“Represifitas Adalah Bentuk Perlakuan Negara Sebagai Alat Penindas Rakyat” Sebuah pengalaman gerakan rakyat anti kapitalisasi pendidikan

Salam Pembebasan Nasional..!!!

Sejarah peradaban bangsa di dunia tidaklah terlepas dari peran penting negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Segala sector (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang ada haruslah berpihak dan berorientasi untuk memajukan dan mensejahterakan rakyat. Yang pada akhirnya akan mampu mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera secara ekonomi, adil secara sosial, Demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya serta.

Hal itu akan berbeda jika kita sandingkan dengan kondisi objektif rakyat hari ini, ketika Negara berada di bawah hegemoni sistem kapitalisme, maka cita-cita seperti yang kita harapkan di atas hanya akan menjadi mimpi belaka. Selama alat produksi masih dikuasai oleh kaum modal dan Negara hanya menjadi regulator dengan melahirkan regulasi-regulasi pro modal untuk melanggengkan kekuasaan kapitalisme di negeri ini dengan mengorbankan darah dan keringat rakyat, maka rakyat akan terus terpuruk dalam belenggu penindasan dan lingkaran setan kemiskinan di negerinya sendiri.

Ironis memang, di negeri yang kaya raya ini, fenomena-fenomena kemiskinan, kebodohan masih kita lihat dan rasakan. Di sector pendidikan misalnya, dengan praktek-praktek kapitalisasi pendidikan, maka pendidikan tidak lagi berorientasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memanusiakan manusia. bagaimana kaum buruh, kaum tani , Kaum miskin kota dapat meyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi, jika sampai hari ini pemerintah masih mengkondisikan dunia pendidikan semakin jauh dari jangkauan mereka serta menata dunia pendidikan dengan berbagai kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat?? PHK massal yang dialami kaum buruh, perampasan tanah petani, penggusuran pedagang kaki lima dan kaum miskin kota, semakin menegaskan peran Negara yang tidak berpihak pada rakyat.

Bentuk konkrit kapitalisasi pendidikan

Arah Kebijakan Pendidikan Neoliberalisme

Harus diakui secara jujur, bahwa sampai masa kepemimpinan SBY-Boediono jilid II tidak mampu menghasilkan output yang mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang maju, membangun masyarakat bertatanan adil dan makmur, singkatnya tidak mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, akan tetapi hanya menghasilkan output yang korup-menjarah uang rakyat, berfikir untuk kepentingan kenyamanan pribadi dan bekerja dengan cara menghisap rakyat (buruh, tani, mahasiswa, kaum miskin kota dll), pembohong alias penipu rakyat dengan bahasa halus berupa janji-janji keluar dari mulut busuk para penjarah. Tidak cukup sulit untuk membuktikan itu, pertama dari segi politik, rezim borjuasi SBY-Boediono masih mempertahankan, menjalankan UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas, Peraturan Pemerintah seperti PP No 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, keputusan Menteri dan regulasi-regulasi lainnya, kesemua regulasi tersebut adalah mensyaratkan lahirnya liberalisasi sektor pendidikan dalam artian memberikan legitimasi secara hukum seperti praktik BLU (Badan Layanan Umum) contohnya praktik BLU di Universitas Lampung, Universitas Mataram-NTB, Surabaya dll, otonomi kampus, UU No 09 2009 BHP yang akhirnya batal demi hukum, hadirnya lembaga-lembaga perbankkan untuk keperluan sirkulasi modal tingkat satuan pendidikan semuanya sebagai dasar dari keperluan keuntungan (profit oriented).

Segi lainnya adalah persoalan anggaran pendidikan, Negara dalam hal ini rezim borjuasi secara sengaja melanggar UUD 1945 yang mewajibkan Negara untuk merealisasikan anggaran minimal sebesar 20%, pada kenyataannya tidak terjadi, dengan teriakan lantang sang penguasa mengatakan bahwa anggaran pendidikan sudah terealisasi sepenuhnya padahal didalam 20% terdapat gaji guru, biaya iklan, dalam APBN 2010 angaran pendidikan mengalami penurunan, sekedar sebagai contoh APBD untuk pendidikan sebesar 32% yang di publikasikan oleh dinas pendidikan Surabaya ternyata merupakan satu kebohongan belaka, karena 32% (Rp 876 Miliar) dari total APBD yang berjumlah 3,8 trilyun ketika diperinci 545 miliar yang merupakan belanja tidak langsung dialokasikan untuk memberikan gaji pegawai atau guru sedangkan yang merupakan substansi dari upaya peningkatan pendidikan di Surabaya hanya 322 miliar yang berkisar hanya 18% dari total APBD.

