Ungkapan ini, berbicara banyak hal. Sebagai manusia layaknya, si buruh ini memiliki rasa, cita-cita, dan harapan-harapan dalam hidupnya. Dengan berbagai latar-belakangnya, ia bukan manusia super, bukan manusia tanpa cela. Ia bisa sakit, sedih gembira, dan ingin juga menjadi kaya-raya seperti majikannya.
Di tempat kerja, ia juga bukan orang yang melulu memikirkan kepentingan rekan kerjanya. Dalam bekerja, tak selamanya mereka sekata-sepenanggungan. Bahkan, sebaliknya, ia berkompetisi dan berkonflik dengan rekan kerjanya untuk mendapatkan perhatian si bos, agar pangkat dan gajinya lebih tinggi dari yang lain. Ketika kapitalisme makin terkonsentrasi, kompetisi dengan sesama buruh ini bisa makin menggila. Dalam periode krisis, kegilaan dalam berkompetisi tak mereda sedikitpun.
Lantas, kenapa Karl Marx menaruh harapan besar ke pundak si buruh ini? Mengapa ia mengglorifikasi kelas ini sebagai satu-satunya kelas yang bisa mewujudkan masyarakat tanpa kelas?
Untuk menjawab soal ini, saya akan memulainya dengan melihat asal-usul terbentuknya kelas secara ringkas. Dari sana, saya akan masuk pada sesi kesadaran kelas.
***
Kalau kita telusuri karya Marx, kita temukan bahwa asal-mula terbentuknya kelas bukan karena kepemilikan pribadi sebagian orang atas kekayaan alam. Dalam situasi dimana orang berproduksi untuk dirinya sendiri atau komunitasnya yang terbatas, kepemilikan pribadi tidak terjadi atau tidak relevan. Keberadaan kelas-kelas dengan sendirinya tidak terbentuk.
Penemuan alat-alat kerja baru, menyebabkan produktivitas kerja manusia meningkat. Produksi akibatnya meningkat melampaui konsumsi, sehingga terjadi kelebihan produksi. Seiring dengannya, pembagian kerja mulai diberlakukan: yang fisiknya lebih kuat memproduksi lebih banyak, sekaligus memiliki kontrol yang lebih besar terhadap hasil produksi. Misalnya, lelaki sehat dan kuat berburu atau bertani, sementara yang perempuan tinggal di rumah. Struktur sosial baru yang eksploitatif terbentuk: lelaki kuat dan sehat menjadi lebih dominan karena sanggup mengakumulasi kekayaan lebih banyak; laki-laki kemudian menjadi lebih dominan dari perempuan.
Perlahan-lahan, kelas-kelas mulai terbentuk. Kelas yang mengontrol alat-alat produksi, kemudian mempermanenkan pembagian kerja sosial yang eksploitatif tersebut melalui penindasan dan akumulasi. Penindasan tersebut dilakukan baik terselubung (melalui instrumen kultural, ras, jender maupun agama) atau dilakukan secara terang-terangan melalui perang dan penaklukan.Tetapi, penindasan tanpa dibarengi dengan akumulasi kekayaan, tak akan membuat pembagian kerja sosial menjadi permanen. Penyerangan yang dilakukan oleh kelompok etnis Dayak terhadap etnis Madura, memang menyebabkan kerusakan dan kerugian di pihak etnis Madura, di Kalimantan. Tetapi, karena penyerangan itu tidak ditindaklanjuti dengan akumulasi kekayaan oleh etnis Dayak, maka tidak terjadi pembagian kerja yang permanen di sana.
Tetapi, penindasan itu sendiri hanya satu sisi dari proses akumulasi. Sisi lain dari koin akumulasi adalah pertukaran, karena dengan demikian akumulasi yang diperoleh melalui penindasan tidak bertumpuk-tumpuk menjadi beban dan kemudian membusuk. Sehingga kita bisa mengatakan, pembagian kerja juga berarti pertukaran.
Itu sebabnya Marx menjelaskan, hubungan di antara barang-barang di pasar tak lebih sebagai subyek dari “pertukaran individual,” yang pada esensinya merupakan ekspresi hubungan di antara produser barang-barang yang terpisah. Singkatnya, hubungan antara komoditi (things), merupakan kelanjutan dari hubungan di antara produser komoditi (commodity producers). Konkretnya, dalam pasar pertukaran yang tampak kasat-mata adalah pertukaran antara sepatu dengan sandal yang dimediasi oleh uang, tetapi yang sesungguhnya terjadi, adalah pertukaran di antara produser sepatu dan produser sandal.
