Pemilu PILPRES 08-Juli-09

Bayangkan bila semua orang sama pintar, siapa yang bisa mengambil keuntungan
dengan gampang? Itulah sebabnya, kebodohan dan pembodohan senantiasa
dipertahankan, oleh mereka yang tak bisa bersaing wajar. Celakanya, si bodoh bisa
dibuai hingga merasa enjoy menikmati, bahkan bangga dan tertawa-tawa.

Kebodohan massa itu menampakkan wujud dalam kefanatikan buta mulai tingkat bonek
hingga bodrek, taklid, pengkultusan, dan sejenisnya dengan segala alasan. Maka
mereka yang diuntungkan oleh kebodohan inipun akan memunculkan mitos-mitos dan
kebanggaan untuk melanggengkannya. Klop. Kedua pihak merasa dipuaskan.

Jangankan yang besar-besar, seorang ayah saja akan membangun fanatisme bagi
keluarganya, anak-anaknya. Klub sepakbola apalagi, yang memang hidup dari
penggemarnya. Semakin banyak suporter, selain karcisnya laku juga akan memaksa
sponsor berdatangan. Tetapi menjadi aneh jika perkumpulan bal-balan itu dengan
sengaja mengajari suporternya untuk tidak menerima kekalahan, "Bledheg (petir) kok
bisa kalah? Ngamuk saja!"

Soal taklid, maka ummat Islam di Indonesia paling banyak melakukannya. Pokoknya
kalau dari si A, pasti benar. Si B itu alim, kalau menyeleweng, itu hanya raganya,
sedang ruhnya tidak. Si C bisa tahu apa yang belum terjadi, melawan dia bisa
kualat. Si D itu wali, ikut dia pasti masuk surga (termasuk dalam memilih partai,
tidak termasuk dalam memilih warna sarung). Itulah berbagai kenyataan yang sampai
sekarang masih ada, dan tetap populer.

Padahal taklid hanya bisa dilakukan terhadap Nabi, karena hanya nabi-lah yang
terjaga dari dosa, maksum. Sedangkan manusia lain, sudah pasti menyimpan
kesalahan. Karena itu, mengikuti seseorang hanya diperbolehkan sepanjang tidak
melawan syariat. Dan untuk urusan dunia, seharusnya digunakan pesan Nabi, 'Kalian
lebih tahu urusan dunia kalian.'

Fanatisme buta yang terpupuk sampai pada tingkat pengkultusan, sulit terjadi pada
kalangan yang biasa menggunakan akal sehat. Itulah sebabnya kita patut bersedih
manakala pemilu Indonesia pada penghujung abad ke-20 ini hasil akhirnya ditentukan
oleh fanatisme dan ketidakmengertian. Karena hal itu berarti mayoritas rakyat
negeri ini masih belum memperoleh haknya akan pendidikan dan pengajaran yang
wajar. Atau bahkan secara ekstrem bisa disebut, mereka ditelantarkan selama 50
tahun Indonesia merdeka.

Mengukur sesuatu dari sebuah masyarakat yang 'telantar' itu, gampang terpeleset,
mengira iya padahal tidak. Lembaga-lembaga mentereng bisa melakukan jajak
pendapat, lewat telepon, dengan hasil A. Padahal empat perlima warga negara tidak
punya telepon, dan bisa jadi sangat berlawanan kemauannya. Warga kota-kota besar
bisa mencemooh sikap-sikap bodoh seorang tokoh yang didewakan, memuat di
koran-koran, tetapi harap diingat, suporter tokoh itu tidak pernah baca koran dan
tak peduli, bahkan tidak tahu apa-apa selain bahwa tokohnya, kabarnya, orang
hebat. Jadi, media tidak bisa digunakan dalam hal seperti ini. Bahkan khutbah di
masjid juga sulit digunakan untuk penyadaran, karena banyak di antaranya yang
tidak datang shalat, Jum'at sekalipun.

Menyadarkan masyarakat jauh lebih sulit dibanding menungganginya. Apalagi untuk
urusan jangka pendek seperti politik. Dan nampaknya penunggangan itu relatif masih
akan digunakan oleh partai-partai dalam pemilu, utamanya partai yang selalu
membanggakan diri punya massa besar. Mereka menggunakan slogan-slogan yang
cenderung menutup kritik dan membuai, seperti 'pokoknya', 'hidup-mati ikut',
'sudah tuntas', sambil menggali pesan-pesan mistis dari yang masih hidup maupun
yang sudah mati. Langkah ke depan --termasuk sejarah masa lalu-- bukan sesuatu
yang penting, karena toh 'kerewelan' mempertanyakan seperti ini hanya dilakukan
oleh orang kota dan kaum intelek --yang jumlahnya tak banyak. Sedangkan pendukung
fanatis hanya butuh sanjungan dan sedikit bantuan pemenuhan kebutuhan. Bonek
sepakbola malah tidak mendapatkan apapun dari klub yang dibanggakannya. Bonek
partai lumayan, masih dapat janji dan biaya transportasi.

No comments:

Post a Comment