Segi mutu atau kualitas, Negara sampai dengan detik ini tidak mampu memajukan pendidikan nasional artinya output pendidikan tidak mampu memberikan jaminan bahwa masyarakat Indonesia akan lebih baik-sejahtera secara ekonomi, adil secara sosial, Demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya serta output pendidikan sampai detik ini pun masih berbanding jauh dengan pendidikan Negara-negara lain. Hal ini menandakan bahwa campur tangan Negara dengan kata lain political will penguasa sungguh sangat minimalis bahkan sedang menuju proses liberalisasi pendidikan sepenuhnya yang nantinya tunduk pada mekanisme dan hukum pasar layaknya seperti perusahaan yang sepenuhnya profit oriented dengan tunduk pada mekanisme pasar.

Kontaminasi sektor pendidikan sebagai institusi pemanusiaan manusia tidak lah terlepas dari suatu design atau kepentingan para pemodal selaku pemegang dominasi peran kepentingan ekonomi politik di negeri ini. Kita tentu tidak lupa dan mungkin akan selalu kita ingat bersama bahwa kapitalisme melalui perangkat keras maupun perangkat lunaknya seperti; WTO (World Trade Organitation), di mana semua anggota-angggotanya termasuk Indonesia di dalamnya sudah menandatangani GATS (General Agreement on Trade and Services) yang mengatur tentang liberalisasi di segala sektor termasuk sektor jasa salah satunya jasa pendidikan. Artinya sector pendidikan akan didesign atau dirancang untuk menjadi suatu industri jasa yang akan bertarung di pasar seperti halnya sektor-sektor lainnya dan tunduk dengan segala hukum-hukum pasarnya. Tentunya tidak hanya atas dasar profit oriented tapi pendidikan akan berperan sebagai institusi yang mempu menghasilkan tenaga kerja cerdas dengan skill dan kemampuan teoritis handal untuk mengisi industri-industri di segala sector di mana modal bersarang, sama halnya dengan situasi pendidikan pada masa colonial di mana masyarakat pribumi diberikan akses pendidikan hanya untuk kepentingan tenaga kerja yang bisa baca-tulis bukan hadiah ataupun niat baik penjajah atas kerja Rakyat Indonesia. Begitu juga situasi pendidikan sekarang hanya diposisikan sebagai lembaga penyalur tenaga kerja yang mengamini kapitalisme sebagai system jalan keluar penyelamat rakyat dari keterbelakangan, kebodohan dan kemiskinan, maka institusi pendidikan tidaklah lebih dari sekedar lembaga hegemoni pemodal dan peserta didik menjadi tentara cadangan industri belaka.

Atas dasar situasi tersebut pendidikan nasional Indonesia berada pada tahap kapitalisasi di mana pendidikan diposisikan sebagai penghasil keuntungan dan penyalur tenaga kerja siap bekerja dengan upah murah ditengah sempitnya lapangan kerja, regulasi yang tidak berpihak pada kelas pekerja. Pada tahap kapitalisasi pendidikan menyisakan banyak persoalan-persoalan di semua tingkatan satuan pendidikan. Beberapa dampak yang dilahirkan adalah sebagai berikut :