Dalam Poverty of Philosophy, ia menjelaskan soal ini,
“In principle there is no exchange of products, but there is the exchange of labour which co-operated in production. The mode of exchange of products depends upon the mode of exchange of the productive forces. In general, the form of exchange of products correspond to the form of production. Change the latter, and the former will change in consequence. Thus in the history of society we see that the mode of exchanging products is regulated by the mode of producing them. Individual exchange corresponds also to a definite mode of production which itself corresponds to class antagonism. There is thus no individual exchange without the antagonism of classes.
Pada prinsipnya, tidak ada pertukaran produk, melainkan pertukaran buruh yang bekerjasama dalam produksi. Corak pertukaran produk tergantung pada corak pertukaran kekuatan produktif. Secara umum, bentuk pertukaran produk berkaitan dengan bentuk produksi. Ubah yang terakhir maka konsekuensinya, bentuk pertukaran pun akan berubah. Jadi, dalam sejarah masyarakat, kita lihat, corak pertukaran produksi diatur oleh corak yang memproduksinya. Pertukaran individual berkaitan juga dengan corak produksi tertentu yang pada dirinya sendiri, berhubungan dengan antagonisme kelas. Bisa dikatakan, tak ada pertukaran individual tanpa antagonisme kelas.”
Begitulah proses ini bekerja, dan singkatnya, melalui tahapan perkembangan sejarah tertentu, Marx mengatakan, tahap tertinggi dari sistem masyarakat berkelas itu adalah kapitalisme. Dalam masyarakat kapitalis ini, kelas-kelas yang saling bertentangan tersebut menjadi disederhanakan atas dua kelas: proletariat dan borjuasi. Yang pertama memiliki dan mengontrol alat-alat produksi, dan yang kedua tidak memiliki apa-apa selain tenaga kerjanya yang dijual kepada pemilik alat-alat produksi. Yang pertama adalah minoritas, yang kedua adalah mayoritas.
Dari dua kelas yang secara struktural bersifat antagonistik ini, Marx meletakkan harapannya pada proletariat sebagai agen revolusioner yang baru. Pertanyaannya, mengapa harus pada proletariat, padahal seperti yang saya tulis di depan, “buruh juga manusia?” Mengapa tidak kepada kelas menengah harapan itu diletakkan?
Marx menjawab pertanyaan ini dalam The Holy Family:
“Proletariat and wealth are opposites. As such they form a single whole. They are both begotten by the world of private property. The question is what particular place each occupies within the antithesis. It is not sufficient to declare them two sides of single whole. Private property as private property, as wealth, is compelled to maintain itself, and thereby its opposite, the proletariat, inexistence. That is the positive side of the contradiction, self-satisfied private property. The proletariat, on the other hand, is compelled as proletariat to abolish itself and thereby is opposite, the condition for its existence, that wich makes it the proletariat, i.e. private property. That is the negative side of the contradiction, its restlessness within its very self, dissolved and self-dissolving private property….. Within this antithesis the private property owner is therefore the conservative side, the proletariat, the destructive side. From the former arises the action of preserving the antithesis, from the latter, that of annihilating it.
Proletariat dan borjuasi adalah dua kelompok yang saling bertentangan. Keduanya adalah produk dari dunia kepemilikan pribadi. Pertanyaannya, posisi tertentu seperti apa yang ditempati kedua kelas ini dalam keadaan yang saling bertentangan tersebut. Tidaklah mencukupi untuk menyatakan bahwa keduanya adalah dua sisi dari keseluruhan yang tunggal. Kepemilikan pribadi sebagai kepemilikan pribadi, sebagai pemilik kekayaan, pasti akan mempertahankan keberadaan dirinya, dan dalam hubungannya dengan lawannya, yakni proletariat, adalah membuat kelas ini tidak eksis. Inilah sisi positif dari kontradiksi ini, dimana kepemilikan pribadi hanya untuk memuaskan dirinya sendiri. Di pihak lain, proletariat, bertindak sebagai proletariat untuk menghancurkan dirinya sendiri dan dalam hubungannya dengan lawannya, yakni kondisi-kondisi bagi keberadaannya, yang menyebabkan proletariat itu ada, yakni kepemilikan pribadi tersebut. Inilah sisi negatif dari kontradiksi ini, terus bergerak dalam dirinya sendiri, menyerap dan mencari alternatif-diri dari kepemilikan pribadi…. Di dalam antitesis ini, watak dari si pemilik kepemilikan pribadi adalah konservatif, sementara proletariat ada di sisi yang destruktif. Pada yang pertama, lahir tindakan-tindakan untuk melindungi antitesis ini, sementara pada yang kedua adalah menghancurkannya.”
