“Sebuah pesan dari anak yang tak menyenyam pendidikan kepada para mahasiswa”

Melanjutkan studi kekota merupakan hal yang langka bagi kami yang hidup dipedesaan ini. Walau studi adalah suatu pembelajaran kesadaran atas setting dan kesadaran atas kondisi kesejarahan dan kemasyarakatan. Sebuah kesadaran yang akan melahirkan tanggungjawab sosial.
Tidak terlalu banyak, sekitar belasaan yang mampu melanjutkan studi dikota. Biasanya mereka yang mepunyai kekuatan finansial. Aku pun sebenarnya berkeinginan seperti mereka, namun aku sama dengan anak-anak yang tetap bertahan sisini karena sesuatu keadaan. Hal itu terpaksa aku nikamati dengan kucurun peluh yang mengering seperti mereka yang masih tinggal disini.
Dalam menempuh studi penuh dengan tantangan dari adanya culture-condtion yang menyinggai para pelajar/ mahasiswa, termasuk teman sejatiku yang melanjutkan studi di perguruan tinggi. Kontradiksi selalu hadir untuk menemukan suatu kesadaran yang sejati.
Suatu hal yang istimewa, ketika seseorang dapat melanjutkan studi apalagi dikota. 4,5 tahun biasanya mereka kembati ketempat asalnya masing-masing. Pesta penyambutan dan perjamuan mewarnai kedatangan para mahasiswa yang telah menyelesaikan studinya. Biasanya orang tua bangga telah meng-kuliah-kan anaknya apalagi lulus tepat waktu. Mereka bahagia dengan gelar sarjana yang disandang anak-anaknya.
Tapi tidak pada ku! Aku bosan dan bimbang melihat mahasiswa yang datang. Mereka dihormati karena gelar sarjana, karena kuliah… itu saja! Namun apa yang mereka lakukan? Yang telah datang hanya memperbanyak daftar angka penganguran sama sepertiku.

Lantas aku bertanya pada temanku yang baru saja datang dari kota.

Aku bertanya padanya:
“Apakah kamu diajari tentang apa itu penderitaan, kemiskinan?”
“Apakah kamu di beritahu bahwa penderitaan, kemiskinan itu sengaja dibuat dan bukan tadir?”
“Apakah kamu tahu bahwa Petani itu tertindas?”
“Apakah kamu mengerti bahwa petani kecil dan buruh tani itu miskin?”
“Apakah kamu tahu siapa yang menindas petani?”

Ia menjawab:
“Tidak”

Aku bertanya padanya:
Apakah kamu mengerti bahwa kerja adalah eksistensi manusia?”
“Apakah kamu tahu bahwa pekerja/ buruh penggerak peradaban?”
“Apakah kamu tahu dari dahulu sampai sekarang pekerja/ buruh menderita?”
“Apakah kamu tahu bahwa Upah pekerja/ buruh selalu dibawah UMP/UMR/UMK?”
“Apakah kamu tahu siapa yang menindas pekerja/ buruh?”

Ia menjawab:
“Tiadak”

Aku bertanya padanya:
“Apakah kamu tahu bahwa kaum miskin kota sangat lah menderita?”
“Apakah kamu tahu bahwa mereka selalu digusur kesana-kemari?”
“Apakah kamu tahu mereka sering ditangkapi?”
Apakah kamu tahu siapa yang mengingankan mereka seperti itu?”

Ia menjawab:
“Tidak”

Aku bertanya padanya:
“Apakah kamu tahu bahwa kami disini mempunyai hak atas pendidikan?”
“Apakah kamu mengerti mengapa kami disini tetap miskin?”
“Apakah kamu tahu bahwa ketika kamu kembali disini akan menjadi penganguran?”
“apakah kamu tahu bahwa kamu juga ditindas?”

Ia menjawab:
“Tidak”

Kalau memang begitu, studi mu belum mendapatkan yang dinginkan dari studi yang sejati. Kamu belum mampunyai kesadaran setting dan kondisi historis sosial masyarakat. Kamu saat ini belumlah tercerahkan, masih diselimuti dogma dan mitos. Sehingga kamu harus menjelaskan kepada masyarakat bahwa pembelajaran disana tidak memberikan ruang ilmiah bagi pergerakan sejarah manusia. Kamu harus lantang mengatakan bahwa kurikum disana tidak membebaskan. Kamu harus menjelaskan bahwa kami disini pun berhak mendapat pendidikan yakni pendidikan garatis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan. Atau kalau tidak, kamu akan menjadi duri dalam sejarah manusia.

No comments:

Post a Comment