1. Dari segi akses pendidikan, tidak sedikit masyarakat Indonesia yang tidak mampu menikmati pendidikan disebabkan karena persoalan mahalnya biaya pendidikan, yang mampu menikmati pendidikan pun tidak sedikit yang putus sekolah juga karena persoalan tidak mampu membayar SPP, uang praktik dan lain-lain. Ditingkat perguruan tinggi kecenderungannya secara umum setiap tahunnya mengalami kenaikan. Sedangkan jaminan akan mutu/kualitas diabaikan begitu saja, sekedar contoh kasus akreditasi kampus Universitas Muhammadiyah Mataram fakultas sejarah dan matematika, IKIP mataram fakultas Fisika, Universitas Mataram fakultas pertanian jurusan perikanan, FKIP jurusan PAUD dll tidak memiliki izin operasional nasib mahasiswa pun tidak jelas akan dikemanakan. Praktek BHMN yang terjadi di kampus USU, UNIMED, bentuk Penerapan BHP yang sejatinya sudah batal demi hukum di kampus UISU (konflik yayasan yang mengorbankan mahasiswa), UMSU, HKBP NOMENSEN (pembungkaman gerakan mahasiswa dengan tindakan DO dan Skorsing) dll di Medan adalah bentuk lepasnya peran Negara dalam memberikan pendidikan pada rakyat.
2. Segi fasilitas, pendidikan nasional secara keumuman menunjukkan ketimpangan antara sekolah di desa dengan kota, sekolah berstandar international dengan standar nasional, kampus swasta dengan negeri, tidak hanya baik desa, kota maupun kampus (perguruan tinggi) tidak juga menunjukkan kelayakan semestinya mendukung proses pembelajaran dan peningkatan mutu seperti laboratarium, ruang belajar, perpustakaan dll.
3. Persoalan Demokratisasi. Adanya kasus-kasus refresifitas terhadap mahasiswa, siswa membuktikan bahwa pendidikan tidak demokratis dan ternyata pada praktiknya hanya mengekang siswa, mahasiswa untuk berekspresi, bebas menyampaikan pendapat justru dibalas dengan ancaman seperti putus sekolah, DO ancaman nilai. Hal ini juga berlaku pada proses pembelajaran di mana ruang kelas tidak mampu menghadirkan pembelajaran dialogis tapi hanya transfer ilmu itu pun dengan teks book-tidak berangkat dari realitas padahal ilmu pengetahuan lahir dari praktik/realitas social masyarakatnya, cara ini pantas disebut sebagai model Bank yang bekerja sebagai lembaga transfer uang antar orang. Sehingga siswa dan mahasiswa tetap sebagai obyek bukan berposisi sama-sama sebagai subyek pendidikan itu sendiri.
4. Segi orientasi, pendidikan berorientasi pada kepentingan pemodal dan rezim borjuasi bukan bervisi kerakyatan dengan kata lain ilmu pengetahuan semestinya mengabdi pada kepentingan, keperluan hidup rakyat.

Setidaknya beberapa persoalan di atas bagian kecil dari banyaknya persoalan pendidikan nasional akibat dari kapitalisasi pendidikan, sementara program rezim menjawab banyaknya persoalan pendidikan nasional detik ini pun hanyalah sebuah formalitas belaka sebagai topeng mendapatkan legitimasi kekuasaan dari rakyat. Diantara program rezim seperti penetapan mutu standar nasional melalui Ujian Nasional (UN) sebaliknya menyisakan banyak persoalan baik fsikomotorik, affektif dan motorik, ironisnya UN menjadi momok menakutkan dan trauma masyarakat khususnya peserta didik, program lain seperti BOS tidak juga memberikan jaminan akan pemerataan akses pendidikan sebaliknya yang muncul adalah kemana dana BOS dan untuk keperluan apa disalurkan, program wajib belajar 9 tahun tidak memiliki arti signifikan untuk menjawab hak asasi rakyat Indonesia akan pendidikan dan juga tidak berarti apa-apa bagi perbaikan hidup rakyat.

Kapitalisme Telah Membungkam Demokratisasi Bagi Gerakan Rakyat

Belum lagi perlakuan-perlakuan kekerasan aparatur keamanan ketika rakyat menuntut hak-haknya dengan turun kejalan, gerakan rakyat justru dikatakan sebagai tindakan subversive. Bentuk-bentuk represifitas yang dilakukan Negara bisa kita lihat dari kasus IKIP Mataram yang mengakibatkan kawan Ridwan meninggal dunia, kebijakan skorsing Mahasiswa ITS Surabaya, Penyerangan kampus UISU yang menimbulkan korban dan mengakibatkan kerugian terhadap Mahasiswa, kebijakan tentang pelarangan terhadap Ormass mahasiswa di kampus UAD, melalui Surat Edaran Rektor, bertanggal : 27 September 2006, bernomor R/465/A.10/IX/2006, tentang Pembinan Organisasi Kemahasiswaan UAD, yang isinya :

1. UAD jelas tidak mungkin membiarkan Organisasi ekstra kampus berdiri di UAD.
2. Melarang organisasi ekstra kampus menggunakan nama Universitas Ahmad Dahlan dan fasilitas-fasilitas milik UAD, termasuk pemasangan pamflet-pamflet, baik didalam maupun diluar UAD.

Kebijakan DO terhadap mahasiswa ISI Yogyakarta, kebijakan Skorsing (32 orang) dan Do (12 orang) terhadap Mahasiswa Universitas HKBP Nomensen Medan, penyerangan pihak kepolisian terhadap HMI di Makassar dan masih banyak lagi terjadi di kampus-kampus. Serentetan tindakan represifitas di kampus-kampus tersebut sebenarnya sebagai imbas dari kapitalisasi pendidikan yang memang sangat rentan dengan kebijakan yang memaksa dan sering melahirkan kekerasan. Masih segar di ingatan kita ketika SMI yang tergabung dalam Gerakan Pro Demokrasi Sumatera Utara bersama sector rakyat lainnya (buruh, tani, KMK dll) yang melakukan aksi massa tanggal 3 Mei 2010 di Medan.

Mobilisasi Nasional SMI pada tanggal 18 Mei 2010, merupakan satu unjuk rasa yang digalang oleh SMI guna mengadukan setiap permasalahan-permasalahan pendidikan yang terjadi di seluruh Indonesia, kepada institusi Negara dan pemerintah dalam hal ini adalah komisi X DPR-RI dan kemendiknas. Meskipun pada akhirnya sekali lagi rakyat harus kecewa karena jangankan aduannya didengar, bahkan wakil rakyat dan mendiknas menolak audiensi dengan SMI dengan alasan ada kegiatan lain yang lebih penting. khususnya di pihak kepolisian melakukan tindakan kekerasan dengan melakukan pemukulan dan penangkapan terhadap massa aksi. Beberapa peristiwa ini mengingatkan kita akan praktek militerisme pada zaman orde baru di bawah kepemimpinan rezim Soeharto dengan Dwi Fungsi ABRI-nya. Kita tidak menginginkan sejarah kelam itu kembali terulang dimana banyak korban yang berjatuhan.

Ketika rakyat menuntut hak-haknya, ketika rakyat melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang hanya berpihak pada kepentingan kaum modal, Negara justru menggunakan aparatur keamanan untuk memberangus gerakan rakyat. Inilah bentuk-bentuk kebiadaban dan pembungkaman demokratisasi bagi rakyat.

Atas kondisi di atas, cukup membuktikan perlakuan Negara yang sampai hari ini masih belum menunjukkan wajah yang serius untuk menjawab persoalan-persoalan. Bagaimana rakyat akan merdeka dan setara di tengah ketimpangan, tidak mampu sekolah, tidak bisa bekerja, tidak mendapatkan kesehatan karena pemerintahnya masih berlutut dan menjadi komparador kaum modal.

Untuk itu, SERIKAT MAHASISWA INDONESIA (SMI) Megecam Tindakan Represif Yang Dilakukan Pihak Kepolisian dan menyatakan sikap:

“Lawan Praktek-Praktek Kapitalisasi Dunia Pendidikan Dan Tindakan Represifitas Terhadap Gerakan Rakyat”

Dengan menuntut:
1. Wujudkan pendidikan gratis, ilmiah, demokratis dan bervisi kerakyatan dari tingkat Sekolah Dasar Hingga Perguruan Tinggi.
2. Stop tindakan kekerasan dan represifitas terhadap gerakan mahasiswa di kampus serta gerakan rakyat lainnya.
3. Bangun undang-undang pendidikan yang pro terhadap rakyat.
4. Negara wajib mengatur pendidikan sebagai Program Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat.
5. Berikan kebebasan berekspresi, berorganisasi dan berpendapat bagi seluruh rakyat.

No comments:

Post a Comment