Jawaban lainnya dikemukakan Marx dalam Manifesto Komunis,
“Of all the classes that stand face to face with the bourgeoisie today, the proletariat alone is really revolutionary class. The other classes decay and finally diasappear in the face of modern industry; the proletariat is its special and essential product.
“…They have nothing of their own to secure and to fortify; their mission is to destroy all preivous securities for, and insurances of, individual property.”
Seluruh kelas yang berdiri berhadap-hadapan dengan borjuasi hari ini, hanya kelas proletariatlah yang paling revolusioner. Kelas-kelas lainnya membusuk dan pada akhirnya lenyap di hadapan industri modern; proletariat adalah produk yang khusus dan esensial dari industri modern tersebut
….Mereka (proletariat) tidak memiliki sesuatu apapun untuk dilindungi dan dipertahankan; misi mereka adalah untuk menghancurkan seluruh perlindungan dan jaminan yang terdahulu atas kepemilikan pribadi.”
Tetapi, kata Marx dalam The Holy Family, agar proletariat bisa membebaskan dirinya dari perbudakan kapital, maka ia harus menghancurkan seluruh kondisi-kondisi yang menyebabkan dirinya terbelenggu. Tapi, inipun tidak mencukupi, kecuali ia menghancurkan seluruh kondisi-kondisi yang tidak manusiawi tersebut, yang disebabkan oleh kapitalisme. Dengan kata lain, tujuan akhir dari perjuangan proletariat adalah menghancurkan kapitalisme dan menciptakan masyarakat tanpa kelas.
***
Sejauh mana harapan Marx terhadap kelas proletariat itu terbukti? Sayang sekali, tak banyak catatan sejarah yang menulis keyakinan itu dengan tinta emas. Bahkan, yang terjadi, seiring jatuh-bangunnya kapitalisme, proletariat tak kunjung tampil ke depan memikul takdir sejarahnya.
Ada apa dengan proletariat? Apakah keyakinan Marx tidak lebih sebagai mitos? Masalah ini dijawab Marx dengan menyodorkan konsep yang disebut Kesadaran Kelas (class conciousness).
Sebelum lanjut, ada beberapa hal yang perlu diklarifikasi. Pertama, Marx ketika berbicara tentang kelas, ia tidak memaksudkan kelas sebagai kumpulan dari individu-individu buruh, sehingga bagi Marx, kesadaran kelas seorang individu buruh tidak mencerminkan kesadaran kelas proletarian itu sendiri. Atau sebaliknya, ketidaksadaran kelas individu buruh tidak lantas melemahkan kesadaran kelas proletarian. Dalam bahasa Hal Drapper, “Working class is atomized when it is unorganized.”
Dengan rumusan ini, ketika kita bicara bahwa seorang individu buruh bertindak dengan segala dinamika kesadarannya, itu adalah sesuatu yang lumrah. Ketika, misalnya, ia memperoleh gaji lebih tinggi sehinga status sosialnya lebih terhormat ketimbang buruh lainnya, tidak otomatis posisinya sebagai proletariat yang tersubordinasi dari borjuasi turut berubah. Rumusan ini juga bermakna, secara fisikal status buruh ditentukan oleh posisi atau kedudukannya dalam struktur masyarakat yang antagonistik, tetapi dari segi kesadaran keberadaannya ditentukan dari seberapa besar kontrol atau kekuasaannya terhadap alat-alat produksi.
Kedua, menyangkut hubungan antara kebebasan individu dan kelas. Sangat sering kita jumpai pendapat bahwa dalam Marxisme emansipasi individu lenyap ketika kelas muncul ke permukaan. “Dalam Marxisme,” demikian kata mereka, “masyarakat yang utama sementara individu terabaikan.” Atau atas nama proyek kelas, emansipasi individual disingkirkan. Secara positif, pandangan itu bisa dikatakan begini, “ketika proletariat berkuasa, seolah-olah individu proletar telah terbebaskan.” Ini sebenarnya adalah cara pandang deterministik, yang justru mereka tuduhkan pada pemikiran Marx. Padahal, Marx tidak pernah berbicara, ketika kekuasaan berhasil digulingkan maka proletariat harus membangun kekuasaannya sendiri.
