya dari Alan Woods. Akan tetapi secara garis besar, Heinz menentang nasionalisasi aset-aset kelas kapitalis dan menyerukan sosialisme utopis, yakni sistem kapitalisme yang eksis bersama-sama dengan sistem sosialisme, dimana perlahan-lahan sosialisme akan menggantikan kapitalisme.
Perjuangan Ideologi: Bagian penting dari perjuangan kelas
Banyak sekali aktivis kiri yang tidak pernah mendengar Heinz, apalagi membaca tulisan-tulisannya. Dan ini mengundang satu pertanyaan: Mengapa kita harus repot-repot menanggapi ide-ide Heinz? Saya rasa pertanyaan ini sudah terjawab dengan sendirinya. Ide-ide Heinz-lah yang harus dijawab, yakni ide-ide reformis yang kerap bersembunyi di dalam jargon-jargon sosialisme abad ke 21, ide-ide tua yang diberi bungkusan baru untuk membingungkan kaum muda dan pekerja.
Di dalam perjuangan kelas, pengorganisiran dan mobilisasi massa bukanlah satu-satunya lahan perjuangan yang harus digarap. Satu lagi arena perjuangan yang penting adalah perjuangan ideologi. Kelas kapitalis, dengan medianya, sekolahnya, intelektual-intelektual bayaran mereka, telah menciptakan suatu kabut ideologi yang sangat tebal untuk membingungkan kelas pekerja. Ideologi kapitalisme biasanya mudah dihancurkan bila rakyat pekerja sudah mulai bergerak. Tetapi ideologi yang paling berbahaya adalah reformisme yang berjubah sosialisme, layaknya serigala berbulu domba. Dengan lantangnya kaum reformis mengutuk kapitalisme dengan jargon-jargon sosialisme. Akan tetapi pada saat-saat yang menentukan, reformismelah yang kerap menyelamatkan kapitalisme dari kehancuran mutlaknya.
Buku Alan Woods yang terbaru ini bukan diterbitkan untuk dibaca oleh kaum intelektual dan disimpan di rak buku mereka. Justru sebaliknya, buku ini ditujukan kepada rakyat pekerja, terutama di Venezuela, sebagai senjata untuk melawan ide-ide reformisme. Semenjak penerbitannya (dalam bahasa Spanyol, lalu kemudian dalam bahasa Inggris), Alan Woods telah melakukan tur buku (http://www.marxist.com/alan-woods-speaking-tour-in-venezuela/) di 9 negara bagian Venezuela, dimana ribuan buruh, mahasiswa, kaum miskin kota, dan petani dengan antusias menghadiri tur buku tersebut. Yang patut disebut adalah pertemuannya dengan ribuan buruh minyak PDVSA di San Tome, Managos, Morical; 600 delegasi buruh pabrik mobil dari seluruh Venezuela; ratusan buruh Venalum (pabrik Aluminum negara); ratusan buruh dari SIDOR (pabrik besi baja yang baru saja dinasionalisasi); dan pemimpin-pemimpin nasional PSUV (Partai Persatuan Sosialis Venezuela). PDVSA (Perusahaan Minyak Negara Venezuela) lalu memutuskan untuk memesan 10 ribu kopi buku tersebut untuk dibagi-bagikan kepada pekerjanya.
Saking popularnya tur buku ini, Alan Woods diundang untuk hadir di acara TV nasional Venezuela (Venezolana de Televisión) untuk berbicara mengenai buku terbarunya. Esok harinya, Presiden Chavez yang mendengar mengenai Alan Woods dan tur bukunya dari acara televisi tersebut langsung mengundang Alan untuk bertemu. Sebulan kemudian, Chavez di dalam acara Alo Presidente (episode 315, 27 Juli) mengutip buku tersebut; dia mengatakan kalau dia sedang membaca buku ini dengan sangat teliti. Ini berita yang harus disambut dengan gembira, terutama kalau kita melihat belakangan ini Chavez yang dikelilingi oleh birokrat-birokrat reformis (Chavista kanan) mulai mengambil jalan reformisme. Kita hanya bisa berharap kalau Chavez bisa mengambil pelajaran revolusioner dari buku Alan.
Akan tetapi, pemeran utama dari Revolusi Bolivarian tetap adalah rakyat Venezuela: kaum buruh, petani, miskin kota, dan kaum muda. Untuk merekalah buku tersebut ditujukan, supaya rakyat pekerja Venezuela dapat memilah reformisme dari sosialisme. 10 tahun sudah revolusi ini berjalan, dan hanya keberanian rakyat pekerja Venezuela yang memberikan nafas panjang bagi proses revolusi ini. Di setiap tikungan, bukan hanya kaum oligarki Venezuela yang harus dihadapi oleh rakyat pekerja Venezuela, tetapi juga para ‘kawan’ revolusi yang menawarkan nasehat sosialisme abad ke 21 mereka.
Ide-ide sosialisme ilmiah sudahlah diformulasikan oleh Marx dan Engels, dan mereka masihlah relevan, apalagi dalam periode sekarang ini. Sejarah sudah membuktikan kebenaran ide-ide mereka. Kita tidak perlu ide yang baru (atau yang mengaku baru) bila yang lama masih benar adanya. Yah, tentu saja detil-detil ide Marxisme akan berbeda di situasi yang berbeda, tetapi ide umumnya masih sama: sosialisme hanya bisa dicapai dengan menghancurkan relasi produksi kapitalisme, yakni menyita hak milik alat produksi, dan menghancurkan negara kapitalis dan bangun negara buruh yang baru.
Maju Menuju Sosialisme Yang Sejati!
[1] Heinz Dieterich (1943 - ) adalah seorang ahli sosiologi dan analisa politik kelahiran Jerman yang sekarang tinggal di Meksiko. Dia banyak menulis mengenai konflik di Amerika Latin.
[2] Alan Woods (1944 - ) adalah seorang aktivis politik dari Inggris, salah satu pemimpin dari International Marxist Tendency. Pada tahun 1970, Alan aktif di Spanyol dalam melawan kediktaturan Franco. Dia sudah menulis banyak buku menge, salah satunya adalah Reason in Revolt (http://www.marxist.com/reason-in-revolt-bahasa-indonesia.htm) yang sudah diterbitkan di Indonesia.
[3] Penerbit Wellred sudah ada rencana untuk menerjemahkan buku Alan Woods ke dalam Bahasa Indonesia dan menerbitkannya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment