Ekstreem

Pasca dinasti Suharto jatuh, Indonesia menjadi eksperimen dari para “reformis”. Berbekal dengan konsep bernegara yang kabur dan situasi yang rentan pecah pada saat itu, telah memberikan kesempatan para oportunis untuk memasuki gelanggang percaturan politik Indonesia yang sejak lahir (1945) memang sudah rawan untuk pecah. Asal memakai label kata-kata reformasi, maka semua tindakan seolah telah memperoleh sertifikat halal dan benar.

Menjelang jatuhnya Suharto pada tahun 1998, hubungan antara pemerintah Indonesia pada waktu itu dengan IMF memang sudah tidak mesra lagi. Apalagi ada track record dari Suharto yang pernah “membubarkan” IGGI (institusi negara pemberi hutang kepada Indonesia) sehingga IMF menjadi ketar-ketir juga kalau nanti “dicerai” oleh Suharto. Berbeda dengan IGGI atau CGI, IMF datang ke negara kita dengan membawa bendera Persatuan Bangsa Bangsa (UN) melalui slogannya “menolong negara miskin” akibat krisis moneter. Dengan misi ini, di Indonesia, IMF mempunyai banyak “santri” yang taat mengikuti ajarannya, terutama mereka-mereka yang duduk pada level pejabat pemerintahan. Jatuhnya Suharto membawa dampak ease the pain para boss IMF, sehingga turut mendongkrak para “santri”nya untuk naik pentas.

Pada jajaran elite di tingkat atas, muncul dua ekstreem yang masing-masing meyakini nilai-nilai yang dibawanya. Sebut saja, Sri Mulyani, Aburizal Bakrie dkk (sebagai pemeluk ajaran IMF) di satu ekstreem yang menitik beratkan pada azas ekonomi ala pasar. Konsep ada uang ada barang. Bayi nangis sekarang, cepat-cepat di kasih dot susu. Sementara KKG dan Rizal Ramli di ekstreem yang lain, lebih melihat dampak jangka panjang.

Sri Mulyani dkk melihat faktor lapangan adalah variable utama. Mereka lebih senang kalau mendengar si bayi tidak menangis sekarang. Sementara KKG dkk lebih melihat bagaimana kondisi kedepannya. Lebih baik si Bayi menangis sekarang tetapi bisa hidup sampai 65 tahun lagi daripada si Bayi hidup sekarang dan belum tentu bertahan hingga usia 10 tahun.

Menurut Sri Mulyani dkk, hutang diperlukan karena kita sedang membangun dan tidak mungkin diputus ditengah jalan. Ada sesuatu yang harus dikorbankan (jika memang perlu) untuk menggapai sebuah harapan (?). Rakyat kelaparan pada detik sekarang ini adalah fact. Sedangkan bagaimana realita 5, 10 atau 20 tahun kedepan bukan prioritas utama dari analisa Sri Mulyani dkk. Harga minyak naik sekarang ini adalah juga kenyataan. Sri Mulyani dkk tidak akan menganalisa harga BBM 5 tahun kedepan, karena banyak variable yang nantinya akan berubah selama lima tahun kedepan. Maka tidaklah heran, ketika madzab ini berkuasa, banyak BUMN kita dijual untuk menjadi abdi dalem (hambanya) dari ndoro IMF.

Beberapa komentar menyebutkan bahwa KKG terlalu idealis, kaku dan tidak melihat kondisi yang ada di lapangan. KKG selalu menghembuskan isu nasionalisme dan patriotisme untuk merebut simpati dari para kalangan menengah ke bawah. Saya cenderung setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ”Sri Mulyani dkk lebih condong pada kehidupan sehari-hari (ekonomi pasar), sementara KKG lebih menempatkan azas pemanfaatan ekonomi berdasar pada ego kepemilikan”. Kuasai dulu semua Sumber Daya Alam (SDA) yang menguasai harkat orang banyak. Infrastructure bisa diperolehnya sambil berjalan. KKG mengajak semua elemen untuk menjadi bagian dari proses. “Menderita” di awal adalah salah satu bagian yang namanya proses. Hanya saja, Madzab-nya KKG ini gagal mengimplementasikan teorinya pada level atas. Teori yang ditawarkan oleh KKG, Stick and Carrot, tidak mendapat sambutan yang positif dari para koleganya. Kenapa? Karena kalau diaplikasikan, akan terlalu banyak Stick-nya daripada Carrot-nya. Penjara yang diharapkan akan diisi oleh para koruptor ternyata akan lebih banyak dan lebih dulu diisi oleh para jaksa, hakim dan polisi.

No comments:

Post a Comment