Jika begini cara berpikirnya, sesungguhnya tidak ada beda antara kekuasaan borjuasi dan kekuasaan proletariat, karena ketidakbebasan individu hanya berpindah satu satu orde kekuasaan yang lama ke orde kekuasan yang baru. Yang Marx katakan, kediktatoran proletariat itu hanya bersifat sementara, dimana kebebasan individu dengan sendirinya terbatas. Keterbatasan ini sesungguhnya merupakan konsekuensi dari tetap eksisnya lembaga negara. Mengutip filsuf Istvan Meszaros, “the dictatorship of proletariat cannot remove the ‘contradiction of civil society’ by abolishing both sides of social antagonism, including labor – on the contrary, it has to envisage enhancing the latter, in function the absolutely necessary ‘material foundation’ – that proletariat turns its dictatorship against itself.” Sifat sementara ini harus ditekankan, dengan tujuan menciptakan masyarakat tanpa kelas, satu kondisi dimana keberadaan negara melenyap. Bagi Marx, dalam masyarakat tanpa kelas itulah kekebasan individu baru bisa terealisasi sepenuh-penuhnya.
Isu ketiga menyangkut hubungan antara kesadaran kelas proletarian dengan kesadaran kelompok. Meszaros, memberikan ulasan menarik soal ini. Menurutnya, “kesadaran kelas proletarian, adalah kesadaran buruh bahwa keberadaan sosialnya melekat dalam kebutuhan struktur masyarakat kapitalis yang antagonistik. Sebaliknya, kesadaran kelompok yang otonom keberadaannya lebih-kurang dibatasi oleh bagian tertentu dari konfrontasi global antara proletariat dengan borjuasi.” Di bagian lain ia mengatakan, kesadaran proletarian itu adalah kesadaran untuk menghancurkan struktur masyarakat kapitalis yang antagonistik, sementara kesadaran kelompok adalah kesadaran yang dibatasi oleh ruang, waktu, dan fase-fase tertentu perkembangan sejarah masyarakat. Itu sebabnya Meszaros kemudian mengatakan, kesadaran kelas adalah sebuah proses yang dialektik: ia adalah sebuah “keharusan sejarah/historical inevitability” tepatnya, sejauh tugasnya terpenuhi melalui keberadaan agen yang berkesadaran diri.
Karena itu, menurut Meszaros, kesadaran kelas tidak muncul secara tiba-tiba. Tidak juga kesadaran kelas merupakan produk otomatis dari ekonomi, khususnya moda produksi seperti tuduhanya kalangan post-marxis dan anti-marxis. Kata Meszaros, bahkan di bawah kondisi ekonomi yang tengah mengalami krisis atau juga karena propaganda individu yang tercerahkan, adalah mimpi yang utopis untuk mengatakan bahwa kesadaran kelas proletarian akan muncul secara spontan atau langsung. Ada banyak lapisan kesadaran yang saling berinteraksi; satu ketika hal itu menyebabkan kesadaran kelas tertimbun rapat-rapat, di saat lainnya hal itu mempercepat munculnya kesadaranb kelas.
Keadaan ini, secara tak terelakkan membutuhkan keberadaan organisasi – baik dalam bentuk partai konstitusional maupun bentuk-bentuk organisasi perantara lainnya, sesuai dengan kondisi struktur sosial-historis yang ada. Dengan adanya organisasi atau kelompok berkesadaran ini. kesadaran kelas proletariat dikelola dan diarahkan, untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dalam konteks waktu tertentu.
Namun demikian, adalah keliru besar jika kita mengatakan bahwa kesadaran kelompok adalah cerminan dari kesadaran kelas. Apalagi mengklaim bahwa organisasi adalah perwakilan kesadaran kelas proletarian. Konsekuensinya, sejauh organisasi tersebut mengabdi pada kepentingan kelas proletarian – yakni terus membuka jalan selebar-lebarnya bagi proletariat untuk menghapuskan struktur masyarakat kapitalis yang antagonistik – sejauh itu keberadaan organisasi tersebut dibutuhkan. Dalam bahasa Engels, “The working class needs organization only in order to carry on its struggle; in order to submit it needs no organization at all.” Inilah makna dari apa yang disebut Meszaros bahwa kesadaran kelas adalah sebuah proses yang bersifat dialektik.
***
Tiba saatnya saya membicarakan tentang kesadaran kelas itu sendiri. Sebagai pembaca Hegel yang baik, Marx banyak menggunakan term-term Hegel dalam menjelaskan konsepsinya sendiri. Termasuk di antaranya konsep dia tentang kelas.
Secara garis besar, meminjam Hegel, Marx membagi kesadaran kelas proletarian atas dua: class in itself (kelas pada dirinya sendiri), dan class for itself (kelas untuk dirinya sendiri). Secara konsepsional, class in itself ini merujuk pada apa yang disebut Drapper di atas sebagai “kelas pekerja yang teratomisasi,” yakni kelas pekerja yang tidak terorganisir. Sebagai buruh, ia sadar dirinya berbeda dengan majikannya tidak lebih.
Sementara, class for itself adalah kesadaran buruh yang juga telah disinggung Meszaros di atas, yakni kesadaran bahwa keberadaan sosialnya melekat dalam kebutuhan struktur masyarakat kapitalis yang antagonistik, sehingga jika ia ingin kelasnya bebas maka ia harus menghancurkan kapitalisme; tapi penghancuran itu sendiri bukan hanya prasyarat bagi pembebasan kelasnya, tapi pembebasan masyarakan keseluruhan.
Ralph Miliband membagi kesadaran kelas ini atas empat lapisan. Pertama, kesadaran kelas yang secara akurat dipersepsikan oleh anggota kelas tersebut, yakni individu proletariat. Seorang individu yang merasa dirinya berbeda dengan majikannya bisa disebut telah memiliki kesadaran kelas. Tetapi, menurut Miliband, individu buruh yang berpikir bahwa dirinya adalah bagian dari kelas menengah, misalnya, tidak bisa dikategorikan telah memiliki kesadaran kelas.
Kedua, kesadaran kelas merujuk pada kepentingan mendesak dari anggota kelas tesebut. Menurut Miliband, kesadaran tingkat pertama dan kedua ini belum tentu saling berinteraksi: misalnya, boleh jadi anggota dari kelas pekerja ini menjadi sadar, bahkan sangat sadar akan kepentingan mendesaknya sebagai kelas proletariat, tanpa menyadari apa sebenarnya kepentingan mendesak yang mereka butuhkan itu.
Bahkan, masih menurut Miliband, jika toh dua level kesadaran itu menyatu dalam anggota kelas, hal itu tidak otomatis yang meningkat ke level ketiga kesadaran kelas, yakni kehendak untuk memajukan kepentingan kelasnya. Jadi, sangatlah mungkin bahwa individu buruh memiliki persepsi yang jelas akan kelasnya dan juga kepentingan kelasnya tapi, tidak berkeinginan untuk melakukan apapun untuk memajukan kepentingannya, apapun alasannya. Misalnya, mereka tidak melihat pentingnya organisasi kelas, tidak merasa berkepentingan untuk terlibat dalam protes-protes yang menuntut pemenuhan kebutuhan mendesaknya. Boleh jadi, yang mereka lakukan adalah mencari cara bagaimana agar kepentingan pribadinya lebih didahulukan ketimbang kepentingan kelasnya. Misalnya, siang hari memburuh, malam hari jualan kacang goring di perkampungan buruh.
Keempat, dan ini yang paling sulit, yakni kesadaran kelas yang dipahami tidak hanya sebatas makna, tidak hanya kesadaran anggota kelas dan kepentingan tertentu mereka, dan tidak hanya kesadaran untuk memajukan kepentingan kelasnya, tidak hanya persepsi untuk memajukan kepentingan mendesak dan terbatas mereka, melainkan kepentingan yang lebih umum, yang lebih global. Apa itu, tidak lain adalah class for itself.
Itu sebabnya, bagi Miliband, apa yang disebut sebagai kesadaran palsu (false conciousness) itu tidak lain adalah kegagalan kelas proletarian dalam merealisasikan tugas-tugas universalnya: class for itself.***
Kepustakaan:
Hal Drapper, “Karl Marx’s Theory of Revolution The Politics of Social Classes,” Vol. II, Monthly Review Press, 1978.
Istvan Meszaros, ‘Contingent and necessary class conciousness,’ in Istvan Meszaros (ed), “Aspects of History and Class Conciousness,” Herder and Herder, NY, 1971.
———-., “Beyond Capital Toward a Theory of Transition,” Merlin Press, London, 1995.
Karl Marx, “The Poverty of Philosophy,” available online at http://www.marxists.org/archive/marx/works/1847/poverty-philosophy/index.htm
Karl Marx and Friedrich Engels, “The German Ideology,” Promotheus Books, 1998.
———-., The Communist Manifesto,” Penguin Books, 2002.
———-., “The Holy Family” available online at http://www.marxists.org/archive/marx/works/1845/holy-family/index.htm
Ralph Miliband, ‘Barnave: a case of bourgeois class conciousness,’ in Istvan Meszaros (ed), “Aspects of History and Class Conciousness,” Herder and Herder, NY, 1971.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment